Share

Bab 2

Pagi yang masih buta di rumah sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hias yang layu dan suara burung berkicau, Arum terbangun dengan semangat pagi. Sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela, menerangi ruang tamu yang penuh dengan kenangan. Dia melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Berusaha mengusir rasa malas yang masih menggelayuti.

“Akhirnya libur,” serunya ceria sambil mengusap matanya. “Aku bisa menjenguk ibuku. Semoga hari ini berjalan menyenangkan.” 

Arum mengenakan baju dan hijab yang sudah sedikit pudar dan celana panjang yang nyaman. Rencananya untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya membuatnya merasa bersyukur. Tapi, anehnya ada rasa cemas di dalam hati. Seakan-akan ada yang menghalangi kebahagiaanya hari ini.

“Semoga tidak ada yang menganggu rencanaku,” gumamnya sambil merapihkan rambut di depan cermin.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan keras di pintu. Arum membuka pintu dengan bingung, raut wajah bingungnya itu langsung sirna saat melihat Riska, kakak iparnya, berdiri di sana dengan dua anak kecil Riko dan Riris.

“Arum! Aku nitip Riko dan Riris, ya," kata Riska sambil menyunggingkan senyum angkuh dan delikan matanya. “Suamiku ada urusan mendadak. Jadi aku tidak bisa jaga mereka.”

Arum mengerutkan keningnya, rasa kesal mulai merayapi pikirannya. “tapi mbak,  aku juga ada rencana lain hari ini."

“Ah! Itu kan bukan masalahku, kamu kan bisa bawa mereka bersamamu," Riska membalas tanpa rasa bersalah.

Arum merasa jengkel, “Aku ini bukan pengasuh anakmu,  Mbak Riska! Aku udah ada rencana lain.”

Riska hanya mengangkat bahu, seolah-olah tidak peduli. “Terserah, Arum. Anak-anak ini lucu, kamu pasti sukalah! lagi pula kamu belum punya anak jadi sekalian kamu belajar mengasuh anak biar nanti tidak keget."

“Lucu? Kalau mereka menciptakan kekacauan di rumahku, lucunya hilang!” Arum berpikir sambil menutup pintu dengan hati penuh kecewa.

Arum menatap Riko dan Riris, dua anak yang ceria tapi tanpa di sadari mereka merasa tidak nyaman.

“Kok mereka ini tidak pernah mau mengerti, ya?” gumam Arum dalam hati.

Mendengar itu, Riko yang berusaha lima tahun pun bertanya. “Tante Arum, kita mau kemana?”

Arum yang terpaksa tersenyum. “Kita? Kita main dulu, ya.”

Riris yang masih kecil itu langsung loncat kegirangan. “Yeay! Main!” 

Tetapi, Arum masih merasa frustrasi. Riska selalu saja beranggapan bahwa Arum bisa mengurus anak-anaknya tanpa protes. “Seharusnya dia tahu batasan," pikiranya sambil mengalihkan perhatian kepada kedua ponakannya yang ceria.

Setelah Riska pergi, Arum menghela napas panjang. Dia teringat semua pengalaman buruknya dengan keluarga Riska. Riska dan keluarganya selalu meminta bantuan tanpa memperhatikan kebutuhannya sendiri.

“Kenapa mereka selalu merasa bisa seenaknya?” Arum merenung. “Seakan aku ini cuman pengasuh anak.”

Rika dan Riris bermain-main di lantai, dan Arum merasa hatinya terbagi. Dia ingin sekali bisa bebas dan mengunjungi ibunya, tapi melihat anak-anak itu hatinya lembut.

“Arum, kamu ini harus tegas! Ini sudah terlalu sering!” teriaknya dalam hati. Dia tidak ingin selamanya menjadi pengorbanan keluarga. Tapi, entah kenapa hatinya sulit untuk mengatakan tidak. 

Akhirnya, Arum memutuskan untuk menyerahkan kedua ponakannya itu pada Bayu, suaminya. Dia tahu, Bayu mungkin tidak setuju tapi dia tidak punya pilihan lain.

“Baiklah, aku akan mengurus mereka. Tapi, ini terakhir kalinya, Riska!” ucapnya tegas, meskipun hatinya hancur.

“Memang harusnya begitu! Lagipula kau nggak ada rencana penting sepertiku.”

Arum hanya menggeram dalam hati. “Sudah nitipin anak kesini, ditambah menghina. Suatu hari kau akan tahu rasa!”

Arum mencari Bayu yang berada di ruang sebelah, berharap bisa mendapatkan pertolongannya. Dia menemukan Bayu yang sedang duduk santai disana dengan buku di tangannya. 

“Mas, tolong jaga Riko dan Riris sebentar, ya. Riska nitipin mereka tanpa permisi," pintanya dengan nada prustrasi.

Bayu yang tampak bingung itu menjawab, “Tapi aku sedang tidak mood merawat anak-anak.”

Arum menatapnyanya dengan harap, “Tolong, mas. Aku tidak bisa menolak Riska lagi, aku harus pergi mengunjungi ibu. Aku butuh bantuanmu.”

“Ya sudah, aku akan coba jaga mereka. Tapi ini bukan tanggung jawabku,” katanya dengan nada lemah.

“Terimakasih, mas. Aku sangat menghargainya," jawab Arum meski ada rasa kecewa dalam hatinya. Dia ingin Bayu lebih berani, tetapi di saat yang sama, dia tahu Bayu tidak pernah bisa menolak permintaan keluarganya.

Arum kembali ke ruang tamu dan melihat anak-anak itu mulai mengacak-acak mainan. Riko tampak senang dan Riris hanya mengikuti kakaknya. Arum merasa hatinya terbelah, antara ingin menjenguk keluarganya dan harus mengurus anak-anka itu. 

“Gimana bisa aku tinggal mereka?”Arum mengeluh, mengharapkan dirinya bisa bertemu dengan ibunya.

Riko yang tampak ceria tiba-tiba menghampirinya. “Tante Arum, kita mau main apa?”

Arum tersenyum meski hatinya penuh kemarahan dan prustrasi. “Eh, kita main mobil-mobilan, ya?” jawabnya, berusaha menciptakan suasana ceria, meski di dalam hatinya menggemuruh. 

Seiring waktu berlalu, Arum melihat keduanya bermain dan merasa berat hati. Dia kecewa karena harus menunda rencanannya untuk menjenguk ibunya. 

“Semoga hari ini cepat berlalu, deh,” bisiknya dalam hati.

Arum mencoba membayangkan, jika dia berada di posisi Riska dan mengingat betapa sulitnya mengatur anak.

“Tapi, aku juga punya hidup sendiri! Kenapa harus selalu mengalah?” pikirnya, berusaha tegas pada dirinya sendiri. 

Saat anak-anak itu berlari ke arahnya. Arum merasa hatinya bergetar. “Mereka hanya anak kecil. Mereka tidak tahu apa-apa,” ia mengingat betapa bahagianya saat ia masih kecil.

Ketika Arum duduk di sofa, memikirkan bagaiman hidupnya selalu diatur orang lain, dia merasa campur aduk. Melihat Bayu berusaha menjaga anak-anak, hatinya merasa mencintai suaminya, tapi juga frustrasi.

“Aku harus lebih tegas. Ini saatnya aku bersuara,” bisik Arum dalam hati.

Dia mengingat semua momen ketika Bayu tidak pernah berani menolak permintaan Riska. “Mas, kamu harusnya bisa lebih tegas!”Arum berpikir. “Kamu suamiku, mas!”

“Nanti, ya. Anak-anak bisa dengar pertengkaran kita.”

Arum menahan emosinya sampai anak-anak sudah tidur. Arum menunggu suaminya di kamar, ingin mengajaknya untuk bicara.

“Mas, aku mau bicara.”

Bayu menghampirinya dengan wajah tenang, dia berharap jika dirinya memberikan ekspresi seperti itu, istrinya akan sedikit lebih tenang. Tapi, hal itu tidak berlaku untuk Arum yang sedari siang sudah kesal ditambah tidak bisa menjenguk ibunya.

“Mas, sampai kapan kamu mau nurutin permintaan mereka?” tanya Arum mengerutkan keningnya.

“Kamu sabar dulu, sayang. Aku ngerti, apa mau kamu. Tapi, kamu juga harus tahu, aku tidak bisa melawan keluargaku, mereka keluargaku.”

“Mas, kamu ini sudah menikah! Kamu sudah berkeluarga, kamu bukan lagi tanggungan mereka yang apa-apa harus nurut, Mas. Gimana kamu bisa jadi suami yang baik, kalau kamu tidak pernah membela istrimu sendiri,” kesal Arum.

“Aku memang bukan suami yang baik buat kamu. Maafkan aku, ya.”

Arum yang melihat suaminya merasa bersalah pun ikut menyesal sudah marah pada suaminya.

“Salahku juga. Mungkin aku terlalu egois,” sesal Arum, berharap suaminya berhenti menatapnya seperti itu.

Tak lama kemudian, tanpa mengetuk pintu Riska langsung masuk tanpa permisi membuat suami istri pemilik rumah itu terkejut dan meluapkan amarah Arum.

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status