Bab 1
"Mas Bayu katanya mau bilang sesuatu sama aku. Ada masalah apalagi sekarang?"
Arum lagi duduk di ruang tamu rumah kecil mereka, kepikiran soal semua pengorbanan yang udah dia lakuin buat keluarga Bayu.Baru aja kemarin dia sama Bayu nombokin uang kuliah Susan, tapi sekarang malah muncul masalah lain.
Bayu masuk ke ruang tamu dengan wajah cemas. "Dek, aku mau ngomong sesuatu," kata Bayu pelan, Bayu memanggil adek sebagai panggilan sayang pada istrinya. Bayu sepertinya sedang mencari-cari kata yang tepat biar nggak nyakitin hati istrinya.
Arum langsung ngangkat alis, curiga. “Apaan lagi, Mas? Ada masalah apa lagi sekarang?”Bayu narik napas panjang, duduk di sebelah Arum, tapi nggak berani ngeliat matanya. “Ini... Susan, adikku, mau nikah bulan depan.”
Arum seketika terasa seperti disambar petir, baru saja dia mencari banyak uang untuk kuliahnya Susan yang kuliah dan sekarang dengan gampangnya mengumumkan kalau dia ingin menikah? Jelas saja, Arum terkejut dan begitu kecewa.
"Nggak mungkin 'kan Mas!? Dia itu masih kuliah, gimana ceritanya dia minta nikah? Adek aja baru transfer biaya kuliahnya!"
"Iya, Susan yang meminta sendiri. Dia bahkan sudah bilang ke ibu dan ibu bilang ke aku. Terlebih, dia minta pestanya mewah," lanjut Bayu pelan.Langsung saja Arum ngerasa sudah tidak bisa menahan marah ia pun kembali bicara dengan ketus. “Pernikahan mewah? Baru aja kita nombokin biaya kuliahnya, sekarang mau nikah? Kuliahnya aja belom lulus, Mas! Kita ini punya keluarga sendiri, kok kamu malah mikirin nikahan adikmu saja,” nada Arum mulai bergetar nahan marah.
Bayu keliatan gugup, tangannya gemeteran, dia terlihat seperti tidak bisa membela dirinya.“Aku tahu, Dek, tapi Ibu sama Susan maksa. Katanya aku ini kakaknya, harus tanggung jawab. Aku nggak bisa nolak."
Arum berdiri, nggak percaya sama apa yang dia denger. "Nggak bisa nolak? Mas, kamu ini suami aku! Kita punya keluarga sendiri sekarang! Gimana bisa kamu terus-terusan nurutin mereka tanpa mikirin keadaan kita? Udah ngabisin duit buat kuliah Susan, eh sekarang mau bikin pesta mewah?"
Bayu coba berdiri, mau pegang tangan Arum, tapi dia langsung mundur. “Aku ngerti ini berat ta--,"
“Berat?” Arum memotong tajam. “Mas, ini bukan soal berat atau nggak! Ini soal prioritas! Rumah ini aja cicilannya belom lunas dan juga belum direnovasi! Aku susah payah nabung buat bayar kuliah Susan, sekarang kita disuruh keluarin duit lagi buat pestanya?" Suara Arum mulai tinggi, emosinya nggak bisa dibendung lagi.
Bayu berusaha tetep tenang. “Dek, tolong. Aku nggak bisa ngadepin ibu sama Susan. Mereka selalu bikin aku ngerasa bersalah," kata Bayu coba membela diri.
Arum ngangkat tangan, udah lelah sama jawaban Bayu yang itu-itu aja. “Jadi maunya gimana? Aku yang harus ngomong sama mereka? Kamu tahu mereka bakal ngeledekin aku. Mereka selalu nganggep aku ini istri miskin yang nggak pantes ngomong apa-apa!”
Bayu geleng-geleng kepala cepat. “Aku nggak mau mereka nyakitin kamu, tapi--,"
“Tapi apa, Mas?” Arum motong dengan nada tajam. “Kamu lebih takut nyakitin perasaan mereka daripada perasaanku?”
Bayu terdiam, nggak bisa jawab. Dalam hatinya, dia tahu Arum benar, tapi dia terlalu takut buat ngelawan Ibu dan Susan.
Arum yang sangat mencintai Bayu itu akhirnya memilih untuk mengalah. Cintanya sangat besar untuk laki-laki itu, hingga membuat amarahnya terus teredam demi cintanya.
"Yaudah, terserah Mas tapi aku harap ini adalah yang terakhir Mas ngikuti apa kata mereka," ancam Arum. Ia sudah benar lelah dengan apa yang di lakukan oleh adik iparnya itu. Padahal rumah mereka belum juga di renovasi itu lantaran Bayu selalu saja mengedapankan keinginan Susan.***
Bayu yang sedang duduk santai dengan secangkir kopi di tangannya, di ruang tamu. Dia bersama dengan wanita judes juga mulutnya yang julid. Keduanya sedang berbisik dan menjadikan Arum sebagai topik perjulidan mereka.
“Mas, denger-denger si Arum itu nggak setuju ya kalo aku bikin pesta mewah?” tanya Susan sambil senyum meledek. “Apa karena kalian nggak punya duit? Kasihan banget. Arum bener-bener nggak berguna banget jadi istri. Cuman nadah sama suami tanpa usaha, sekalipun usaha dia tuh nggak menghasilkan, guru honorer saja berapa sih gajianya? cuman buang-buang waktu aja tuh, biar diliat sok sibuk,” nyinyir Susan dengan matanya yang mengejek.
Arum yang sedang membawa suguhan untuk mereka mendengar pembicaraan itu, membuat hatinya memanas. Arum berusaha untuk sabar dengan perjulidan Susan tentangnya.
“Maaf, saya memang guru honorer. Saya tidak buang-buang waktu saya, saya adalah seorang guru yang dapat menentukan kehidupan anak-anak zaman sekarang untuk bisa menjaga mulut mereka biar tidak seperti kamu!” tahan Arum mengambil nafas sebelum melanjutkan. ”Kalau kamu bahas tentang penghasilan, memang penghasilan saya lebih rendah dari Mas Bayu. Tapi, saya akan buktikan kalau saya bukan hanya istri tidak berguna yang hanya nadah dari suami,” jelas Arum kembali menyinyir.
Arum menghela napas kasar.”Lagipula, ini bukan tentang duit. Ini tentang prioritas dan tanggung jawab.”Susan mendengus, mengejek.”Ah, ya-ya, ngomong aja terus. Memang istri kayak kamu ini ngerti apa tentang keluarga ini?!” balas Susan tidak mau kalah.
Arum menahan emosi. Dia berpikir melawan nyinyiran Susan, tidak ada gunannya. Dia memilih untuk tidak membalasnya dan kembali ke dapur untuk mencari pekerjaan lain yang bisa membuatnya sedikit lega melepaskan emosi yang terpendam. Tapi belum sempat Arum beranjak pergi ke dapur, ibu mertuanya itu datang dengan wajah penuh kesombongan dan tatapan matanya yang tajam
“Hei, menantu sialan! Apa yang kau katakan kepada anakku Bayu tentang pernikahan Susan!” teriak ibu mertuanya, bicara dengan keras.
“Maaf bu. Apa yang ibu maksud?” tanya Arum dengan nada merendah, meskipun hatinya sakit di tegur dengan kasar seperti itu.
“Aku bertanya padamu. Apa yang kau bicarakan tentang pernikahan putriku Susan! Kau memang menantu tidak berguna. Kau pikir, dengan sikapmu begitu kita mau merendah dan mengikuti permainanmu? Jangan harap!” ibu mertuanya itu kembali bicara kasar dan menuduh.
“Permainan?”
Ibu mertuanya melanjutkan. “Putriku Susan, dia punya impian. Dia ingin pernikahan mewah dan banyak tamu berdatangan yang sangat kagum dengan pernikahannya, memberikannya banyak sanjungan. Ah, aku mengerti! Kamu iri dengan pernikahan Susan.”
Ibu mertuanya itu menunjuk dengan jari telunjuknya, kasar ke arah Arum. “Menantu tidak berguna! Kau hanya tau menghancurkan impian orang lain, karena dirimu tidak pernah mendapat yang orang lain miliki. Kau harus banyak-banyak berdoa, agar tuhan tidak mengazabmu karena perasaan iri yang kau punya itu.”
“Astaghfirullah, Bu aku tidak begitu,” Arum membuka suara setelah lama bersabar disana.
Bayu yang sudah lama diam disana tanpa suara pun, kini ikut bicara." Tutup mulutmu, Arum!"“Arum, berhentilah bicara. Kamu tidak boleh bersikap kasar begitu pada ibu dan Susan.”
Pria lemah tidak memiliki pikiran seperti Bayu, hanya berani bicara singkat membela ibu dan saudarinya. Membuat istrinya tersudutkan dan seakan paling jahat disini.
Pagi yang masih buta di rumah sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hias yang layu dan suara burung berkicau, Arum terbangun dengan semangat pagi. Sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela, menerangi ruang tamu yang penuh dengan kenangan. Dia melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Berusaha mengusir rasa malas yang masih menggelayuti.“Akhirnya libur,” serunya ceria sambil mengusap matanya. “Aku bisa menjenguk ibuku. Semoga hari ini berjalan menyenangkan.” Arum mengenakan baju dan hijab yang sudah sedikit pudar dan celana panjang yang nyaman. Rencananya untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya membuatnya merasa bersyukur. Tapi, anehnya ada rasa cemas di dalam hati. Seakan-akan ada yang menghalangi kebahagiaanya hari ini.“Semoga tidak ada yang menganggu rencanaku,” gumamnya sambil merapihkan rambut di depan cermin.Tiba-tiba saja terdengar ketukan keras di pintu. Arum membuka pintu dengan bingung, raut wajah bingungnya itu langsung sirna saat melihat Riska, kakak iparn
Malam itu, menampilan Riska dengan wajah sombongnya memanggil kedua anaknya. Bahkan, dia tanpa permisi datang ke rumah Arum.“Dimana Riris dan Riko?” tanya Riska dengan wajah yang sombong.“Mbak Riska, kamu bisa sedikit sopan nggak, sih? Ini rumah orang.”“Halah! Penghuninya juga lagi nyantai. Buat apa aku harus salam dulu? Lagipula, ini rumah Bayu bukan rumahmu!” balas Riska dengan tatapan sinis.Dua anaknya yang masih mengantuk itu pun langsung datang mendekat.“Riris, Riko. Ayo, kalian harus segera pulang.”Mereka pun tersenyum mengucapkan terimakasih pada Arum yang membuat amarah Arum sedikit meredam sebelum Riska menarik tangan kedua anaknya.“Kalian gausah begitu. Ayo cepat, pulang!” ucap Riska menarik tangan dua anaknya.“Duh, ada-ada aja ya, Mas. Kok bisa-bisanya dia begitu. Bukannya beliin oleh-oleh sebagai tanda terimakasih karena anaknya udah ada yang mau tampung, tapi ini malah misuh-misuh dengan wajah sombong begitu.”“Yaudah, kamu sabar ya. Udah, istirahat sana, besok i
“Susan! Ayo, kita perlu bicara!”Susan menoleh, wajahnya berbinar. “Mas Bayu! Ada apa? Kamu mau tahu tentang rencana pernikahan aku sama Mas Beni?”“Iya, kita perlu membicarakan ini lebih serius. Jangan cuma anggap ini pesta. Kita harus pertimbangkan semuanya.”Susan mengernyitkan dahi, tetapi dia mengikuti Bayu ke dalam rumah. Arum mempersiapkan diri, merasa tegang.Arum bicara dalam hati, “Semoga mas Bayu bisa membuat Susan mengerti.”Bayu pun bicara, “Susan, aku ingin kamu dengarkan aku. Pernikahan itu bukan hanya soal pesta megah. Kita semua harus sadar tentang kondisi kita.” Susan mengeluh, “Tapi Mas,ini Cuma sekali seumur hidup. Semua orang ingin merayakan dengan cara yang istimewa.”“Aku tahu, tapi apakah kamu sudah berpikir tentang konsekuensinya? Kita punya tanggung jawab.”Susan mulai merendahkan suaranya. “Mas Bayu aku tahu kamu khawatir, tapi mas Beni akan menjamin semuanya. Dia pengusaha sukses! Kita nggak perlu khawatir soal uang dan semuanya akan di ganti sama Mas Beni
Pesta pernikahan Susan berlangsung meriah, tawa dan canda menggema di seantero rumah. Para tamu asyik berbincang di sekitar makanan melimpah, dan Susan sendiri tampak anggun di balik gaun pengantinnya yang berkilau. Namun, di tengah semua keriuhan itu, Arum merasa semakin tidak nyaman, seolah setiap langkahnya hanya membawa tatapan sinis dan cibiran dari keluarga suaminya.Arum meneguk segelas air putih sambil melirik Bayu yang sibuk berbincang dengan tamu-tamu dari keluarga besar. Bayu tersenyum lebar, tetapi Arum tahu di balik senyum itu, suaminya sedang menahan beban.“Mas,” bisik Arum pelan ke telinga Bayu. “Apakah kamu tidak merasa mereka melihatku aneh?”Bayu menggeleng. “Tidak, Arum. Mereka hanya tidak terbiasa.”“Tapi aku merasa seperti bahan tertawaan,” kata Arum, suara nyaris bergetar. “Buat apa aku bertahan di sini?”Tanpa banyak bicara, Arum mengambil tasnya dan beranjak keluar rumah. Langkahnya cepat, seolah ingin segera meninggalkan semua cemoohan yang terus menghantamn
Keesokan paginya Arum sudah siap untuk berangkat ke sekolah dan Bayu juga berangkat ke kantor. Namun baru saja Arum memakai kaos kaki di luar suara Riska memanggil setengah berteriak."Arum, Bayu! Buka pintunya saya mau mintak nasi dan lauk," katanya dari luar. "Mas, itu Mbak Riska, tolong kamu yang layani aku mau berangkat." "Tapi Rum, aku juga mau berangkat." "Ya terserah Maslah, pokoknya aku mau berangkat. Lagian aku heran sama Mbak Riska sudah tahu ini pagi bukannya masak sendiri malah mintak ke orang lain." "Mbak, mau apa? Kita mau berangkat kerja," ucap Arum dengan wajah malasnya namun masih sedikt bersahabat. "Saya mau mintak sarapan anak saya laper dan Mas Riko mau berangkat ke kantor." "Lah, kenapa mintak kesini Mbak. Memangnya Mbak masaknya di dapur sini?" "Eh, Rum. Kamu jangan kurang ajar ya, saya mintak baik-baik kamu malah nyolot adik ipar durhaka kamu memang ya." "Terserah Mbak, tapi maaf pagi ini aku tidak masak karena aku puasa sedang Mas Bayu hanya sarapan
"Kamu kenapa Mbak, kok wajahnya kecut begitu apa tidak dapat jatah semalam dari Mas Erik?" tegur Susan waktu pas-pasan di depan rumah, Susan hendak beli rokok Beli sedang Riska merenggut karena tidak dapat apa gang di cari di rumah Arumi. "Mbak itu lagi kessal sama itu kucel! masak Mbak cuma mintak nasi buat sarapan pagi saja bilangnya nggak masak dan sok lagi, pura-pura sibuk mau berangkat pagi kayak orang pentung saja padahal kan dia cuma guru honorer paling gajinya cuma habis buat beli bensin itupun tidak bakal cukup cuma buang waktu saja dan menghabiskan uanga Bayu," sungut Riska pada adiknya cerita panjang lebar dengan nada tak terima di perlakuan remeh oleh Arumi. "Masak sih Mbak? Mbak Arum begitu, biasanya Mbak Riska selama ini santai saja mau ambil makanan di rumah Mbak Arum dan setahu ku sih pagi-pagi Mbak Arum sudah masak." "Tapi buktinya nggak ada nuh," kessal Riska lalu menghentakkan kakinya berbaik meninggalkan Susan sang adik begitu saja. Susan yang merasa di ting
"Bay kenapa kamu sekarang berubah, Mbak curiga kamu otak kamu sudah di cuci sama Arumi kampungan itu. Lagian kalau di pikir-pikir kamu kenapa masih saja mau bertahan dengan dia, punya anak juga nggak?" ucap Riska di ruang tamu di rumah ibuk Ratna. "Iya Mas, tadi Mbak Riska bilang Mbak Arumi tidak mau berbagi makan lagi memang kenapa?" begitu suara Susan, ternyata soal sarapan tadi masih yang tidak Arumi bagi menjadi masalah hingga sampai malam harinya di obrolkan. "Bukannya tidak mau San, tapi memang Mbak mu tadi pagi nggak masak kan kalau hari senin dan kamis Mbak mua puasa," tutur Bayu menjelaskan. "Alah itu alasan saja Ben, bilang saja kalau sekarang istrimu itu mulai perhitungan. Dengar ya Ben, Arumi itu hanya istri bukan keluarga inti kita. Aku dan Susan adalah saudara kandung mu jadi masih lebih berhakan kita menikmati hasil jerih payahmu itu, bukan dia!" sungut Riska yang ternyata masih nyimpan dendam tidak terima karena gara-gara Arumi tidak mau kasih sarapan suaminya tad
Arumi yang baru saja selesai mandi mengerutkan dahi dan melirik ke arah pintu dimana ia mendengar suara teriakan dari luar. Sebenarnya suara itu Arumi tahu siapa pemiliknya hanya saja ia heran kenapa orang tersebut sepertinya tak ada bosennya mengganggu ketenangan batinnya padahal ini masih pagi, tidakkah ia buat berdzikir waktu sebaik ini. "Mas, itu Mbak Riska kenapa kamu diam saja Mbak mu teriak-teriak?" ujar Arum sambil menyisir rambutnya yang sehabis keramas ia baru saja selesai nyuci karna dan beres-beres. "Kamu sajalah dek, pasti Mbak Arum ke sini mau bahas soal kamu yang sudah tidak mau berbagi makanan lagi karena aku sudah memberitahunya tadi malam," balas Bayu frustasi, karena ia sendiri sedang bingung sama angsuran yang sudah terlanjur ia gadaikan BPKB mobilnya kemaren buat pesta pernikahan Susan, ternyata benar sekarang dia ia kebingungan sebab Bayu masih punya cicilan yang lain. "Memangnya kenapa, Mbak Riska marah, heran!" Arumi mengabaikan dan masih santai menata ra
"Hai Arumi! Memangnya kamu siapa sudah berani melawan kita, Bayu katakan sama istri miskin mu itu kalau sudah dia ralat ucapanya kalau tidak ibuk tidak segan akan mengusir dia dari sini," bentak Bu Ratna sambil menunjuk wajah Arumi kasar. Sedang Arumi berusaha tenang dan tidak ikut tersulit emosi lantaran ucapan mertuanya walau ia sangat sakit sekali berkali-kali di hina namun Arumi ingin lihat apakah suaminya Bayu menepati janjinya apa tidak kalau ia mulai sekarang akan melindungi dan menjaga harga dirinya di depan ibuk dan iparnya. "Bayu! Cepat kamu katakan sama istrimu itu, kalau dia sudah salah," geram Bu Ratna karna Bayu belum juga bertindak dan hanya diam saja membisu tidak reaksi apapun. Sekilas Bayu melirik ke arah Arumi yang nampak tenang dan sedikitpun tidak meminta Bayu untuk membelanya dan itu semakin buat Bayu takut karena sikap acuh dan tak perdulinya Arumi makin terlihat. "Kenapa kamu diam saja Bayu!" Bu Ratna semakin murka pada putranya karna ia terlihat hina didep
Arumi yang baru saja selesai mandi mengerutkan dahi dan melirik ke arah pintu dimana ia mendengar suara teriakan dari luar. Sebenarnya suara itu Arumi tahu siapa pemiliknya hanya saja ia heran kenapa orang tersebut sepertinya tak ada bosennya mengganggu ketenangan batinnya padahal ini masih pagi, tidakkah ia buat berdzikir waktu sebaik ini. "Mas, itu Mbak Riska kenapa kamu diam saja Mbak mu teriak-teriak?" ujar Arum sambil menyisir rambutnya yang sehabis keramas ia baru saja selesai nyuci karna dan beres-beres. "Kamu sajalah dek, pasti Mbak Arum ke sini mau bahas soal kamu yang sudah tidak mau berbagi makanan lagi karena aku sudah memberitahunya tadi malam," balas Bayu frustasi, karena ia sendiri sedang bingung sama angsuran yang sudah terlanjur ia gadaikan BPKB mobilnya kemaren buat pesta pernikahan Susan, ternyata benar sekarang dia ia kebingungan sebab Bayu masih punya cicilan yang lain. "Memangnya kenapa, Mbak Riska marah, heran!" Arumi mengabaikan dan masih santai menata ra
"Bay kenapa kamu sekarang berubah, Mbak curiga kamu otak kamu sudah di cuci sama Arumi kampungan itu. Lagian kalau di pikir-pikir kamu kenapa masih saja mau bertahan dengan dia, punya anak juga nggak?" ucap Riska di ruang tamu di rumah ibuk Ratna. "Iya Mas, tadi Mbak Riska bilang Mbak Arumi tidak mau berbagi makan lagi memang kenapa?" begitu suara Susan, ternyata soal sarapan tadi masih yang tidak Arumi bagi menjadi masalah hingga sampai malam harinya di obrolkan. "Bukannya tidak mau San, tapi memang Mbak mu tadi pagi nggak masak kan kalau hari senin dan kamis Mbak mua puasa," tutur Bayu menjelaskan. "Alah itu alasan saja Ben, bilang saja kalau sekarang istrimu itu mulai perhitungan. Dengar ya Ben, Arumi itu hanya istri bukan keluarga inti kita. Aku dan Susan adalah saudara kandung mu jadi masih lebih berhakan kita menikmati hasil jerih payahmu itu, bukan dia!" sungut Riska yang ternyata masih nyimpan dendam tidak terima karena gara-gara Arumi tidak mau kasih sarapan suaminya tad
"Kamu kenapa Mbak, kok wajahnya kecut begitu apa tidak dapat jatah semalam dari Mas Erik?" tegur Susan waktu pas-pasan di depan rumah, Susan hendak beli rokok Beli sedang Riska merenggut karena tidak dapat apa gang di cari di rumah Arumi. "Mbak itu lagi kessal sama itu kucel! masak Mbak cuma mintak nasi buat sarapan pagi saja bilangnya nggak masak dan sok lagi, pura-pura sibuk mau berangkat pagi kayak orang pentung saja padahal kan dia cuma guru honorer paling gajinya cuma habis buat beli bensin itupun tidak bakal cukup cuma buang waktu saja dan menghabiskan uanga Bayu," sungut Riska pada adiknya cerita panjang lebar dengan nada tak terima di perlakuan remeh oleh Arumi. "Masak sih Mbak? Mbak Arum begitu, biasanya Mbak Riska selama ini santai saja mau ambil makanan di rumah Mbak Arum dan setahu ku sih pagi-pagi Mbak Arum sudah masak." "Tapi buktinya nggak ada nuh," kessal Riska lalu menghentakkan kakinya berbaik meninggalkan Susan sang adik begitu saja. Susan yang merasa di ting
Keesokan paginya Arum sudah siap untuk berangkat ke sekolah dan Bayu juga berangkat ke kantor. Namun baru saja Arum memakai kaos kaki di luar suara Riska memanggil setengah berteriak."Arum, Bayu! Buka pintunya saya mau mintak nasi dan lauk," katanya dari luar. "Mas, itu Mbak Riska, tolong kamu yang layani aku mau berangkat." "Tapi Rum, aku juga mau berangkat." "Ya terserah Maslah, pokoknya aku mau berangkat. Lagian aku heran sama Mbak Riska sudah tahu ini pagi bukannya masak sendiri malah mintak ke orang lain." "Mbak, mau apa? Kita mau berangkat kerja," ucap Arum dengan wajah malasnya namun masih sedikt bersahabat. "Saya mau mintak sarapan anak saya laper dan Mas Riko mau berangkat ke kantor." "Lah, kenapa mintak kesini Mbak. Memangnya Mbak masaknya di dapur sini?" "Eh, Rum. Kamu jangan kurang ajar ya, saya mintak baik-baik kamu malah nyolot adik ipar durhaka kamu memang ya." "Terserah Mbak, tapi maaf pagi ini aku tidak masak karena aku puasa sedang Mas Bayu hanya sarapan
Pesta pernikahan Susan berlangsung meriah, tawa dan canda menggema di seantero rumah. Para tamu asyik berbincang di sekitar makanan melimpah, dan Susan sendiri tampak anggun di balik gaun pengantinnya yang berkilau. Namun, di tengah semua keriuhan itu, Arum merasa semakin tidak nyaman, seolah setiap langkahnya hanya membawa tatapan sinis dan cibiran dari keluarga suaminya.Arum meneguk segelas air putih sambil melirik Bayu yang sibuk berbincang dengan tamu-tamu dari keluarga besar. Bayu tersenyum lebar, tetapi Arum tahu di balik senyum itu, suaminya sedang menahan beban.“Mas,” bisik Arum pelan ke telinga Bayu. “Apakah kamu tidak merasa mereka melihatku aneh?”Bayu menggeleng. “Tidak, Arum. Mereka hanya tidak terbiasa.”“Tapi aku merasa seperti bahan tertawaan,” kata Arum, suara nyaris bergetar. “Buat apa aku bertahan di sini?”Tanpa banyak bicara, Arum mengambil tasnya dan beranjak keluar rumah. Langkahnya cepat, seolah ingin segera meninggalkan semua cemoohan yang terus menghantamn
“Susan! Ayo, kita perlu bicara!”Susan menoleh, wajahnya berbinar. “Mas Bayu! Ada apa? Kamu mau tahu tentang rencana pernikahan aku sama Mas Beni?”“Iya, kita perlu membicarakan ini lebih serius. Jangan cuma anggap ini pesta. Kita harus pertimbangkan semuanya.”Susan mengernyitkan dahi, tetapi dia mengikuti Bayu ke dalam rumah. Arum mempersiapkan diri, merasa tegang.Arum bicara dalam hati, “Semoga mas Bayu bisa membuat Susan mengerti.”Bayu pun bicara, “Susan, aku ingin kamu dengarkan aku. Pernikahan itu bukan hanya soal pesta megah. Kita semua harus sadar tentang kondisi kita.” Susan mengeluh, “Tapi Mas,ini Cuma sekali seumur hidup. Semua orang ingin merayakan dengan cara yang istimewa.”“Aku tahu, tapi apakah kamu sudah berpikir tentang konsekuensinya? Kita punya tanggung jawab.”Susan mulai merendahkan suaranya. “Mas Bayu aku tahu kamu khawatir, tapi mas Beni akan menjamin semuanya. Dia pengusaha sukses! Kita nggak perlu khawatir soal uang dan semuanya akan di ganti sama Mas Beni
Malam itu, menampilan Riska dengan wajah sombongnya memanggil kedua anaknya. Bahkan, dia tanpa permisi datang ke rumah Arum.“Dimana Riris dan Riko?” tanya Riska dengan wajah yang sombong.“Mbak Riska, kamu bisa sedikit sopan nggak, sih? Ini rumah orang.”“Halah! Penghuninya juga lagi nyantai. Buat apa aku harus salam dulu? Lagipula, ini rumah Bayu bukan rumahmu!” balas Riska dengan tatapan sinis.Dua anaknya yang masih mengantuk itu pun langsung datang mendekat.“Riris, Riko. Ayo, kalian harus segera pulang.”Mereka pun tersenyum mengucapkan terimakasih pada Arum yang membuat amarah Arum sedikit meredam sebelum Riska menarik tangan kedua anaknya.“Kalian gausah begitu. Ayo cepat, pulang!” ucap Riska menarik tangan dua anaknya.“Duh, ada-ada aja ya, Mas. Kok bisa-bisanya dia begitu. Bukannya beliin oleh-oleh sebagai tanda terimakasih karena anaknya udah ada yang mau tampung, tapi ini malah misuh-misuh dengan wajah sombong begitu.”“Yaudah, kamu sabar ya. Udah, istirahat sana, besok i
Pagi yang masih buta di rumah sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hias yang layu dan suara burung berkicau, Arum terbangun dengan semangat pagi. Sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela, menerangi ruang tamu yang penuh dengan kenangan. Dia melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Berusaha mengusir rasa malas yang masih menggelayuti.“Akhirnya libur,” serunya ceria sambil mengusap matanya. “Aku bisa menjenguk ibuku. Semoga hari ini berjalan menyenangkan.” Arum mengenakan baju dan hijab yang sudah sedikit pudar dan celana panjang yang nyaman. Rencananya untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya membuatnya merasa bersyukur. Tapi, anehnya ada rasa cemas di dalam hati. Seakan-akan ada yang menghalangi kebahagiaanya hari ini.“Semoga tidak ada yang menganggu rencanaku,” gumamnya sambil merapihkan rambut di depan cermin.Tiba-tiba saja terdengar ketukan keras di pintu. Arum membuka pintu dengan bingung, raut wajah bingungnya itu langsung sirna saat melihat Riska, kakak iparn