“Dimana Riris dan Riko?” tanya Riska dengan wajah yang sombong.
“Mbak Riska, kamu bisa sedikit sopan nggak, sih? Ini rumah orang.”
“Halah! Penghuninya juga lagi nyantai. Buat apa aku harus salam dulu? Lagipula, ini rumah Bayu bukan rumahmu!” balas Riska dengan tatapan sinis.
Dua anaknya yang masih mengantuk itu pun langsung datang mendekat.
“Riris, Riko. Ayo, kalian harus segera pulang.”
Mereka pun tersenyum mengucapkan terimakasih pada Arum yang membuat amarah Arum sedikit meredam sebelum Riska menarik tangan kedua anaknya.
“Kalian gausah begitu. Ayo cepat, pulang!” ucap Riska menarik tangan dua anaknya.
“Duh, ada-ada aja ya, Mas. Kok bisa-bisanya dia begitu. Bukannya beliin oleh-oleh sebagai tanda terimakasih karena anaknya udah ada yang mau tampung, tapi ini malah misuh-misuh dengan wajah sombong begitu.”
“Yaudah, kamu sabar ya. Udah, istirahat sana, besok ibuk dan Susan mau dateng kesini bahas pernikahannya Susan."
Namun Arum tak menyuat saat sang suami menyebut nama mereka.***
Di tengah suasana kampung yang ramai, Arum sedang duduk di ruang tamu sambil mengaduk kopinya. Dia mendengar suara nyaring dari luar. Ternyata, itu suara tetangga yang sedang bergosip tentang Susan, adik iparnya. Arum yang berada di dalam rumah pun mendekatkan telinganya dengan pintu agar terdengar apa yang mereka bicarakan.
“Eh, denger-denger Susan mau nikah sama cowok kaya, ya? Pesta megah katanya!” “Iya! Iya! Siapa sangka, Bayu bisa ngasih izin. Berani banget dia, padahal si Susan itu masih kuliah, loh.” Arum mengigit bibirnya, mendengar semua itu. Dia tahu betul, bahwa semua ini berawal dari ambisi Susan yang ingin menikah dengan pesta mewah. Arum merasa perutnya mual mendengar omongan itu. Dia menatap suaminya Bayu yang duduk disampingnya dengan tatapan kosong, seolah tidak mendengar gosip yang beredar. Susan menyahut pembicaraan ibu-ibu disana, “Nanti kalian lihat, ya! Beni itu sukses, pasti kita bisa ngadain pesta yang paling mewah di kampung ini," ucapnya penuh kesombongan. “Sukses? Apa kamu tahu darimana dia dapet uang? Coba, ngomong sama dia lagi.” “Bisa jadi itu uang dari papa mamanya Beni, ya? Sudah pasti, Beni belum tentu orang kaya.” Arum mengenggam gelas kopinya, merasa cemas. Dia tahu, Susan tidak peduli pada kenyataan, hanya ingin tampil glamor. Dia menatap Bayu dengan serius. “Mas, ini udah keterlaluan! Kita baru saja mulai berusaha untuk keluarga kita. Kenapa kamu mau berhutang hanya untuk pesta nikahannya Susan?” “Tapi, Sayang.. ini katanya terakhir kalinya Susan minta bantuan. Dia nggak akan mau nyusahin kita lagi setelah ini.” “Kamu nggak bisa terus-terusan mengorbankan kita! Ini rumah kita, bukan tempat bikin pesta! Nanti kalau dia terus minta, apa kita mau terus terjebak?” Bayu menunduk bingung. Dia ingin berbuat baik, tapi dia juga tahu apa yang Arum katakan adalah kebenaran. “Tapi, Susan adik aku! Aku pengen dia bahagia. Dia juga sudah bilang, ini terakhir kalinya meminta sama Mas, Sayang.” Arum merasa frustrasi, “Dan kita yang harus menanggung beban itu? Ini gila, Mas! Apa kamu lupa, kita masih punya cicilan dan kebutuhan rumah tangga?” kesal Arum “A-ku, aku cuman mau membantu dia, sayang. Kamu tahu sendiri, dia udah menderita karena hubungan yang sebelumnya.” Arum mengehela napas dalam-dalam, “Aku tahu, Mas. Tapi itu bukan alasan untuk kita menggadaikan masa depan kita. Kita harus mikir jangka panjang.” Tiba-tiba Bayu mengeluarkan ide gilanya. “Aku mau menggadaikan BPKB mobil, yang. Dengan itu, kita bisa kasih dia uang buat pesta!”Arum terkejut, jantungnya berdegup kencang. Dia teringat semua pengorbanan yang telah mereka lakukan untuk membeli mobil tersebut.
“Mas! Apa kamu nggak berpikir? Mobil itu penting untuk kita! Tanpa mobil, bagaimana kita bisa pergi kerja?”
“Tapi, ini penting buat Susan, sayang. Dia pasti bahagia lahi pula selama kita mampu bayar setiap bulannya aman saja,"
“Mas, ini bukan tentang Susan! Ini tentang kita! Kamu mau mobil kita jadi jaminan hanya untuk pesta dia?” kesal Arum
Di luar, Susan berlari-lari ceria menceritakan ke semua orang tentang calon suaminya yang kaya.
“Beni itu pengusaha sukses, loh! Nanti setelah nikah, kita pasti akan bahagia! Dia janjikan aku mobil baru dan rumah!”
Arum merasa muak dan marah mendengar itu. Dia mendekati Bayu lagi.
“Mas, kita harus bicara serius. Susan belum tahu pasti siapa Beni, kita jangan sampai terjebak sama janji-janji manis dia yang nggak jelas.”
Bayu menghela napas panjang, bingung dengan situasi yang semakin rumit. Dia ingin bahgaia, tapi tekanan dari keluarga dan harapan Susan membuatnya sulit untuk ambil keputusan.
“Aku.. aku akan memikirkannya lagi.”
“Kamu harus cepat memutuskannya, Mas. Kita nggak bisa terus begini.”
Beberapa saat kemudian, suara Susan terdengar lagi dari luar.
Susan berteriak, “Mas Bayu! Mbak Arum! Kalian harus datang ke pernikahanku! Ini bakal jadi pesta paling besar di kampung!”
Ibu – ibu disana melanjutkan gossip mereka. “Pasti! Siapa yang nggak mau datang ke pesta megah? Jangan sampai kamu ngasih tahu semua orang bahwa kita semua juga terlibat, ya!”
Bayu mengigit bibirnya. Dia merasa tertekan oleh situasi ini. Arum melihat ekspresi suaminya dan tahu bahwa Bayu tidak berdaya.
“Mas, kita nggak bisa membiarkan ini berlanjut. Jika kamu terus-terusan seperti ini, kita akan kehilangan lebih dari sekedar uang. Kita akan kehilangan diri kita sendiri.”
Bayu frustrasi, “Sayang, kamu tidak mengerti. Aku cuman mau melihat Susan bahagia. Dia sudah terlalu banyak berkorban.”
“Tapi kebahagiaan bukan berarti mengorbankan masa depan kita. Dia perlu belajar bahwa tidak semua bisa digapai dengan mudah.”
Keduanya terdiam sejenak. Di luar, Susan tampak berseangat membicarakan persiapan pernikahan dengan ibu-ibu kampung.
“Ayo, kita bikin undangan paling mewah. Jangan lupa kita harus cari vendor terbaik."
“Kalau begitu, baju pengantinnya harus yang paling mahal! Nanti semua orang pasti iri.”
Arum merasa kesal. Dia tidak ingin menjadi bagian dari semua ini. Bayu terlihat semakin bingung.
“Mas, tolong ingat semua pengorbanan yang kita lakukan. Kita tidak bisa menggadaikan kebahagiaan kita demi pesta yang seharusnya tidak penting.”
Bayu mengangguk pelan, “Iya, aku tahu, sayang. Tapi aku.. aku juga ingin jadi kakak yang baik buat Susan.”
“Menjadi kakak yang baik tidak harus mengorbankan semuanya, Mas. Susan harus belajar untuk bertanggung jawab. Kita juga harus menjaga keluarga kecil kita.”
Bayu terdiam. Dia tahu Arum benar, tapi hatinya terus berperang antara tanggung jawab kepada adik dan keluarganya sendiri.
“Mungkin, aku harus bicara sama Susan. Dia perlu tahu apa yang kita hadapi.”
Arum mengangguk setuju. “Ya bicaralah dengan dia. Dia harus mengerti bahwa hidup tidak semudah itu. Kita harus bisa hidup dengan bijak.”
Di luar, Susan masih bicara dengan semangat kepada ibu-ibu kampung.
“Kalian nggak usah khawatir. Aku sudah bicara sama Mas Beni, dan dia siap untuk semua biaya. Kita cuma perlu merencanakan yang terbaik!”
“Bagus, bagus. Nanti kalau udah kaya, jangan lupa bantu kita, ya!”
Arum menahan marahnya. Dia tidak suka mendengar semua itu. Bayu berdiri dan berjalan menuju pintu, bertekad untuk berbicara dengan Susan.
“Susan! Ayo, kita perlu bicara!”Susan menoleh, wajahnya berbinar. “Mas Bayu! Ada apa? Kamu mau tahu tentang rencana pernikahan aku sama Mas Beni?”“Iya, kita perlu membicarakan ini lebih serius. Jangan cuma anggap ini pesta. Kita harus pertimbangkan semuanya.”Susan mengernyitkan dahi, tetapi dia mengikuti Bayu ke dalam rumah. Arum mempersiapkan diri, merasa tegang.Arum bicara dalam hati, “Semoga mas Bayu bisa membuat Susan mengerti.”Bayu pun bicara, “Susan, aku ingin kamu dengarkan aku. Pernikahan itu bukan hanya soal pesta megah. Kita semua harus sadar tentang kondisi kita.” Susan mengeluh, “Tapi Mas,ini Cuma sekali seumur hidup. Semua orang ingin merayakan dengan cara yang istimewa.”“Aku tahu, tapi apakah kamu sudah berpikir tentang konsekuensinya? Kita punya tanggung jawab.”Susan mulai merendahkan suaranya. “Mas Bayu aku tahu kamu khawatir, tapi mas Beni akan menjamin semuanya. Dia pengusaha sukses! Kita nggak perlu khawatir soal uang dan semuanya akan di ganti sama Mas Beni
Pesta pernikahan Susan berlangsung meriah, tawa dan canda menggema di seantero rumah. Para tamu asyik berbincang di sekitar makanan melimpah, dan Susan sendiri tampak anggun di balik gaun pengantinnya yang berkilau. Namun, di tengah semua keriuhan itu, Arum merasa semakin tidak nyaman, seolah setiap langkahnya hanya membawa tatapan sinis dan cibiran dari keluarga suaminya.Arum meneguk segelas air putih sambil melirik Bayu yang sibuk berbincang dengan tamu-tamu dari keluarga besar. Bayu tersenyum lebar, tetapi Arum tahu di balik senyum itu, suaminya sedang menahan beban.“Mas,” bisik Arum pelan ke telinga Bayu. “Apakah kamu tidak merasa mereka melihatku aneh?”Bayu menggeleng. “Tidak, Arum. Mereka hanya tidak terbiasa.”“Tapi aku merasa seperti bahan tertawaan,” kata Arum, suara nyaris bergetar. “Buat apa aku bertahan di sini?”Tanpa banyak bicara, Arum mengambil tasnya dan beranjak keluar rumah. Langkahnya cepat, seolah ingin segera meninggalkan semua cemoohan yang terus menghantamn
Keesokan paginya Arum sudah siap untuk berangkat ke sekolah dan Bayu juga berangkat ke kantor. Namun baru saja Arum memakai kaos kaki di luar suara Riska memanggil setengah berteriak."Arum, Bayu! Buka pintunya saya mau mintak nasi dan lauk," katanya dari luar. "Mas, itu Mbak Riska, tolong kamu yang layani aku mau berangkat." "Tapi Rum, aku juga mau berangkat." "Ya terserah Maslah, pokoknya aku mau berangkat. Lagian aku heran sama Mbak Riska sudah tahu ini pagi bukannya masak sendiri malah mintak ke orang lain." "Mbak, mau apa? Kita mau berangkat kerja," ucap Arum dengan wajah malasnya namun masih sedikt bersahabat. "Saya mau mintak sarapan anak saya laper dan Mas Riko mau berangkat ke kantor." "Lah, kenapa mintak kesini Mbak. Memangnya Mbak masaknya di dapur sini?" "Eh, Rum. Kamu jangan kurang ajar ya, saya mintak baik-baik kamu malah nyolot adik ipar durhaka kamu memang ya." "Terserah Mbak, tapi maaf pagi ini aku tidak masak karena aku puasa sedang Mas Bayu hanya sarapan
"Kamu kenapa Mbak, kok wajahnya kecut begitu apa tidak dapat jatah semalam dari Mas Erik?" tegur Susan waktu pas-pasan di depan rumah, Susan hendak beli rokok Beli sedang Riska merenggut karena tidak dapat apa gang di cari di rumah Arumi. "Mbak itu lagi kessal sama itu kucel! masak Mbak cuma mintak nasi buat sarapan pagi saja bilangnya nggak masak dan sok lagi, pura-pura sibuk mau berangkat pagi kayak orang pentung saja padahal kan dia cuma guru honorer paling gajinya cuma habis buat beli bensin itupun tidak bakal cukup cuma buang waktu saja dan menghabiskan uanga Bayu," sungut Riska pada adiknya cerita panjang lebar dengan nada tak terima di perlakuan remeh oleh Arumi. "Masak sih Mbak? Mbak Arum begitu, biasanya Mbak Riska selama ini santai saja mau ambil makanan di rumah Mbak Arum dan setahu ku sih pagi-pagi Mbak Arum sudah masak." "Tapi buktinya nggak ada nuh," kessal Riska lalu menghentakkan kakinya berbaik meninggalkan Susan sang adik begitu saja. Susan yang merasa di ting
"Bay kenapa kamu sekarang berubah, Mbak curiga kamu otak kamu sudah di cuci sama Arumi kampungan itu. Lagian kalau di pikir-pikir kamu kenapa masih saja mau bertahan dengan dia, punya anak juga nggak?" ucap Riska di ruang tamu di rumah ibuk Ratna. "Iya Mas, tadi Mbak Riska bilang Mbak Arumi tidak mau berbagi makan lagi memang kenapa?" begitu suara Susan, ternyata soal sarapan tadi masih yang tidak Arumi bagi menjadi masalah hingga sampai malam harinya di obrolkan. "Bukannya tidak mau San, tapi memang Mbak mu tadi pagi nggak masak kan kalau hari senin dan kamis Mbak mua puasa," tutur Bayu menjelaskan. "Alah itu alasan saja Ben, bilang saja kalau sekarang istrimu itu mulai perhitungan. Dengar ya Ben, Arumi itu hanya istri bukan keluarga inti kita. Aku dan Susan adalah saudara kandung mu jadi masih lebih berhakan kita menikmati hasil jerih payahmu itu, bukan dia!" sungut Riska yang ternyata masih nyimpan dendam tidak terima karena gara-gara Arumi tidak mau kasih sarapan suaminya tad
Arumi yang baru saja selesai mandi mengerutkan dahi dan melirik ke arah pintu dimana ia mendengar suara teriakan dari luar. Sebenarnya suara itu Arumi tahu siapa pemiliknya hanya saja ia heran kenapa orang tersebut sepertinya tak ada bosennya mengganggu ketenangan batinnya padahal ini masih pagi, tidakkah ia buat berdzikir waktu sebaik ini. "Mas, itu Mbak Riska kenapa kamu diam saja Mbak mu teriak-teriak?" ujar Arum sambil menyisir rambutnya yang sehabis keramas ia baru saja selesai nyuci karna dan beres-beres. "Kamu sajalah dek, pasti Mbak Arum ke sini mau bahas soal kamu yang sudah tidak mau berbagi makanan lagi karena aku sudah memberitahunya tadi malam," balas Bayu frustasi, karena ia sendiri sedang bingung sama angsuran yang sudah terlanjur ia gadaikan BPKB mobilnya kemaren buat pesta pernikahan Susan, ternyata benar sekarang dia ia kebingungan sebab Bayu masih punya cicilan yang lain. "Memangnya kenapa, Mbak Riska marah, heran!" Arumi mengabaikan dan masih santai menata ra
"Hai Arumi! Memangnya kamu siapa sudah berani melawan kita, Bayu katakan sama istri miskin mu itu kalau sudah dia ralat ucapanya kalau tidak ibuk tidak segan akan mengusir dia dari sini," bentak Bu Ratna sambil menunjuk wajah Arumi kasar. Sedang Arumi berusaha tenang dan tidak ikut tersulit emosi lantaran ucapan mertuanya walau ia sangat sakit sekali berkali-kali di hina namun Arumi ingin lihat apakah suaminya Bayu menepati janjinya apa tidak kalau ia mulai sekarang akan melindungi dan menjaga harga dirinya di depan ibuk dan iparnya. "Bayu! Cepat kamu katakan sama istrimu itu, kalau dia sudah salah," geram Bu Ratna karna Bayu belum juga bertindak dan hanya diam saja membisu tidak reaksi apapun. Sekilas Bayu melirik ke arah Arumi yang nampak tenang dan sedikitpun tidak meminta Bayu untuk membelanya dan itu semakin buat Bayu takut karena sikap acuh dan tak perdulinya Arumi makin terlihat. "Kenapa kamu diam saja Bayu!" Bu Ratna semakin murka pada putranya karna ia terlihat hina didep
Bab 1"Mas Bayu katanya mau bilang sesuatu sama aku. Ada masalah apalagi sekarang?"Arum lagi duduk di ruang tamu rumah kecil mereka, kepikiran soal semua pengorbanan yang udah dia lakuin buat keluarga Bayu. Baru aja kemarin dia sama Bayu nombokin uang kuliah Susan, tapi sekarang malah muncul masalah lain.Bayu masuk ke ruang tamu dengan wajah cemas. "Dek, aku mau ngomong sesuatu," kata Bayu pelan, Bayu memanggil adek sebagai panggilan sayang pada istrinya. Bayu sepertinya sedang mencari-cari kata yang tepat biar nggak nyakitin hati istrinya.Arum langsung ngangkat alis, curiga. “Apaan lagi, Mas? Ada masalah apa lagi sekarang?”Bayu narik napas panjang, duduk di sebelah Arum, tapi nggak berani ngeliat matanya. “Ini... Susan, adikku, mau nikah bulan depan.”Arum seketika terasa seperti disambar petir, baru saja dia mencari banyak uang untuk kuliahnya Susan yang kuliah dan sekarang dengan gampangnya mengumumkan kalau dia ingin menikah? Jelas saja, Arum terkejut dan begitu kecewa.
"Hai Arumi! Memangnya kamu siapa sudah berani melawan kita, Bayu katakan sama istri miskin mu itu kalau sudah dia ralat ucapanya kalau tidak ibuk tidak segan akan mengusir dia dari sini," bentak Bu Ratna sambil menunjuk wajah Arumi kasar. Sedang Arumi berusaha tenang dan tidak ikut tersulit emosi lantaran ucapan mertuanya walau ia sangat sakit sekali berkali-kali di hina namun Arumi ingin lihat apakah suaminya Bayu menepati janjinya apa tidak kalau ia mulai sekarang akan melindungi dan menjaga harga dirinya di depan ibuk dan iparnya. "Bayu! Cepat kamu katakan sama istrimu itu, kalau dia sudah salah," geram Bu Ratna karna Bayu belum juga bertindak dan hanya diam saja membisu tidak reaksi apapun. Sekilas Bayu melirik ke arah Arumi yang nampak tenang dan sedikitpun tidak meminta Bayu untuk membelanya dan itu semakin buat Bayu takut karena sikap acuh dan tak perdulinya Arumi makin terlihat. "Kenapa kamu diam saja Bayu!" Bu Ratna semakin murka pada putranya karna ia terlihat hina didep
Arumi yang baru saja selesai mandi mengerutkan dahi dan melirik ke arah pintu dimana ia mendengar suara teriakan dari luar. Sebenarnya suara itu Arumi tahu siapa pemiliknya hanya saja ia heran kenapa orang tersebut sepertinya tak ada bosennya mengganggu ketenangan batinnya padahal ini masih pagi, tidakkah ia buat berdzikir waktu sebaik ini. "Mas, itu Mbak Riska kenapa kamu diam saja Mbak mu teriak-teriak?" ujar Arum sambil menyisir rambutnya yang sehabis keramas ia baru saja selesai nyuci karna dan beres-beres. "Kamu sajalah dek, pasti Mbak Arum ke sini mau bahas soal kamu yang sudah tidak mau berbagi makanan lagi karena aku sudah memberitahunya tadi malam," balas Bayu frustasi, karena ia sendiri sedang bingung sama angsuran yang sudah terlanjur ia gadaikan BPKB mobilnya kemaren buat pesta pernikahan Susan, ternyata benar sekarang dia ia kebingungan sebab Bayu masih punya cicilan yang lain. "Memangnya kenapa, Mbak Riska marah, heran!" Arumi mengabaikan dan masih santai menata ra
"Bay kenapa kamu sekarang berubah, Mbak curiga kamu otak kamu sudah di cuci sama Arumi kampungan itu. Lagian kalau di pikir-pikir kamu kenapa masih saja mau bertahan dengan dia, punya anak juga nggak?" ucap Riska di ruang tamu di rumah ibuk Ratna. "Iya Mas, tadi Mbak Riska bilang Mbak Arumi tidak mau berbagi makan lagi memang kenapa?" begitu suara Susan, ternyata soal sarapan tadi masih yang tidak Arumi bagi menjadi masalah hingga sampai malam harinya di obrolkan. "Bukannya tidak mau San, tapi memang Mbak mu tadi pagi nggak masak kan kalau hari senin dan kamis Mbak mua puasa," tutur Bayu menjelaskan. "Alah itu alasan saja Ben, bilang saja kalau sekarang istrimu itu mulai perhitungan. Dengar ya Ben, Arumi itu hanya istri bukan keluarga inti kita. Aku dan Susan adalah saudara kandung mu jadi masih lebih berhakan kita menikmati hasil jerih payahmu itu, bukan dia!" sungut Riska yang ternyata masih nyimpan dendam tidak terima karena gara-gara Arumi tidak mau kasih sarapan suaminya tad
"Kamu kenapa Mbak, kok wajahnya kecut begitu apa tidak dapat jatah semalam dari Mas Erik?" tegur Susan waktu pas-pasan di depan rumah, Susan hendak beli rokok Beli sedang Riska merenggut karena tidak dapat apa gang di cari di rumah Arumi. "Mbak itu lagi kessal sama itu kucel! masak Mbak cuma mintak nasi buat sarapan pagi saja bilangnya nggak masak dan sok lagi, pura-pura sibuk mau berangkat pagi kayak orang pentung saja padahal kan dia cuma guru honorer paling gajinya cuma habis buat beli bensin itupun tidak bakal cukup cuma buang waktu saja dan menghabiskan uanga Bayu," sungut Riska pada adiknya cerita panjang lebar dengan nada tak terima di perlakuan remeh oleh Arumi. "Masak sih Mbak? Mbak Arum begitu, biasanya Mbak Riska selama ini santai saja mau ambil makanan di rumah Mbak Arum dan setahu ku sih pagi-pagi Mbak Arum sudah masak." "Tapi buktinya nggak ada nuh," kessal Riska lalu menghentakkan kakinya berbaik meninggalkan Susan sang adik begitu saja. Susan yang merasa di ting
Keesokan paginya Arum sudah siap untuk berangkat ke sekolah dan Bayu juga berangkat ke kantor. Namun baru saja Arum memakai kaos kaki di luar suara Riska memanggil setengah berteriak."Arum, Bayu! Buka pintunya saya mau mintak nasi dan lauk," katanya dari luar. "Mas, itu Mbak Riska, tolong kamu yang layani aku mau berangkat." "Tapi Rum, aku juga mau berangkat." "Ya terserah Maslah, pokoknya aku mau berangkat. Lagian aku heran sama Mbak Riska sudah tahu ini pagi bukannya masak sendiri malah mintak ke orang lain." "Mbak, mau apa? Kita mau berangkat kerja," ucap Arum dengan wajah malasnya namun masih sedikt bersahabat. "Saya mau mintak sarapan anak saya laper dan Mas Riko mau berangkat ke kantor." "Lah, kenapa mintak kesini Mbak. Memangnya Mbak masaknya di dapur sini?" "Eh, Rum. Kamu jangan kurang ajar ya, saya mintak baik-baik kamu malah nyolot adik ipar durhaka kamu memang ya." "Terserah Mbak, tapi maaf pagi ini aku tidak masak karena aku puasa sedang Mas Bayu hanya sarapan
Pesta pernikahan Susan berlangsung meriah, tawa dan canda menggema di seantero rumah. Para tamu asyik berbincang di sekitar makanan melimpah, dan Susan sendiri tampak anggun di balik gaun pengantinnya yang berkilau. Namun, di tengah semua keriuhan itu, Arum merasa semakin tidak nyaman, seolah setiap langkahnya hanya membawa tatapan sinis dan cibiran dari keluarga suaminya.Arum meneguk segelas air putih sambil melirik Bayu yang sibuk berbincang dengan tamu-tamu dari keluarga besar. Bayu tersenyum lebar, tetapi Arum tahu di balik senyum itu, suaminya sedang menahan beban.“Mas,” bisik Arum pelan ke telinga Bayu. “Apakah kamu tidak merasa mereka melihatku aneh?”Bayu menggeleng. “Tidak, Arum. Mereka hanya tidak terbiasa.”“Tapi aku merasa seperti bahan tertawaan,” kata Arum, suara nyaris bergetar. “Buat apa aku bertahan di sini?”Tanpa banyak bicara, Arum mengambil tasnya dan beranjak keluar rumah. Langkahnya cepat, seolah ingin segera meninggalkan semua cemoohan yang terus menghantamn
“Susan! Ayo, kita perlu bicara!”Susan menoleh, wajahnya berbinar. “Mas Bayu! Ada apa? Kamu mau tahu tentang rencana pernikahan aku sama Mas Beni?”“Iya, kita perlu membicarakan ini lebih serius. Jangan cuma anggap ini pesta. Kita harus pertimbangkan semuanya.”Susan mengernyitkan dahi, tetapi dia mengikuti Bayu ke dalam rumah. Arum mempersiapkan diri, merasa tegang.Arum bicara dalam hati, “Semoga mas Bayu bisa membuat Susan mengerti.”Bayu pun bicara, “Susan, aku ingin kamu dengarkan aku. Pernikahan itu bukan hanya soal pesta megah. Kita semua harus sadar tentang kondisi kita.” Susan mengeluh, “Tapi Mas,ini Cuma sekali seumur hidup. Semua orang ingin merayakan dengan cara yang istimewa.”“Aku tahu, tapi apakah kamu sudah berpikir tentang konsekuensinya? Kita punya tanggung jawab.”Susan mulai merendahkan suaranya. “Mas Bayu aku tahu kamu khawatir, tapi mas Beni akan menjamin semuanya. Dia pengusaha sukses! Kita nggak perlu khawatir soal uang dan semuanya akan di ganti sama Mas Beni
Malam itu, menampilan Riska dengan wajah sombongnya memanggil kedua anaknya. Bahkan, dia tanpa permisi datang ke rumah Arum.“Dimana Riris dan Riko?” tanya Riska dengan wajah yang sombong.“Mbak Riska, kamu bisa sedikit sopan nggak, sih? Ini rumah orang.”“Halah! Penghuninya juga lagi nyantai. Buat apa aku harus salam dulu? Lagipula, ini rumah Bayu bukan rumahmu!” balas Riska dengan tatapan sinis.Dua anaknya yang masih mengantuk itu pun langsung datang mendekat.“Riris, Riko. Ayo, kalian harus segera pulang.”Mereka pun tersenyum mengucapkan terimakasih pada Arum yang membuat amarah Arum sedikit meredam sebelum Riska menarik tangan kedua anaknya.“Kalian gausah begitu. Ayo cepat, pulang!” ucap Riska menarik tangan dua anaknya.“Duh, ada-ada aja ya, Mas. Kok bisa-bisanya dia begitu. Bukannya beliin oleh-oleh sebagai tanda terimakasih karena anaknya udah ada yang mau tampung, tapi ini malah misuh-misuh dengan wajah sombong begitu.”“Yaudah, kamu sabar ya. Udah, istirahat sana, besok i
Pagi yang masih buta di rumah sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hias yang layu dan suara burung berkicau, Arum terbangun dengan semangat pagi. Sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela, menerangi ruang tamu yang penuh dengan kenangan. Dia melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Berusaha mengusir rasa malas yang masih menggelayuti.“Akhirnya libur,” serunya ceria sambil mengusap matanya. “Aku bisa menjenguk ibuku. Semoga hari ini berjalan menyenangkan.” Arum mengenakan baju dan hijab yang sudah sedikit pudar dan celana panjang yang nyaman. Rencananya untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya membuatnya merasa bersyukur. Tapi, anehnya ada rasa cemas di dalam hati. Seakan-akan ada yang menghalangi kebahagiaanya hari ini.“Semoga tidak ada yang menganggu rencanaku,” gumamnya sambil merapihkan rambut di depan cermin.Tiba-tiba saja terdengar ketukan keras di pintu. Arum membuka pintu dengan bingung, raut wajah bingungnya itu langsung sirna saat melihat Riska, kakak iparn