Share

Bab 3

Malam itu, menampilan Riska dengan wajah sombongnya memanggil kedua anaknya. Bahkan, dia tanpa permisi datang ke rumah Arum.

“Dimana Riris dan Riko?” tanya Riska dengan wajah yang sombong.

“Mbak Riska, kamu bisa sedikit sopan nggak, sih? Ini rumah orang.”

“Halah! Penghuninya juga lagi nyantai. Buat apa aku harus salam dulu? Lagipula, ini rumah Bayu bukan rumahmu!” balas Riska dengan tatapan sinis.

Dua anaknya yang masih mengantuk itu pun langsung datang mendekat.

“Riris, Riko. Ayo, kalian harus segera pulang.”

Mereka pun tersenyum mengucapkan terimakasih pada Arum yang membuat amarah Arum sedikit meredam sebelum Riska menarik tangan kedua anaknya.

“Kalian gausah begitu. Ayo cepat, pulang!” ucap Riska menarik tangan dua anaknya.

“Duh, ada-ada aja ya, Mas. Kok bisa-bisanya dia begitu. Bukannya beliin oleh-oleh sebagai tanda terimakasih karena anaknya udah ada yang mau tampung, tapi ini malah misuh-misuh dengan wajah sombong begitu.”

“Yaudah, kamu sabar ya. Udah, istirahat sana,  besok ibuk dan Susan mau dateng kesini bahas pernikahannya Susan."

Namun Arum tak menyuat saat sang suami menyebut nama mereka. 

***

Di tengah suasana kampung yang ramai, Arum sedang duduk di ruang tamu sambil mengaduk kopinya. Dia mendengar suara nyaring dari luar. Ternyata, itu suara tetangga yang sedang bergosip tentang Susan, adik iparnya. Arum yang berada di dalam rumah pun mendekatkan telinganya dengan pintu agar terdengar apa yang mereka bicarakan. 

“Eh, denger-denger Susan mau nikah sama cowok kaya, ya? Pesta megah katanya!”

“Iya! Iya! Siapa sangka, Bayu bisa ngasih izin. Berani banget dia, padahal si Susan itu masih kuliah, loh.”

Arum mengigit bibirnya, mendengar semua itu. Dia tahu betul, bahwa semua ini berawal dari ambisi Susan yang ingin menikah dengan pesta mewah. Arum merasa perutnya mual mendengar omongan itu. Dia menatap suaminya Bayu yang duduk disampingnya dengan tatapan kosong, seolah tidak mendengar gosip yang beredar.

Susan menyahut pembicaraan ibu-ibu disana, “Nanti kalian lihat, ya! Beni itu sukses, pasti kita bisa ngadain pesta yang paling mewah di kampung ini," ucapnya penuh kesombongan. 

“Sukses? Apa kamu tahu darimana dia dapet uang? Coba, ngomong sama dia lagi.”

“Bisa jadi itu uang dari papa mamanya Beni, ya? Sudah pasti, Beni belum tentu orang kaya.”

Arum mengenggam gelas kopinya, merasa cemas. Dia tahu, Susan tidak peduli pada kenyataan, hanya ingin tampil glamor. Dia menatap Bayu dengan serius. 

“Mas, ini udah keterlaluan! Kita baru saja mulai berusaha untuk keluarga kita. Kenapa kamu mau berhutang hanya untuk pesta nikahannya Susan?”

“Tapi, Sayang.. ini katanya terakhir kalinya Susan minta bantuan. Dia nggak akan mau nyusahin kita lagi setelah ini.”

“Kamu nggak bisa terus-terusan mengorbankan kita! Ini rumah kita, bukan tempat bikin pesta! Nanti kalau dia terus minta, apa kita mau terus terjebak?”

Bayu menunduk bingung. Dia ingin berbuat baik, tapi dia juga tahu apa yang Arum katakan adalah kebenaran.

“Tapi, Susan adik aku!  Aku pengen dia bahagia. Dia juga sudah bilang, ini terakhir kalinya meminta sama Mas, Sayang.”

Arum merasa frustrasi, “Dan kita yang harus menanggung beban itu? Ini gila, Mas! Apa kamu lupa, kita masih punya cicilan dan kebutuhan rumah tangga?” kesal Arum 

“A-ku,  aku cuman mau membantu dia, sayang. Kamu tahu sendiri, dia udah menderita karena hubungan yang sebelumnya.”

Arum mengehela napas dalam-dalam, “Aku tahu, Mas. Tapi itu bukan alasan untuk kita menggadaikan masa depan kita. Kita harus mikir jangka panjang.”

Tiba-tiba Bayu mengeluarkan ide gilanya. “Aku mau menggadaikan BPKB mobil, yang. Dengan itu, kita bisa kasih dia uang buat pesta!”

Arum terkejut, jantungnya berdegup kencang. Dia teringat semua pengorbanan yang telah mereka lakukan untuk membeli mobil tersebut.

“Mas! Apa kamu nggak berpikir? Mobil itu penting untuk kita! Tanpa mobil, bagaimana kita bisa pergi kerja?”

“Tapi, ini penting buat Susan, sayang. Dia pasti bahagia lahi pula selama kita mampu bayar setiap bulannya aman saja,"

“Mas, ini bukan tentang Susan! Ini tentang kita! Kamu mau mobil kita jadi jaminan hanya untuk pesta dia?” kesal Arum 

Di luar, Susan berlari-lari ceria menceritakan ke semua orang tentang calon suaminya yang kaya.

“Beni itu pengusaha sukses, loh! Nanti setelah nikah, kita pasti akan bahagia! Dia janjikan aku mobil baru dan rumah!”

Arum merasa muak dan marah mendengar itu. Dia mendekati Bayu lagi.

“Mas, kita harus bicara serius. Susan belum tahu pasti siapa Beni, kita jangan sampai terjebak sama janji-janji manis dia yang nggak jelas.”

Bayu menghela napas panjang, bingung dengan situasi yang semakin rumit. Dia ingin bahgaia, tapi tekanan dari keluarga dan harapan Susan membuatnya sulit untuk ambil keputusan. 

“Aku.. aku akan memikirkannya lagi.”

“Kamu harus cepat memutuskannya, Mas. Kita nggak bisa terus begini.”

Beberapa saat kemudian, suara Susan terdengar lagi dari luar. 

Susan berteriak, “Mas Bayu! Mbak Arum! Kalian harus datang ke pernikahanku! Ini bakal jadi pesta paling besar di kampung!”

Ibu – ibu disana melanjutkan gossip mereka. “Pasti! Siapa yang nggak mau datang ke pesta megah? Jangan sampai kamu ngasih tahu semua orang bahwa kita semua juga terlibat, ya!”

Bayu mengigit bibirnya. Dia merasa tertekan oleh situasi ini. Arum melihat ekspresi suaminya dan tahu bahwa Bayu tidak berdaya. 

“Mas, kita nggak bisa membiarkan ini berlanjut. Jika kamu terus-terusan seperti ini, kita akan kehilangan lebih dari sekedar uang. Kita akan kehilangan diri kita sendiri.”

Bayu frustrasi, “Sayang, kamu tidak mengerti. Aku cuman mau melihat Susan bahagia. Dia sudah terlalu banyak berkorban.”

“Tapi kebahagiaan bukan berarti mengorbankan masa depan kita. Dia perlu belajar bahwa tidak semua bisa digapai dengan mudah.”

Keduanya terdiam sejenak. Di luar, Susan tampak berseangat membicarakan persiapan pernikahan dengan ibu-ibu kampung.

“Ayo, kita bikin undangan paling mewah. Jangan lupa kita harus cari vendor terbaik."

“Kalau begitu, baju pengantinnya harus yang paling mahal! Nanti semua orang pasti iri.”

Arum merasa kesal. Dia tidak ingin menjadi bagian dari semua ini. Bayu terlihat semakin bingung.

“Mas, tolong ingat semua pengorbanan yang kita lakukan. Kita tidak bisa menggadaikan kebahagiaan kita demi pesta yang seharusnya tidak penting.”

Bayu mengangguk pelan, “Iya, aku tahu, sayang. Tapi aku.. aku juga ingin jadi kakak yang baik buat Susan.”

“Menjadi kakak yang baik tidak harus mengorbankan semuanya, Mas. Susan harus belajar untuk bertanggung jawab. Kita juga harus menjaga keluarga kecil kita.”

Bayu terdiam. Dia tahu Arum benar, tapi hatinya terus berperang antara tanggung jawab kepada adik dan keluarganya sendiri.

“Mungkin, aku harus bicara sama Susan. Dia perlu tahu apa yang kita hadapi.”

Arum mengangguk setuju. “Ya bicaralah dengan dia. Dia harus mengerti bahwa hidup tidak semudah itu. Kita harus bisa hidup dengan bijak.”

Di luar, Susan masih bicara dengan semangat kepada ibu-ibu kampung.

“Kalian nggak usah khawatir. Aku sudah bicara sama Mas Beni, dan dia siap untuk semua biaya. Kita cuma perlu merencanakan yang terbaik!”

“Bagus, bagus. Nanti kalau udah kaya, jangan lupa bantu kita, ya!”

Arum menahan marahnya. Dia tidak suka mendengar semua itu. Bayu berdiri dan berjalan menuju pintu, bertekad untuk berbicara dengan Susan. 

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status