Pesta pernikahan Susan berlangsung meriah, tawa dan canda menggema di seantero rumah. Para tamu asyik berbincang di sekitar makanan melimpah, dan Susan sendiri tampak anggun di balik gaun pengantinnya yang berkilau. Namun, di tengah semua keriuhan itu, Arum merasa semakin tidak nyaman, seolah setiap langkahnya hanya membawa tatapan sinis dan cibiran dari keluarga suaminya.
Arum meneguk segelas air putih sambil melirik Bayu yang sibuk berbincang dengan tamu-tamu dari keluarga besar. Bayu tersenyum lebar, tetapi Arum tahu di balik senyum itu, suaminya sedang menahan beban.
“Mas,” bisik Arum pelan ke telinga Bayu.
“Apakah kamu tidak merasa mereka melihatku aneh?”Bayu menggeleng. “Tidak, Arum. Mereka hanya tidak terbiasa.”
“Tapi aku merasa seperti bahan tertawaan,” kata Arum, suara nyaris bergetar. “Buat apa aku bertahan di sini?”
Tanpa banyak bicara, Arum mengambil tasnya dan beranjak keluar rumah. Langkahnya cepat, seolah ingin segera meninggalkan semua cemoohan yang terus menghantamnya sejak hari pernikahan ini dimulai.
“Arum, tunggu!” teriak Bayu, panik. “Kamu tidak bisa pergi!”
Dia berhenti sejenak, menatap suaminya. “Aku harus pergi, Mas. Mereka tidak menghargai aku.”
“Jangan pergi seperti ini! Ini hari bahagia untuk Susan!” Bayu mendekat, matanya penuh khawatir.
“Bukan bahagia untukku!” Arum menjawab tajam. “Aku sudah cukup! Biarkan aku pergi.”
Di perjalanan pulang, pikiran Arum penuh dengan berbagai rencana. Satu hal yang pasti, dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang keluarga suaminya.
“Aku harus fokus,” Arum berbicara pada dirinya sendiri. “Pendaftaran CPNS segera dibuka. Setidaknya, kalau aku berhasil, aku bisa hidup mandiri.”
Setibanya di rumah, Arum menghela napas panjang. Suara keramaian pesta masih terdengar samar-samar dari kejauhan, namun dia merasa jauh lebih tenang berada di rumah sendirian. Tanpa ragu, dia membuka laptop dan mulai mencari informasi tentang pendaftaran CPNS yang akan datang.
Di rumah besar keluarga Bayu, suasana pernikahan Susan masih menyisakan kebahagiaan. Namun, di balik itu, Riska, kakak ipar Bayu, tidak bisa berhenti membicarakan tentang Arum.
“Bu, Arum itu kelihatan makin aneh aja,” bisik Riska kepada ibunya. “Dia pulang duluan waktu pesta. Apa dia tidak suka dengan pernikahan ini?”
Ibu mertuanya tertawa sinis. “Ya, wajar lah. Arum kan tidak punya apa-apa dibanding Susan.”
“Kasihan Bayu,” Riska menambahkan dengan nada ejekan. “Dia harus tanggung semua itu, sementara Arum tidak ada pergerakannya.”
Anak-anak Riska, Riko dan Riris, ikut mendengarkan percakapan itu. Riko dengan polos berkata, “Tante Arum, kan memang gitu… Dia wanita yang punya hati dengki.”
“Dia tidak bisa masak, lho!” Riris menambah sambil tertawa. “Kemarin aja, makanan Tante Arum gak enak banget!”
Riska hanya mengiyakan, “Benar sekali. Dia bahkan nggak bisa kasih Bayu anak sampai sekarang. Kalau kayak gitu terus, apa gunanya dia jadi istri?”
Di dalam hati Arum, rasa lelah menghadapi semua tekanan ini semakin kuat. Dia sadar bahwa satu-satunya cara untuk bisa mandiri dan tidak terus dihina adalah dengan memiliki karir yang stabil. Oleh karena itu, fokus utamanya sekarang adalah pendaftaran CPNS yang sebentar lagi dibuka.
“Aku harus berhasil,” Arum berbicara kepada diri sendiri. “Aku tidak mau hidup terus seperti ini.”
Setiap malam, Arum belajar dengan tekun. Dia membaca soal-soal, belajar materi yang diperlukan, dan memastikan bahwa dia siap menghadapi tes nanti. Bayu sering melihatnya, dan kadang-kadang mereka berbicara tentang masa depan.
“Arum, kamu serius banget belajarnya,” Bayu mencoba memecah keheningan. “Tapi kita masih punya masalah lain. Kenapa kamu tidak mau ngobrol tentang ini?”
Arum tanpa menoleh menjawabnya, “Masalah apa lagi, Mas? Kamu yang harus menyelesaikan itu.”
“Arum, aku bingung,” Bayu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
“Mas, aku tidak mau jadi istri yang cuma bergantung padamu,” Arum berkata tegas. “Aku harus punya hidupku sendiri.”
“Bagaimana kalau kita diskusikan ini bersama? Aku bisa membantu, atau setidaknya kita bisa merencanakan bersama,” Bayu menawarkan.
“Rencanakan apa, Mas? Kita sudah berkali-kali berdebat soal ini. Aku lelah,” Arum berkata, suaranya semakin meninggi.
“Mungkin ada cara lain,” Bayu mencoba menjelaskan. “Kita bisa cari pinjaman atau bantuan dari keluarga.”
“Tapi kamu kan tahu bagaimana mereka memperlakukanku,” Arum berargumen. “Mereka hanya akan menghina dan merendahkanku. Aku tidak mau menghadapi itu lagi.”
“Arum, kamu tidak perlu merasa sendirian,” Bayu berusaha menenangkan. “Aku ada di sini untukmu.”
“Dan aku bersyukur untuk itu, Mas. Tapi kita tidak bisa terus mengandalkan keluarga. Kita harus berjuang sendiri,” jawab Arum mantap.
Bayu terdiam, seolah kata-kata Arum mulai merasuk ke dalam pikirannya. “Kamu benar,” katanya pelan. “Tapi bagaimana jika mereka tahu kita sedang kesulitan? Mereka pasti akan menganggap kita gagal.”
“Biarkan saja mereka berpikir apa,” Arum menjawab, matanya berbinar penuh semangat. “Yang penting kita berjuang demi kebahagiaan kita sendiri.”
Di malam yang sama, Arum melanjutkan belajar, dan Bayu berusaha menenangkannya dengan membuatkan segelas teh hangat. “Ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan cangkir.
“Terima kasih, Mas,” jawab Arum sambil tersenyum. “Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik.”
“Aku hanya ingin kamu bahagia,” Bayu mengatakan dengan tulus. “Dan jika ada yang bisa aku bantu, silakan katakan saja.”
Arum mengangguk. “Aku akan berusaha lebih keras. Aku tidak ingin mengecewakanmu atau diriku sendiri.”
Dua hari setelah pernikahan Susan, Arum kembali ke rutinitasnya di rumah. Bayu, di sisi lain, tampak gelisah. Dia duduk di ruang tamu, memegang ponselnya sambil menatap kosong ke layar.
“Mas?” Arum memanggil, melihat suaminya termenung. “Kamu kenapa?”
Bayu menghela napas panjang. “Uang dari pesta sudah hampir habis. Aku bingung bagaimana bayar angsuran mobil.”
Arum duduk di sampingnya. “Aku sudah menduga ini akan terjadi. Kenapa kamu tidak berbicara lebih dulu? Kita bisa cari solusinya bersama.”
“Mereka berharap banyak dariku,” Bayu menjawab dengan nada putus asa. “Aku tidak mau mengecewakan keluarga.”
“Dan kita?” Arum bertanya tegas. “Kapan kita jadi prioritas?”
Bayu terdiam, matanya menunduk. “Aku hanya ingin mereka bangga padaku.”
“Mas, mereka tidak akan pernah puas,” Arum mengingatkan. “Setiap langkahmu akan terus dihakimi. Kita harus mulai berpikir untuk diri sendiri.”
“Arum, aku tidak bisa meninggalkan keluargaku. Mereka adalah bagian dari hidupku,” Bayu berkata dengan kesedihan. “Aku terjebak antara kewajiban dan cinta.”
“Cinta tidak seharusnya membuatmu merasa tertekan,” Arum berargumen. “Cinta seharusnya membuatmu bahagia, bukan mengorbankan kebahagiaanmu sendiri.”
Bayu terdiam, menggigit bibirnya, merasakan beban yang semakin berat. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
“Mulai dari diri sendiri, Mas,” Arum menjawab lembut namun tegas. “Kita harus berjuang bersama, bukan saling menyalahkan.”
“Jadi, apa rencanamu setelah pendaftaran CPNS?” Bayu bertanya, berusaha beralih ke topik yang lebih positif.
“Aku berharap bisa lulus dan mendapatkan pekerjaan yang baik,” Arum menjawab. “Aku ingin membantu kita dari segi finansial.”
“Apakah kamu sudah mempersiapkan semuanya?” Bayu menatapnya dengan serius. “Jangan ragu untuk bertanya jika kamu butuh bantuan.”
“Terima kasih, Mas. Aku akan melakukannya sendiri, tetapi aku menghargai tawaranmu,” kata Arum sambil tersenyum.
“Kalau ada yang bisa aku bantu, jangan sungkan untuk bilang. Aku akan selalu ada untukmu,” Bayu menambahkan, merasa lebih optimis.
Keesokan paginya Arum sudah siap untuk berangkat ke sekolah dan Bayu juga berangkat ke kantor. Namun baru saja Arum memakai kaos kaki di luar suara Riska memanggil setengah berteriak."Arum, Bayu! Buka pintunya saya mau mintak nasi dan lauk," katanya dari luar. "Mas, itu Mbak Riska, tolong kamu yang layani aku mau berangkat." "Tapi Rum, aku juga mau berangkat." "Ya terserah Maslah, pokoknya aku mau berangkat. Lagian aku heran sama Mbak Riska sudah tahu ini pagi bukannya masak sendiri malah mintak ke orang lain." "Mbak, mau apa? Kita mau berangkat kerja," ucap Arum dengan wajah malasnya namun masih sedikt bersahabat. "Saya mau mintak sarapan anak saya laper dan Mas Riko mau berangkat ke kantor." "Lah, kenapa mintak kesini Mbak. Memangnya Mbak masaknya di dapur sini?" "Eh, Rum. Kamu jangan kurang ajar ya, saya mintak baik-baik kamu malah nyolot adik ipar durhaka kamu memang ya." "Terserah Mbak, tapi maaf pagi ini aku tidak masak karena aku puasa sedang Mas Bayu hanya sarapan
"Kamu kenapa Mbak, kok wajahnya kecut begitu apa tidak dapat jatah semalam dari Mas Erik?" tegur Susan waktu pas-pasan di depan rumah, Susan hendak beli rokok Beli sedang Riska merenggut karena tidak dapat apa gang di cari di rumah Arumi. "Mbak itu lagi kessal sama itu kucel! masak Mbak cuma mintak nasi buat sarapan pagi saja bilangnya nggak masak dan sok lagi, pura-pura sibuk mau berangkat pagi kayak orang pentung saja padahal kan dia cuma guru honorer paling gajinya cuma habis buat beli bensin itupun tidak bakal cukup cuma buang waktu saja dan menghabiskan uanga Bayu," sungut Riska pada adiknya cerita panjang lebar dengan nada tak terima di perlakuan remeh oleh Arumi. "Masak sih Mbak? Mbak Arum begitu, biasanya Mbak Riska selama ini santai saja mau ambil makanan di rumah Mbak Arum dan setahu ku sih pagi-pagi Mbak Arum sudah masak." "Tapi buktinya nggak ada nuh," kessal Riska lalu menghentakkan kakinya berbaik meninggalkan Susan sang adik begitu saja. Susan yang merasa di ting
"Bay kenapa kamu sekarang berubah, Mbak curiga kamu otak kamu sudah di cuci sama Arumi kampungan itu. Lagian kalau di pikir-pikir kamu kenapa masih saja mau bertahan dengan dia, punya anak juga nggak?" ucap Riska di ruang tamu di rumah ibuk Ratna. "Iya Mas, tadi Mbak Riska bilang Mbak Arumi tidak mau berbagi makan lagi memang kenapa?" begitu suara Susan, ternyata soal sarapan tadi masih yang tidak Arumi bagi menjadi masalah hingga sampai malam harinya di obrolkan. "Bukannya tidak mau San, tapi memang Mbak mu tadi pagi nggak masak kan kalau hari senin dan kamis Mbak mua puasa," tutur Bayu menjelaskan. "Alah itu alasan saja Ben, bilang saja kalau sekarang istrimu itu mulai perhitungan. Dengar ya Ben, Arumi itu hanya istri bukan keluarga inti kita. Aku dan Susan adalah saudara kandung mu jadi masih lebih berhakan kita menikmati hasil jerih payahmu itu, bukan dia!" sungut Riska yang ternyata masih nyimpan dendam tidak terima karena gara-gara Arumi tidak mau kasih sarapan suaminya tad
Arumi yang baru saja selesai mandi mengerutkan dahi dan melirik ke arah pintu dimana ia mendengar suara teriakan dari luar. Sebenarnya suara itu Arumi tahu siapa pemiliknya hanya saja ia heran kenapa orang tersebut sepertinya tak ada bosennya mengganggu ketenangan batinnya padahal ini masih pagi, tidakkah ia buat berdzikir waktu sebaik ini. "Mas, itu Mbak Riska kenapa kamu diam saja Mbak mu teriak-teriak?" ujar Arum sambil menyisir rambutnya yang sehabis keramas ia baru saja selesai nyuci karna dan beres-beres. "Kamu sajalah dek, pasti Mbak Arum ke sini mau bahas soal kamu yang sudah tidak mau berbagi makanan lagi karena aku sudah memberitahunya tadi malam," balas Bayu frustasi, karena ia sendiri sedang bingung sama angsuran yang sudah terlanjur ia gadaikan BPKB mobilnya kemaren buat pesta pernikahan Susan, ternyata benar sekarang dia ia kebingungan sebab Bayu masih punya cicilan yang lain. "Memangnya kenapa, Mbak Riska marah, heran!" Arumi mengabaikan dan masih santai menata ra
"Hai Arumi! Memangnya kamu siapa sudah berani melawan kita, Bayu katakan sama istri miskin mu itu kalau sudah dia ralat ucapanya kalau tidak ibuk tidak segan akan mengusir dia dari sini," bentak Bu Ratna sambil menunjuk wajah Arumi kasar. Sedang Arumi berusaha tenang dan tidak ikut tersulit emosi lantaran ucapan mertuanya walau ia sangat sakit sekali berkali-kali di hina namun Arumi ingin lihat apakah suaminya Bayu menepati janjinya apa tidak kalau ia mulai sekarang akan melindungi dan menjaga harga dirinya di depan ibuk dan iparnya. "Bayu! Cepat kamu katakan sama istrimu itu, kalau dia sudah salah," geram Bu Ratna karna Bayu belum juga bertindak dan hanya diam saja membisu tidak reaksi apapun. Sekilas Bayu melirik ke arah Arumi yang nampak tenang dan sedikitpun tidak meminta Bayu untuk membelanya dan itu semakin buat Bayu takut karena sikap acuh dan tak perdulinya Arumi makin terlihat. "Kenapa kamu diam saja Bayu!" Bu Ratna semakin murka pada putranya karna ia terlihat hina didep
Bab 1"Mas Bayu katanya mau bilang sesuatu sama aku. Ada masalah apalagi sekarang?"Arum lagi duduk di ruang tamu rumah kecil mereka, kepikiran soal semua pengorbanan yang udah dia lakuin buat keluarga Bayu. Baru aja kemarin dia sama Bayu nombokin uang kuliah Susan, tapi sekarang malah muncul masalah lain.Bayu masuk ke ruang tamu dengan wajah cemas. "Dek, aku mau ngomong sesuatu," kata Bayu pelan, Bayu memanggil adek sebagai panggilan sayang pada istrinya. Bayu sepertinya sedang mencari-cari kata yang tepat biar nggak nyakitin hati istrinya.Arum langsung ngangkat alis, curiga. “Apaan lagi, Mas? Ada masalah apa lagi sekarang?”Bayu narik napas panjang, duduk di sebelah Arum, tapi nggak berani ngeliat matanya. “Ini... Susan, adikku, mau nikah bulan depan.”Arum seketika terasa seperti disambar petir, baru saja dia mencari banyak uang untuk kuliahnya Susan yang kuliah dan sekarang dengan gampangnya mengumumkan kalau dia ingin menikah? Jelas saja, Arum terkejut dan begitu kecewa.
Pagi yang masih buta di rumah sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hias yang layu dan suara burung berkicau, Arum terbangun dengan semangat pagi. Sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela, menerangi ruang tamu yang penuh dengan kenangan. Dia melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Berusaha mengusir rasa malas yang masih menggelayuti.“Akhirnya libur,” serunya ceria sambil mengusap matanya. “Aku bisa menjenguk ibuku. Semoga hari ini berjalan menyenangkan.” Arum mengenakan baju dan hijab yang sudah sedikit pudar dan celana panjang yang nyaman. Rencananya untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya membuatnya merasa bersyukur. Tapi, anehnya ada rasa cemas di dalam hati. Seakan-akan ada yang menghalangi kebahagiaanya hari ini.“Semoga tidak ada yang menganggu rencanaku,” gumamnya sambil merapihkan rambut di depan cermin.Tiba-tiba saja terdengar ketukan keras di pintu. Arum membuka pintu dengan bingung, raut wajah bingungnya itu langsung sirna saat melihat Riska, kakak iparn
Malam itu, menampilan Riska dengan wajah sombongnya memanggil kedua anaknya. Bahkan, dia tanpa permisi datang ke rumah Arum.“Dimana Riris dan Riko?” tanya Riska dengan wajah yang sombong.“Mbak Riska, kamu bisa sedikit sopan nggak, sih? Ini rumah orang.”“Halah! Penghuninya juga lagi nyantai. Buat apa aku harus salam dulu? Lagipula, ini rumah Bayu bukan rumahmu!” balas Riska dengan tatapan sinis.Dua anaknya yang masih mengantuk itu pun langsung datang mendekat.“Riris, Riko. Ayo, kalian harus segera pulang.”Mereka pun tersenyum mengucapkan terimakasih pada Arum yang membuat amarah Arum sedikit meredam sebelum Riska menarik tangan kedua anaknya.“Kalian gausah begitu. Ayo cepat, pulang!” ucap Riska menarik tangan dua anaknya.“Duh, ada-ada aja ya, Mas. Kok bisa-bisanya dia begitu. Bukannya beliin oleh-oleh sebagai tanda terimakasih karena anaknya udah ada yang mau tampung, tapi ini malah misuh-misuh dengan wajah sombong begitu.”“Yaudah, kamu sabar ya. Udah, istirahat sana, besok i
"Hai Arumi! Memangnya kamu siapa sudah berani melawan kita, Bayu katakan sama istri miskin mu itu kalau sudah dia ralat ucapanya kalau tidak ibuk tidak segan akan mengusir dia dari sini," bentak Bu Ratna sambil menunjuk wajah Arumi kasar. Sedang Arumi berusaha tenang dan tidak ikut tersulit emosi lantaran ucapan mertuanya walau ia sangat sakit sekali berkali-kali di hina namun Arumi ingin lihat apakah suaminya Bayu menepati janjinya apa tidak kalau ia mulai sekarang akan melindungi dan menjaga harga dirinya di depan ibuk dan iparnya. "Bayu! Cepat kamu katakan sama istrimu itu, kalau dia sudah salah," geram Bu Ratna karna Bayu belum juga bertindak dan hanya diam saja membisu tidak reaksi apapun. Sekilas Bayu melirik ke arah Arumi yang nampak tenang dan sedikitpun tidak meminta Bayu untuk membelanya dan itu semakin buat Bayu takut karena sikap acuh dan tak perdulinya Arumi makin terlihat. "Kenapa kamu diam saja Bayu!" Bu Ratna semakin murka pada putranya karna ia terlihat hina didep
Arumi yang baru saja selesai mandi mengerutkan dahi dan melirik ke arah pintu dimana ia mendengar suara teriakan dari luar. Sebenarnya suara itu Arumi tahu siapa pemiliknya hanya saja ia heran kenapa orang tersebut sepertinya tak ada bosennya mengganggu ketenangan batinnya padahal ini masih pagi, tidakkah ia buat berdzikir waktu sebaik ini. "Mas, itu Mbak Riska kenapa kamu diam saja Mbak mu teriak-teriak?" ujar Arum sambil menyisir rambutnya yang sehabis keramas ia baru saja selesai nyuci karna dan beres-beres. "Kamu sajalah dek, pasti Mbak Arum ke sini mau bahas soal kamu yang sudah tidak mau berbagi makanan lagi karena aku sudah memberitahunya tadi malam," balas Bayu frustasi, karena ia sendiri sedang bingung sama angsuran yang sudah terlanjur ia gadaikan BPKB mobilnya kemaren buat pesta pernikahan Susan, ternyata benar sekarang dia ia kebingungan sebab Bayu masih punya cicilan yang lain. "Memangnya kenapa, Mbak Riska marah, heran!" Arumi mengabaikan dan masih santai menata ra
"Bay kenapa kamu sekarang berubah, Mbak curiga kamu otak kamu sudah di cuci sama Arumi kampungan itu. Lagian kalau di pikir-pikir kamu kenapa masih saja mau bertahan dengan dia, punya anak juga nggak?" ucap Riska di ruang tamu di rumah ibuk Ratna. "Iya Mas, tadi Mbak Riska bilang Mbak Arumi tidak mau berbagi makan lagi memang kenapa?" begitu suara Susan, ternyata soal sarapan tadi masih yang tidak Arumi bagi menjadi masalah hingga sampai malam harinya di obrolkan. "Bukannya tidak mau San, tapi memang Mbak mu tadi pagi nggak masak kan kalau hari senin dan kamis Mbak mua puasa," tutur Bayu menjelaskan. "Alah itu alasan saja Ben, bilang saja kalau sekarang istrimu itu mulai perhitungan. Dengar ya Ben, Arumi itu hanya istri bukan keluarga inti kita. Aku dan Susan adalah saudara kandung mu jadi masih lebih berhakan kita menikmati hasil jerih payahmu itu, bukan dia!" sungut Riska yang ternyata masih nyimpan dendam tidak terima karena gara-gara Arumi tidak mau kasih sarapan suaminya tad
"Kamu kenapa Mbak, kok wajahnya kecut begitu apa tidak dapat jatah semalam dari Mas Erik?" tegur Susan waktu pas-pasan di depan rumah, Susan hendak beli rokok Beli sedang Riska merenggut karena tidak dapat apa gang di cari di rumah Arumi. "Mbak itu lagi kessal sama itu kucel! masak Mbak cuma mintak nasi buat sarapan pagi saja bilangnya nggak masak dan sok lagi, pura-pura sibuk mau berangkat pagi kayak orang pentung saja padahal kan dia cuma guru honorer paling gajinya cuma habis buat beli bensin itupun tidak bakal cukup cuma buang waktu saja dan menghabiskan uanga Bayu," sungut Riska pada adiknya cerita panjang lebar dengan nada tak terima di perlakuan remeh oleh Arumi. "Masak sih Mbak? Mbak Arum begitu, biasanya Mbak Riska selama ini santai saja mau ambil makanan di rumah Mbak Arum dan setahu ku sih pagi-pagi Mbak Arum sudah masak." "Tapi buktinya nggak ada nuh," kessal Riska lalu menghentakkan kakinya berbaik meninggalkan Susan sang adik begitu saja. Susan yang merasa di ting
Keesokan paginya Arum sudah siap untuk berangkat ke sekolah dan Bayu juga berangkat ke kantor. Namun baru saja Arum memakai kaos kaki di luar suara Riska memanggil setengah berteriak."Arum, Bayu! Buka pintunya saya mau mintak nasi dan lauk," katanya dari luar. "Mas, itu Mbak Riska, tolong kamu yang layani aku mau berangkat." "Tapi Rum, aku juga mau berangkat." "Ya terserah Maslah, pokoknya aku mau berangkat. Lagian aku heran sama Mbak Riska sudah tahu ini pagi bukannya masak sendiri malah mintak ke orang lain." "Mbak, mau apa? Kita mau berangkat kerja," ucap Arum dengan wajah malasnya namun masih sedikt bersahabat. "Saya mau mintak sarapan anak saya laper dan Mas Riko mau berangkat ke kantor." "Lah, kenapa mintak kesini Mbak. Memangnya Mbak masaknya di dapur sini?" "Eh, Rum. Kamu jangan kurang ajar ya, saya mintak baik-baik kamu malah nyolot adik ipar durhaka kamu memang ya." "Terserah Mbak, tapi maaf pagi ini aku tidak masak karena aku puasa sedang Mas Bayu hanya sarapan
Pesta pernikahan Susan berlangsung meriah, tawa dan canda menggema di seantero rumah. Para tamu asyik berbincang di sekitar makanan melimpah, dan Susan sendiri tampak anggun di balik gaun pengantinnya yang berkilau. Namun, di tengah semua keriuhan itu, Arum merasa semakin tidak nyaman, seolah setiap langkahnya hanya membawa tatapan sinis dan cibiran dari keluarga suaminya.Arum meneguk segelas air putih sambil melirik Bayu yang sibuk berbincang dengan tamu-tamu dari keluarga besar. Bayu tersenyum lebar, tetapi Arum tahu di balik senyum itu, suaminya sedang menahan beban.“Mas,” bisik Arum pelan ke telinga Bayu. “Apakah kamu tidak merasa mereka melihatku aneh?”Bayu menggeleng. “Tidak, Arum. Mereka hanya tidak terbiasa.”“Tapi aku merasa seperti bahan tertawaan,” kata Arum, suara nyaris bergetar. “Buat apa aku bertahan di sini?”Tanpa banyak bicara, Arum mengambil tasnya dan beranjak keluar rumah. Langkahnya cepat, seolah ingin segera meninggalkan semua cemoohan yang terus menghantamn
“Susan! Ayo, kita perlu bicara!”Susan menoleh, wajahnya berbinar. “Mas Bayu! Ada apa? Kamu mau tahu tentang rencana pernikahan aku sama Mas Beni?”“Iya, kita perlu membicarakan ini lebih serius. Jangan cuma anggap ini pesta. Kita harus pertimbangkan semuanya.”Susan mengernyitkan dahi, tetapi dia mengikuti Bayu ke dalam rumah. Arum mempersiapkan diri, merasa tegang.Arum bicara dalam hati, “Semoga mas Bayu bisa membuat Susan mengerti.”Bayu pun bicara, “Susan, aku ingin kamu dengarkan aku. Pernikahan itu bukan hanya soal pesta megah. Kita semua harus sadar tentang kondisi kita.” Susan mengeluh, “Tapi Mas,ini Cuma sekali seumur hidup. Semua orang ingin merayakan dengan cara yang istimewa.”“Aku tahu, tapi apakah kamu sudah berpikir tentang konsekuensinya? Kita punya tanggung jawab.”Susan mulai merendahkan suaranya. “Mas Bayu aku tahu kamu khawatir, tapi mas Beni akan menjamin semuanya. Dia pengusaha sukses! Kita nggak perlu khawatir soal uang dan semuanya akan di ganti sama Mas Beni
Malam itu, menampilan Riska dengan wajah sombongnya memanggil kedua anaknya. Bahkan, dia tanpa permisi datang ke rumah Arum.“Dimana Riris dan Riko?” tanya Riska dengan wajah yang sombong.“Mbak Riska, kamu bisa sedikit sopan nggak, sih? Ini rumah orang.”“Halah! Penghuninya juga lagi nyantai. Buat apa aku harus salam dulu? Lagipula, ini rumah Bayu bukan rumahmu!” balas Riska dengan tatapan sinis.Dua anaknya yang masih mengantuk itu pun langsung datang mendekat.“Riris, Riko. Ayo, kalian harus segera pulang.”Mereka pun tersenyum mengucapkan terimakasih pada Arum yang membuat amarah Arum sedikit meredam sebelum Riska menarik tangan kedua anaknya.“Kalian gausah begitu. Ayo cepat, pulang!” ucap Riska menarik tangan dua anaknya.“Duh, ada-ada aja ya, Mas. Kok bisa-bisanya dia begitu. Bukannya beliin oleh-oleh sebagai tanda terimakasih karena anaknya udah ada yang mau tampung, tapi ini malah misuh-misuh dengan wajah sombong begitu.”“Yaudah, kamu sabar ya. Udah, istirahat sana, besok i
Pagi yang masih buta di rumah sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hias yang layu dan suara burung berkicau, Arum terbangun dengan semangat pagi. Sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela, menerangi ruang tamu yang penuh dengan kenangan. Dia melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Berusaha mengusir rasa malas yang masih menggelayuti.“Akhirnya libur,” serunya ceria sambil mengusap matanya. “Aku bisa menjenguk ibuku. Semoga hari ini berjalan menyenangkan.” Arum mengenakan baju dan hijab yang sudah sedikit pudar dan celana panjang yang nyaman. Rencananya untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya membuatnya merasa bersyukur. Tapi, anehnya ada rasa cemas di dalam hati. Seakan-akan ada yang menghalangi kebahagiaanya hari ini.“Semoga tidak ada yang menganggu rencanaku,” gumamnya sambil merapihkan rambut di depan cermin.Tiba-tiba saja terdengar ketukan keras di pintu. Arum membuka pintu dengan bingung, raut wajah bingungnya itu langsung sirna saat melihat Riska, kakak iparn