Share

Bab 5

Pesta pernikahan Susan berlangsung meriah, tawa dan canda menggema di seantero rumah. Para tamu asyik berbincang di sekitar makanan melimpah, dan Susan sendiri tampak anggun di balik gaun pengantinnya yang berkilau. Namun, di tengah semua keriuhan itu, Arum merasa semakin tidak nyaman, seolah setiap langkahnya hanya membawa tatapan sinis dan cibiran dari keluarga suaminya.

Arum meneguk segelas air putih sambil melirik Bayu yang sibuk berbincang dengan tamu-tamu dari keluarga besar. Bayu tersenyum lebar, tetapi Arum tahu di balik senyum itu, suaminya sedang menahan beban.

“Mas,” bisik Arum pelan ke telinga Bayu.

 “Apakah kamu tidak merasa mereka melihatku aneh?”

Bayu menggeleng. “Tidak, Arum. Mereka hanya tidak terbiasa.”

“Tapi aku merasa seperti bahan tertawaan,” kata Arum, suara nyaris bergetar. “Buat apa aku bertahan di sini?”

Tanpa banyak bicara, Arum mengambil tasnya dan beranjak keluar rumah. Langkahnya cepat, seolah ingin segera meninggalkan semua cemoohan yang terus menghantamnya sejak hari pernikahan ini dimulai.

“Arum, tunggu!” teriak Bayu, panik. “Kamu tidak bisa pergi!”

Dia berhenti sejenak, menatap suaminya. “Aku harus pergi, Mas. Mereka tidak menghargai aku.”

“Jangan pergi seperti ini! Ini hari bahagia untuk Susan!” Bayu mendekat, matanya penuh khawatir.

“Bukan bahagia untukku!” Arum menjawab tajam. “Aku sudah cukup! Biarkan aku pergi.”

Di perjalanan pulang, pikiran Arum penuh dengan berbagai rencana. Satu hal yang pasti, dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang keluarga suaminya.

“Aku harus fokus,” Arum berbicara pada dirinya sendiri. “Pendaftaran CPNS segera dibuka. Setidaknya, kalau aku berhasil, aku bisa hidup mandiri.”

Setibanya di rumah, Arum menghela napas panjang. Suara keramaian pesta masih terdengar samar-samar dari kejauhan, namun dia merasa jauh lebih tenang berada di rumah sendirian. Tanpa ragu, dia membuka laptop dan mulai mencari informasi tentang pendaftaran CPNS yang akan datang.

Di rumah besar keluarga Bayu, suasana pernikahan Susan masih menyisakan kebahagiaan. Namun, di balik itu, Riska, kakak ipar Bayu, tidak bisa berhenti membicarakan tentang Arum.

“Bu, Arum itu kelihatan makin aneh aja,” bisik Riska kepada ibunya. “Dia pulang duluan waktu pesta. Apa dia tidak suka dengan pernikahan ini?”

Ibu mertuanya tertawa sinis. “Ya, wajar lah. Arum kan tidak punya apa-apa dibanding Susan.”

“Kasihan Bayu,” Riska menambahkan dengan nada ejekan. “Dia harus tanggung semua itu, sementara Arum tidak ada pergerakannya.”

Anak-anak Riska, Riko dan Riris, ikut mendengarkan percakapan itu. Riko dengan polos berkata, “Tante Arum, kan memang gitu… Dia wanita yang punya hati dengki.”

“Dia tidak bisa masak, lho!” Riris menambah sambil tertawa. “Kemarin aja, makanan Tante Arum gak enak banget!”

Riska hanya mengiyakan, “Benar sekali. Dia bahkan nggak bisa kasih Bayu anak sampai sekarang. Kalau kayak gitu terus, apa gunanya dia jadi istri?”

Di dalam hati Arum, rasa lelah menghadapi semua tekanan ini semakin kuat. Dia sadar bahwa satu-satunya cara untuk bisa mandiri dan tidak terus dihina adalah dengan memiliki karir yang stabil. Oleh karena itu, fokus utamanya sekarang adalah pendaftaran CPNS yang sebentar lagi dibuka.

“Aku harus berhasil,” Arum berbicara kepada diri sendiri. “Aku tidak mau hidup terus seperti ini.”

Setiap malam, Arum belajar dengan tekun. Dia membaca soal-soal, belajar materi yang diperlukan, dan memastikan bahwa dia siap menghadapi tes nanti. Bayu sering melihatnya, dan kadang-kadang mereka berbicara tentang masa depan.

“Arum, kamu serius banget belajarnya,” Bayu mencoba memecah keheningan. “Tapi kita masih punya masalah lain. Kenapa kamu tidak mau ngobrol tentang ini?”

Arum tanpa menoleh menjawabnya, “Masalah apa lagi, Mas? Kamu yang harus menyelesaikan itu.”

“Arum, aku bingung,” Bayu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”

“Mas, aku tidak mau jadi istri yang cuma bergantung padamu,” Arum berkata tegas. “Aku harus punya hidupku sendiri.”

“Bagaimana kalau kita diskusikan ini bersama? Aku bisa membantu, atau setidaknya kita bisa merencanakan bersama,” Bayu menawarkan.

“Rencanakan apa, Mas? Kita sudah berkali-kali berdebat soal ini. Aku lelah,” Arum berkata, suaranya semakin meninggi.

“Mungkin ada cara lain,” Bayu mencoba menjelaskan. “Kita bisa cari pinjaman atau bantuan dari keluarga.”

“Tapi kamu kan tahu bagaimana mereka memperlakukanku,” Arum berargumen. “Mereka hanya akan menghina dan merendahkanku. Aku tidak mau menghadapi itu lagi.”

“Arum, kamu tidak perlu merasa sendirian,” Bayu berusaha menenangkan. “Aku ada di sini untukmu.”

“Dan aku bersyukur untuk itu, Mas. Tapi kita tidak bisa terus mengandalkan keluarga. Kita harus berjuang sendiri,” jawab Arum mantap.

Bayu terdiam, seolah kata-kata Arum mulai merasuk ke dalam pikirannya. “Kamu benar,” katanya pelan. “Tapi bagaimana jika mereka tahu kita sedang kesulitan? Mereka pasti akan menganggap kita gagal.”

“Biarkan saja mereka berpikir apa,” Arum menjawab, matanya berbinar penuh semangat. “Yang penting kita berjuang demi kebahagiaan kita sendiri.”

Di malam yang sama, Arum melanjutkan belajar, dan Bayu berusaha menenangkannya dengan membuatkan segelas teh hangat. “Ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan cangkir.

“Terima kasih, Mas,” jawab Arum sambil tersenyum. “Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik.”

“Aku hanya ingin kamu bahagia,” Bayu mengatakan dengan tulus. “Dan jika ada yang bisa aku bantu, silakan katakan saja.”

Arum mengangguk. “Aku akan berusaha lebih keras. Aku tidak ingin mengecewakanmu atau diriku sendiri.”

Dua hari setelah pernikahan Susan, Arum kembali ke rutinitasnya di rumah. Bayu, di sisi lain, tampak gelisah. Dia duduk di ruang tamu, memegang ponselnya sambil menatap kosong ke layar.

“Mas?” Arum memanggil, melihat suaminya termenung. “Kamu kenapa?”

Bayu menghela napas panjang. “Uang dari pesta sudah hampir habis. Aku bingung bagaimana bayar angsuran mobil.”

Arum duduk di sampingnya. “Aku sudah menduga ini akan terjadi. Kenapa kamu tidak berbicara lebih dulu? Kita bisa cari solusinya bersama.”

“Mereka berharap banyak dariku,” Bayu menjawab dengan nada putus asa. “Aku tidak mau mengecewakan keluarga.”

“Dan kita?” Arum bertanya tegas. “Kapan kita jadi prioritas?”

Bayu terdiam, matanya menunduk. “Aku hanya ingin mereka bangga padaku.”

“Mas, mereka tidak akan pernah puas,” Arum mengingatkan. “Setiap langkahmu akan terus dihakimi. Kita harus mulai berpikir untuk diri sendiri.”

“Arum, aku tidak bisa meninggalkan keluargaku. Mereka adalah bagian dari hidupku,” Bayu berkata dengan kesedihan. “Aku terjebak antara kewajiban dan cinta.”

“Cinta tidak seharusnya membuatmu merasa tertekan,” Arum berargumen. “Cinta seharusnya membuatmu bahagia, bukan mengorbankan kebahagiaanmu sendiri.”

Bayu terdiam, menggigit bibirnya, merasakan beban yang semakin berat. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

“Mulai dari diri sendiri, Mas,” Arum menjawab lembut namun tegas. “Kita harus berjuang bersama, bukan saling menyalahkan.”

“Jadi, apa rencanamu setelah pendaftaran CPNS?” Bayu bertanya, berusaha beralih ke topik yang lebih positif.

“Aku berharap bisa lulus dan mendapatkan pekerjaan yang baik,” Arum menjawab. “Aku ingin membantu kita dari segi finansial.”

“Apakah kamu sudah mempersiapkan semuanya?” Bayu menatapnya dengan serius. “Jangan ragu untuk bertanya jika kamu butuh bantuan.”

“Terima kasih, Mas. Aku akan melakukannya sendiri, tetapi aku menghargai tawaranmu,” kata Arum sambil tersenyum.

“Kalau ada yang bisa aku bantu, jangan sungkan untuk bilang. Aku akan selalu ada untukmu,” Bayu menambahkan, merasa lebih optimis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status