Hari pun berganti.
"Allahu Akbar Allahu Akbar!"Suara kumandang adzan Subuh seketika membangunkan Yumna yang sebelumnya tertidur pulas. Dan dia langsung menyadari bahwa dia telah melewatkan malam tanpa berhubungan badan dengan suaminya.Selain itu, tidak ada kehadiran Ustad Yunus di sampingnya."Apa aku semalam ketiduran?" gumamnya sembari menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima.Yumna segera beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.Dia berpikir suaminya pasti ada di dalam sana sedang mandi atau mengambil air wudhu."Maaass ...."Yumna perlahan membuka pintu dan melebarkannya, tapi ternyata tidak ada Ustad Yunus di dalam sana."Lho ... Kemana Mas Boy? Apa dia semalam nggak masuk kamar?"Yumna menggaruk rambutnya yang tiba-tiba terasa gatal. Dia pun memutuskan untuk keluar dari kamar untuk mencari suaminya."Mas Boy!!" panggil Yumna dengan suara agak keras.Ceklek~Pintu kamar sebelah perlahan terbuka, dan keluarlah Umi Mae dari dalam sana yang memakai mukenah. Tapi dia langsung membulatkan matanya ketika melihat penampilan menantunya yang begitu seksi."Astaghfirullah, Nak! Apa yang kamu pakai? Dan kenapa keluar kamar dengan pakaian seperti ini??"Yumna langsung menatap tubuhnya sendiri, dan sontak dia terkejut juga. "Ya ampun Umi maaf ... aku lupa!"Buru-buru dia pun masuk lagi ke dalam kamar, dan beberapa detik kemudian kembali dengan sudah memakai handuk kimono."Kamu kenapa, Nak? Apa laper?" tanya Umi Mae dengan raut heran.Dia perlahan mendekat lalu mengelus rambut panjang menantunya yang terlihat berantakan. Tampak jelas wajah Yumna seperti orang yang sedang kebingungan."Aku cari Mas Boy, Umi. Apa semalam dia nggak masuk kamar, ya?""Masuk kamar kok.""Tapi kok aku nggak tau, Umi? Jam berapa dia masuk kamar?""Jam 11 kayaknya deh.""Jam 11?!" Yumna terlihat terkejut, tapi seketika ada rona kesedihan yang tergambar diwajahnya. "Kenapa Mas Boy masuk kamar jam 11, Umi? Padahal 'kan dia tau dan Umi tau aku menunggu dikamar sehabis makan malam??""Semalam dia habis pergi, Nak, sama Pak RT. Mangkanya pulang malam. Umi sih sempat nanya ... terus Yunus bilang dia diminta untuk meruqiah adik iparnya Pak RT."'Meruqiah??' Yumna terlihat tak percaya dan makin kalut. 'Apakah meruqiah orang jauh lebih penting daripada bercinta dengan istri sendiri? Atau Mas nggak beneran meruqiah orang, tapi bertemu dengan Naya? Kenapa Mas tega banget sama aku.' Yumna membatin dalam hati dan tak terasa air matanya lolos membasahi pipi."Lho, Nakkk ... kenapa kamu malah nangis?!" Umi Mae langsung mengusap air mata menantunya, lalu menariknya membawa ke dalam dekapan. "Apa kamu kesal? Atau kecewa? Tolong maafkan Yunus ya, Nak?" Tanpa dijelaskan, Umi Mae seolah tahu perasaan Yumna."Terus ke mana Mas Boy sekarang, Umi?""Dia ada di masjid, Nak.""Ngapain, Umi?""Sholat Subuh, Nak. Yunus juga 'kan biasa jadi imam di masjid.""Hiiiikkkss ...." Tangis Yumna justru makin pecah. Dan itu betul-betul membuat Umi Mae cemas."Udah, Nak... jangan nangis," ucapnya seraya mengusap lembut punggung menantunya."Semalam Mas Boy pergi nggak pamit dulu sama aku, dan sekarang pun sama. Kenapa Mas Boy begitu sama aku, Umi? Apa salahku? Hiiikkss ...," tangisnya tersedu-sedu."Mungkin kamunya udah tidur, Nak. Jadi nggak enak bangunin kamunya," tebak Umi Mae yang berusaha menenangkan. "Udah nggak perlu berpikir yang aneh-aneh. Sekarang kamu mandi dan kita sholat subuh bareng, ya? Takutnya waktunya keburu habis."Yumna hanya mengangguk pelan. Setelah pelukan itu terlepas, perlahan dia melangkah lesu masuk ke dalam kamarnya.'Setidaknya kalau enggak bisa pamit ... Mas 'kan bisa chat aku. Tapi ini enggak. Mas seperti nggak menghargai aku.'Yumna menatap sendu ponsel miliknya yang tak berhasil menemukan apapun dari suaminya, entah chat atau telepon. Bahkan saat dirinya ingin meneleponnya—nomornya justru tidak aktif.**Agar Yumna tak lagi sedih dengan kegagalan acaranya semalam, Umi Mae memutuskan untuk mengajaknya membuat nasi goreng kesukaan Ustad Yunus."Kalau nasi goreng ini sudah jadi ... nanti kamu antarkan ke masjid, ya, Nak? Bila perlu kamu sarapan saja di sana berdua dengan Yunus," ucap Umi Mae yang memerhatikan menantunya yang tengah menghaluskan bahan-bahan dengan cobek.Yumna memang aslinya pandai memasak, maka tak heran jika dia sama sekali tidak kaku dalam menghaluskan bumbu."Memangnya Mas Boy nggak pulang dulu ke rumah, Umi, buat sarapan?"Wajah Yumna kini terlihat jauh lebih baik. Meskipun masih ada kekecewaan di dalam dadanya."Biasanya enggak, Nak. Dia kalau udah ada dimasjid ya langsung kerja. Dulu Umi sering menitipkan sarapan kepada Sandi, tapi sekarang berhubung sudah ada kamu ... bagusnya kamu aja yang mengantarkannya. Nanti Umi minta tolong Sandi deh, ya, buat anterin kamu."Sandi ini merupakan keponakan dari Ustad Yunus, anak dari Mbaknya."Enggak usah, Umi," tolak Yumna. "Aku ke sana sendiri saja. Kan bisa naik taksi.""Ya udah." Umi Mae mengangguk, lalu tersenyum sambil mengelus pipi kanan menantunya. "Kamu yang sabar, ya, Nak... dan tolong maafkan Yunus kalau dia punya salah.""Iya, Umi," jawab Yumna sambil tersenyum.***Di tempat lain.Setelah melaksanakan sholat Subuh berjamaah, Ustad Yunus tampak sibuk dengan tugas-tugasnya di masjid.Mulai dari menyapu, mengepel, hingga mengelap kaca.Beruntung, selama dia sakit, ada Ustad Hamdan yang merupakan temannya mengambil alih tugas-tugasnya. Jadi, pekerjaan yang dia lakukan tidak terlalu berat karena masjid itu tidak terlalu kotor."Alhamdulillah ... akhirnya selesai juga," ucapnya dengan penuh rasa syukur sambil menghapus keringat di dahinya.Ustad Yunus kemudian memakai sandalnya keluar dari masjid, berniat menjemur kain lap dan pel di atas genteng.Namun, dia terkejut ketika tiba-tiba ada seseorang yang datang dan langsung memeluknya dari belakang."E-ehh!!"Naya melangkah perlahan ke arah Ustad Yunus. Dia tampak ragu, namun ada keputusan yang tampak jelas di matanya. Tanpa berpikir dua kali, dia mendekap tubuh Ustad Yunus dari belakang."E-eeh!!"Ustad Yunus terperanjat. Dia merasa ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya dan ketika dia menoleh, dia melihat Naya."Naya?" Ustad Yunus berusaha melepaskan pelukan Naya, namun perempuan itu semakin erat memeluknya. "Apa yang kamu lakukan, Nay? Dan kenapa kamu ada di sini?"Naya tidak menjawab. Dia hanya memeluk Ustad Yunus dengan erat, seolah dia tidak ingin melepaskannya. Ustad Yunus bisa merasakan getaran ditubuh Naya. Dia tahu, ada sesuatu yang terjadi pada perempuan itu."Nay ... tolong jangan begini. Nggak enak kalau dilihat orang."Meskipun suasana masjid itu tampak sepi, tapi tetap saja apa yang dilakukan Naya tidak benar dan pantas dilakukan.Setelah beberapa saat berusaha, akhirnya Ustad Yunus berhasil melepaskan pelukan Naya. Dia juga langsung menjaga jarak.Perempuan itu menatap U
"Maaf sebelumnya, saya lupa bertanya tentang status Anda. Apakah Anda suaminya Nona Naya? Teman atau saudaranya?" Pertanyaan dari dokter itu seketika membuyarkan lamunan Ustad Yunus."Bukan, Dok." Ustad Yunus menggeleng. "Saya bukan siapa-siapanya.""Kalau begitu tolong hubungi keluarganya, Pak," pinta dokter. "Beritahukan mereka tentang kondisi Nona Naya supaya dia cepat mendapatkan perawatan khusus.""Tapi, Dok, apakah depresi yang dialami Naya bisa disembuhkan?" tanya Ustad Yunus yang masih penasaran dengan kondisi Naya."Tergantung pada tingkat depresinya, Pak. Saya tidak bisa memberikan penjelasan lebih lanjut ... karena saya bukan dokter spesialisnya. Tapi semoga saja Nona Naya bisa pulih. Dan saran saya, tolong minta keluarganya untuk mencari seseorang bernama Yunus, karena sejak tadi Nona Naya terus menyebut-nyebut namanya."Ustad Yunus merasa jantungnya berhenti sejenak mendengar kata-kata dokter itu.'Naya menyebut-nyebut namaku?' pikirnya. 'Apakah benar kondisinya seperti in
"Assalamualaikum, Dek ... lagi ngapain kamu?"Ustad Yunus berbicara saat setibanya di masjid dan turun dari mobil. Dia melihat seorang perempuan yang dia kenali adalah istrinya, sedang menyiram beberapa tanaman pada pot yang berada di sisi halaman masjid.Perempuan berhijab dusty itu perlahan menoleh. Dan seketika matanya berbinar-binar saat pandangan mata mereka bertemu."Mas Boy!!" Dengan girangnya, Yumna langsung berlari memeluk tubuh suaminya. Betapa senangnya dia, apalagi melihat pria itu memegang buket bunga yang dia pikir pasti untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini.""Mas Boy!!" seru Yumna dengan girang, segera berlari memeluk tubuh suaminya. Senyumnya begitu lebar, terlebih saat melihat buket bunga di tangan suaminya yang dia yakini itu untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini.""Maafin saya, Dek, tadi saya ke rumah sakit," jawab Ustad Yunus dengan wajah serius."Rumah sakit?" Yumna mengeru
'Ya ampun ... segala mules, mana kayak mau keluar lagi.'Ustad Yunus segera menyadari bahwa dia tidak bisa bertahan lebih lama di situasi ini. Dia buru-buru menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi, berencana akan kembali ke masjid.Saat mereka tiba di masjid, Ustad Yunus langsung berlari keluar dari mobil meninggalkan Yumna tanpa sepatah kata pun. Karena selain memang susah bicara, dia juga merasakan seolah-olah ujung pisang gorengnya sudah keluar didalam celana."Ada apa dengan Mas Boy? Dia aneh sekali," gumam Yumna dengan alis yang bertemu.Dia memperhatikan suaminya yang tersandung-sandung dengan kakinya sendiri, menuju tempat wudhu dan toilet yang berada di samping masjid."Oh ya, tadi Mas Boy juga bawa bunga." Yumna teringat akan buket bunga yang ditinggalkan di kursi mobil. Dia merasa curiga karena sebelumnya Ustad Yunus tidak memberikan kepadanya."Apa bunga ini bukan untukku, ya? Mangkanya nggak Mas Boy kasih?" pikir Yumna dengan rasa cemburu yang mulai muncul. Dia mengambi
"Ya Allah, Dek, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu," kata Ustad Yunus dengan suara serak. Yumna menatap tajam suaminya dengan raut bingung sekaligus kesal. Perkataan suaminya lama-lama menjengkelkannya sekali, benar-benar terlihat memihak kepada Naya. "Maksud Mas, aku harus diam saja gitu ... kalau melihat Mas mengkhianatiku? Oh ya tentu nggak dong!" tambahnya dengan tegas. "Enak saja, Mas pikir aku perempuan lemah? Nggak, ya!" Ustad Yunus menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tapi nggak perlu dengan cara membunuh segala, Dek. Selain itu perbuatan dosa ... kamu juga bisa masuk penjara," ujar Ustad Yunus dengan lembut, mencoba memberikan nasehat. "Biarkan saja, aku nggak takut!" tantang Yumna dengan menaikkan dagunya. "Dan Mas juga jangan lupa, kalau menyakiti hati seseorang itu juga merupakan hal yang berdosa! Perselingkuhan pun bisa dipidanakan, Mas!" "Tapi saya di sini nggak ada niat selingkuh, Dek," Ustad Yunus mencoba membela diri. "Ngg
Yumna memalingkan wajahnya ke arah suaminya, seolah meminta dia untuk menjawab.Yumna juga penasaran apa jawaban yang akan keluar dari mulutnya."Kenapa dengan Yumna, Boy?" Melihat reaksi putrinya seperti itu, Papi Yohan bertanya kepada Ustad Yunus dan menatapnya.Wajah pria itu tiba-tiba pucat, tubuhnya gemetar ketakutan, dan jantungnya berdetak kencang.Tapi sebisa mungkin, Ustad Yunus tidak berlebihan. Agar Papi Yohan tidak curiga."Sepertinya Dek Yumna sudah banyak nangis hari ini, Pi. Itu sebabnya matanya bengkak." Dia mencoba menjawab dengan tenang. Ustad Yunus juga tersenyum manis, tangannya bergerak untuk memeluk pinggang istrinya."Banyak nangis?!" Jawaban itu terdengar membingungkan karena pasti ada alasan di baliknya. "Bagaimana bisa Yumna banyak nangis, Boy? Apa kalian bertengkar lagi?"Seolah bukan rahasia lagi, Papi Yohan sangat mengetahui tentang pernikahan anak dan menantunya yang selalu tertimpa badai."Hanya masalah kecil, Pi. Tapi sudah selesai sekarang." Ustad Yunu
"Bener tuh, Yum, apa yang dikatakan Papi," sahut Mami Soora menimpali, lalu menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Terlihat jelas jika dia dan suaminya itu sependapat. "Nggak boleh juga kita berpikiran negatif kepada suami sendiri, yang ada itu menyiksa diri. Sebuah hubungan itu harus dibangun dari kepercayaan, karena dengan begitu hubungan kalian akan awet. Seperti Papi dan Mami contohnya.""Tapi nyatanya, aku merasa sampai sekarang Mas Boy belum sepenuhnya percaya padaku, Mi." Yumna membalikkan pembahasan lain, tapi masih ditunjukkan kepada suaminya dengan kegelisahan yang terpancar dari matanya."Belum sepenuhnya percaya gimana, Yum?" Mami Soora tampak mengerutkan dahinya, heran."Ya tentang rumah tanggaku ini, tentang dia yang memberikanku kesempatan untuk memperbaiki hubungan.""Yumna ...." Papi Yohan memegang tangan Yumna dengan lembut, memberikan dukungan dan kehangatan. Sebuah senyuman lembut terpancar di wajahnya yang tampan. "Seseorang yang pernah dikhianati memang butu
Ustad Yunus dengan cepat membukanya, namun wajahnya langsung mengerut saat dia melihat bahwa itu adalah sebuah arloji mewah dengan model khusus untuk pria. Terdapat inisial huruf Y yang kecil terukir di atasnya."Apa kamu sedang berulang tahun hari ini, Boy?" tanya Papi Yohan.Dia yakin benda itu pasti untuk Ustad Yunus, dan berpikir Yumna memberikannya sebagai hadiah."Enggak kok, Pi." Ustad Yunus menggelengkan kepala, lalu menatap istrinya dengan raut bingung. "Kamu beli jam pria ini untuk siapa, Dek?""Untuk Mas Boy.""Tapi saya nggak lagi ulang tahun, Dek.""Memangnya orang ngasih sesuatu harus berulang tahun, ya?" Tatapan mata Yumna terlihat begitu tajam."Enggak sih." Ustad Yunus menggeleng, wajahnya tampak bingung."Ya udah, sekarang pakai!" pintanya.Ustad Yunus mengangguk, segera dia melepaskan jam yang melingkar di lengan kirinya, yang tampak sudah cukup lama digunakan. Papi Yohan langsung membantu dengan memasangkan arloji baru pemberian Yumna."Kalau Mas mencintaiku ... pa
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek