Naya melangkah perlahan ke arah Ustad Yunus. Dia tampak ragu, namun ada keputusan yang tampak jelas di matanya. Tanpa berpikir dua kali, dia mendekap tubuh Ustad Yunus dari belakang.
"E-eeh!!"Ustad Yunus terperanjat. Dia merasa ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya dan ketika dia menoleh, dia melihat Naya."Naya?" Ustad Yunus berusaha melepaskan pelukan Naya, namun perempuan itu semakin erat memeluknya. "Apa yang kamu lakukan, Nay? Dan kenapa kamu ada di sini?"Naya tidak menjawab. Dia hanya memeluk Ustad Yunus dengan erat, seolah dia tidak ingin melepaskannya. Ustad Yunus bisa merasakan getaran ditubuh Naya. Dia tahu, ada sesuatu yang terjadi pada perempuan itu."Nay ... tolong jangan begini. Nggak enak kalau dilihat orang."Meskipun suasana masjid itu tampak sepi, tapi tetap saja apa yang dilakukan Naya tidak benar dan pantas dilakukan.Setelah beberapa saat berusaha, akhirnya Ustad Yunus berhasil melepaskan pelukan Naya. Dia juga langsung menjaga jarak.Perempuan itu menatap Ustad Yunus dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku merindukanmu, Bang," ucapnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Naya tampak sangat berantakan. Dia mengenakan baju tidur lengan panjang dan hijab instan. Matanya bengkak dan merah, tanda-tanda dia telah menangis. Bibirnya kering dan pucat, menunjukkan bahwa dia tidak dalam kondisi baik. Tubuhnya tampak lebih kurus dari biasanya dan terlihat tidak terawat.Penampilannya sangat berbeda dari Naya yang biasa Ustad Yunus kenal, yang selalu terlihat rapi dan terawat."Naya, apa yang terjadi? Kenapa kamu seperti ini?" tanya Ustad Yunus dengan nada suara yang penuh kekhawatiran."Aku seperti ini karena aku merindukanmu, Bang," kata Naya dengan suara lemah. Dia perlahan mendekat, tangan menjulur mencoba meraih tangan Ustad Yunus. Namun, langkahnya tertatih dan dia tidak berhasil meraih tangan Ustad Yunus. "Ayo kita menikah, Bang. Ayah dan Bunda sudah merestui hubungan kita," lanjut Naya dengan suara yang semakin lemah."Naya, saya sudah menikah. Kamu tau itu," ujar Ustad Yunus dengan lembut.Naya mengangguk. "Aku tau. Tapi aku nggak peduli. Aku masih mencintaimu, Bang. Dan aku siap menjadi istri kedua jika Abang nggak bisa menceraikan Yumna."Ustad Yunus terkejut mendengar permintaan Naya. Sama seperti saat bertemu dengan Ayah Cakra kemarin, dia tidak pernah menyangka bahwa akan mendapatkan tawaran seperti itu."Naya, saya—" Ucapan Ustad Yunus tiba-tiba terhenti saat melihat tubuh Naya mulai goyah dan matanya tampak sudah terpejam."Naya!" teriak Ustad Yunus, yang langsung berlari menangkap tubuh Naya. Beruntung dia cukup cepat, jika tidak, perempuan itu mungkin sudah benar-benar jatuh.Tanpa berpikir panjang, Ustad Yunus segera membawa Naya ke mobilnya. Dia kemudian meninggalkan masjid dengan tujuan membawa Naya ke rumah sakit.**Lima belas menit setelah Ustad Yunus meninggalkan masjid, Yumna tiba di tempat itu dengan menggunakan taksi. Tujuannya mengantarkan sarapan nasi goreng favorit suaminya dan berharap bisa menikmati sarapan bersama di sana.Yumna tampak anggun dan cantik dalam balutan gamis dan hijab pashmina yang dia kenakan. Dia sengaja memilih busana yang sopan dan elegan ini, tidak hanya karena dia datang ke masjid, tetapi juga untuk memanjakan hati suaminya. Dia tahu bahwa suaminya sangat menyukai perempuan yang berpakaian tertutup."Assalamualaikum, Mas Boy," ucap Yumna seraya melangkah masuk ke dalam masjid.Namun, sayangnya, saat dia menatap sekeliling ruangan, dia tidak menemukan siapa-siapa di sana, termasuk suaminya."Ke mana Mas Boy, kok nggak ada?" Yumna pun berbalik, keluar dari pintu masjid dan berniat untuk menelepon suaminya. Dia ingin bertanya tentang keberadaannya.Namun, sayangnya, nomornya masih tidak aktif."Lho, ke mana Mas Boy? Lalu bagaimana dengan nasi goreng ini?" Yumna menatap sedih nasi gorengnya. Dia merindukan suaminya dan berharap dengan bertemu, mereka bisa menyelesaikan masalah yang terjadi semalam. Yumna juga ingin mendengar penjelasan langsung dari suaminya. "Padahal aku berharap bisa makan nasi goreng bareng. Tapi sayangnya ... Mas Boy nggak ada."Yumna berjalan lesu menuju teras, lalu duduk di sana sembari meletakkan rantang plastik yang dia bawa.Dia baru sadar sekarang, jika mobil suaminya tidak ada di halaman masjid. Dan dia semakin yakin jika memang suaminya tidak ada di sini."Apa Mas Boy memang nggak ke masjid, ya? Tapi Umi bilang dia ke sini kok."Dalam kebingungan, dan tanpa ada orang yang bisa dia tanyakan, Yumna memutuskan untuk menghubungi mertuanya. Mungkin Umi Mae bisa memberikannya saran."Halo, Umi, assalamualaikum.""Walaikum salam. Sudah ketemu kamu sama Yunus, Nak? Apa kata dia? Apa nasi goreng buatanmu enak?"Meskipun nasi goreng itu resep dari Umi Mae, tapi yang mengeksekusi seluruhnya adalah Yumna. Jadi mungkin saja ada perbedaan."Umi ... Mas Boy nggak ada di masjid," ucap Yumna dengan sedih."Kok bisa, Nak? Coba telepon.""Dari pagi nomornya susah dihubungi Umi, nggak aktif terus.""Coba tanya orang yang ada di sana, Nak. Barangkali mereka tau. Tanya juga sama Ustad Hamdan.""Di sini nggak ada siapa-siapa, Umi. Makanya aku telepon Umi karena bingung mau tanya siapa.""Ya sudah, coba tanya sama Ustad Hamdan, Nak. Rumahnya di samping masjid, istrinya jualan nasi uduk didepan rumahnya. Barangkali dia tau.""Ya sudah, aku coba tanya ke sana. Terima kasih, Umi. Assalamualaikum.""Walaikum salam, Nak."Setelah mematikan panggilan, Yumna pun berjalan keluar dari gerbang masjid menuju sebuah rumah sederhana yang berada tepat di samping masjid, sambil menenteng rantang plastik di tangannya.***Setelah beberapa menit menunggu dengan cemas di depan ruang UGD, pintu itu akhirnya terbuka. Seorang dokter berjalan keluar, wajahnya serius. Ustad Yunus segera berdiri dari duduk, jantungnya berdebar-debar. Dia tahu berita yang akan datang mungkin tidak menyenangkan."Dokter," sapa Ustad Yunus, mencoba untuk tetap tenang. "Bagaimana kondisi Naya? Ada apa dengannya?""Nona Naya mengalami depresi berat, Pak. Kondisinya sudah sangat parah, hingga titik kegilaan.""Apa?! Kegilaan?!"Berita itu seperti petir di siang bolong bagi Ustad Yunus. Kedua matanya membulat tak percaya."Bagaimana bisa, Dok? Apa penyebabnya?" lanjutnya bertanya."Depresi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk stres berat, trauma, atau faktor genetik. Dalam kasus Nona Naya, mungkin ada sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap kondisinya. Mungkin ada masalah atau stres dalam hidupnya yang tidak dia ungkapkan atau tangani dengan baik, yang akhirnya memicu depresi berat," jelas Dokter itu.'Masalah dan stres?!' Ustad Yunus seketika merenung, pikirannya berputar cepat. Permintaan Naya dan Ayah Cakra... Apakah itu bisa menjadi pemicu stres yang berat bagi Naya? Apakah itu bisa menjadi pemicu depresi yang akhirnya membawanya ketitik kegilaan?"Maaf sebelumnya, saya lupa bertanya tentang status Anda. Apakah Anda suaminya Nona Naya? Teman atau saudaranya?" Pertanyaan dari dokter itu seketika membuyarkan lamunan Ustad Yunus."Bukan, Dok." Ustad Yunus menggeleng. "Saya bukan siapa-siapanya.""Kalau begitu tolong hubungi keluarganya, Pak," pinta dokter. "Beritahukan mereka tentang kondisi Nona Naya supaya dia cepat mendapatkan perawatan khusus.""Tapi, Dok, apakah depresi yang dialami Naya bisa disembuhkan?" tanya Ustad Yunus yang masih penasaran dengan kondisi Naya."Tergantung pada tingkat depresinya, Pak. Saya tidak bisa memberikan penjelasan lebih lanjut ... karena saya bukan dokter spesialisnya. Tapi semoga saja Nona Naya bisa pulih. Dan saran saya, tolong minta keluarganya untuk mencari seseorang bernama Yunus, karena sejak tadi Nona Naya terus menyebut-nyebut namanya."Ustad Yunus merasa jantungnya berhenti sejenak mendengar kata-kata dokter itu.'Naya menyebut-nyebut namaku?' pikirnya. 'Apakah benar kondisinya seperti in
"Assalamualaikum, Dek ... lagi ngapain kamu?"Ustad Yunus berbicara saat setibanya di masjid dan turun dari mobil. Dia melihat seorang perempuan yang dia kenali adalah istrinya, sedang menyiram beberapa tanaman pada pot yang berada di sisi halaman masjid.Perempuan berhijab dusty itu perlahan menoleh. Dan seketika matanya berbinar-binar saat pandangan mata mereka bertemu."Mas Boy!!" Dengan girangnya, Yumna langsung berlari memeluk tubuh suaminya. Betapa senangnya dia, apalagi melihat pria itu memegang buket bunga yang dia pikir pasti untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini.""Mas Boy!!" seru Yumna dengan girang, segera berlari memeluk tubuh suaminya. Senyumnya begitu lebar, terlebih saat melihat buket bunga di tangan suaminya yang dia yakini itu untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini.""Maafin saya, Dek, tadi saya ke rumah sakit," jawab Ustad Yunus dengan wajah serius."Rumah sakit?" Yumna mengeru
'Ya ampun ... segala mules, mana kayak mau keluar lagi.'Ustad Yunus segera menyadari bahwa dia tidak bisa bertahan lebih lama di situasi ini. Dia buru-buru menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi, berencana akan kembali ke masjid.Saat mereka tiba di masjid, Ustad Yunus langsung berlari keluar dari mobil meninggalkan Yumna tanpa sepatah kata pun. Karena selain memang susah bicara, dia juga merasakan seolah-olah ujung pisang gorengnya sudah keluar didalam celana."Ada apa dengan Mas Boy? Dia aneh sekali," gumam Yumna dengan alis yang bertemu.Dia memperhatikan suaminya yang tersandung-sandung dengan kakinya sendiri, menuju tempat wudhu dan toilet yang berada di samping masjid."Oh ya, tadi Mas Boy juga bawa bunga." Yumna teringat akan buket bunga yang ditinggalkan di kursi mobil. Dia merasa curiga karena sebelumnya Ustad Yunus tidak memberikan kepadanya."Apa bunga ini bukan untukku, ya? Mangkanya nggak Mas Boy kasih?" pikir Yumna dengan rasa cemburu yang mulai muncul. Dia mengambi
"Ya Allah, Dek, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu," kata Ustad Yunus dengan suara serak. Yumna menatap tajam suaminya dengan raut bingung sekaligus kesal. Perkataan suaminya lama-lama menjengkelkannya sekali, benar-benar terlihat memihak kepada Naya. "Maksud Mas, aku harus diam saja gitu ... kalau melihat Mas mengkhianatiku? Oh ya tentu nggak dong!" tambahnya dengan tegas. "Enak saja, Mas pikir aku perempuan lemah? Nggak, ya!" Ustad Yunus menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tapi nggak perlu dengan cara membunuh segala, Dek. Selain itu perbuatan dosa ... kamu juga bisa masuk penjara," ujar Ustad Yunus dengan lembut, mencoba memberikan nasehat. "Biarkan saja, aku nggak takut!" tantang Yumna dengan menaikkan dagunya. "Dan Mas juga jangan lupa, kalau menyakiti hati seseorang itu juga merupakan hal yang berdosa! Perselingkuhan pun bisa dipidanakan, Mas!" "Tapi saya di sini nggak ada niat selingkuh, Dek," Ustad Yunus mencoba membela diri. "Ngg
Yumna memalingkan wajahnya ke arah suaminya, seolah meminta dia untuk menjawab.Yumna juga penasaran apa jawaban yang akan keluar dari mulutnya."Kenapa dengan Yumna, Boy?" Melihat reaksi putrinya seperti itu, Papi Yohan bertanya kepada Ustad Yunus dan menatapnya.Wajah pria itu tiba-tiba pucat, tubuhnya gemetar ketakutan, dan jantungnya berdetak kencang.Tapi sebisa mungkin, Ustad Yunus tidak berlebihan. Agar Papi Yohan tidak curiga."Sepertinya Dek Yumna sudah banyak nangis hari ini, Pi. Itu sebabnya matanya bengkak." Dia mencoba menjawab dengan tenang. Ustad Yunus juga tersenyum manis, tangannya bergerak untuk memeluk pinggang istrinya."Banyak nangis?!" Jawaban itu terdengar membingungkan karena pasti ada alasan di baliknya. "Bagaimana bisa Yumna banyak nangis, Boy? Apa kalian bertengkar lagi?"Seolah bukan rahasia lagi, Papi Yohan sangat mengetahui tentang pernikahan anak dan menantunya yang selalu tertimpa badai."Hanya masalah kecil, Pi. Tapi sudah selesai sekarang." Ustad Yunu
"Bener tuh, Yum, apa yang dikatakan Papi," sahut Mami Soora menimpali, lalu menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Terlihat jelas jika dia dan suaminya itu sependapat. "Nggak boleh juga kita berpikiran negatif kepada suami sendiri, yang ada itu menyiksa diri. Sebuah hubungan itu harus dibangun dari kepercayaan, karena dengan begitu hubungan kalian akan awet. Seperti Papi dan Mami contohnya.""Tapi nyatanya, aku merasa sampai sekarang Mas Boy belum sepenuhnya percaya padaku, Mi." Yumna membalikkan pembahasan lain, tapi masih ditunjukkan kepada suaminya dengan kegelisahan yang terpancar dari matanya."Belum sepenuhnya percaya gimana, Yum?" Mami Soora tampak mengerutkan dahinya, heran."Ya tentang rumah tanggaku ini, tentang dia yang memberikanku kesempatan untuk memperbaiki hubungan.""Yumna ...." Papi Yohan memegang tangan Yumna dengan lembut, memberikan dukungan dan kehangatan. Sebuah senyuman lembut terpancar di wajahnya yang tampan. "Seseorang yang pernah dikhianati memang butu
Ustad Yunus dengan cepat membukanya, namun wajahnya langsung mengerut saat dia melihat bahwa itu adalah sebuah arloji mewah dengan model khusus untuk pria. Terdapat inisial huruf Y yang kecil terukir di atasnya."Apa kamu sedang berulang tahun hari ini, Boy?" tanya Papi Yohan.Dia yakin benda itu pasti untuk Ustad Yunus, dan berpikir Yumna memberikannya sebagai hadiah."Enggak kok, Pi." Ustad Yunus menggelengkan kepala, lalu menatap istrinya dengan raut bingung. "Kamu beli jam pria ini untuk siapa, Dek?""Untuk Mas Boy.""Tapi saya nggak lagi ulang tahun, Dek.""Memangnya orang ngasih sesuatu harus berulang tahun, ya?" Tatapan mata Yumna terlihat begitu tajam."Enggak sih." Ustad Yunus menggeleng, wajahnya tampak bingung."Ya udah, sekarang pakai!" pintanya.Ustad Yunus mengangguk, segera dia melepaskan jam yang melingkar di lengan kirinya, yang tampak sudah cukup lama digunakan. Papi Yohan langsung membantu dengan memasangkan arloji baru pemberian Yumna."Kalau Mas mencintaiku ... pa
Ustad Yunus membawa Yumna masuk ke dalam kamar mandi dengan masih mencium bibirnya penuh gairah. Yumna juga terlihat menyambutnya dengan senang hati.Seperti biasa, sebelum memulai ritual percintaan mereka—Ustad Yunus mengajak istrinya untuk bersama-sama mengambil air wudhu. Dia juga sekalian mencuci miliknya, sebelum mereka mulai tempur.Dengan perlahan-lahan, Ustad Yunus membaringkan tubuh Yumna di atas kasur.Dia memandang istrinya dengan penuh kasih sayang, menggenggam tangannya dengan lembut, dan mengecup keningnya dengan penuh kehangatan."Saya mulai ya, Dek?" tanyanya dengan suara lembut, memberikan rasa aman dan nyaman pada Yumna.Perempuan itu hanya mengangguk dengan pasrah.Namun, sebuah senyuman tersungging jelas diwajah cantiknya yang langsung memerah, saat suaminya itu membisikinya sebuah do'a sembari melucuti satu persatu kain yang menempel tubuhnya.Setelah keduanya sudah sama-sama polos, dengan kelembutan