Ustad Yunus membawa Yumna masuk ke dalam kamar mandi dengan masih mencium bibirnya penuh gairah. Yumna juga terlihat menyambutnya dengan senang hati.
Seperti biasa, sebelum memulai ritual percintaan mereka—Ustad Yunus mengajak istrinya untuk bersama-sama mengambil air wudhu. Dia juga sekalian mencuci miliknya, sebelum mereka mulai tempur.Dengan perlahan-lahan, Ustad Yunus membaringkan tubuh Yumna di atas kasur.Dia memandang istrinya dengan penuh kasih sayang, menggenggam tangannya dengan lembut, dan mengecup keningnya dengan penuh kehangatan."Saya mulai ya, Dek?" tanyanya dengan suara lembut, memberikan rasa aman dan nyaman pada Yumna.Perempuan itu hanya mengangguk dengan pasrah.Namun, sebuah senyuman tersungging jelas diwajah cantiknya yang langsung memerah, saat suaminya itu membisikinya sebuah do'a sembari melucuti satu persatu kain yang menempel tubuhnya.Setelah keduanya sudah sama-sama polos, dengan kelembutanSetelah perjalanan selama 30 menit, Ayah Cakra akhirnya tiba di masjid tempat Ustad Yunus bekerja. Dia turun dari mobilnya dan memasuki gerbang masjid. "Pak, maaf, assalamualaikum... Apa Yunus ada di dalam?" tanya Ayah Cakra kepada seorang pria yang baru saja keluar dari masjid dan memakai sendal, mengenakan pakaian lengkap untuk sholat."Walaikum salam. Nggak ada, Pak," jawabnya dengan gelengan kepala."Si Yunus kalau ke masjid kira-kira jam berapa ya, Pak?""Setau saya sih sebelum Subuh, Pak, atau habis sarapan. Mungkin ... setengah tujuhan."Ayah Cakra langsung melihat pada arloji mahalnya, disana menunjukkan pukul setengah enam. Berarti mungkin sejam lagi pria itu akan datang."Oh oke, terima kasih ya, Pak.""Sama-sama." Pria itu mengangguk kecil, kemudian melanjutkan, "Maaf sebelumnya, bukan maksud nggak sopan. Tapi sebaiknya ... Bapak sebut Ustad Yunus dengan panggilan Ustad didepannya, karena beliau cukup disegan
Lima menit kemudian, Umi Mae kembali dengan membawa nampan berisi secangkir kopi hitam dan sepiring nasi goreng lengkap dengan kerupuk udang dan dadar telur di atasnya. Dia lantas memberikan makanan tersebut kepada Ayah Cakra, yang dengan senang hati menerimanya. Ayah Cakra dengan cepat menyantap nasi goreng tersebut, terlihat sangat lapar sekali layaknya orang yang belum makan berhari-hari.Setelah ini, dia akan memiliki banyak tenaga untuk bisa merayu Umi Mae. Wanita itu harus berada dipihaknya."Uhuk! Uhuk!""Uhuk! Uhuk!" Di tengah-tengah makan, Ayah Cakra mendadak terbatuk-batuk, merasa tenggorokannya tercekik karena banyaknya nasi goreng yang mengisi mulutnya. Buru-buru, Umi Mae masuk kembali ke dalam rumah dan kembali dengan membawa segelas air. "Alhamdulillah... hampir saja aku mati karena tersedak," ucapnya dengan penuh syukur setelah meminum segelas air dan menyelesaikan nasi gorengnya. "Ibu juga a
"BU!! BUKA PINTUNYA!!" Ayah Cakra masih menggedor-gedor pintu. Amarah di dadanya mulai memuncak. "SETIDAKNYA BERIKAN AKU NOMOR SI YUNUS!!"Tok! Tok! Tok!"Bapak mau ngapain?!" teriak seorang pria yang baru saja turun dari motor meticnya. Pria tersebut, Soni, langsung berlari menghampiri Ayah Cakra dan menarik lengannya, mencoba menjauhkannya dari pintu.Kecemasan terpancar dari wajah Soni, dia datang secepat mungkin setelah mendapatkan telepon dari Umi mertuanya."Kamu yang siapa?!" Ayah Cakra berbalik tanya, sambil melotot kepada Soni."Aku menantunya Umi. Bapak pasti orang gila, ya? Ayok cepat pergi dari sini!" Soni menjelaskan dengan cepat sambil menyeret Ayah Cakra keluar dari rumah menuju halaman."Kurang ajar sekali kau ini!!" bentaknya. Tubuh Ayah Cakra pun terlepas dari cengkraman Soni, dan dia melotot marah pada pria itu. Rasa tidak terima dan amarah memenuhi hatinya karena disebut sebagai orang gila. "Aku ini tamu di sini, ya! Tamu mertuamu! Bukan orang gila!" tambahnya deng
Di dalam kamar mandi yang nyaman, Yumna dan Ustad Yunus menikmati momen relaksasi mereka di dalam bathtub berukuran besar.Air hangat yang mengalir melalui tubuh polos mereka, membantu menghilangkan rasa letih setelah melalui malam yang penuh gairah di atas ranjang.Setelah terbangun pada waktu subuh, Yumna dan Ustad Yunus melaksanakan mandi wajib sebagai persiapan untuk melaksanakan sholat.Namun, setelah selesai melaksanakan sholat, Ustad Yunus tiba-tiba mengajak Yumna untuk bercinta lagi.Yumna merasa sedikit heran, karena biasanya suaminya tidak begitu bersemangat dalam hal tersebut, terlebih setelah mereka baru saja mandi bersama.Meskipun begitu, Yumna tidak menolak dan tetap bersemangat untuk memuaskan suaminya."Maafin saya, ya, Dek. Kamu pasti capek, kita juga sampai mandi dua kali hari ini." Dari belakang, Ustad Yunus dengan lembut mengelus rambut panjang istrinya, lalu memeluk perutnya dengan penuh kehangatan."Nggak apa-apa, Mas." Yumna menggeleng perlahan sambil memaling
Mami Soora, dengan senyum lembut di wajahnya, menunjuk ke arah anak dan menantunya, "Eh... itu si Boy sama Yumna," ujarnya. Dibalik mereka, tampak Papi Yohan. "Akhirnya keluar kamar juga kalian," tambahnya, senyumnya semakin lebar. Ustad Yunus dan Yumna segera mendekati Umi Mae dan Soni. Mereka bergantian mencium punggung tangan keduanya sebagai tanda hormat."Umi, Bang Soni, kok ke sini? Ada apa? Dan darimana kalian tau alamat rumah Papi Yohan?" tanya Ustad Yunus dengan ekspresi heran. Mami Soora menjawab pertanyaan Ustad Yunus, "Tadi Umimu telepon Mami, Boy. Nanyain alamat," sahutnya sambil tersenyum. Umi Mae memang benar-benar menelepon Mami Soora untuk menanyakan alamat rumah Papi Yohan. Bahkan, saat itu, dia sedang membonceng Soni dengan motor.Awalnya, Umi Mae tidak berencana untuk bertamu, tapi karena Soni terus mendorongnya, akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti saran tersebut. Dengan suara lembut, Umi Mae berkata,
"Enggak, Pi, Mi!! Kalian salah paham!!" bantah Ustad Yunus dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Benar dugaannya, pembahasan ini pasti akan menimbulkan konflik, dan seharusnya tidak perlu dibahas lagi. "Salah paham gimana, Mas?? Jelas-jelas kata Umi ... hiiikkkss." Ucapan Yumna terhenti karena tangisnya yang pecah. Melihat itu, Umi Mae segera berlari dan memeluk tubuh menantunya. "Dengan kamu menyakiti hati Yumna ... itu sama saja seperti menyakiti hati Umi, Nus!!" seru Umi Mae dengan tegas, berada dipihak menantunya. "Astaghfirullahallazim, Umi ... Dek Yumna ... Papi ... Mami." Ustad Yunus berbicara dengan lembut, sambil menatap orang-orang yang dia sebutkan namanya. "Kalian semua salah paham. Aku bisa menjelaskannya," tambahnya sambil menghela napas. "Cepat jelaskan!" desak Papi Yohan yang langsung melepaskan pegangan pada kerah menantunya, kemudian duduk di sampingnya. "Jadi beberapa hari yang lalu ... atau hari keti
"Oh ya, Mas," kata Yumna tiba-tiba yang menepis keheningan. Membuat Ustad Yunus menoleh sebentar kepadanya."Kenapa, Dek?""Aku perhatikan sepertinya hape Mas baru, ya? Ganti kapan?" tanya Yumna penasaran.Tadi pagi sehabis sholat subuh, Yumna sempat melihat ponsel asing berada dibawah bantal Ustad Yunus. Hatinya berdebar-debar, terbersit kekhawatiran bahwa ponsel itu mungkin memiliki hubungan dengan Naya.Sekarang baru teringat, dan membuatnya curiga."Oh itu, saya beli kemarin setelah pulang dari rumah sakit, Dek. Sekalian pas saya beliin kamu bunga," jawab Ustad Yunus sambil tersenyum."Kamu kemarin sakit memangnya, Boy?" tanya Papi Yohan yang duduk dikursi belakang. Dia sedari tadi diam dan baru sekarang berbicara."Enggak, Pi," sahut Ustad Yunus. Dia menatap sebentar wajah sang mertua dari kaca depan mobilnya dengan masih fokus mengemudi. "Tapi Naya yang sakit.""Oohh ... jadi kamu sempat jenguk dia, ya?" Wajah Papi Yohan seketika berubah geram. Kedua matanya memerah."Bukan jeng
"Eh, Pak Cakra!" Ungkapan kejutan terlontar dari bibir Ustad Yunus ketika dia melihat Ayah Cakra muncul. Dia segera berdiri, menghampiri pria tersebut dan bersalaman dengan penuh hormat, senyuman terukir di wajahnya. Namun, Yumna dan Papi Yohan hanya duduk diam di sofa, tidak ada niatan untuk menyapa pria yang merupakan tuan rumah itu Mereka hanya memandangi Ayah Cakra dengan tatapan datar. "Udah lama, Nus? Maaf, ya, ayok duduk," ajak Ayah Cakra, dengan nada ramah. Dia memilih duduk di sofa single, menunjukkan posisinya sebagai tuan rumah.Ayah Cakra juga memerhatikan Ustad Yunus, dengan harapan melihat apakah dia membawa sesuatu sebagai buah tangan. Namun, ternyata tidak ada yang terlihat. 'Orang bertamu seharusnya membawa sesuatu, aneh banget si Yunus ini,' batin Ayah Cakra sambil menggerutu dalam hati. "Baru tadi kok, Pak." Ustad Yunus ikut duduk di tempat semula, di samping Yumna. Suaranya tenang, mencoba mempertahankan