Lima menit kemudian, Umi Mae kembali dengan membawa nampan berisi secangkir kopi hitam dan sepiring nasi goreng lengkap dengan kerupuk udang dan dadar telur di atasnya.
Dia lantas memberikan makanan tersebut kepada Ayah Cakra, yang dengan senang hati menerimanya.Ayah Cakra dengan cepat menyantap nasi goreng tersebut, terlihat sangat lapar sekali layaknya orang yang belum makan berhari-hari.Setelah ini, dia akan memiliki banyak tenaga untuk bisa merayu Umi Mae. Wanita itu harus berada dipihaknya."Uhuk! Uhuk!""Uhuk! Uhuk!"Di tengah-tengah makan, Ayah Cakra mendadak terbatuk-batuk, merasa tenggorokannya tercekik karena banyaknya nasi goreng yang mengisi mulutnya.Buru-buru, Umi Mae masuk kembali ke dalam rumah dan kembali dengan membawa segelas air."Alhamdulillah... hampir saja aku mati karena tersedak," ucapnya dengan penuh syukur setelah meminum segelas air dan menyelesaikan nasi gorengnya. "Ibu juga a"BU!! BUKA PINTUNYA!!" Ayah Cakra masih menggedor-gedor pintu. Amarah di dadanya mulai memuncak. "SETIDAKNYA BERIKAN AKU NOMOR SI YUNUS!!"Tok! Tok! Tok!"Bapak mau ngapain?!" teriak seorang pria yang baru saja turun dari motor meticnya. Pria tersebut, Soni, langsung berlari menghampiri Ayah Cakra dan menarik lengannya, mencoba menjauhkannya dari pintu.Kecemasan terpancar dari wajah Soni, dia datang secepat mungkin setelah mendapatkan telepon dari Umi mertuanya."Kamu yang siapa?!" Ayah Cakra berbalik tanya, sambil melotot kepada Soni."Aku menantunya Umi. Bapak pasti orang gila, ya? Ayok cepat pergi dari sini!" Soni menjelaskan dengan cepat sambil menyeret Ayah Cakra keluar dari rumah menuju halaman."Kurang ajar sekali kau ini!!" bentaknya. Tubuh Ayah Cakra pun terlepas dari cengkraman Soni, dan dia melotot marah pada pria itu. Rasa tidak terima dan amarah memenuhi hatinya karena disebut sebagai orang gila. "Aku ini tamu di sini, ya! Tamu mertuamu! Bukan orang gila!" tambahnya deng
Di dalam kamar mandi yang nyaman, Yumna dan Ustad Yunus menikmati momen relaksasi mereka di dalam bathtub berukuran besar.Air hangat yang mengalir melalui tubuh polos mereka, membantu menghilangkan rasa letih setelah melalui malam yang penuh gairah di atas ranjang.Setelah terbangun pada waktu subuh, Yumna dan Ustad Yunus melaksanakan mandi wajib sebagai persiapan untuk melaksanakan sholat.Namun, setelah selesai melaksanakan sholat, Ustad Yunus tiba-tiba mengajak Yumna untuk bercinta lagi.Yumna merasa sedikit heran, karena biasanya suaminya tidak begitu bersemangat dalam hal tersebut, terlebih setelah mereka baru saja mandi bersama.Meskipun begitu, Yumna tidak menolak dan tetap bersemangat untuk memuaskan suaminya."Maafin saya, ya, Dek. Kamu pasti capek, kita juga sampai mandi dua kali hari ini." Dari belakang, Ustad Yunus dengan lembut mengelus rambut panjang istrinya, lalu memeluk perutnya dengan penuh kehangatan."Nggak apa-apa, Mas." Yumna menggeleng perlahan sambil memaling
Mami Soora, dengan senyum lembut di wajahnya, menunjuk ke arah anak dan menantunya, "Eh... itu si Boy sama Yumna," ujarnya. Dibalik mereka, tampak Papi Yohan. "Akhirnya keluar kamar juga kalian," tambahnya, senyumnya semakin lebar. Ustad Yunus dan Yumna segera mendekati Umi Mae dan Soni. Mereka bergantian mencium punggung tangan keduanya sebagai tanda hormat."Umi, Bang Soni, kok ke sini? Ada apa? Dan darimana kalian tau alamat rumah Papi Yohan?" tanya Ustad Yunus dengan ekspresi heran. Mami Soora menjawab pertanyaan Ustad Yunus, "Tadi Umimu telepon Mami, Boy. Nanyain alamat," sahutnya sambil tersenyum. Umi Mae memang benar-benar menelepon Mami Soora untuk menanyakan alamat rumah Papi Yohan. Bahkan, saat itu, dia sedang membonceng Soni dengan motor.Awalnya, Umi Mae tidak berencana untuk bertamu, tapi karena Soni terus mendorongnya, akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti saran tersebut. Dengan suara lembut, Umi Mae berkata,
"Enggak, Pi, Mi!! Kalian salah paham!!" bantah Ustad Yunus dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Benar dugaannya, pembahasan ini pasti akan menimbulkan konflik, dan seharusnya tidak perlu dibahas lagi. "Salah paham gimana, Mas?? Jelas-jelas kata Umi ... hiiikkkss." Ucapan Yumna terhenti karena tangisnya yang pecah. Melihat itu, Umi Mae segera berlari dan memeluk tubuh menantunya. "Dengan kamu menyakiti hati Yumna ... itu sama saja seperti menyakiti hati Umi, Nus!!" seru Umi Mae dengan tegas, berada dipihak menantunya. "Astaghfirullahallazim, Umi ... Dek Yumna ... Papi ... Mami." Ustad Yunus berbicara dengan lembut, sambil menatap orang-orang yang dia sebutkan namanya. "Kalian semua salah paham. Aku bisa menjelaskannya," tambahnya sambil menghela napas. "Cepat jelaskan!" desak Papi Yohan yang langsung melepaskan pegangan pada kerah menantunya, kemudian duduk di sampingnya. "Jadi beberapa hari yang lalu ... atau hari keti
"Oh ya, Mas," kata Yumna tiba-tiba yang menepis keheningan. Membuat Ustad Yunus menoleh sebentar kepadanya."Kenapa, Dek?""Aku perhatikan sepertinya hape Mas baru, ya? Ganti kapan?" tanya Yumna penasaran.Tadi pagi sehabis sholat subuh, Yumna sempat melihat ponsel asing berada dibawah bantal Ustad Yunus. Hatinya berdebar-debar, terbersit kekhawatiran bahwa ponsel itu mungkin memiliki hubungan dengan Naya.Sekarang baru teringat, dan membuatnya curiga."Oh itu, saya beli kemarin setelah pulang dari rumah sakit, Dek. Sekalian pas saya beliin kamu bunga," jawab Ustad Yunus sambil tersenyum."Kamu kemarin sakit memangnya, Boy?" tanya Papi Yohan yang duduk dikursi belakang. Dia sedari tadi diam dan baru sekarang berbicara."Enggak, Pi," sahut Ustad Yunus. Dia menatap sebentar wajah sang mertua dari kaca depan mobilnya dengan masih fokus mengemudi. "Tapi Naya yang sakit.""Oohh ... jadi kamu sempat jenguk dia, ya?" Wajah Papi Yohan seketika berubah geram. Kedua matanya memerah."Bukan jeng
"Eh, Pak Cakra!" Ungkapan kejutan terlontar dari bibir Ustad Yunus ketika dia melihat Ayah Cakra muncul. Dia segera berdiri, menghampiri pria tersebut dan bersalaman dengan penuh hormat, senyuman terukir di wajahnya. Namun, Yumna dan Papi Yohan hanya duduk diam di sofa, tidak ada niatan untuk menyapa pria yang merupakan tuan rumah itu Mereka hanya memandangi Ayah Cakra dengan tatapan datar. "Udah lama, Nus? Maaf, ya, ayok duduk," ajak Ayah Cakra, dengan nada ramah. Dia memilih duduk di sofa single, menunjukkan posisinya sebagai tuan rumah.Ayah Cakra juga memerhatikan Ustad Yunus, dengan harapan melihat apakah dia membawa sesuatu sebagai buah tangan. Namun, ternyata tidak ada yang terlihat. 'Orang bertamu seharusnya membawa sesuatu, aneh banget si Yunus ini,' batin Ayah Cakra sambil menggerutu dalam hati. "Baru tadi kok, Pak." Ustad Yunus ikut duduk di tempat semula, di samping Yumna. Suaranya tenang, mencoba mempertahankan
"Eh, Dek?" Ustad Yunus tersenyum saat merasakan sentuhan di perutnya. Perlahan, dia pun menoleh. "Saya mau berangkat ceramah, sekarang, Dek. Acaranya habis isya soalnya""Ceramah di mana, Mas? Boleh aku ikut?" pinta Yumna dengan suara manja."Deket kok, cuma di Jaksel. Kamu nggak usah ikut, tidur saja sore-sore ... besok 'kan kita mau pergi berbulan madu. Kita berangkatnya pagi-pagi, ya?""Jam berapa Mas pulang nanti? Aku khawatir," ujar Yumna semakin merapatkan pelukan.Dia seolah tidak ingin membiarkan Ustad Yunus pergi, masih merasakan rindu oleh sentuhannya."Ngapain khawatir, saya pulang nggak akan lama. Paling sekitar jam sepuluh, Dek.""Ah, biasanya ... kalau Mas ngomong jam sepuluh, pasti nanti pulangnya jauh lebih malem. Aku juga nggak mau tidur sendirian, Mas.""Kalau nggak macet, saya akan pulang jam segitu, Dek. Dan kamu juga nggak akan tidur sendiri, kan saya kalau udah pulang ikut tidur bareng sama kamu.""Aku ikut saja deh, ya, Mas?? Daripada di sini bete. Lagian aku ma
Ayah Cakra dengan mantap turun dari mobil hitamnya, disusul oleh Tora. Mereka berdua melangkah bersama menuju gerbang hijau yang menutupi rumah misterius tersebut. Kedatangan mereka di tempat ini bukan tanpa alasan. Ayah Cakra mencari bantuan, solusi atas masalah yang sedang dihadapinya. Mbah Yahya, seorang dukun yang terkenal dengan kekuatan sakti mandragunanya, adalah tujuan mereka. Tempat ini adalah rekomendasi dari Tora, yang sejak awal telah mendukung Ayah Cakra dalam perjuangannya mencari solusi. Ayah Cakra tidak akan menyerah begitu saja, dia bertekad untuk mencari jalan keluar dari masalahnya, tidak peduli seberat apa pun itu. Dia tidak akan berdiam diri dan menerima keadaan. Dalam pikirannya, jika cara baik tidak menghasilkan apa-apa, maka tidak ada salahnya mencoba cara lain, meski mungkin dianggap tidak baik oleh sebagian orang. Itulah yang menggerakkan langkah Ayah Cakra sekarang."Uangnya sudah disiapkan 'kan, Pak? Didala
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek