"Assalamualaikum, Dek ... lagi ngapain kamu?"
Ustad Yunus berbicara saat setibanya di masjid dan turun dari mobil. Dia melihat seorang perempuan yang dia kenali adalah istrinya, sedang menyiram beberapa tanaman pada pot yang berada di sisi halaman masjid.Perempuan berhijab dusty itu perlahan menoleh. Dan seketika matanya berbinar-binar saat pandangan mata mereka bertemu."Mas Boy!!" Dengan girangnya, Yumna langsung berlari memeluk tubuh suaminya. Betapa senangnya dia, apalagi melihat pria itu memegang buket bunga yang dia pikir pasti untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini.""Mas Boy!!" seru Yumna dengan girang, segera berlari memeluk tubuh suaminya. Senyumnya begitu lebar, terlebih saat melihat buket bunga di tangan suaminya yang dia yakini itu untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini.""Maafin saya, Dek, tadi saya ke rumah sakit," jawab Ustad Yunus dengan wajah serius."Rumah sakit?" Yumna mengerutkan keningnya, kemudian dengan cepat membelalakkan matanya dan langsung menangkup kedua pipi suaminya. "Apa Mas sakit?? Sakit apa, Mas?"Dari sorotan mata dan mimik wajahnya, jelas bahwa dia sangat khawatir dengan kondisi Ustad Yunus. Dia mungkin berpikir bahwa alasan suaminya ke rumah sakit adalah karena dia sakit."Oh, atau kaki Mas, ya, yang sakit? Yang habis kecelakaan itu?" Yumna melepaskan pelukan dan segera meraba kaki kanan suaminya, mencari tanda-tanda sakit atau cedera."Enggak, Dek." Ustad Yunus menggeleng, lalu menyentuh tangan istrinya dan perlahan menariknya. "Saya nggak sakit kok.""Terus, kenapa Mas Boy ke rumah sakit kalau nggak sakit?" tanya Yumna, rasa penasarannya semakin besar."Karena Naya yang sakit," jawab Ustad Yunus dengan suara yang penuh kekhawatiran.Yumna merasa seolah-olah dunianya runtuh saat mendengar jawaban suaminya. Dia terkejut sekaligus kecewa. Hatinya pun ikut sakit.Sedari pagi hingga menjelang siang, dia telah menunggu suaminya di masjid dan tak berniat pulang sebelum bisa bertemu.Dia berharap bisa menghabiskan waktu bersama, namun ternyata suaminya lebih memilih untuk menjenguk perempuan lain."Naya?" Yumna hampir berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi sangat dingin dan dia merasa sulit untuk bernapas. "Jadi ... Mas dari pagi nggak ada di masjid karena menemani Naya yang sakit? Sedangkan aku disini nungguin Mas sejak pagi. Apakah itu terlihat adil??" Air mata mulai menggenang di matanya, namun dia berusaha keras untuk menahannya."Dek, bukan begitu! Kamu jangan salah paham dulu!" Ustad Yunus melangkah mendekat saat tubuh istrinya mulai menjauh darinya."Apanya yang salah paham, Mas? Bukankah itu sudah jelas??" Air mata Yumna akhirnya lolos juga membasahi kedua pipinya. Dia menangis. "Itu juga alasan kenapa Mas nggak mau bercinta denganku, kan, semalam? Mas jahat!" tambahnya berteriak.Yumna sudah beranjak, berencana untuk meninggalkan Ustad Yunus. Namun, lengan pria itu segera melingkar di pinggangnya, berusaha menahan Yumna agar tidak pergi."Dek, tunggu sebentar! Jangan marah dulu! Saya bisa menjelaskannya, masalah semalam itu nggak ada hubungannya dengan Naya!" tegas Ustad Yunus, lalu menarik tangan istrinya dan membawanya masuk bersama ke dalam mobil.Mobil sedan itu lantas kemudian melaju pergi dari halaman masjid.Mungkin, akan lebih baik mereka berbicara di tempat lain, bukan di masjid.Karena selain itu adalah tempat ibadah, Ustad Yunus juga tidak ingin masalah rumah tangganya diketahui orang lain.Setelah berkendara tanpa arah dan tujuan, Ustad Yunus akhirnya meminggirkan mobilnya di jalan yang cukup sepi dan mematikan mesinnya.Perlahan, tangannya meraih Yumna dan membawanya ke dalam pelukannya. Sejak tadi, perempuan itu masih menangis dengan isak yang terputus-putus."Saya benar-benar minta maaf, Dek," ucap Ustad Yunus dengan suara lembut sambil mengelus punggung Yumna. Dia berusaha menenangkan hati istrinya yang sedang terluka. "Saya tau kamu pasti kecewa. Tapi percayalah, itu nggak ada hubungannya dengan Naya."Ustad Yunus mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Kemarin malam sebenarnya saya juga sudah berniat, Dek. Tapi sayangnya, tiba-tiba Pak RT datang dan meminta tolong untuk meruqiah adiknya yang sedang kesurupan. Bagaimana saya bisa menolaknya?"Yumna tercekat oleh tangisnya, suaranya terputus-putus. "Jadi, meruqiah orang itu lebih penting daripada bercinta dengan istri, ya, Mas?"Ustad Yunus segera membantah, "Enggak begitu, Deekk! Pak RT yang memaksakan, dia langsung menarik saya dan membawa saya pergi dengan motornya."Yumna kemudian menyampaikan kekecewaannya. "Umi bilang, Mas Boy pulang jam 11 dan langsung masuk kamar. Tapi kenapa Mas nggak langsung mengajakku bercinta?""Kamu mungkin lupa, Dek. Kamu sudah tertidur saat itu." Ustad Yunus mencoba menjelaskan."Kalau aku tertidur, kenapa Mas enggak membangunkanku? Itu nggak sulit, Mas!" Yumna semakin terisak."Saya nggak tega membangunkanmu, Dek. Tidurmu kelihatan sangat nyenyak." Ustad Yunus menjelaskan dengan penuh penyesalan."Mas nggak tega membangunkanku, tapi Mas bisa tega menemui Naya tanpa seizinku, begitu? Apa itu adil untukku, Mas?!" Tangis Yumna semakin pecah.Yumna terus menangis, sedih dan kecewa dengan apa yang terjadi. Ustad Yunus makin merasa bersalah dan berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur istrinya."Ya Allah, Dek ... bukan seperti itu. Saya nggak berniat untuk menemui Naya, sumpah. Tadi pagi itu Naya yang datang sendiri ke masjid untuk menemui saya, terus tiba-tiba pingsan. Jadi saya langsung membawanya ke rumah sakit. Itulah yang terjadi sebenarnya.""Aku nggak percaya!" Yumna menggeleng cepat."Mana pernah saya bohong, Dek, sama kamu. Saya ini orangnya selalu jujur. Kamu harus percaya sama saya.""Terus ... apa saja yang Mas lakukan di sana? Apakah Naya ngajak Mas untuk menikah?"Ustad Yunus terkejut dengan pertanyaan tajam Yumna. Jantungnya berdebar kencang.Kenapa Yumna seolah bisa tahu? Itulah yang dia pikirkan. Atau ini hanyalah suatu kebetulan saja?"Iya, Dek.""Terus Mas jawab apa?"Wajah pria itu seketika berubah menjadi pucat, dan dia tampak gelisah.Ini seharusnya menjadi kesempatan emas baginya untuk berbicara dan membujuk Yumna agar mau dipoligami.Namun, entah mengapa, lidahnya tiba-tiba terasa kaku saat ingin berbicara. Seluruh tubuhnya pun ikut menegang."Kok diam, Mas?" Yumna langsung menarik tubuhnya sendiri hingga lepas dari pelukan suaminya, lalu menatap tajam Ustad Yunus. "Jangan bilang Mas mau menikahi Naya?""Deeek ... sa-saya, mi ... minta maaf." Dengan tergagap, Ustad Yunus akhirnya bicara."Kenapa harus minta maaf?" Kening Yumna seketika mengerenyit. Jantungnya langsung berdebar kencang. "Jadi bener, Mas ingin menikahi Naya?""Sa-saya ...." Ustad Yunus mencoba bicara, tetapi suaranya terputus-putus."Mas ... tolong bicara yang jelas! Jangan sepotong-sepotong begitu!""Sa-saya ...."Ustad Yunus semakin merasa terjebak dalam situasi yang rumit. Dia merasa frustasi dengan ketidakmampuannya untuk berbicara dengan jelas dan membuat Yumna mengerti. Keringat mengalir deras diwajah tampannya, menunjukkan kegelisahan yang dirasakannya.Entah apa yang terjadi pada dirinya dan mulutnya, mengapa sangat sulit untuk berbicara.Bagaimana dia bisa membujuk Yumna jika kondisinya seperti ini?'Ya Allah ... apa yang terjadi padaku? Kenapa lidahku begitu sulit untuk bicara?' Ustad Yunus berdoa dalam hati, mencoba mencari ketenangan dan kejernihan pikiran.Namun, dia justru tiba-tiba merasakan rasa mulas yang melanda perutnya, membuatnya semakin tidak nyaman.Mengapa dalam situasi serius seperti ini dia merasa ingin buang air besar?Ini sungguh kacau!"S-saya ....""Saya apa, Mas?!" desak Yumna, yang semakin penasaran dan kebingungan. Dia merasa dadanya panas dan hatinya penuh kekhawatiran.'Ya ampun ... segala mules, mana kayak mau keluar lagi.'Ustad Yunus segera menyadari bahwa dia tidak bisa bertahan lebih lama di situasi ini. Dia buru-buru menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi, berencana akan kembali ke masjid.Saat mereka tiba di masjid, Ustad Yunus langsung berlari keluar dari mobil meninggalkan Yumna tanpa sepatah kata pun. Karena selain memang susah bicara, dia juga merasakan seolah-olah ujung pisang gorengnya sudah keluar didalam celana."Ada apa dengan Mas Boy? Dia aneh sekali," gumam Yumna dengan alis yang bertemu.Dia memperhatikan suaminya yang tersandung-sandung dengan kakinya sendiri, menuju tempat wudhu dan toilet yang berada di samping masjid."Oh ya, tadi Mas Boy juga bawa bunga." Yumna teringat akan buket bunga yang ditinggalkan di kursi mobil. Dia merasa curiga karena sebelumnya Ustad Yunus tidak memberikan kepadanya."Apa bunga ini bukan untukku, ya? Mangkanya nggak Mas Boy kasih?" pikir Yumna dengan rasa cemburu yang mulai muncul. Dia mengambi
"Ya Allah, Dek, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu," kata Ustad Yunus dengan suara serak. Yumna menatap tajam suaminya dengan raut bingung sekaligus kesal. Perkataan suaminya lama-lama menjengkelkannya sekali, benar-benar terlihat memihak kepada Naya. "Maksud Mas, aku harus diam saja gitu ... kalau melihat Mas mengkhianatiku? Oh ya tentu nggak dong!" tambahnya dengan tegas. "Enak saja, Mas pikir aku perempuan lemah? Nggak, ya!" Ustad Yunus menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tapi nggak perlu dengan cara membunuh segala, Dek. Selain itu perbuatan dosa ... kamu juga bisa masuk penjara," ujar Ustad Yunus dengan lembut, mencoba memberikan nasehat. "Biarkan saja, aku nggak takut!" tantang Yumna dengan menaikkan dagunya. "Dan Mas juga jangan lupa, kalau menyakiti hati seseorang itu juga merupakan hal yang berdosa! Perselingkuhan pun bisa dipidanakan, Mas!" "Tapi saya di sini nggak ada niat selingkuh, Dek," Ustad Yunus mencoba membela diri. "Ngg
Yumna memalingkan wajahnya ke arah suaminya, seolah meminta dia untuk menjawab.Yumna juga penasaran apa jawaban yang akan keluar dari mulutnya."Kenapa dengan Yumna, Boy?" Melihat reaksi putrinya seperti itu, Papi Yohan bertanya kepada Ustad Yunus dan menatapnya.Wajah pria itu tiba-tiba pucat, tubuhnya gemetar ketakutan, dan jantungnya berdetak kencang.Tapi sebisa mungkin, Ustad Yunus tidak berlebihan. Agar Papi Yohan tidak curiga."Sepertinya Dek Yumna sudah banyak nangis hari ini, Pi. Itu sebabnya matanya bengkak." Dia mencoba menjawab dengan tenang. Ustad Yunus juga tersenyum manis, tangannya bergerak untuk memeluk pinggang istrinya."Banyak nangis?!" Jawaban itu terdengar membingungkan karena pasti ada alasan di baliknya. "Bagaimana bisa Yumna banyak nangis, Boy? Apa kalian bertengkar lagi?"Seolah bukan rahasia lagi, Papi Yohan sangat mengetahui tentang pernikahan anak dan menantunya yang selalu tertimpa badai."Hanya masalah kecil, Pi. Tapi sudah selesai sekarang." Ustad Yunu
"Bener tuh, Yum, apa yang dikatakan Papi," sahut Mami Soora menimpali, lalu menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Terlihat jelas jika dia dan suaminya itu sependapat. "Nggak boleh juga kita berpikiran negatif kepada suami sendiri, yang ada itu menyiksa diri. Sebuah hubungan itu harus dibangun dari kepercayaan, karena dengan begitu hubungan kalian akan awet. Seperti Papi dan Mami contohnya.""Tapi nyatanya, aku merasa sampai sekarang Mas Boy belum sepenuhnya percaya padaku, Mi." Yumna membalikkan pembahasan lain, tapi masih ditunjukkan kepada suaminya dengan kegelisahan yang terpancar dari matanya."Belum sepenuhnya percaya gimana, Yum?" Mami Soora tampak mengerutkan dahinya, heran."Ya tentang rumah tanggaku ini, tentang dia yang memberikanku kesempatan untuk memperbaiki hubungan.""Yumna ...." Papi Yohan memegang tangan Yumna dengan lembut, memberikan dukungan dan kehangatan. Sebuah senyuman lembut terpancar di wajahnya yang tampan. "Seseorang yang pernah dikhianati memang butu
Ustad Yunus dengan cepat membukanya, namun wajahnya langsung mengerut saat dia melihat bahwa itu adalah sebuah arloji mewah dengan model khusus untuk pria. Terdapat inisial huruf Y yang kecil terukir di atasnya."Apa kamu sedang berulang tahun hari ini, Boy?" tanya Papi Yohan.Dia yakin benda itu pasti untuk Ustad Yunus, dan berpikir Yumna memberikannya sebagai hadiah."Enggak kok, Pi." Ustad Yunus menggelengkan kepala, lalu menatap istrinya dengan raut bingung. "Kamu beli jam pria ini untuk siapa, Dek?""Untuk Mas Boy.""Tapi saya nggak lagi ulang tahun, Dek.""Memangnya orang ngasih sesuatu harus berulang tahun, ya?" Tatapan mata Yumna terlihat begitu tajam."Enggak sih." Ustad Yunus menggeleng, wajahnya tampak bingung."Ya udah, sekarang pakai!" pintanya.Ustad Yunus mengangguk, segera dia melepaskan jam yang melingkar di lengan kirinya, yang tampak sudah cukup lama digunakan. Papi Yohan langsung membantu dengan memasangkan arloji baru pemberian Yumna."Kalau Mas mencintaiku ... pa
Ustad Yunus membawa Yumna masuk ke dalam kamar mandi dengan masih mencium bibirnya penuh gairah. Yumna juga terlihat menyambutnya dengan senang hati.Seperti biasa, sebelum memulai ritual percintaan mereka—Ustad Yunus mengajak istrinya untuk bersama-sama mengambil air wudhu. Dia juga sekalian mencuci miliknya, sebelum mereka mulai tempur.Dengan perlahan-lahan, Ustad Yunus membaringkan tubuh Yumna di atas kasur.Dia memandang istrinya dengan penuh kasih sayang, menggenggam tangannya dengan lembut, dan mengecup keningnya dengan penuh kehangatan."Saya mulai ya, Dek?" tanyanya dengan suara lembut, memberikan rasa aman dan nyaman pada Yumna.Perempuan itu hanya mengangguk dengan pasrah.Namun, sebuah senyuman tersungging jelas diwajah cantiknya yang langsung memerah, saat suaminya itu membisikinya sebuah do'a sembari melucuti satu persatu kain yang menempel tubuhnya.Setelah keduanya sudah sama-sama polos, dengan kelembutan
Setelah perjalanan selama 30 menit, Ayah Cakra akhirnya tiba di masjid tempat Ustad Yunus bekerja. Dia turun dari mobilnya dan memasuki gerbang masjid. "Pak, maaf, assalamualaikum... Apa Yunus ada di dalam?" tanya Ayah Cakra kepada seorang pria yang baru saja keluar dari masjid dan memakai sendal, mengenakan pakaian lengkap untuk sholat."Walaikum salam. Nggak ada, Pak," jawabnya dengan gelengan kepala."Si Yunus kalau ke masjid kira-kira jam berapa ya, Pak?""Setau saya sih sebelum Subuh, Pak, atau habis sarapan. Mungkin ... setengah tujuhan."Ayah Cakra langsung melihat pada arloji mahalnya, disana menunjukkan pukul setengah enam. Berarti mungkin sejam lagi pria itu akan datang."Oh oke, terima kasih ya, Pak.""Sama-sama." Pria itu mengangguk kecil, kemudian melanjutkan, "Maaf sebelumnya, bukan maksud nggak sopan. Tapi sebaiknya ... Bapak sebut Ustad Yunus dengan panggilan Ustad didepannya, karena beliau cukup disegan
Lima menit kemudian, Umi Mae kembali dengan membawa nampan berisi secangkir kopi hitam dan sepiring nasi goreng lengkap dengan kerupuk udang dan dadar telur di atasnya. Dia lantas memberikan makanan tersebut kepada Ayah Cakra, yang dengan senang hati menerimanya. Ayah Cakra dengan cepat menyantap nasi goreng tersebut, terlihat sangat lapar sekali layaknya orang yang belum makan berhari-hari.Setelah ini, dia akan memiliki banyak tenaga untuk bisa merayu Umi Mae. Wanita itu harus berada dipihaknya."Uhuk! Uhuk!""Uhuk! Uhuk!" Di tengah-tengah makan, Ayah Cakra mendadak terbatuk-batuk, merasa tenggorokannya tercekik karena banyaknya nasi goreng yang mengisi mulutnya. Buru-buru, Umi Mae masuk kembali ke dalam rumah dan kembali dengan membawa segelas air. "Alhamdulillah... hampir saja aku mati karena tersedak," ucapnya dengan penuh syukur setelah meminum segelas air dan menyelesaikan nasi gorengnya. "Ibu juga a
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek