"Yunus ... kalau sekarang aku merestui hubunganmu dengan Naya, apa kamu bersedia menikah dengannya?"
Degh!Jantung Yumna seolah berhenti sejenak mendengar kata-kata tersebut. Langkahnya yang semula bersemangat menuju restoran untuk menyusul suaminya, tiba-tiba terhenti. Dia merasa seperti ditampar oleh realitas yang tak terduga.Naya adalah perempuan yang dulunya menjadi calon istri Ustad Yunus melalui proses ta'aruf. Namun, sayangnya, mereka tidak berhasil mendapatkan restu dari kedua orang tua Naya dan membuatnya terpaksa mengakhiri hubungan.Hal ini terjadi karena Ayah Cakra menganggap Ustad Yunus tidak memenuhi kriteria menantu idamannya, terutama setelah mengetahui bahwa Ustad Yunus bekerja sebagai marbot masjid.Selain itu, Ayah Cakra juga pernah menghinanya sebagai pria miskin.Sejak awal, Yumna telah memiliki firasat buruk saat melihat kedatangan Ayah Cakra—pria yang dulunya pernah menjadi calon mertua suaminya. Pria itu datang dengan permintaan untuk berbicara secara empat mata dengan suaminya, dan seketika itu juga, firasat buruk Yumna semakin kuat.Rasa sakit di dadanya semakin terasa, saat dia melihat ekspresi suaminya. Wajah Ustad Yunus tampak berbunga, meski ada sedikit kejutan di matanya. Yumna memutuskan untuk berdiam diri sejenak, memperhatikan mereka berdua dari kejauhan.Dia berdiri di sana, hatinya berdebar-debar, menunggu jawaban dari suaminya."Menikah dengannya?!""Iya, Nus," sahut Ayah Cakra. "Dan aku yakin ... kamu pasti masih sangat mencintai Naya, begitu pun sebaliknya."Air mata Yumna mulai mengalir. Rasa sakit dan kebingungan melanda hatinya secara bersamaan."Tapi Bapak 'kan tau saya sekarang sudah punya istri. Saya juga sudah mengakhiri ta'arufan saya dengan Naya, Pak.""Itu sama sekali nggak masalah, Nus!" balas Ayah Cakra cepat. "Aku juga nggak akan memintamu untuk menceraikan istrimu. Sekarang yang perlu kamu lakukan hanya menjadikan Naya istri keduanya."Kedua mata Yumna sontak membulat. Dia terkejut bukan main, mendengar permintaan konyol itu.Tidak ada perempuan di luar sana yang rela menjadi bagian dari poligami. Begitu pun dengan Yumna.Rasa takut tiba-tiba melanda diri Yumna, karena dia menyadari bahwa suaminya mungkin akan menuruti permintaan tersebut. Dia bisa merasakan bahwa Ustad Yunus masih menyimpan perasaan terhadap Naya, dan itu membuatnya semakin terluka. Dengan keberanian yang dia miliki, Yumna langsung melangkah mendekati mereka."Aku nggak mau dimadu, Mas!" teriak Yumna dengan suara yang penuh emosi, mencerminkan ketegasan dan keberanian hatinya.Ustad Yunus dan pria di depannya itu terkejut dan segera berdiri dari tempat duduk mereka."Tolong jangan lakukan itu, Mas! Aku mohon..." tambah Yumna dengan air mata yang semakin deras."Dek... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Ustad Yunus mendekatinya dengan cepat."Mas nggak perlu tahu bagaimana aku bisa ada di sini! Intinya, aku nggak ingin menjadi istri yang kedua! Aku ingin menjadi satu-satunya istri Mas!" tegas Yumna sambil memeluk tubuh Ustad Yunus.'Ah sial!! Kenapa coba istrinya si Yunus pakai acara samperin ke sini?! Bisa gagal kalau begini ceritanya!' Ayah Cakra menggerutu dalam hati, sambil menggertakkan giginya."Ayo, cepat katakan kepada Ayah Naya bahwa saya tidak ingin berpoligami. Saya hanya ingin menjadi suami satu-satunya!" Yumna memohon dengan suara lantang, suaranya penuh keputusasaan."Tapi, Dek, saya—""Dih, Mas... jadi Mas ingin berpoligami, ya?" potong Yumna, lalu langsung mendongakkan wajahnya, menatap sendu sang suami dengan air mata yang masih berlinang. "Mas kok tega sih sama aku? Katanya Mas mencintaiku, apa rasa cinta Mas sekarang berkurang, ya? Hikkssss ... Mas jahat!!" tambahnya berteriak, tapi Yumna makin mempererat pelukan."Bukan, Dek! Bukan begitu maksud saya," balas Ustad Yunus seraya mengelus punggung sang istri untuk mencoba menenangkannya. Kemudian dia menatap kembali ke arah Ayah Cakra yang sedari tadi diam ditempat. "Maaf, Pak, saya nggak bisa. Nggak bisa menuruti permintaan Bapak. Dan kalau begitu ... saya permisi pamit pulang duluan sama istri saya. tambah Ustad Yunus.Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, Ustad Yunus sudah lebih dulu pergi dari sana bersama Yumna.Karena tangis perempuan itu semakin kencang, hal itu menjadi tidak nyaman bagi pengunjung lain. Ustad Yunus tentunya tidak ingin menciptakan keributan di tempat orang.***"Deeekk ... udahan nangisnya."Selama dalam perjalanan pulang menaiki mobil taksi, Yumna terus menerus menangis.Diminta berhenti oleh Ustad Yunus pun nyatanya dia seolah tak mendengar. Jadi pria itu merasa bingung sendiri harus berbuat apa.Dan disisi lain, seketika saja Ustad Yunus jadi mengingat momen pertemuannya tadi dengan Ayah Cakra.Aneh sekali rasanya, mengapa pria itu tiba-tiba memintanya untuk menikahi Naya. Apalagi sampai menjadikannya istri kedua?'Apa ada sesuatu yang terjadi sama Naya, ya?' batinnya berpikir.Sepertinya tidak mungkin pria itu melakukan hal semacam itu jika tidak ada penyebabnya. Ustad Yunus pun tahu betul, bagaimana Ayah Cakra yang dulunya tidak menyukainya.'Ah semoga saja nggak ada apa-apa. Ya Allah ... tolong lindungi Naya. Kalau misalkan dia sedang sakit tolong sembuhkan lah. Naya adalah perempuan yang sangat baik. Aku akan ikut bersedih jika melihatnya sakit,' batinnya berdo'a.*"Udahan, Dek, nangisnya. Ini sudah sampai rumah ... nggak enak kalau Umi tau," tegur Ustad Yunus dengan lembut, saat tak terasa akhirnya mobil taksi yang mereka tunggani berhenti di depan rumah.'Memang kenapa kalau Umi tau?! Apa Mas takut?' batinnya kesal.Setelah membayar ongkos taksi, Ustad Yunus lantas mengajak istrinya masuk ke dalam rumah. Dan bertepatan sekali dengan Umi Mae yang baru saja keluar dari dapur."Ehhh ... ternyata kalian pergi berdua? Umi kira ke mana. Tapi kenapa nggak pamit dulu?"Saat Yumna berhasil menyusul Ustad Yunus, perempuan itu memang tidak pamit kepadanya. Jadi wajar Umi Mae bertanya demikian."Iya, Umi, Maaf," jawab Ustad Yunus. "Eemmm ... Kalau begitu aku sama Dek Yumna masuk dulu ke kamar, ya? Ini juga sudah mau Magrib.""Ya udah. Tapi itu Yumna nggak kenapa-kenapa, kan, Nus?? Kok kayak nangis?" tanya Umi Mae yang memerhatikan menantunya.Perempuan itu masih bersembunyi dibalik kaos suaminya. Pelukannya pun masih belum terlepas sama sekali."Dek Yumna hanya sedang salah paham padaku, Umi. Biar aku jelaskan padanya. Kami mau masuk dulu ke kamar, ya?""Ya udah sana." Umi Mae langsung mengelus rambut menantunya, kemudian membiarkannya masuk bersama sang anak. "Apa mereka ada masalah? Tapi semoga sih benar apa yang dikatakan Yunus benar ... itu hanya salah paham. Dan kira-kira ... Apa, ya, yang sempat Ayahnya Naya obrolkan dengan Yunus? Apa itu sesuatu yang penting?" Monolognya penasaran.Umi Mae lantas berlalu keluar dari rumah, hendak menuju ke warungnya sebab ingin dia tutup."Sekarang kamu mandi, Dek, biar kita bisa sholat Magrib bareng," titah Ustad Yunus saat keduanya duduk di atas kasur.Perlahan, kemudian akhirnya Yumna melepaskan pelukannya."Bukannya tadi pas Mas bilang sama Umi, kalau Mas mau jelaskan padaku, supaya nggak salah paham? Kok nggak langsung menjelaskan sekarang sih, Mas?" tanya Yumna menagih. Kedua tangannya itu langsung mengusap kedua pipinya yang basah."Oh iya, kamu nggak perlu salah paham dan berpikir seperti itu, Dek. Karena saya disini nggak ada niat untuk berpoligami.""Seriusan 'kan, Mas?" Meskipun sudah mendengar pertanyaannya, nyatanya Yumna belum bisa percaya sepenuhnya."Serius lah, Dek. Tapi saya meminta syarat padamu. Apakah bisa?""Syarat??" Kening Yumna seketika mengerenyit. "Syarat apa, Mas?""Berhentilah ber-KB, karena saya ingin punya anak, Dek.""KB?!" Yumna masih terlihat bingung. "Lho ... memang siapa yang KB, Mas?""Kok kamu nanya balik, sih, Dek?" Tatapan mata Ustad Yunus seketika menajam. Dia merasa tak puas dengan jawaban Yumna. "Kamu pikir saya nggak tau, ya, kalau selama ini kamu minum pil KB?"Yumna sontak membulatkan matanya. Segera dia pun berlari menuju nakas untuk mengambil tas jinjingnya kemudian merogoh ke dalam.Sepertinya apa yang suaminya maksud, itu berhubungan dari benda di dalam tasnya. "Apa Mas lihat pil KB yang ada di sini?" Yumna langsung menunjukkan selembar pil KB yang tak ada satu pil dis
"Mas ... Umi, aku duluan masuk ke kamar, ya?" pamit Yumna seraya berdiri.Baru lima menit mereka makan malam seusai sholat Isya, tapi Yumna sudah lebih dulu menyelesaikan makanannya dan sekarang justru ingin langsung masuk ke dalam kamar."Habis makan jangan langsung tidur, Nak, nggak boleh," tegur Umi Mae menasehati.Ustad Yunus hanya menatap istrinya sebentar sambil masih mengunyah nasi didalam mulut."Enggak kok, Umi, aku nggak mau langsung tidur," jawabnya yang terlihat malu-malu. Lalu menatap sebentar ke arah suaminya. "Mas juga jangan lama-lama makannya, aku tunggu Mas di dalam kamar, ya??" pintanya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit."Uhuk! Uhuk!" Ustad Yunus yang melihatnya langsung tersendak, buru-buru dia pun menenggak segelas air yang baru saja Umi Mae tuangkan."Kenapa sih kamu, Nus, kok enggak pelan-pelan makannya?""Enggak kenapa-kenapa kok, Umi." Ustad Yunus menggeleng, lalu mengulas sisa air yang membekas dibibir atasnya."Nggak usah grogi gitu kali, Mas. K
Hari pun berganti."Allahu Akbar Allahu Akbar!"Suara kumandang adzan Subuh seketika membangunkan Yumna yang sebelumnya tertidur pulas. Dan dia langsung menyadari bahwa dia telah melewatkan malam tanpa berhubungan badan dengan suaminya.Selain itu, tidak ada kehadiran Ustad Yunus di sampingnya."Apa aku semalam ketiduran?" gumamnya sembari menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima.Yumna segera beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.Dia berpikir suaminya pasti ada di dalam sana sedang mandi atau mengambil air wudhu."Maaass ...."Yumna perlahan membuka pintu dan melebarkannya, tapi ternyata tidak ada Ustad Yunus di dalam sana."Lho ... Kemana Mas Boy? Apa dia semalam nggak masuk kamar?"Yumna menggaruk rambutnya yang tiba-tiba terasa gatal. Dia pun memutuskan untuk keluar dari kamar untuk mencari suaminya."Mas Boy!!" panggil Yumna dengan suara agak keras.Ceklek~Pintu kamar sebelah perlahan terbuka, dan keluarlah Umi Mae dari dalam sana yang
Naya melangkah perlahan ke arah Ustad Yunus. Dia tampak ragu, namun ada keputusan yang tampak jelas di matanya. Tanpa berpikir dua kali, dia mendekap tubuh Ustad Yunus dari belakang."E-eeh!!"Ustad Yunus terperanjat. Dia merasa ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya dan ketika dia menoleh, dia melihat Naya."Naya?" Ustad Yunus berusaha melepaskan pelukan Naya, namun perempuan itu semakin erat memeluknya. "Apa yang kamu lakukan, Nay? Dan kenapa kamu ada di sini?"Naya tidak menjawab. Dia hanya memeluk Ustad Yunus dengan erat, seolah dia tidak ingin melepaskannya. Ustad Yunus bisa merasakan getaran ditubuh Naya. Dia tahu, ada sesuatu yang terjadi pada perempuan itu."Nay ... tolong jangan begini. Nggak enak kalau dilihat orang."Meskipun suasana masjid itu tampak sepi, tapi tetap saja apa yang dilakukan Naya tidak benar dan pantas dilakukan.Setelah beberapa saat berusaha, akhirnya Ustad Yunus berhasil melepaskan pelukan Naya. Dia juga langsung menjaga jarak.Perempuan itu menatap U
"Maaf sebelumnya, saya lupa bertanya tentang status Anda. Apakah Anda suaminya Nona Naya? Teman atau saudaranya?" Pertanyaan dari dokter itu seketika membuyarkan lamunan Ustad Yunus."Bukan, Dok." Ustad Yunus menggeleng. "Saya bukan siapa-siapanya.""Kalau begitu tolong hubungi keluarganya, Pak," pinta dokter. "Beritahukan mereka tentang kondisi Nona Naya supaya dia cepat mendapatkan perawatan khusus.""Tapi, Dok, apakah depresi yang dialami Naya bisa disembuhkan?" tanya Ustad Yunus yang masih penasaran dengan kondisi Naya."Tergantung pada tingkat depresinya, Pak. Saya tidak bisa memberikan penjelasan lebih lanjut ... karena saya bukan dokter spesialisnya. Tapi semoga saja Nona Naya bisa pulih. Dan saran saya, tolong minta keluarganya untuk mencari seseorang bernama Yunus, karena sejak tadi Nona Naya terus menyebut-nyebut namanya."Ustad Yunus merasa jantungnya berhenti sejenak mendengar kata-kata dokter itu.'Naya menyebut-nyebut namaku?' pikirnya. 'Apakah benar kondisinya seperti in
"Assalamualaikum, Dek ... lagi ngapain kamu?"Ustad Yunus berbicara saat setibanya di masjid dan turun dari mobil. Dia melihat seorang perempuan yang dia kenali adalah istrinya, sedang menyiram beberapa tanaman pada pot yang berada di sisi halaman masjid.Perempuan berhijab dusty itu perlahan menoleh. Dan seketika matanya berbinar-binar saat pandangan mata mereka bertemu."Mas Boy!!" Dengan girangnya, Yumna langsung berlari memeluk tubuh suaminya. Betapa senangnya dia, apalagi melihat pria itu memegang buket bunga yang dia pikir pasti untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini.""Mas Boy!!" seru Yumna dengan girang, segera berlari memeluk tubuh suaminya. Senyumnya begitu lebar, terlebih saat melihat buket bunga di tangan suaminya yang dia yakini itu untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini.""Maafin saya, Dek, tadi saya ke rumah sakit," jawab Ustad Yunus dengan wajah serius."Rumah sakit?" Yumna mengeru
'Ya ampun ... segala mules, mana kayak mau keluar lagi.'Ustad Yunus segera menyadari bahwa dia tidak bisa bertahan lebih lama di situasi ini. Dia buru-buru menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi, berencana akan kembali ke masjid.Saat mereka tiba di masjid, Ustad Yunus langsung berlari keluar dari mobil meninggalkan Yumna tanpa sepatah kata pun. Karena selain memang susah bicara, dia juga merasakan seolah-olah ujung pisang gorengnya sudah keluar didalam celana."Ada apa dengan Mas Boy? Dia aneh sekali," gumam Yumna dengan alis yang bertemu.Dia memperhatikan suaminya yang tersandung-sandung dengan kakinya sendiri, menuju tempat wudhu dan toilet yang berada di samping masjid."Oh ya, tadi Mas Boy juga bawa bunga." Yumna teringat akan buket bunga yang ditinggalkan di kursi mobil. Dia merasa curiga karena sebelumnya Ustad Yunus tidak memberikan kepadanya."Apa bunga ini bukan untukku, ya? Mangkanya nggak Mas Boy kasih?" pikir Yumna dengan rasa cemburu yang mulai muncul. Dia mengambi
"Ya Allah, Dek, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu," kata Ustad Yunus dengan suara serak. Yumna menatap tajam suaminya dengan raut bingung sekaligus kesal. Perkataan suaminya lama-lama menjengkelkannya sekali, benar-benar terlihat memihak kepada Naya. "Maksud Mas, aku harus diam saja gitu ... kalau melihat Mas mengkhianatiku? Oh ya tentu nggak dong!" tambahnya dengan tegas. "Enak saja, Mas pikir aku perempuan lemah? Nggak, ya!" Ustad Yunus menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tapi nggak perlu dengan cara membunuh segala, Dek. Selain itu perbuatan dosa ... kamu juga bisa masuk penjara," ujar Ustad Yunus dengan lembut, mencoba memberikan nasehat. "Biarkan saja, aku nggak takut!" tantang Yumna dengan menaikkan dagunya. "Dan Mas juga jangan lupa, kalau menyakiti hati seseorang itu juga merupakan hal yang berdosa! Perselingkuhan pun bisa dipidanakan, Mas!" "Tapi saya di sini nggak ada niat selingkuh, Dek," Ustad Yunus mencoba membela diri. "Ngg
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek