Bisnis kateringku kini telah stabil. Aki dan Om Satyo membuatnya berjalan lebih profesional. Dengan tujuan agar bisa membuat bisnis ini lebih besar lagi ke depannya. Kami pun me-Rebranding bisnis katering ini dengan memberi nama 'Kateringnya Juara'. Kami berharap nama ini akan menjadi doa dan menjadikan kami juara di bidangnya.Aku pun membeli sebuah rumah tepat di sebelah tempat operasional katering kami. Rumah tersebut aku pergunakan untuk dijadikan kantor administrasi dan marketing Kateringnya Juara. Karena kini kami membutuhkan dapur yang cukup luas untuk bisa memenuhi seluruh permintaan konsumen. Maka semua aktifitas selain proses memasak dipindahan ke rumah sebelah yang baru saja kubeli.Sekarang kami juga sedang bersiap membuka sebuah restoran, Oom Satyo yakin restoran ini nantinya akan menjadi besar.Ia sendiri turun tangan langsung untuk mengawal semua prosesnya sekaligus menjadi investor di restoran yang akan kubuka tersebut.Untuk sementara kami akan menyewa tempat yang str
Kesibukanku belakangan ini membuatku melupakan salah satu hal penting. Aku baru menyadari bahwa sudah 2 bulan ini tak datang bulan.Bergegas aku langsung mencari persedian testpack, yang memang sengaja aku stock banyak sebelumnya, karena penantianku akan garis dua beberapa bulan yang lalu.Setelah menemukannya aku segera menuju kamar mandi. Dan perlahan kucelupkan testpack tersebut ke urineku.Jantungku berdetak kencang, menanti tanda yang akan segera muncul.Positif.Dengan jelas alat tersebut menunjukan garis dua. Garis yang beberapa bulan lalu sangat aku nanti-nantikan kemunculannya. Yang akan sangat aku syukuri, dan aku akan berbahagia karenanya. Tapi itu jika terjadi dulu, beberapa bulan yang lalu.Namun kini ....Namun kini, entah apa yang kurasakan. Yang pasti aku ingin menangis kencang. Dadaku terasa sangat sesak. Seolah ada beban berat yang tak lagi bisa kutahanKutumpahkan semua tangisku. Ada haru bahagia, hal yang sudah kunanti-nantikan selama 19 bulan kini menjadi kenyataa
Aku terbaring lemah di kasur. Mas Juna mengangkatku dari kamar mandi dan menggantikanku baju, kemudian ia juga membaringkan dan menyelimuti agar tubuhku hangat.Mas Juna juga menyiapkan teh hangat di samping tempat tidur, tadi ia telah memaksaku untuk meminumnya, walau telah kutolak.Dan ternyata memang enak sekali teh hangat setelah lelah menangis. ****Pagi ini aku masih meringkuk di kamar. Setelah menunaikan sholat subuh, rasanya berat sekali untuk berkativitas. Kupegangi perutku yang masih rata. Rasanya tak percaya kini ada sebuah janin di perutku."Aruni ... Aruni ...." Terdengar suara Ibu Mertuaku datang. Aku mencoba bangkit untuk menyambutnya, tapi terasa terlalu berat diri ini bangkit. Biarlah toh ada Mas Juna."Kamu hamil Aruni, ah ... syukurlah .. akhirnya Juna akan mempunyai keturunan juga." Ibu menghampiriku, perlahan duduk di samping kasur. Ia pun erlahan memijit kakiku.Jelas Ibu juga terlihat bahagia akan berita kehamilanku.Sepertinya hanya aku yang bersedih setelah
Aku mencoba menerima kehamilanku yang ternyata tanpa sepengatahuanku kini sudah memasuki bulan ke tiga. Bagaimanapun ia adalah bagian dari diriku kini. Aku harus kuat untuk bayi yang tengah kukandung, apa pun yang terjadi.Dan kini aku juga harus kuat berjuang untuk bisnis yang tengah kurintis. Karena bisnis ini aku bisa merasa lebih hidup lagi. Tak kuhiraukan masalah Mas Juna atau pun yang lainnya.Membesarkan bisnis ini tujuanku bukanlah untuk menunjukkan kepada siapa pun bahwa aku mampu. Tapi agar para tulang punggung keluarga yang bekerja berasamaku dapat terus berusaha memberikan yang terbaik baik keluarganya.Kini ada sekitar 30 orang karyawan yang bekerja bersamaku. Mereka berasal dari kalangan ekonomi bawah, dan beberapa dari mereka adalah seorang single parent.Aku harus berhasil mengembangkan bisnis ini, bukan untuk menunjukan pada siapa pun bahkan bukan pula untuk membuktikan pada keluarga suamiku bahwa aku yang miskin ini bisa juga menjadi kaya. Tapi agar bisnis ini bisa
Bapak berniat untuk sowan mengunjungi mertuaku. Bapak merasa tak enak karena kemarin ketika selamatan mereka tak kuundang. Kali ini Aku tak bisa mengelak lagi, dan tak mungkin menahannya.Dan inilah aku berada di rumah mertuaku bersama Bapak."Alhamdulillah kalo sudah bisa berangkat umrah. Rejeki Bapak bisa berangkat lebih dulu dari kami." Kata Ibu ketika kami datang, memang di wajahnya terukir senyum, tapi jelas sekali matanya menunjukka rasa tidak suka."Alhamdulillah, semoga Berkah ya, Pak, " ucap bapak mertuaku menimpali."Aamiin terimakasih doanya, Bu, Pak.""Ini ada sedikit oleh-oleh untuk Bapak dan Ibu," bapak pun memberikan sebuah bingkisan yang cukup besar beeisi oleh-oleh dari tanah suci."Mohon maaf kemarin Aruni lupa mengundang bapak dan Ibu saat selametan. Aruni ini sekarang terlalu sibuk mengurus ....""Sibuk bekerja," potongku seketika, meluruskan ucapan Bapak agar sandiwaraku tak terbongkar."Iya sibuk bekerja," ulang Bapak lagi."Iya, tidak apa-apa, memang Aruni sek
Sudah 9 bulan berlalu semenjak awal mula keretakan rumah tanggaku terjadi. Yaitu sejak ketahuannya Mas Juna memakai uang yang bukan haknya itu, entah untuk apa.Sejak itu pula Ia tak lagi menafkahiku. Kini kehamilanku menginjak 7 bulan. Meski sudah berjanji akan menafkahiku beserta anak yang sedang kukandung, dari usaha mengojegnya, namun buktinya sepeserpun tak pernah Mas Juna memberiku uang.Sebenarnya berulang kali terbersit pemikiran untuk segera mengakhiri rumah tangga ini. Rasanya tak ada harapan, hidup bersama orang yang tak lagi komitmen pada janjinya. Untuk menafkahi dan berjanji untuk setia.Namun, kadang aku masih berharap Mas Juna akan kembali bertanggung jawab seperti awal-awal pernikahan dulu.Masalah nafkah yang tak diberikan, aku pun berpikir, toh aku masih mampu menghidupi diriku dan janinku. Pun jika Mas Juna tak bekerja lagi, aku tetap bisa membiayainya juga, tentunya dari bisnisku kini yang semakin berkembang.Lihat saja Andin, kini ia juga menjadi seorang tulang p
Seminggu lewat sudah berlalu, masih tak ada kabar berarti tentang hal yang mencurigakan dari keseharian Mas Juna. Berarti sudah 2 minggu detektif itu mengikuti gerak-gerik Mas Juna, kecuali jika malam, karena Mas Juna bersamaku.Aku jadi berpikir, jangan-jangan benar apa kata detektif itu, memang Mas Juna tak macam-macam. Jangan-jangan semua hanya kekhawatiranku saja.Apa aku harus menyerah dan menerima kondisi suamiku apa adanya? Soal nafkah, mungkin bisa dibicarakan baik-baik dan dicari solusinya bersama. Aku bisa membiarkan Mas Juna membantuku mengelola bisnisku. Agar aku dapat fokus mengurus anak nantinya.Tapi, tiba-tiba sebuah foto masuk datang dari si detektif. Aku buru-buru membukanya.Sebuah screenshoot pesan dia kirimkan padaku.[Mas, kapan datang kerumah lagi? Anak-anak nanyain terus.]Hanya itu isi pesan dari screenshoot yang dikirim detektif sewaanku.[Baru saja datang pesannya. Hot from the oven.] Kata si detektif.[Suamiku balas apa?]Cukup lama aku menunggu balasan s
Sepagian ini aku merasakan ngilu di pangkal pahaku, perutku pun sesekali terasa sakit. Sepertinya aku kelelahan juga terlalu banyak pikiran. Mungkin bayi di perutku menuntut haknya untuk beristirahat sejenak.Selepas Mas Juna berangkat, aku merebahkan diri di kamar. Tak lupa memberi kabar kepada seluruh staff bahwa hari ini aku tak akan datang. Jika ada hal penting bisa dialihkan kepada Andin.Saat mencoba terlelap, aku merasakan sakit yang teramat sakit di perutku. Bergegas ku telpon Mas Juna, namun tak kunjung diangkat, mungkin sedang mengendarai motornya.Lalu aku menghubungi Bapak mertuaku mengingat jarak rumah kami yang cukup dekat dibanding hatus menghubungi Bapak dan kak Dini. Beruntung langsung dijawabnya. Ia menginstruksikan aku agar tenang, Ia akan segera datang. Selagi menunggu mertuaku, aku pun memesan taksi online agar segera datang dan bisa membawaku ke rumah sakit.Terdengar suara ketukan dan salam Bapak dan Ibu mertuaku datang menghampiri. Mereka menanyakan kondisiku.
Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene
"Bagaimana kabar Dio?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya pada Fania sepupu Dio yang sedang menemaniku di rumah sakit.Sudah dua hari ini aku dan Dio mendapatkan perawatan setelah kejadian penyanderaan malam itu. Beruntung aku hanya kelelahan dan dehidrasi saja. Juga mendapatkan perawatan atas luka bakar yang diberikan Om Erlang di pahaku. Sedangkan Dio pagi tadi harus menjalani opersi besar karena livernya terluka akibat serangan yang ia terima saat menolongku."Dio masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah stabil sekarang." Kabar dari Fania cukup membuat aku lega, sungguh yang aku takutkan saat ini adalah kehilangan Dio setelah semua yang terjadi pada kami."Tenang, Dio pasti akan baik-baik saja. Operasinya sudah berhasil. Dan Dio pasti akan pulih dengan cepat, Aruni." Sepertinya Fania melihat kegelisahanku. Sambil menggenggam tanganku, wanita yang memang selalu ceria di setiap suasana itu berusaha menenangkanku."Terima kasih, Fania. Terima kasih atas semua dukun
"Kamu tahu Aruni, sekian tahun aku memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membalaskan dendamku ini. Sekian lama aku mencari siapa orang yang disayangi oleh Satyo, hingga akhirnya aku tahu tentangmu. Keponakan Satyo yang baru saja berkembang. Yang dijaga dan selalu diawasi Satyo. Aku mencari tahu tentangmu. Mencari cara bagaimana bisa mendekatimu. Sampai aku harus mendatangi mantan suamimu. Tapi semuanya nihil tidak berhasil!" lanjut Om Erlang lagi dengan menggebu-gebu. "Tapi ternyata takdir baik berpihak padaku. Tiba-tiba saja kudengar kamu menikah dengan Dio, keponakanku sendiri. Kamu seolah datang dan menyerahkan dirimu sendiri ke tanganku Aruni," Om Erlang kini membelai rambutku dengan lembut. Tapi seketika menimbulkan perasaan takut yang amat sangat pada diriku."Terima kasih Aruni! Terima kasih karena kau telah datang sendiri padaku!" ucap Om Erlang lagi dengan amat puas.Saat ini aku hanya bisa menangis. Puluhan rasa menjadi satu. Takut, bingung, sedih, marah kecewa semuanya k
Entah sudah berapa jam aku menunggu di dalam ruangan gelap dan pengap ini. Galang meninggalkanku begitu saja setelah ia mendapat telepon yang entah dari siapa tadi saat matahari masih cukup terang hingga kini sudah gelap gulita.Badanku kini terasa makin lemah aku teringat sejak pagi tadi belum mengkonsumsi apa pun karena memang tak nafsu. Belum lagi aku juga terus berusaha untuk melepaskan ikatan di badanku meski sama sekali tak ada perubahan apa pun.Sungguh rasanya aku hampir putus asa, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadapi ajal dengan cara yang mengenaskan begini.Saat sedang meratapi nasib, tiba-tiba terdengar sebuah mobil mendekat. Aku terus berusaha untuk tetap waspada. Entah kali ini apa yang akan terjadi padaku.Tak lama pintu pun terbuka, kulihat Om Erlang yang kupastikan otak dari semua ini datang menghampiri.Dengan begitu tenang, seolah tak terjadi apa pun, lelaki itu tersenyum manis padaku. "Aruni ... bagaimana rasanya berada di sini dengan keadaan terikat begini
Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan
"Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t
"Halo Aruni, perkenalkan saya Erlangga Putra Airlangga!" Suara bariton Om Erlang cukup membuatku terkesima saat pertama mendengarnya. Postur tubuhnya yang besar dan kekar sangat menampakkan sifat dominannya. Sekali lihat siapapun akan tahu bahwa dia adalah orang yang penuh kuasa.Om Erlang secara khusus menyambut kedatanganku dengan Dio. Ia menyunggingkan senyum yang tampak ramah saat menatapku. Meski jujur saja, senyumnya itu terlihat aneh terlukis di wajah sangarnya."Halo, Om... perkenalkan saya Aruni!" ucapku perlahan setelah Dio memberi isyarat agar aku membalas jabatan tangan dari Om Erlang."Kamu cantik sekali, Aruni!" puji Om Erlang yang masih tampak tersenyum menatapku."Terima kasih, Om!" Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa ucapannya bukanlah sebuah pujian."Maaf, ya, karena kami baru bisa menyambutmu menjadi keluarga sekarang, Aruni! Lagi pula Dio juga nih, menikah tanpa memberitahukan keluarga besar. Padahal kan seharusnya kamu mengu
"Sebenarnya acara apa itu, Dio?" tanyaku pada lelaki yang baru saja sampai dari tempat kerjanya saat ia juga ternyata menyampaikan undangan yang sama dari Om Erlang pada kami berdua.Aku benar-benar merasa curiga dengan undangan ini. Bukankah kemarin mereka masih mengibarkan bendera perang padaku, menuntut agar aku untuk meminta maaf atas kesalahan anaknya itu."Undangan biasa, kok, Sayang! Keluargaku kan memang suka mengadakan acara seperti ini. Sekalian katanya mereka ingin kenal denganmu!" terang Dio."Kamu yakin, Dio? Bukannya mereka kemarin masih menyindir-nyindir aku untuk meminta maaf pada Galuh, sekarang malah Galuh sendiri yang datang menemuiku untuk datang ke rumahnya. Seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia.""Mmmh... ya... pada dasarnya memang ini acara yang sering keluargaku adakan. Tapi.. acara besok memang sangat dadakan sekali. Bahkan semuanya baru dikabarkan sore tadi." Kini raut wajah Dio berubah serius. Ia pun mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras."S
"Bagaimana kondisi Arjuna? Apa saja yang kamu bicarakan dengannya tadi, Sayang?" tanya Dio yang kini sedang fokus dibelakang kemudinya. Setelah mendengar apa yang dibicarakan Mas Juna tadi, aku tak banyak bicara. Kepalaku sakit bukan main. Rasanya terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Rahasia Dio dan sepupunya Galuh, masalah dengan keluarga Galuh, tekanan dari Ibunya Mas Juna yang masih menyalahkanku atas kondisi anaknya saat ini, lalu kini ditambah lagi tentang apa yang dikatakan Mas Juna tentang Om Satyo dan lelaki bernama Hendro itu. Arghh.. semuanya benar-benar memusingkan.Aku tak segera menjawab pertanyaan Dio, rasanya malas untuk membuka mulut ini dan mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiranku tersentak saat Dio menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi menggenggam setir. "Are you okay, Honey? Dari tadi kamu ngelamun. Mikirin apa, sih?" tanya Dio sambil sesekali menatapku penuh khawatir."I'm okey, Dio! Sorry, aku lagi ga enak badan kayakn