Aku mencoba menerima kehamilanku yang ternyata tanpa sepengatahuanku kini sudah memasuki bulan ke tiga. Bagaimanapun ia adalah bagian dari diriku kini. Aku harus kuat untuk bayi yang tengah kukandung, apa pun yang terjadi.Dan kini aku juga harus kuat berjuang untuk bisnis yang tengah kurintis. Karena bisnis ini aku bisa merasa lebih hidup lagi. Tak kuhiraukan masalah Mas Juna atau pun yang lainnya.Membesarkan bisnis ini tujuanku bukanlah untuk menunjukkan kepada siapa pun bahwa aku mampu. Tapi agar para tulang punggung keluarga yang bekerja berasamaku dapat terus berusaha memberikan yang terbaik baik keluarganya.Kini ada sekitar 30 orang karyawan yang bekerja bersamaku. Mereka berasal dari kalangan ekonomi bawah, dan beberapa dari mereka adalah seorang single parent.Aku harus berhasil mengembangkan bisnis ini, bukan untuk menunjukan pada siapa pun bahkan bukan pula untuk membuktikan pada keluarga suamiku bahwa aku yang miskin ini bisa juga menjadi kaya. Tapi agar bisnis ini bisa
Bapak berniat untuk sowan mengunjungi mertuaku. Bapak merasa tak enak karena kemarin ketika selamatan mereka tak kuundang. Kali ini Aku tak bisa mengelak lagi, dan tak mungkin menahannya.Dan inilah aku berada di rumah mertuaku bersama Bapak."Alhamdulillah kalo sudah bisa berangkat umrah. Rejeki Bapak bisa berangkat lebih dulu dari kami." Kata Ibu ketika kami datang, memang di wajahnya terukir senyum, tapi jelas sekali matanya menunjukka rasa tidak suka."Alhamdulillah, semoga Berkah ya, Pak, " ucap bapak mertuaku menimpali."Aamiin terimakasih doanya, Bu, Pak.""Ini ada sedikit oleh-oleh untuk Bapak dan Ibu," bapak pun memberikan sebuah bingkisan yang cukup besar beeisi oleh-oleh dari tanah suci."Mohon maaf kemarin Aruni lupa mengundang bapak dan Ibu saat selametan. Aruni ini sekarang terlalu sibuk mengurus ....""Sibuk bekerja," potongku seketika, meluruskan ucapan Bapak agar sandiwaraku tak terbongkar."Iya sibuk bekerja," ulang Bapak lagi."Iya, tidak apa-apa, memang Aruni sek
Sudah 9 bulan berlalu semenjak awal mula keretakan rumah tanggaku terjadi. Yaitu sejak ketahuannya Mas Juna memakai uang yang bukan haknya itu, entah untuk apa.Sejak itu pula Ia tak lagi menafkahiku. Kini kehamilanku menginjak 7 bulan. Meski sudah berjanji akan menafkahiku beserta anak yang sedang kukandung, dari usaha mengojegnya, namun buktinya sepeserpun tak pernah Mas Juna memberiku uang.Sebenarnya berulang kali terbersit pemikiran untuk segera mengakhiri rumah tangga ini. Rasanya tak ada harapan, hidup bersama orang yang tak lagi komitmen pada janjinya. Untuk menafkahi dan berjanji untuk setia.Namun, kadang aku masih berharap Mas Juna akan kembali bertanggung jawab seperti awal-awal pernikahan dulu.Masalah nafkah yang tak diberikan, aku pun berpikir, toh aku masih mampu menghidupi diriku dan janinku. Pun jika Mas Juna tak bekerja lagi, aku tetap bisa membiayainya juga, tentunya dari bisnisku kini yang semakin berkembang.Lihat saja Andin, kini ia juga menjadi seorang tulang p
Seminggu lewat sudah berlalu, masih tak ada kabar berarti tentang hal yang mencurigakan dari keseharian Mas Juna. Berarti sudah 2 minggu detektif itu mengikuti gerak-gerik Mas Juna, kecuali jika malam, karena Mas Juna bersamaku.Aku jadi berpikir, jangan-jangan benar apa kata detektif itu, memang Mas Juna tak macam-macam. Jangan-jangan semua hanya kekhawatiranku saja.Apa aku harus menyerah dan menerima kondisi suamiku apa adanya? Soal nafkah, mungkin bisa dibicarakan baik-baik dan dicari solusinya bersama. Aku bisa membiarkan Mas Juna membantuku mengelola bisnisku. Agar aku dapat fokus mengurus anak nantinya.Tapi, tiba-tiba sebuah foto masuk datang dari si detektif. Aku buru-buru membukanya.Sebuah screenshoot pesan dia kirimkan padaku.[Mas, kapan datang kerumah lagi? Anak-anak nanyain terus.]Hanya itu isi pesan dari screenshoot yang dikirim detektif sewaanku.[Baru saja datang pesannya. Hot from the oven.] Kata si detektif.[Suamiku balas apa?]Cukup lama aku menunggu balasan s
Sepagian ini aku merasakan ngilu di pangkal pahaku, perutku pun sesekali terasa sakit. Sepertinya aku kelelahan juga terlalu banyak pikiran. Mungkin bayi di perutku menuntut haknya untuk beristirahat sejenak.Selepas Mas Juna berangkat, aku merebahkan diri di kamar. Tak lupa memberi kabar kepada seluruh staff bahwa hari ini aku tak akan datang. Jika ada hal penting bisa dialihkan kepada Andin.Saat mencoba terlelap, aku merasakan sakit yang teramat sakit di perutku. Bergegas ku telpon Mas Juna, namun tak kunjung diangkat, mungkin sedang mengendarai motornya.Lalu aku menghubungi Bapak mertuaku mengingat jarak rumah kami yang cukup dekat dibanding hatus menghubungi Bapak dan kak Dini. Beruntung langsung dijawabnya. Ia menginstruksikan aku agar tenang, Ia akan segera datang. Selagi menunggu mertuaku, aku pun memesan taksi online agar segera datang dan bisa membawaku ke rumah sakit.Terdengar suara ketukan dan salam Bapak dan Ibu mertuaku datang menghampiri. Mereka menanyakan kondisiku.
Akhirnya aku bisa berkumpul juga dengan bayiku. Hal yang paling aku nanti-nantikan setelah kemarin aku pulang kerumah sendirian, karena bayiku masih harus mendapat perawatan di NICU. Tapi alhamdulillah tepat seminggu setelah ia dilahirkan, kini aku bisa bersama dengannya.Bapak mengurus segala administrasi kepulangan bayiku. Walau biaya yang harus dikeluarkan cukup besar, namun sebanding dengan kebahagiaan saat bisa menggendongnya secara langsung.Alhamdulillah juga, aku diberi kelancaran rejeki oleh Allah dari bisnis yang tengah aku jalani. Sehingga hal ini tak lagi memberatkanku.Aku pulang dengan ditemani Bapak dan Bi Susi, beliau adalah salah satu kerabatku juga. Bapak memintanya untuk menemaniku mengurus bayi. Karena Bapak tahu aku tak akan sanggup jika sendirian.Sebenarnya Bapak juga memintaku untuk tinggal bersamanya dan Kak Dini saja. Namun aku menolaknya. Karena ada yang harus aku selsaikan dulu dengan Mas Juna dan keluarganya. Lagi pula, kak Dini juga sama sedang kerepotan
Keesokan harinya, aku meminta Mas Juna untuk tak berangkat lagi ke mana-mana. Karena ada yang akan aku katakan padanya.Semua rutinitas di pagi hari sudah selesai. Bayiku pun kini sudah mandi dan kembali terlelap. Aku pun menitipkannyanya pada Bi Susi dan menyiapkan ASI perah untuknya barangkali dia terbangun sedang urusanku belum selsai.Mas juna tengah menungguku di ruang tamu, kulihat ia duduk tegang. Seperti pesakitan yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi.Aku pun menghampirinya, duduk tepat di hadapannya agar aku bisa melihat segala ekspresinya. Aku tak mau lagi di bohongi."Mas ...," panggilku, memastikan bahwa ia sudah menyadari kehadiranku."Iya,Dek ...," jawabnya. Ia tak berani menatap mataku sama sekali. Baguslah jika ia merasa bersalah."Dari mana saja, Mas?" tanyaku langsung, to the point."Maaf, Dek, maafkan aku!" Bukannya menjawab pertanyaanku ia malah meminta maaf. Rupanya bisa juga ia semerasa bersalah itu?"Aku bertanya kamu dari mana saja, Mas?" ulangku lagi
*Flashback on.Semua sudah jelas kini. Bukti yang kumiliki sudah cukup untuk menggugat cerai Mas Juna.Tak memberi Nafkah dan perselingkuhan. Itu yang akan menjadi alasanku untuk menggugatnya.Pada saat di rumah sakit kemarin, setelah selesai operasi aku mendapat pesan dari detektif sewaanku.Sebuah percakapan antara suamiku dan wanita itu.08132xx [Mas, aku kehabisan uang, Geo dan Gia minta susu terus, sedangkan persediaan di rumah sudah habis.]08576xxx [Nanti kutransfer.]08576xxx [Aku sudah mengirimkan uangnya!]08132xxx [Mas, maaf, bisa tolong ke rumah? Aku kelelahan hari ini. Gani seharian rewel, Gio dan Gia pun tak bisa berhenti mengacak-acak rumah.]08576xxx [Baiklah, nanti aku akan mampir sebentar.]08132xxx [Gia panas, dia tak mau makan sama sekali. Tidurnya pun tak nyenyak]08576xxx [Besok kita bawa Gia ke rumah sakit.]08132xxx [Mas, jadi bawa Gia ke rumah sakit? Gia panasnya semakin tinggi. Aku khawatir Mas.]08132xxx [Mas, kapan akan datang? Gia menggigil dan mengigau teru