Sudah 9 bulan berlalu semenjak awal mula keretakan rumah tanggaku terjadi. Yaitu sejak ketahuannya Mas Juna memakai uang yang bukan haknya itu, entah untuk apa.Sejak itu pula Ia tak lagi menafkahiku. Kini kehamilanku menginjak 7 bulan. Meski sudah berjanji akan menafkahiku beserta anak yang sedang kukandung, dari usaha mengojegnya, namun buktinya sepeserpun tak pernah Mas Juna memberiku uang.Sebenarnya berulang kali terbersit pemikiran untuk segera mengakhiri rumah tangga ini. Rasanya tak ada harapan, hidup bersama orang yang tak lagi komitmen pada janjinya. Untuk menafkahi dan berjanji untuk setia.Namun, kadang aku masih berharap Mas Juna akan kembali bertanggung jawab seperti awal-awal pernikahan dulu.Masalah nafkah yang tak diberikan, aku pun berpikir, toh aku masih mampu menghidupi diriku dan janinku. Pun jika Mas Juna tak bekerja lagi, aku tetap bisa membiayainya juga, tentunya dari bisnisku kini yang semakin berkembang.Lihat saja Andin, kini ia juga menjadi seorang tulang p
Seminggu lewat sudah berlalu, masih tak ada kabar berarti tentang hal yang mencurigakan dari keseharian Mas Juna. Berarti sudah 2 minggu detektif itu mengikuti gerak-gerik Mas Juna, kecuali jika malam, karena Mas Juna bersamaku.Aku jadi berpikir, jangan-jangan benar apa kata detektif itu, memang Mas Juna tak macam-macam. Jangan-jangan semua hanya kekhawatiranku saja.Apa aku harus menyerah dan menerima kondisi suamiku apa adanya? Soal nafkah, mungkin bisa dibicarakan baik-baik dan dicari solusinya bersama. Aku bisa membiarkan Mas Juna membantuku mengelola bisnisku. Agar aku dapat fokus mengurus anak nantinya.Tapi, tiba-tiba sebuah foto masuk datang dari si detektif. Aku buru-buru membukanya.Sebuah screenshoot pesan dia kirimkan padaku.[Mas, kapan datang kerumah lagi? Anak-anak nanyain terus.]Hanya itu isi pesan dari screenshoot yang dikirim detektif sewaanku.[Baru saja datang pesannya. Hot from the oven.] Kata si detektif.[Suamiku balas apa?]Cukup lama aku menunggu balasan s
Sepagian ini aku merasakan ngilu di pangkal pahaku, perutku pun sesekali terasa sakit. Sepertinya aku kelelahan juga terlalu banyak pikiran. Mungkin bayi di perutku menuntut haknya untuk beristirahat sejenak.Selepas Mas Juna berangkat, aku merebahkan diri di kamar. Tak lupa memberi kabar kepada seluruh staff bahwa hari ini aku tak akan datang. Jika ada hal penting bisa dialihkan kepada Andin.Saat mencoba terlelap, aku merasakan sakit yang teramat sakit di perutku. Bergegas ku telpon Mas Juna, namun tak kunjung diangkat, mungkin sedang mengendarai motornya.Lalu aku menghubungi Bapak mertuaku mengingat jarak rumah kami yang cukup dekat dibanding hatus menghubungi Bapak dan kak Dini. Beruntung langsung dijawabnya. Ia menginstruksikan aku agar tenang, Ia akan segera datang. Selagi menunggu mertuaku, aku pun memesan taksi online agar segera datang dan bisa membawaku ke rumah sakit.Terdengar suara ketukan dan salam Bapak dan Ibu mertuaku datang menghampiri. Mereka menanyakan kondisiku.
Akhirnya aku bisa berkumpul juga dengan bayiku. Hal yang paling aku nanti-nantikan setelah kemarin aku pulang kerumah sendirian, karena bayiku masih harus mendapat perawatan di NICU. Tapi alhamdulillah tepat seminggu setelah ia dilahirkan, kini aku bisa bersama dengannya.Bapak mengurus segala administrasi kepulangan bayiku. Walau biaya yang harus dikeluarkan cukup besar, namun sebanding dengan kebahagiaan saat bisa menggendongnya secara langsung.Alhamdulillah juga, aku diberi kelancaran rejeki oleh Allah dari bisnis yang tengah aku jalani. Sehingga hal ini tak lagi memberatkanku.Aku pulang dengan ditemani Bapak dan Bi Susi, beliau adalah salah satu kerabatku juga. Bapak memintanya untuk menemaniku mengurus bayi. Karena Bapak tahu aku tak akan sanggup jika sendirian.Sebenarnya Bapak juga memintaku untuk tinggal bersamanya dan Kak Dini saja. Namun aku menolaknya. Karena ada yang harus aku selsaikan dulu dengan Mas Juna dan keluarganya. Lagi pula, kak Dini juga sama sedang kerepotan
Keesokan harinya, aku meminta Mas Juna untuk tak berangkat lagi ke mana-mana. Karena ada yang akan aku katakan padanya.Semua rutinitas di pagi hari sudah selesai. Bayiku pun kini sudah mandi dan kembali terlelap. Aku pun menitipkannyanya pada Bi Susi dan menyiapkan ASI perah untuknya barangkali dia terbangun sedang urusanku belum selsai.Mas juna tengah menungguku di ruang tamu, kulihat ia duduk tegang. Seperti pesakitan yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi.Aku pun menghampirinya, duduk tepat di hadapannya agar aku bisa melihat segala ekspresinya. Aku tak mau lagi di bohongi."Mas ...," panggilku, memastikan bahwa ia sudah menyadari kehadiranku."Iya,Dek ...," jawabnya. Ia tak berani menatap mataku sama sekali. Baguslah jika ia merasa bersalah."Dari mana saja, Mas?" tanyaku langsung, to the point."Maaf, Dek, maafkan aku!" Bukannya menjawab pertanyaanku ia malah meminta maaf. Rupanya bisa juga ia semerasa bersalah itu?"Aku bertanya kamu dari mana saja, Mas?" ulangku lagi
*Flashback on.Semua sudah jelas kini. Bukti yang kumiliki sudah cukup untuk menggugat cerai Mas Juna.Tak memberi Nafkah dan perselingkuhan. Itu yang akan menjadi alasanku untuk menggugatnya.Pada saat di rumah sakit kemarin, setelah selesai operasi aku mendapat pesan dari detektif sewaanku.Sebuah percakapan antara suamiku dan wanita itu.08132xx [Mas, aku kehabisan uang, Geo dan Gia minta susu terus, sedangkan persediaan di rumah sudah habis.]08576xxx [Nanti kutransfer.]08576xxx [Aku sudah mengirimkan uangnya!]08132xxx [Mas, maaf, bisa tolong ke rumah? Aku kelelahan hari ini. Gani seharian rewel, Gio dan Gia pun tak bisa berhenti mengacak-acak rumah.]08576xxx [Baiklah, nanti aku akan mampir sebentar.]08132xxx [Gia panas, dia tak mau makan sama sekali. Tidurnya pun tak nyenyak]08576xxx [Besok kita bawa Gia ke rumah sakit.]08132xxx [Mas, jadi bawa Gia ke rumah sakit? Gia panasnya semakin tinggi. Aku khawatir Mas.]08132xxx [Mas, kapan akan datang? Gia menggigil dan mengigau teru
"Ismi ... dia hanya sebatang kara di sini. Ia pernah berniat bunuh diri, karena tidak kuat menjalani kehidupan setelah suaminya meninggal. Dan aku berjanji akan menjaga dirinya dan anak-anaknya sebagai bentuk tanggung jawabku." lanjut Mas Juna lagi."Aku juga mencoba mencari pekerjaan lagi. Namun memang tak semudah itu. Apalagi aku dipecat secara tak terhormat sebelumnya yang mungkin menyebabkan semakin sulit untukku mendapat pekerjaan.""Makanya aku memilih mengojeg. Semua penghasilanku untuk membiayai Ismi dan anak-anaknya karena Ismi tak mungkin bekerja sedang ia harus menjaga tiga anaknya," terangnya lagi.Sungguh ..., aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat mendengar semua yang Mas Juna tuturkan. Rasanya tak percaya akan semua yang dikatakannya. Rasanya tak masuk akal.Lalu aku mencoba mengingat tentang kejadian yang ia maksud, jika benar apa yang dikatakannya, kapan kiranya itu terjadi.Apa sebulan sebelum ia dipecat itu kejadiannya? Ketika kudapati Ia begitu kusut, dan tidur m
POV Arjuna.Pagi itu karena sedikit terlambat, aku menambah kecepatan motor agar dapat sampai tepat waktu ke bank tempatku bekerja. Pekerjaanku sebagai teller tidak menolerir keterlambatan sedikit pun. Aku harus sudah sampai di kantor maksimal 30 menit sebelum jam operasional bank buka untuk mempersiapkan semuanya terlebih dahulu.Kulajukan motorku dengan kencang, membelah jalanan yang entah kenapa sedikit lebih ramai hari itu. Hingga saat aku berada di sebuah persimpangan jalan, tiba-tiba saja aku kehilangan kendali, tak dapat kuhentikan motor ini saat lampu merah menyala. Lalu di simpang jalan kulihat ada sebuah motor lain yang melaju dari arah berlawanan hingga tabarakan pun tak dapat dihindari. Tabrakan itu adalah tabrakan yang biasa aaja sebenarnya, tidak terlalu keras sekali, bahkan aku pun masih bisa menahan diri hingga tak terpental jatuh dari motor. Hanya saja, motor yang menabrakku itu jatuh dan terpental jauh sekali. Bahkan pengemudinya sampai menabrak trotoar dan juga ke