Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene
"Apa ... berhenti kerja, Mas?" tanyaku kaget, ketika kudapati suamiku--Mas Arjuna-- pulang cepat hari ini. Biasanya ia baru akan sampai rumah selepas magrib. Pekerjaannya sebagai teller di salah satu bank swasta memang menyita waktu. Apalagi kalau ada selisih, ia bisa pulang sampai rumah pukul delapan atau sembilan malam."Kenapa bisa mendadak berhenti kerja, Mas?"Jujur berita ini sangat mengagetkanku. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba suamiku itu mengatakan berhenti dari tempat kerjanya yang selama ini selalu ia banggakan itu."Ya ... pengen berhenti aja. Banyak ketidakcocokkan denganku di situ. Dari pada terus makan hati," jawabnya dengan santai, seakan yang terjadi bukan hal yang besar.Aku tak sepenuhnya percaya atas ucapannya. Rasanya aneh saja, padahal setiap hari ia selalu menceritakan penuh semangat tentang pekerjaannya itu pada siapa pun. Atau mungkin saja ada suatu masalah yang cukup besar sampai-sampai Ia memilih berhenti secara mendadak."Terus rencana ke depannya gim
Selepas kepulangan mertuaku, Mas Juna masih diam tak bersuara apa pun. Saat makan pun ia tetap diam, dan selesai makan, kembali ia mengurung diri di kamar.Aku pun rasanya malas membahas semua masalah itu lagi. Rasanya terlalu sakit dibohongi dua kali. Yang pertama aku dibohongi tentang tabungan dari gaji bulanannya setiap bulan, dan yang kedua aku dibohongi tentang penggelapan uang 50 juta itu sekaligus tentang pemecatannya.Yang aku bingungkan bagaimana caranya mengumpulkan uang 50 juta sampai akhir bulan ini?Lalu bagaimana kehidupan kami selanjutnya?Awalnya aku tak begitu khawatir jika Mas Juna masih belum dapat pekerjaan sampai dua atau tiga bulan ke depan, karena aku mengira bahwa pasti Mas Juna masih punya uang simpanan dan pesangon di tabungannya. Namun setelah mengetahui bahwa Ia bahkan tak memiliki uang sepeser pun membuatku makin stres.Bisakah kami bertahan kedepannya?Sisa uang di tanganku dari jatah bulanan yang diberi Mas Juna tinggal satu juta, tabunganku pun dari s
Malam ini aku menunggu Mas Juna terlelap terlebih dahulu, tentu saja aku aku melakukannya agar mendapat kesempatan untuk bisa mencari jejak akan kebusukan apa yang telah ia lakukan di belakangku sebenarnya.Setelah memastikan Mas Juna tertidur, pelan-pelan kuambil gawai dari genggamannya. Beruntung, gawainya masih dalam keadaan nyala dan tak terkunci, karena Mas Juna tertidur saat sedang bermain game.Gegas saja aku mengecek aplikasi berwarna hijau bergambar telepon. Mencari apakah ada hal yang mencurigakan di dalamnya.Namun, sangat aneh, di aplikasi tersebut sama sekali tak ada riwayat percakapan tersimpan. Hanya ada satu percakapan denganku dan percakapan dari grup yang itu pun isinya kosong semua, rupanya ia rutin menghapus semua percakapan di ponselnya tersebut.Tak habis akal aku pub mencoba mencari lagi di aplikasi yang lain, kubuka aplikasi bergambar biru di mana orang-orang selalu berbagi kabar berita. Kubuka bagian pesan, hanya ada beberapa percakapan dari beberapa bulan yan
Sudah lebih dari sebulan Mas Juna menganggur. Ini akhir bulan, biasanya Mas Juna sudah gajian dan memberikan uang untuk jatah bulananku yang hanya dua juta rupiah untuk semuanya itu.Ah ... mengingat itu aku merasa bodoh sendiri karena menerima begitu saja diberi uang dua juta dan mau saja menomboki dengan tabungan sendiri."Aruni, aku lapar! Tolong bikinkan mie rebus ya!" pintanya, sambil sedikit pun tak memalingkan matanya dari gawai di genggamannya itu.Aku hanya bisa menarik nafas panjang melihat tingkahnya itu. Jam saat ini masih menunjukan pukul 10 pagi. Sedang jam delapan tadi baru saja Mas Juna menghabiskan sarapan nasi gorengnya dan sekarang ia sudah minta makan lagi.Tidak bekerjanya Mas Juna malah membuat pengeluaran membengkak karena sebentar-sebentar ia teriak lapar dan meminta ini dan itu. Belum lagi kuota internetnya yang juga ikut membengkak saja.Uang tabunganku yang tersisa yang awalnya kukira cukup untuk dua bulan kedepan malah hanya cukup satu bulan saja.Kulihat
Hari ini Minggu pagi, aku mendapat giliran libur bekerja. Dan aku berencana untuk menengok Bapakku dirumah.Setelah mendapatkan izin dari Mas Juna aku pun bergegas pergi. Tentu saja sendirian. Dari semenjak menikah, Mas Juna tak pernah mau jika kuajak menjenguk Bapak. Apalagi dengan kondisinya sekarang yang menanggur, membuat dia bahkan tak mau bertemu siapa pun.Setelah menempuh hampir 20 menit perjalanan aku pun sampai di rumah tua tempat aku dibesar kan. Rumah yang selalu membuatku nyaman dan selalu kurindukan.Kulihat Kak Dini sedang menata dagangannya di roda untuk suaminya berjualan, disebelahnya Mas Andi sedang bersiap untuk berangkat menjajakan dagangannya.Ya suami kak Dini berjualan perabotan rumah tangga, ia berkeliling dari kampung ke kampung dengan sepeda motor yang telah dimodif agar bisa membawa roda berisi dagangannya. Penghasilannya tak menentu memang, tapi tak pernah kulihat mereka kekurangan untuk makan sehari-hari."Assalamualaikum," sapaku sambil langsung memeluk
Hari ini aku tak begitu semangat berangkat kerja. Kejadian kemarin masih terasa sakit di hati.Rasanya sia-sia saja aku bekerja, karena bahkan suamiku tak menganggapnya, padahal jelas lebih dari dua bulan ini Ia makan dari hasil jerih payahku.Bukannya aku perhitungan, tapi rasanya sakit ketika Ia bahkan tak membela aku saat jelas-jelas aku di cap miskin, penbawa sial juga mandul oleh keluarganya.Aku memang bukan dari keluarga berada seperti mereka. Tapi aku punya harga diri yang harus dijaga. Rasanya ingin sekali aku melabrak mereka saat itu juga. Sayangnya aku bukan tipe orang yang bisa berkonfrontasi langsung. Tak akan sanggup jika aku harus berteriak atu pun mencak-mencak di hadapan mereka. Terlebih mereka adalah keluarga suamiku yang mau tak mau harus kuhormati.***Saat sedang asyik memasak, tiba-tiba Kak Dini menghubungiku. Ia menyuruhku untuk segera pulang kerumah Bapak. Sekarang juga katanya. Setelah meminta izin pada Andin untuk bekerja setengah hari saja, aku langsung ber
Seperti kejatuhan durian runtuh, tentu saja itulah kondisi kami saat ini. Baru saja kemarin Kak Dini mengabarkan terkait warisan itu, awalnya kami pikir jumlahnya tak akan seberapa. Tapi ternyata kami salah.Sungguh aku tak percaya atas semua ini. Ternyata benar kata Bapak bahwa ayahnya mama atau kakekku adalah orang yang sangat kaya. Tapi aku tak pernah berani membayangkannya sama sekali.Setelah Om Satyo dan pengacaranya pulang, Bapak mengatakan bahwa uang dan rumah itu sepenuhnya hak kami. Ia tak ingin ikut campur. Bapak hanya ingin menikmati masa tuanya untuk beribadah.Aku dan kak Dini pun sepakat akan segera mendaftarkan bapak berangkat ke tanah suci dan merenovasi rumah. Itulah yang pertama kami sepakati. Selanjutnya kami masih bingung.Dan kini, aku pun bingung, apa yang akan aku katakan pada suamiku tentang warisan yang aku dapatkan ini? Akankah aku jujur padanya? Kira-kira apa responnya saat mengetahui bahwa istrinya kini menjadi miliyarder?.....Karena tak membawa jatah la