"Apa ... berhenti kerja, Mas?" tanyaku kaget, ketika kudapati suamiku--Mas Arjuna-- pulang cepat hari ini. Biasanya ia baru akan sampai rumah selepas magrib. Pekerjaannya sebagai teller di salah satu bank swasta memang menyita waktu. Apalagi kalau ada selisih, ia bisa pulang sampai rumah pukul delapan atau sembilan malam.
"Kenapa bisa mendadak berhenti kerja, Mas?"Jujur berita ini sangat mengagetkanku. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba suamiku itu mengatakan berhenti dari tempat kerjanya yang selama ini selalu ia banggakan itu."Ya ... pengen berhenti aja. Banyak ketidakcocokkan denganku di situ. Dari pada terus makan hati," jawabnya dengan santai, seakan yang terjadi bukan hal yang besar.Aku tak sepenuhnya percaya atas ucapannya. Rasanya aneh saja, padahal setiap hari ia selalu menceritakan penuh semangat tentang pekerjaannya itu pada siapa pun. Atau mungkin saja ada suatu masalah yang cukup besar sampai-sampai Ia memilih berhenti secara mendadak."Terus rencana ke depannya gimana, Mas?" tanyaku lagi memastikan padanya.Ya ... hampir semua istri pasti langsung berpikir jauh ke depan. Apalagi suami sebagai tulang punggung keluarga, harus dipikirkan bagaimana ke depannya tentang pemasukan bulanan."Ah.. banyak tanya kamu! Aku capek, Aruni! Suami pulang bukannya dibikinin kopi malah ditanya-tanya terus!" ketusnya sambil berlalu meninggalkanku yang masih bengong tak percaya atas kabar darinya.....Sudah seminggu sejak suamiku itu berhenti bekerja. Selama itu pula ia hanya berdiam diri di rumah saja, sibuk dengan gawainya. Ketika kulihat apa yang dilakukannya, ia ternyata sedang memainkan game di gawainya itu. Tak pernah sekalipun kulihat Mas Juna menginjakkan kaki keluar rumah.Aku pun tak berani bertanya perihal pekerjaan padanya, karena selalu saja hanya akan menjadi pertengkaran nantinya."Tok.. tok.. tok ...."Terdengar suara pintu diketuk, aku yang sedang sibuk memasak di dapur berharap Mas Arjuna akan membukakannya. Tapi sampai beberapa lama suara ketukan itu terus terdengar. Tampaknya lelaki itu sama sekali tak mau untuk sekedar membuka pintu saja.Dengan kesal aku pun bergegas membuka pintu. Mencari tahu siapa yang datang. Ternyata kulihat ada tiga lelaki yang mengenakan beragam bank tempat kerja suamiku dahulu."Maaf, Bu, apa Pak Arjuna ada di rumah?" tanya salah satu dari tamu itu sambil menunduk sopan."Ya, ada, tunggu biar saya panggilkan. Silakan masuk dan duduk dulu Pak!" Aku pun mempersilahkan mereka untuk masuk dan duduk di ruang tamu rumahku yang tidak terlalu luas itu."Mas, ada tamu, tuh!" Kulihat suamiku masih saja asyik dengan gawainya sambil berbaring di kasur."Siapa?" Ia seketika langsung duduk, mukanya mendadak menegang."Teman-teman kantormu!""Teman-teman kantorku? Bilang aku tak ada!" titahnya dengan wajah semakin panik."Tapi tadi aku sudah bilang kamu ada di rumah, Mas!""Duh ... dasar, kenapa pake bilang aku ada sih..." ketusnya ... Ia pun terlihat tak tenang dan makin tegang. Membuatku jadi penasaran, ada apa sebenarnya ini? Kenapa ia malah menghindar?"Ya udah sana Mas, temuin, aku bikinin minuman dulu!" Aku pun berlalu ke dapur. Menyiapkan 4 gelas sirop dan sedikit camilan untuk menjamu tamu.Kuperhatikan suamiku tak kunjung keluar kamar menemui tamunya. Aku pun berinisiatif menemui tamu-tamu suamiku sambil menyajikan minuman dan camilan di meja, kemudian mempersilahkan mereka untuk mencicipi."Pak Arjunanya mana ya, Bu?" Tanya salah satu tamu yang di name tag nya bertuliskan nama Dewo."Ada pak, sebentar saya panggilkan lagi!""Tapi Pak Arjuna sehat kan, Bu?" tanyanya lagi."Eh iya Pak, alhamdulillah sehat. Sebentar saya panggilkan, ya." Aku pun bergegas beranjak ke kamar. Kulihat Mas Arjuna sedang berjalan bolak-balik di dalam kamar, nampak kebingungan."Mas," panggilku"Mereka masih ada?" tanyanya."Ya, mereka nungguin kamu Mas.""Hhhah ... kamu sih, pake bilang aku ada."Kenapa lagi dia malah menyalahkan aku? Padahal dia sama sekali tidak berpesan apa pun sebelumnya."Cepetan sana Mas, mereka gak akan pulang kalau kamu gak temuin!”Kulihat, dengan wajah ketakutan suamiku itu pun akhirnya beranjak untuk menemui tamunya. Sementara itu aku memutuskan untuk kembali menuju dapur menyelesaikan memasak yang tinggal sebentar lagi saja.Selesai memasak karena penasaran, aku pun mencoba menguping apa yang sedang dibicarakan suamiku dan tamunya itu."Pokoknya kami tidak mau tahu ya Pak Juna, Anda harus menyelesaikan semuanya sampai akhir bulan! Jika akhir bulan ini semuanya belum selesai, terpaksa kami laporkan Bapak ke Polisi!"Aku tersentak kaget, ada apa sebenarnya? Kenapa membawa-bawa polisi di sini, ada masalah apa dengan suamiku sebenarnya?"Ehem ...," aku pun masuk ke ruang tamu. Kulihat suamiku hanya menunduk tak berdaya."Maaf bapak-bapak sebenarnya ini ada apa ,ya? Kok barusan saya denger bawa-bawa Polisi segala?" tanyaku penasaran. Bukaan bermaksud ikut campur, hanya saja aku merasa harus mengetahui semua secara jelas yang terjadi pada suamiku tu."Mmmh ... memang Ibu tidak tahu masalahnya di sini?" tanya salah satu tamu yang lainnya lagi. Aku pun menggeleng tegas."Kamu masuk saja Aruni, kamu gak usah ikut campur!" Mas Juna segera mengusirku."Oh, jadi Ibu belum tahu masalahnya, ya? Maaf Pak Juna, saya rasa Istri Anda harus tahu juga semua masalahnya. Biar sama-sama enak dan tak ada dan bisa segera mendapat solusi,” ucap lelaki yabg bernama Pak Dewo.Aku makin penasaran dan deg-degan. Memang ada masalah serius apa ini?"Jadi Bu ..., Pak Arjuna ini sudah menggelapkan uang nasabah, totalnya mencapai 50 juta. Dan kami datang kesini untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Karena kami minta Pak Arjuna untuk datang ke kantor tapi beliau tak kunjung datang."Aku tersentak kaget mendengar semuanya. Bagaimana mungkin Mas Arjuna bisa Menggelapkan uang nasabah 50 juta?Segera kutatap wajah Mas Juna, meminta penjelasan darinya. Tapi ia hanya terus menunduk, tak berani menatapku."Kami harap, Pak Arjuna dapat segera mengembalikan uang sebesar 50 juta tersebut sampai akhir bulan ini. Jika tidak terpaksa kami laporkan Pak Arjuna ke Polisi sebagai tindakan pidana.""Apa!? Lapor polisi?"Tiba-tiba saja suara lain terdengar, ternyata Ibu Mertuaku sudah berdiri di pintu dan sepertinya ia mendengar semua pembicaraan kami."Ibu ...." Mas Juna pun tampak semakin pucat ketika mendapati ibunya datang dan mengetahui perbuatannya.....Selepas kepulangan orang-orang dari bank tempat bekerjanya suamiku, kami berempat duduk di ruang tamu.Ya, tak lama Bapak mertuaku pun datang, setelah dihubungi oleh Ibu agar segera datang untuk membicarakan hal penting ini."Apa yang sudah kamu lakukan Juna? Menggelapkan uang? Buat apa itu Juna? Ayo jawab Bapak, jangan diam saja!" cecar Bapak penuh emosi.Mas Juna hanya menunduk tak berkutik. Pasti Ia merasa malu, atau mungkin juga merasa bersalah.Tapi ... yang membuatku tak mengerti kenapa selama seminggu ini Ia tak mengatakan apa pun kepadaku soal masalah ini. Ia juga malah bilang bahwa Ia berhenti kerja karena sudah tak cocok lagi. Padahal jelas tadi orang-orang Bank bilang bahwa Mas Juna di pecat secara tak terhormat karena masalah ini."Kamu bisa ganti uang 50 juta itu kan, Juna?" tanya ibu kini."Aruni, kalian punya tabungan berapa untuk mengganti uang tersebut?" Kini Ibu beralih menatapku, menunggu jawaban dariku."Aku gak tahu Bu..., Mas Juna yang pegang semua uang tabungan selama ini," jawabku jujur."Alah ... masa kamu gak tahu Aruni, pasti kamu yang menyuruh anakku untuk menggelapkan uang itu kan? Kamu pasti yang menikmati uang itu kan? Anakku gak mungkin melakukan perbuatan tak senonoh seperti itu. Apa kurang uang yang anakku kasih untuk kamu, hah?"Aku tersentak atas apa yang Ibu katakan padaku itu. Aku tahu selama ini ia memang tidak begitu menyukaiku, tapi bisa-bisanya ia berpikiran sepicik itu padaku.Aku melihat ke arah Mas Juna, berharap ia akan membantah tuduhan ibunya terhadapku. Namun nampaknya sama sekali ia tak akan mengatakan apa pun. Aku makin kesal dibuatnya karena bahkan ia tak mengelak apa pun yang dituduhkan ibunya padaku atas kesalahan yang tidak kuketahui itu."Kenapa Ibu bisa menuduhku seperti itu? Di sini justru aku yang paling kaget. Karena selama aku menikah aku hanya menerima uang dua juta setiap bulannya, dari gaji Mas Juna yang 10 juta sebulan itu!" Akhirnya aku memilih untuk membela diri. Tak mau dijadikan kambing hitam."Aku bahkan tak tahu sisa uang gaji Mas Juna ke mana dan buat apa. Apalagi uang 50 juta itu, aku bahkan tak pernah membayangkannya apalagi melihat bentuknya," lanjutku lagi dengan jantung berdebar karena emosi dan juga takut karena menjawab pertanyaan ibu dari suamiku itu.Ya, selama setahun menikah dengan Mas Juna aku sama sekali tak pernah menerima uang lebih dari dua juta. Itu pun untuk semua keperluan kami berdua, makan sehari-hari beserta listrik dan air. Beruntung kami tak perlu membayar kontrakan karena kami tinggal di rumah peninggalan keluargaku.Mas Juna berpesan sebisa mungkin uang dua juta itu harus cukup karena kami hanya tinggal berdua dan belum punya anak. Sisa gaji Mas Juna katanya untuk ditabung untuk membeli rumah sendiri. Dan aku hanya mengiyakan karena menurutku perkataannya benar.Walau sebenarnya jatah uang dua juta itu harus membuatku memutar otak agar bisa cukup selama satu bulan penuh."Mas, ada berapa tabungan yang Mas punya?""Harusnya jika benar Mas menabungkan sisa uang gaji Mas itu selama kita menikah, saldonya akan cukup membayar ke Bank, Mas, " tanyaku penasaran."Mas gak punya tabungan, Dek, uang di rekening Mas gak ada lagi sama sekali," jawabnya pelan, hampir tak terdengar.Aku tersentak kaget atas penuturannya."Sama sekali gak ada, Mas?" Aku meyakinkan lagi.Ia pun kembali menggeleng lemah.Sungguh aku tak habis pikir atas semua ini. Bisa-bisanya suamiku itu selama ini berbohong padaku bahkan sampai melakukan penggelapan uang nasabah. Sebenarnya apa yang ia lakukan dengan semua uang itu?......Selepas kepulangan mertuaku, Mas Juna masih diam tak bersuara apa pun. Saat makan pun ia tetap diam, dan selesai makan, kembali ia mengurung diri di kamar.Aku pun rasanya malas membahas semua masalah itu lagi. Rasanya terlalu sakit dibohongi dua kali. Yang pertama aku dibohongi tentang tabungan dari gaji bulanannya setiap bulan, dan yang kedua aku dibohongi tentang penggelapan uang 50 juta itu sekaligus tentang pemecatannya.Yang aku bingungkan bagaimana caranya mengumpulkan uang 50 juta sampai akhir bulan ini?Lalu bagaimana kehidupan kami selanjutnya?Awalnya aku tak begitu khawatir jika Mas Juna masih belum dapat pekerjaan sampai dua atau tiga bulan ke depan, karena aku mengira bahwa pasti Mas Juna masih punya uang simpanan dan pesangon di tabungannya. Namun setelah mengetahui bahwa Ia bahkan tak memiliki uang sepeser pun membuatku makin stres.Bisakah kami bertahan kedepannya?Sisa uang di tanganku dari jatah bulanan yang diberi Mas Juna tinggal satu juta, tabunganku pun dari s
Malam ini aku menunggu Mas Juna terlelap terlebih dahulu, tentu saja aku aku melakukannya agar mendapat kesempatan untuk bisa mencari jejak akan kebusukan apa yang telah ia lakukan di belakangku sebenarnya.Setelah memastikan Mas Juna tertidur, pelan-pelan kuambil gawai dari genggamannya. Beruntung, gawainya masih dalam keadaan nyala dan tak terkunci, karena Mas Juna tertidur saat sedang bermain game.Gegas saja aku mengecek aplikasi berwarna hijau bergambar telepon. Mencari apakah ada hal yang mencurigakan di dalamnya.Namun, sangat aneh, di aplikasi tersebut sama sekali tak ada riwayat percakapan tersimpan. Hanya ada satu percakapan denganku dan percakapan dari grup yang itu pun isinya kosong semua, rupanya ia rutin menghapus semua percakapan di ponselnya tersebut.Tak habis akal aku pub mencoba mencari lagi di aplikasi yang lain, kubuka aplikasi bergambar biru di mana orang-orang selalu berbagi kabar berita. Kubuka bagian pesan, hanya ada beberapa percakapan dari beberapa bulan yan
Sudah lebih dari sebulan Mas Juna menganggur. Ini akhir bulan, biasanya Mas Juna sudah gajian dan memberikan uang untuk jatah bulananku yang hanya dua juta rupiah untuk semuanya itu.Ah ... mengingat itu aku merasa bodoh sendiri karena menerima begitu saja diberi uang dua juta dan mau saja menomboki dengan tabungan sendiri."Aruni, aku lapar! Tolong bikinkan mie rebus ya!" pintanya, sambil sedikit pun tak memalingkan matanya dari gawai di genggamannya itu.Aku hanya bisa menarik nafas panjang melihat tingkahnya itu. Jam saat ini masih menunjukan pukul 10 pagi. Sedang jam delapan tadi baru saja Mas Juna menghabiskan sarapan nasi gorengnya dan sekarang ia sudah minta makan lagi.Tidak bekerjanya Mas Juna malah membuat pengeluaran membengkak karena sebentar-sebentar ia teriak lapar dan meminta ini dan itu. Belum lagi kuota internetnya yang juga ikut membengkak saja.Uang tabunganku yang tersisa yang awalnya kukira cukup untuk dua bulan kedepan malah hanya cukup satu bulan saja.Kulihat
Hari ini Minggu pagi, aku mendapat giliran libur bekerja. Dan aku berencana untuk menengok Bapakku dirumah.Setelah mendapatkan izin dari Mas Juna aku pun bergegas pergi. Tentu saja sendirian. Dari semenjak menikah, Mas Juna tak pernah mau jika kuajak menjenguk Bapak. Apalagi dengan kondisinya sekarang yang menanggur, membuat dia bahkan tak mau bertemu siapa pun.Setelah menempuh hampir 20 menit perjalanan aku pun sampai di rumah tua tempat aku dibesar kan. Rumah yang selalu membuatku nyaman dan selalu kurindukan.Kulihat Kak Dini sedang menata dagangannya di roda untuk suaminya berjualan, disebelahnya Mas Andi sedang bersiap untuk berangkat menjajakan dagangannya.Ya suami kak Dini berjualan perabotan rumah tangga, ia berkeliling dari kampung ke kampung dengan sepeda motor yang telah dimodif agar bisa membawa roda berisi dagangannya. Penghasilannya tak menentu memang, tapi tak pernah kulihat mereka kekurangan untuk makan sehari-hari."Assalamualaikum," sapaku sambil langsung memeluk
Hari ini aku tak begitu semangat berangkat kerja. Kejadian kemarin masih terasa sakit di hati.Rasanya sia-sia saja aku bekerja, karena bahkan suamiku tak menganggapnya, padahal jelas lebih dari dua bulan ini Ia makan dari hasil jerih payahku.Bukannya aku perhitungan, tapi rasanya sakit ketika Ia bahkan tak membela aku saat jelas-jelas aku di cap miskin, penbawa sial juga mandul oleh keluarganya.Aku memang bukan dari keluarga berada seperti mereka. Tapi aku punya harga diri yang harus dijaga. Rasanya ingin sekali aku melabrak mereka saat itu juga. Sayangnya aku bukan tipe orang yang bisa berkonfrontasi langsung. Tak akan sanggup jika aku harus berteriak atu pun mencak-mencak di hadapan mereka. Terlebih mereka adalah keluarga suamiku yang mau tak mau harus kuhormati.***Saat sedang asyik memasak, tiba-tiba Kak Dini menghubungiku. Ia menyuruhku untuk segera pulang kerumah Bapak. Sekarang juga katanya. Setelah meminta izin pada Andin untuk bekerja setengah hari saja, aku langsung ber
Seperti kejatuhan durian runtuh, tentu saja itulah kondisi kami saat ini. Baru saja kemarin Kak Dini mengabarkan terkait warisan itu, awalnya kami pikir jumlahnya tak akan seberapa. Tapi ternyata kami salah.Sungguh aku tak percaya atas semua ini. Ternyata benar kata Bapak bahwa ayahnya mama atau kakekku adalah orang yang sangat kaya. Tapi aku tak pernah berani membayangkannya sama sekali.Setelah Om Satyo dan pengacaranya pulang, Bapak mengatakan bahwa uang dan rumah itu sepenuhnya hak kami. Ia tak ingin ikut campur. Bapak hanya ingin menikmati masa tuanya untuk beribadah.Aku dan kak Dini pun sepakat akan segera mendaftarkan bapak berangkat ke tanah suci dan merenovasi rumah. Itulah yang pertama kami sepakati. Selanjutnya kami masih bingung.Dan kini, aku pun bingung, apa yang akan aku katakan pada suamiku tentang warisan yang aku dapatkan ini? Akankah aku jujur padanya? Kira-kira apa responnya saat mengetahui bahwa istrinya kini menjadi miliyarder?.....Karena tak membawa jatah la
Aku dan Kak Dini sudah sepakat akan adil membagi uang warisan yang kami dapatkan. Kami memutuskan untuk membeli rumah baru untuk Bapak, membiayainya umrah, dan juga membeli sepeda motor baru untuknya.Kami tidak jadi merenovasi rumah dan memilih untuk menjualnya lalu membeli rumah baru di kota untuk Bapak. Htung-hitung sebagai bentuk investasi kami. Juga untuk menghindari menjadi perbincangan warga sekampung tentang kami yang mendadak menjadi kaya. Aku sangat setuju ide ini, karena dengan begitu Mas Juna dan keluarganya pun tidak akan mengetahui bahwa istrinya kini mendadak kaya. Ya, karena kampung kami yang hanya bersebelahan saja, maka biasanya kabar akan sangat cepat menyebar dari satu kampung ke kampung lainnya. Tekadku sudah bulat untuk merahasiakan hal ini dari Mas Juna, Karena aku ingin melihat apakah ia akan berubah kembali menjadi seperti yang dulu lagi meski hanya memberikan sedikit bagian saja untukku, aku tak apa. Yang penting ia telah berusaha dan tak hanya diam ongkang
Sepulang dari Rumah Sakit aku tak mungkin langsung pulang ke rumah. Karena yang Mas Juna tahu aku masih bekerja seperti biasa. Aku terus memikirkan tentang bisnis ketering Andin yang akan dijualnya. Sempat terbersit, apa aku saja yang mengambil alih bisnisnya tersebut, apa lagi sedikit banyak aku tahu soal seluk beluk bisnis kateringnya tersebut. Namun, aku masih ragu akan kemampuan diriku sendiri. Bisakah aku menjalankannya, karena berbisnis bukanlah hal main-main. Dan aku tak ingin mepertaruhkan nasib para karyawan katering itu nantinya.Aku teringat, Oom Satyo pernah mengatakan bahwa Ia terbuka jika ingin menghubunginya. Terpikir olehku untuk berkonsultasi dengan beliau karena beliau sudah ahli di dunia bisnis."Ide yang bagus jika kamu mau mengakuisisi katering tersebut, apalagi kamu bilang prospeknya cukup besar, kan? Mereka punya 5 pabrik yang bekerja sama. Itu sudah sangat luar biasa sekali!" ucap Om Satyo antusias saat aku menceritakan tentang ideku."Pesan Oom kamu harus ban
Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene
"Bagaimana kabar Dio?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya pada Fania sepupu Dio yang sedang menemaniku di rumah sakit.Sudah dua hari ini aku dan Dio mendapatkan perawatan setelah kejadian penyanderaan malam itu. Beruntung aku hanya kelelahan dan dehidrasi saja. Juga mendapatkan perawatan atas luka bakar yang diberikan Om Erlang di pahaku. Sedangkan Dio pagi tadi harus menjalani opersi besar karena livernya terluka akibat serangan yang ia terima saat menolongku."Dio masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah stabil sekarang." Kabar dari Fania cukup membuat aku lega, sungguh yang aku takutkan saat ini adalah kehilangan Dio setelah semua yang terjadi pada kami."Tenang, Dio pasti akan baik-baik saja. Operasinya sudah berhasil. Dan Dio pasti akan pulih dengan cepat, Aruni." Sepertinya Fania melihat kegelisahanku. Sambil menggenggam tanganku, wanita yang memang selalu ceria di setiap suasana itu berusaha menenangkanku."Terima kasih, Fania. Terima kasih atas semua dukun
"Kamu tahu Aruni, sekian tahun aku memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membalaskan dendamku ini. Sekian lama aku mencari siapa orang yang disayangi oleh Satyo, hingga akhirnya aku tahu tentangmu. Keponakan Satyo yang baru saja berkembang. Yang dijaga dan selalu diawasi Satyo. Aku mencari tahu tentangmu. Mencari cara bagaimana bisa mendekatimu. Sampai aku harus mendatangi mantan suamimu. Tapi semuanya nihil tidak berhasil!" lanjut Om Erlang lagi dengan menggebu-gebu. "Tapi ternyata takdir baik berpihak padaku. Tiba-tiba saja kudengar kamu menikah dengan Dio, keponakanku sendiri. Kamu seolah datang dan menyerahkan dirimu sendiri ke tanganku Aruni," Om Erlang kini membelai rambutku dengan lembut. Tapi seketika menimbulkan perasaan takut yang amat sangat pada diriku."Terima kasih Aruni! Terima kasih karena kau telah datang sendiri padaku!" ucap Om Erlang lagi dengan amat puas.Saat ini aku hanya bisa menangis. Puluhan rasa menjadi satu. Takut, bingung, sedih, marah kecewa semuanya k
Entah sudah berapa jam aku menunggu di dalam ruangan gelap dan pengap ini. Galang meninggalkanku begitu saja setelah ia mendapat telepon yang entah dari siapa tadi saat matahari masih cukup terang hingga kini sudah gelap gulita.Badanku kini terasa makin lemah aku teringat sejak pagi tadi belum mengkonsumsi apa pun karena memang tak nafsu. Belum lagi aku juga terus berusaha untuk melepaskan ikatan di badanku meski sama sekali tak ada perubahan apa pun.Sungguh rasanya aku hampir putus asa, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadapi ajal dengan cara yang mengenaskan begini.Saat sedang meratapi nasib, tiba-tiba terdengar sebuah mobil mendekat. Aku terus berusaha untuk tetap waspada. Entah kali ini apa yang akan terjadi padaku.Tak lama pintu pun terbuka, kulihat Om Erlang yang kupastikan otak dari semua ini datang menghampiri.Dengan begitu tenang, seolah tak terjadi apa pun, lelaki itu tersenyum manis padaku. "Aruni ... bagaimana rasanya berada di sini dengan keadaan terikat begini
Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan
"Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t
"Halo Aruni, perkenalkan saya Erlangga Putra Airlangga!" Suara bariton Om Erlang cukup membuatku terkesima saat pertama mendengarnya. Postur tubuhnya yang besar dan kekar sangat menampakkan sifat dominannya. Sekali lihat siapapun akan tahu bahwa dia adalah orang yang penuh kuasa.Om Erlang secara khusus menyambut kedatanganku dengan Dio. Ia menyunggingkan senyum yang tampak ramah saat menatapku. Meski jujur saja, senyumnya itu terlihat aneh terlukis di wajah sangarnya."Halo, Om... perkenalkan saya Aruni!" ucapku perlahan setelah Dio memberi isyarat agar aku membalas jabatan tangan dari Om Erlang."Kamu cantik sekali, Aruni!" puji Om Erlang yang masih tampak tersenyum menatapku."Terima kasih, Om!" Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa ucapannya bukanlah sebuah pujian."Maaf, ya, karena kami baru bisa menyambutmu menjadi keluarga sekarang, Aruni! Lagi pula Dio juga nih, menikah tanpa memberitahukan keluarga besar. Padahal kan seharusnya kamu mengu
"Sebenarnya acara apa itu, Dio?" tanyaku pada lelaki yang baru saja sampai dari tempat kerjanya saat ia juga ternyata menyampaikan undangan yang sama dari Om Erlang pada kami berdua.Aku benar-benar merasa curiga dengan undangan ini. Bukankah kemarin mereka masih mengibarkan bendera perang padaku, menuntut agar aku untuk meminta maaf atas kesalahan anaknya itu."Undangan biasa, kok, Sayang! Keluargaku kan memang suka mengadakan acara seperti ini. Sekalian katanya mereka ingin kenal denganmu!" terang Dio."Kamu yakin, Dio? Bukannya mereka kemarin masih menyindir-nyindir aku untuk meminta maaf pada Galuh, sekarang malah Galuh sendiri yang datang menemuiku untuk datang ke rumahnya. Seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia.""Mmmh... ya... pada dasarnya memang ini acara yang sering keluargaku adakan. Tapi.. acara besok memang sangat dadakan sekali. Bahkan semuanya baru dikabarkan sore tadi." Kini raut wajah Dio berubah serius. Ia pun mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras."S
"Bagaimana kondisi Arjuna? Apa saja yang kamu bicarakan dengannya tadi, Sayang?" tanya Dio yang kini sedang fokus dibelakang kemudinya. Setelah mendengar apa yang dibicarakan Mas Juna tadi, aku tak banyak bicara. Kepalaku sakit bukan main. Rasanya terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Rahasia Dio dan sepupunya Galuh, masalah dengan keluarga Galuh, tekanan dari Ibunya Mas Juna yang masih menyalahkanku atas kondisi anaknya saat ini, lalu kini ditambah lagi tentang apa yang dikatakan Mas Juna tentang Om Satyo dan lelaki bernama Hendro itu. Arghh.. semuanya benar-benar memusingkan.Aku tak segera menjawab pertanyaan Dio, rasanya malas untuk membuka mulut ini dan mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiranku tersentak saat Dio menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi menggenggam setir. "Are you okay, Honey? Dari tadi kamu ngelamun. Mikirin apa, sih?" tanya Dio sambil sesekali menatapku penuh khawatir."I'm okey, Dio! Sorry, aku lagi ga enak badan kayakn