Sudah lebih dari sebulan Mas Juna menganggur. Ini akhir bulan, biasanya Mas Juna sudah gajian dan memberikan uang untuk jatah bulananku yang hanya dua juta rupiah untuk semuanya itu.
Ah ... mengingat itu aku merasa bodoh sendiri karena menerima begitu saja diberi uang dua juta dan mau saja menomboki dengan tabungan sendiri."Aruni, aku lapar! Tolong bikinkan mie rebus ya!" pintanya, sambil sedikit pun tak memalingkan matanya dari gawai di genggamannya itu.Aku hanya bisa menarik nafas panjang melihat tingkahnya itu. Jam saat ini masih menunjukan pukul 10 pagi. Sedang jam delapan tadi baru saja Mas Juna menghabiskan sarapan nasi gorengnya dan sekarang ia sudah minta makan lagi.Tidak bekerjanya Mas Juna malah membuat pengeluaran membengkak karena sebentar-sebentar ia teriak lapar dan meminta ini dan itu. Belum lagi kuota internetnya yang juga ikut membengkak saja.Uang tabunganku yang tersisa yang awalnya kukira cukup untuk dua bulan kedepan malah hanya cukup satu bulan saja.Kulihat stok mie di rumah sudah habis, tak ada sama sekali. Berarti aku harus membelinya di warung Mba Dar, tapi uang yang tersisa sudah sangat menipis."Mas, mie nya habis!""Ya beli lah Dek," jawabnya sambil masih terus fokus pada gawainya."Uangnya juga habis," ucapku lagi, sambil memasang wajah cemberut."Ya sudah, gak jadi aja mie nya!" Mas Juna pun berlalu dengan muka datar, meninggalkanku, dan kembali masuk kamar. Pasti Ia rebahan lagi disana.Sebenarnya aku sudah sangat kesal akan kondisi ini karena sama sekali tak kulihat Mas Juna berusaha mendapatkan pekerjaan. Sering aku tanya kapan ia akan mencari kerja. Tapi atanya Ia masih ingin beristirahat dulu dari rutinitas kerjaan.Kalo begini terus bagaimana kita bisa bertahan hidup, Mas?...."Mas, besok aku mau kerja!" terangku, sepulang dari rumah Andin, yang mana adalah sahabatku.Seperti biasa, Mas Juna lagi asyik dengan gawainya, hanya posisinya saja yang berpindah, kadang di kamar, di ruang TV kadang di ruang tamu. Tapi tak pernah sedikitpun Ia menginjakan kaki keluar rumah, bahkan sekedar untuk menghirup udara segar pun tak pernah. Sekalinya keluar rumah itu pun hanya mau malam-malam saja."Ya, aku izinkan!" ucapnya tanpa ada respon lainnya lagi. Bahkan ia tidak bertanya di mana dan kerjaan apa yang akan aku lakoni.Padahal dulu sebelum menikah Mas Juna melarangku bekerja. Dengan terpaksa, tepat sebelum menikah aku harus resign dan rela meninggalkan pekerjaan yang sudah 4 tahun kujalani."Mas pengen kamu dirumah saja setelah menikah nanti. Aku gak mau istriku dianggap susah sampai harus bekerja. Istriku adalah ratu, Istriku harus tinggal dirumah menyambutku pulang kerja saja." ucapnya kala itu saat memintaku resign.Tentu aku tak bisa mengelak perkataan Mas Juna. Apa yang ia katakan, itu adalah yang harus aku lakukan pikirku waktu itu. Lagi pula aku juga berharap akan segera hamil setelah menikah.Namun ternyata perihal anak memang belum menjadi rejeki kami, sudah setahun lebih pernihakan dan belum ada tanda-tanda kehamilan. Pernah aku mencoba memeriksakan diri ke dokter kandungan, hasilnua semua normal katanya, hanya saja memang kami harus lebih bersabar lagi."Mas kapan mau kerja?" Lagi kutanyakan hal ini. Biar saja dia bosan. Karena jujur saja aku pun bosan mengingatkannya terus.Mas Juna sama sekali tidak menjawab."Mas ...," panggilku lagi dengan nada yang sedikit lebih tinggi."Apa sih? Nanti juga aku kerja kalo udah waktunya." jawabnya sewot.Ya, selalu begini terus jika aku mengungkit perihal pekerjaan.Ah ... biarlah, mungkin aku harus bersabar dan terus mendoakan suamiku agar dimudahkan rejekinya, kan?Mungkin ini saatnya aku untuk membantunya dengan bekerja. Minimal aku bekerja untuk hidup diriku sendiri, karena tak mungkin aku menunggu rejeki yang jatuh dari langit jika ingin makan.Bersyukur Andin, sahabatku mau menerimaku bekerja di usaha kateringnya yang sedang berkembang itu. Dengan gaji harian yang dibetikannya semoga aku akan bisa bertahan hidup.Tadi siang aku sengaja menemui Andin. Bertanya apa dia memiliki lowongan pekerjaan. Karena kudengar katering Andin sedang butuh beberapa orang untuk bertugas memasak. Aku pun bercerita padanya bahwa aku membutuhkan pekerjaan untuk mengisi waktu luangku di rumah. Sedikit pun tak kusinggung perihal suamiku yang sedang menganggur. Bagaimanapun aku harus menjaga marwah Mas Juna. Karena seorang Istri layaknya pakaian bagi suaminya. Tak pantas membuka aibnya pada orang lain.Dan alhamdulillah, Andin bersemangat menyambutku. Mulai besok aku bisa langsung bekerja membantunya memasak.****Ternyata tak semudah yang dibayangkan sebelumnya olehku memasak ditempat katering seperti ini. Aku harus bolak-balik mengangkat bahan masakan berkilo-kilo, mencucinya, mengupasnya dan juga mengolahnya.Wajan untuk menggoreng pun sangat besar sekali, dan kami semua harus masak berkali-kali dengan menu yang berbeda.Ada lebih dari sepuluh orang pegawai disini. Kami harus bekerja dengan cepat, tepat, dan cermat. Karena kami memasak untuk banyak orang, salah sedikit bisa fatal akibatnya. Syukur-syukur hanya diberhentikan kontrak untuk supply makanannya, parahnya jika sampai harus ada yang keracunan karena memakan masakan yang kami masak. Bisa-bisa kami mendapat hukuman pidana.Andin sudah memulai bisnis ini hampir 5 tahun. Ia memulai semuanya dari nol bersama suaminya. Mereka awalnya hanya membuka warung masak biasa. Namun berkat kepiawainannya kini Ia bisa membuka kartering dan menyuplai makanan ke beberapa perusahaan setiap harinya.Aku kagum atas perjuangan keduanya. Mereka bekerja keras, dan saling support. Kini mereka tinggal menikmati hasilnya, orang lainlah yang bekerja untuk mereka.Jam sudah menunjukan pukul 6 sore, setelah seluruh proses memasak selsai, dan beres-beres dapur, kami para pegawai pulang. Tak lupa Andin mebawakan kami masing-masing sedikit makanan yang telah kami masak untuk dibawa pulang.Sungguh baik sahabatku itu memang, Ia tak ingin hanya mepekerjakan kami begitu saja tanpa memikirkan perasaan kami."Ini untuk kamu bawa, maaf ya jatahnya hanya sedikit-sedikit lumayan lah." Katanya saat membagikan bingkisan berisi sayur dan lauk."Gak usah lah Ndin, kan kamu juga bayar aku." Tolakku secara halus. Sungguh tak enak rasanya terus di tolong oleh sahabatku ini."Aku memang sudah menjatah masakan untuk setiap yang kerja disini Aruni. Aku tahu lah pasti capek sekali nanti pulang ke rumah, dan pasti inginnya langsung istirahat. Tapi orang dirumah kan gak peduli, pasti mereka berharap ada makanan enak tersaji. Jadi nanti kamu tinggal istirahat, dan makan. Besok bisa kesini lagi dengan ceria deh."MasyaAllah, pantas saja usahanya lancar begini. Andin begitu baik dan perhatian pada setiap karyawannya.Akupun pulang dengan ceria, walau lelah seluruh badan ini tapi semuanya hilang karena perhatian Andin.***Ketika sampai rumah, kulihat Mas Juna sedang asyik menonton televisi. Tumben Ia tidak bermain game di gawainya."Asaalamualaikum Mas, aku pulang." Sapaku."Hmmm ...." jawabnya, tanpa memalingkan wajah sedikitpun dari TV."Tumben nonton TV mas, seru ya acaranya? Ada berita apa memang?" Tanyaku sambil ikut duduk di sofa, ingin merebahkan diri sejenak setelah lelah bekerja."Kuotaku habis. Jadi ya nonton TV saja.""Hmmmph..." kucoba menahan tawa, pantas saja Ia tak bermain dengan gawainya. Ternyata itu sebabnya.Terlihat wajah bete nya melihatku mentertawakannya. Biarlah"Sudah makan belum, Mas? Tuh aku bawa sayur.""Gimana aku bisa makan, kamu kan gak menyiapkan apapun untuk aku makan seharian ini." Jawabnya."Astaghfirullah, aku kan sudah bilang tadi pagi, kalau mau makan ada telur di kulkas, dan ada mie juga. Kamu kan bisa kalo sekedar masak mie sendiri, Mas!" gwra nhvfu merasa frustasi."Apa kamu tega, membiarkan aku hanya makan mie dan telur seharian Dek? Padahal kan harusnya sebelum kamu kerja kamu bisa siapkan dulu lauk untuk aku makan.""Tega? Ya aku tega, karena Mas juga tidak lagi memberiku uang, syukur-syukur masih ada mie dan telur untuk mengganjal perut Mas , orang lain malah harus bekerja dulu untuk sekedar bisa makan."Rasanya aku makin muak saja, entah apa yang merasukinya sampai Mas Juna jadi sangat manja, pemalas, dan menyebalkan begini. Semenjak Ia berhenti kerja memang pasti ada saja hal yang membuat kami bertengkar seperti ini."Sudah sana siapkan makan malam untukku, aku sudah lapar." Perintahnya.Aku pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Namun aku tersentak kaget saat kulihat kondisi dapur sangat berantakan.Piring bekas makan di mana-mana, bungkus mie dan cangkang telur berserakan. Kulihat tempat penanak nasi pun tak tertutup, dan membuat nasi didalamnya mengering.Mas Juna bilang dia tidak makan? Namun dapur ini menjadi bukti bahwa ia telah menghabiskan 2 bungkus mie, dan 4 butir telur .Aku hanya bisa menahan diri dan mengucap istighfar sebanyak-banyaknya sambil membereskan kekacauan yang terjadi di rumah hari ini.****Hari ini Minggu pagi, aku mendapat giliran libur bekerja. Dan aku berencana untuk menengok Bapakku dirumah.Setelah mendapatkan izin dari Mas Juna aku pun bergegas pergi. Tentu saja sendirian. Dari semenjak menikah, Mas Juna tak pernah mau jika kuajak menjenguk Bapak. Apalagi dengan kondisinya sekarang yang menanggur, membuat dia bahkan tak mau bertemu siapa pun.Setelah menempuh hampir 20 menit perjalanan aku pun sampai di rumah tua tempat aku dibesar kan. Rumah yang selalu membuatku nyaman dan selalu kurindukan.Kulihat Kak Dini sedang menata dagangannya di roda untuk suaminya berjualan, disebelahnya Mas Andi sedang bersiap untuk berangkat menjajakan dagangannya.Ya suami kak Dini berjualan perabotan rumah tangga, ia berkeliling dari kampung ke kampung dengan sepeda motor yang telah dimodif agar bisa membawa roda berisi dagangannya. Penghasilannya tak menentu memang, tapi tak pernah kulihat mereka kekurangan untuk makan sehari-hari."Assalamualaikum," sapaku sambil langsung memeluk
Hari ini aku tak begitu semangat berangkat kerja. Kejadian kemarin masih terasa sakit di hati.Rasanya sia-sia saja aku bekerja, karena bahkan suamiku tak menganggapnya, padahal jelas lebih dari dua bulan ini Ia makan dari hasil jerih payahku.Bukannya aku perhitungan, tapi rasanya sakit ketika Ia bahkan tak membela aku saat jelas-jelas aku di cap miskin, penbawa sial juga mandul oleh keluarganya.Aku memang bukan dari keluarga berada seperti mereka. Tapi aku punya harga diri yang harus dijaga. Rasanya ingin sekali aku melabrak mereka saat itu juga. Sayangnya aku bukan tipe orang yang bisa berkonfrontasi langsung. Tak akan sanggup jika aku harus berteriak atu pun mencak-mencak di hadapan mereka. Terlebih mereka adalah keluarga suamiku yang mau tak mau harus kuhormati.***Saat sedang asyik memasak, tiba-tiba Kak Dini menghubungiku. Ia menyuruhku untuk segera pulang kerumah Bapak. Sekarang juga katanya. Setelah meminta izin pada Andin untuk bekerja setengah hari saja, aku langsung ber
Seperti kejatuhan durian runtuh, tentu saja itulah kondisi kami saat ini. Baru saja kemarin Kak Dini mengabarkan terkait warisan itu, awalnya kami pikir jumlahnya tak akan seberapa. Tapi ternyata kami salah.Sungguh aku tak percaya atas semua ini. Ternyata benar kata Bapak bahwa ayahnya mama atau kakekku adalah orang yang sangat kaya. Tapi aku tak pernah berani membayangkannya sama sekali.Setelah Om Satyo dan pengacaranya pulang, Bapak mengatakan bahwa uang dan rumah itu sepenuhnya hak kami. Ia tak ingin ikut campur. Bapak hanya ingin menikmati masa tuanya untuk beribadah.Aku dan kak Dini pun sepakat akan segera mendaftarkan bapak berangkat ke tanah suci dan merenovasi rumah. Itulah yang pertama kami sepakati. Selanjutnya kami masih bingung.Dan kini, aku pun bingung, apa yang akan aku katakan pada suamiku tentang warisan yang aku dapatkan ini? Akankah aku jujur padanya? Kira-kira apa responnya saat mengetahui bahwa istrinya kini menjadi miliyarder?.....Karena tak membawa jatah la
Aku dan Kak Dini sudah sepakat akan adil membagi uang warisan yang kami dapatkan. Kami memutuskan untuk membeli rumah baru untuk Bapak, membiayainya umrah, dan juga membeli sepeda motor baru untuknya.Kami tidak jadi merenovasi rumah dan memilih untuk menjualnya lalu membeli rumah baru di kota untuk Bapak. Htung-hitung sebagai bentuk investasi kami. Juga untuk menghindari menjadi perbincangan warga sekampung tentang kami yang mendadak menjadi kaya. Aku sangat setuju ide ini, karena dengan begitu Mas Juna dan keluarganya pun tidak akan mengetahui bahwa istrinya kini mendadak kaya. Ya, karena kampung kami yang hanya bersebelahan saja, maka biasanya kabar akan sangat cepat menyebar dari satu kampung ke kampung lainnya. Tekadku sudah bulat untuk merahasiakan hal ini dari Mas Juna, Karena aku ingin melihat apakah ia akan berubah kembali menjadi seperti yang dulu lagi meski hanya memberikan sedikit bagian saja untukku, aku tak apa. Yang penting ia telah berusaha dan tak hanya diam ongkang
Sepulang dari Rumah Sakit aku tak mungkin langsung pulang ke rumah. Karena yang Mas Juna tahu aku masih bekerja seperti biasa. Aku terus memikirkan tentang bisnis ketering Andin yang akan dijualnya. Sempat terbersit, apa aku saja yang mengambil alih bisnisnya tersebut, apa lagi sedikit banyak aku tahu soal seluk beluk bisnis kateringnya tersebut. Namun, aku masih ragu akan kemampuan diriku sendiri. Bisakah aku menjalankannya, karena berbisnis bukanlah hal main-main. Dan aku tak ingin mepertaruhkan nasib para karyawan katering itu nantinya.Aku teringat, Oom Satyo pernah mengatakan bahwa Ia terbuka jika ingin menghubunginya. Terpikir olehku untuk berkonsultasi dengan beliau karena beliau sudah ahli di dunia bisnis."Ide yang bagus jika kamu mau mengakuisisi katering tersebut, apalagi kamu bilang prospeknya cukup besar, kan? Mereka punya 5 pabrik yang bekerja sama. Itu sudah sangat luar biasa sekali!" ucap Om Satyo antusias saat aku menceritakan tentang ideku."Pesan Oom kamu harus ban
Setelah mengetahui kebohongan Mas Juna kemarin, Aku memilih untuk tidak berangkat kerja hari ini. Ingin mengetahui adakah gelagat mencurigakan dari Mas Juna yang selama ini aku lewatkan.Berbagai asumsi ada di benakku, pertama ia pergi ke rumah sakit bersama seorang perempuan yang kudengar suaranya di telepon kemarin yang mungkin saja perempuan itu adalah selingkuhannya yang selama ini aku cari.Dan asumsi kedua ia sedang memeriksakan kesehatannya sendiri. Ya ... bagaimana jika selama ini Mas Juna menyembunyikan padaku bahwa dirinya sedang sakit. Bagaimana jika uang-uang yang dia pakai kemarin untuk membiayai pengobatannya sendiri?****"Kamu gak kerja hari ini?" tanya Mas Juna, mungkin Ia merasa aneh jam sembilan pagi ini aku masih di rumah, malah sibuk menyetrika baju."Enggak, aku hari ini libur dulu," jawabku mencoba bertingkah seperti biasa saja."Jangan terlalu sering gak masuk kerja. Nanti gajimu di potong!" ucapnya lagi.Dia belum tahu saja bahwa sekarang aku bisa libur kapan
Saat sampai rumah, sayup-sayup kudengar Mas Juna sedang menerima telepon di kamar. Rupanya dia tidak tahu kedatanganku."Sekarang gimana kondisinya?""Mungkin dia hanya kaget aja.""Kamu gimana bisa tidur?""Ya nantilah aku kesana.""Baiklah, sudah dulu ya."Dengan siapa Mas Juna bicara? Kenapa terdengar sangat lembut gaya bicaranya? Rasanya sudah lama sekali aku tak mendengar Mas Juna berbicara selembut itu padaku. Tiba-tiba saja aku merasa ada sedikit yang sakit di hati ini.****Hari ini aku memasak makanan kesukaan Mas Juna. Semur jengkol, ayam goreng, tahu, tempe, sambal, dan lalapan. "Wah ... menu spesial nih!"seru Mas juna antusias saat ku panggil untuk makan, "Jadi laper ....""Makanlah mas, sudah matang juga semua." Ia pun duduk menunggu aku yang mengambilkan nasi untuknya.Kulihat Ia begitu lahap makannya, sampai menambah beberapa kali. Seusai makan, saat sedang mencuci piring aku merasa ada yang memelukku dari belakang. Mas Juna menempelkan kepalanya di kepalaku."Makasih
Selepas pulang kerja, seperti biasa Mas Juna sedang duduk manis dengan gawainya. Aku sama sekali tak berminat berbincang atau sekedar berbasa-basi dengannya.Sebenarnya sejak tadi Mas Juna mempertanyakan perubahan sikapku. Tapi aku bahkan tak bisa berkata apa pun setelah mengetahui bahwa besar kemungkinan ia telah mengkhianatiku.Malam ini aku tak bisa sekedar memejamkan mata, bayangan Mas Juna bersama wanita lain dan bayinya itu terus menghantui. Sakit rasanya mengetahui semuanya.Wanita itu, cantik, paras keibuannya begitu nampak, Ia juga anggun dan terlihat begitu dewasa.Sedangkan bayinya terlihat masih amat kecil, mungkin usianya sekitar dua atau tiga bulanan.Jika memang Mas Juna telah selingkuh dan anak yang digendongnya itu adalah anaknya, berarti Mas Juna telah mengkhianatiku cukup lama, atau mungkin dari sebelum mereka menikah. Atau jangan-jangan ... aku lah orang ketiga di kehidupan mereka?Rasanya tak sanggup lagi menjalani biduk rumah tangga jika begini, ingin segera kua