Hari ini Minggu pagi, aku mendapat giliran libur bekerja. Dan aku berencana untuk menengok Bapakku dirumah.
Setelah mendapatkan izin dari Mas Juna aku pun bergegas pergi. Tentu saja sendirian. Dari semenjak menikah, Mas Juna tak pernah mau jika kuajak menjenguk Bapak. Apalagi dengan kondisinya sekarang yang menanggur, membuat dia bahkan tak mau bertemu siapa pun.Setelah menempuh hampir 20 menit perjalanan aku pun sampai di rumah tua tempat aku dibesar kan. Rumah yang selalu membuatku nyaman dan selalu kurindukan.Kulihat Kak Dini sedang menata dagangannya di roda untuk suaminya berjualan, disebelahnya Mas Andi sedang bersiap untuk berangkat menjajakan dagangannya.Ya suami kak Dini berjualan perabotan rumah tangga, ia berkeliling dari kampung ke kampung dengan sepeda motor yang telah dimodif agar bisa membawa roda berisi dagangannya. Penghasilannya tak menentu memang, tapi tak pernah kulihat mereka kekurangan untuk makan sehari-hari."Assalamualaikum," sapaku sambil langsung memeluk Kak Dini, betapa aku merindukannya. Hampir 4 bulan tak bertemu. Padahal jarak kami dekat."Waalaikumsalam, ya Allah Aruni, kamu kok gak ngabarin mau datang?" sambut Kak dini hangat sambil balas memelukku. Rasanya nyaman sekali. Betapa aku merindukan saudariku satu-satunya ini."Bapak ada kan, kak?" tanyaku setelah sedikit melepas rindu padanya."Bapak lagi sakit Runi, beliau ada di kamar, lagi rebahan."MasyaAllah, aku sampai tak Tahu Bapak sakit. Karena semua yang terjadi padaku selama ini. Aku sampai lupa untuk sekedar menanyakan kabar bapak.Gegas saja aku langsung ke kamar Bapak, sebuah kamar berukuran kecil, dengan kasur yang sudah sangat tipis karena dimakan usia.Terlihat Bapak sedang tidur, tubuhnya kurus, dan kerutan di wajahnya makin nampak.Tak terasa aku mulai menitikan air mata. Betapa aku sedih karena masih belum bisa membahagiakannya.Dan harapannya agar aku dapat berbahagia hidup dengan Mas Juna pun nampaknya tak sesuai. Karena tanpa Bapak tahu kini aku yang harus bekerja membanting tulang agar bisa bertahan hidup.Tapi walau bagaimana pun Bapak tak boleh tahu kesusahanku dan juga kondisi Mas Juna, sampai Mas Juna yang mau mengatakannya sendiri, atau minimal sampai ia mendapat pekerjaan baru nantinya."Aruni, kamu datang, Nak?" panggil Bapak, yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Bergegas aku menghampiri Bapak, mencium tangannya dengan syahdu."Bapak sakit apa?" cecarku seketika.Perlahan Bapak pun mencoba bangkit untuk duduk. Aku membantu nya sedikit."Cuman gak enak badan sedikit aja kok, Nak!" jawab Bapak. "Ini kayaknya masuk angin. Semalam Dini juga sudah ngrokin Bapak, kok. Alhamdulillah enakan!""Bapak jangan terlalu capek, ya!" Aku malah tak bisa menahan tangisku kini. Teringat harusnya aku bisa mencukupi kebutuhan Bapak sehari-hari. Sedangkan kini berarti sudah genap empat bulan aku tak mengirimkan uang untuk Bapak meski dulu pun hanya memberi sedikit saja.Biasanya setiap bulan aku memberinya uang 300 ribu, tentu saja kuambil dari uang tabunganku sendiri."Oh iya, ni pak, Runi bawa buah-buahan sama roti. Bapak makan, ya!" Aku pun segera mengupaskan jeruk untuk Bapak makan."Enak Runi, terimakasih, ya!" uapnya tulus, sambil memakan jeruk yang sudah aku kupaskan dengan lahap."Bagaimana kabar Juna, Nak?" Pertanyaan yang paling kuhindari akhirnya terlempar juga dari Bapak."Alhamdulillah baik, Pak, maaf Mas Juna gak bisa ikut nengokin Bapak. Lagi ada urusan dulu." Hanya itu saja yang bisa kukatakan tak bisa lebih lagi. Meski dorongan untuk menumpakahn sedih hatiky begitu besar."Iya gak apa-apa, yang penting suamimu dan kamu sehat! Bapak udah seneng, kok!""Bapak itu udah seminggu ini ngeluh gak enak badan, Runi ...." Tiba-tiba Kak Dini datang, ikut nimbrung bersama kami. "Semenjak ada orang yang datang kesini, Bapak jadi sering ngeluh gak enak badan," lanjutnya lagi."Orang yang datang kesini? Siapa memang Kak?" tanyaku penasaran."Katanya sih, mereka orang-orang suruhan Kakek. Mereka nanyain kabar Mama. Akhirnya kita antar mereka ke makam Mama, mereka juga foto-foto makam Mama dan rumah ini. Juga Bapak dan aku juga di foto," terang Kak dini."Buat apa mereka datang memangnya, kak?" tanyaku lagi, sungguh aku sangat penasaran, dan malah takut mereka akan membahayakan keluargaku."Mereka bilang, ingin bertemu Mama, karena mau membagi warisan dari kakek kita yang sudah meninggal beberapa bulan kemarin.""Warisan?""Iya warisan. Tapi atanya karena Mama sudah meninggal maka warisan itu buat ahli warisnya nanti, yaitu kita berdua. Ya... lumayan lah kalo memang beneran dapet, mudah-mudahan cukup untuk sedikit renovasi rumah ini," terang kak Dini menjelaskan.Rumah ini memang sudah sangat tua, pastinya harus segera di renovasi karena kayu-kayunya juga sudah keropos, sangat mengkhawatirkan memang karena khawatir rumah ini akan ambruk tiba-tiba."Aamiin. Ya syukur Alhamdulillah kalo memang ada sedikit rejeki buat kita," ucapku mengamini.....Tadi ketika aku akan beranjak pulang dari rumah Bapak, Mas Juna mengatakan bahwa ia berada dirumah orangtuanya. Kebetulan kakak-kakaknya sedang berkumpul.Sebagai seorang menantu yang baik, tentu saja mau tak mau aku pun harus menyempatkan hadir disana. Walau rasanya malas sekali melangkahkan kaki ini.Terbayang nanti disana aku hanya akan menjadi obat nyamuk, karena semua kaka ipar sibuk heboh dengan ceritanya masing-masing, sedangkan aku hanya bisa diam saja. Begitu selalu yang terjadi padaku.Sebagai menantu wanita satu-satunya aku merasa terasing di keluarga suamiku. Karena sungguh begitu sulit untuk masuk dan dekat dengan gaya hidup dan pembicaraan mertua dan ipar-ipar yang tingginya selangit itu menurutku.Jika berkumpul mereka akan membicarakan tentang barang-barang branded terbaru yang dimiliki, tentang kesuksesan keluarga masing-masing, atau berghibah soal keluarga lainnya.Akhirnya untuk melepas jenuh aku suka mencari-cari pekerjaan rumah yang bisa aku lakukan. Seperti mencuci piring bekas mereka makan yang dibiarkan begitu saja atau bermain bersama anak-anak ipar-iparku.Perlahan aku memasuki pekarangan rumah mertuaku itu, terlihat ada dua mobil terparkir disana. Menandakan bahwa kedua iparku masih berada dirumah.Ketika akan masuk dan mengucapkan salam, kudengar mereka sedang serius membahas sesuatu, dan namaku disebut-sebut oleh mereka.Aku pun mengentikan langkah untuk mencari tahu apa yang sedang mereka bicarakan itu. Sambil berdiri di balik pintu aku mencoba mendengarkan semua pembicaraan mereka."Aruni itu dirumah ya hanya diam saja palingan, kan, harusnya dia bisa bantu-bantu meringankan beban suaminya!" Kudengar Kak Tari kakak tertua Mas Juna yang sedang berbicara."Aku percaya Juna tak mungkin memakai uang nasabah kalo gak kepepet. Coba Aruni kerja. Pasti kan bisa bantu ringankan beban Juna. Dan gak akan ada ceritanya Juna ambil uang nasabah!" Kini Kak Bulan menanggapi"Lagian Aku masih gak ngerti, ya, kenapa juga Juna kekeuh waktu itu pengen nikah sama Aruni, padahal dilihat-lihat gak ada kelebihannya Aruni tuh!" Lanjut mereka lagi."Iya, Juna dipelet kali tuh sama Aruni.""Terus sekarang gimana kalian hidup, Jun? Kamu masih belum dapet tempat kerja yang baru?""Belum, Mbak, susah sekarang cari kerja. Ya ... buat sehari-hari alhamdulillah masih ada sedikit pegangan kita. InsyaAllah Juna secepatnya cari kerja."Hah ... jadi Mas Juna dari tadi ada disana, mendengarkan semua perkataan saudaranya yang sedang menjelek-jelekkan aku namun sama sekali Ia tak membela diriku.Belum lagi apa tadi katanya? Masih ada sedikit pegangan? Padahal jelas-jelas, sebulan ini aku harus bekerja banting tulang agar kami bisa tetap hidup, tapi sama sekali Mas Juna tak mengungkit itu. Ia malah mengatakan semuanya dengan santai seakan tak ada masalah berarti."Terus gimana, sekarang Aruni sudah hamil?" tanya Kak Tari lagi."Belum Mbak, belum ada tanda-tanda.""Hah, Aruni itu, ya, udah jelas memang pembawa sial. Kamu menikah sama dia bukannya makin cemerlang hidupmu seperti Lintang dan Helmi yang menikah dengan kakak-kakakmu! Tapi malah kamu berhenti kerja begini! Mana sampai sekarag dia belum hamil-hamil lagi! Jangan-jangan keluarganya keturunan mandul! Liat tuh kakaknya saja masih belum hamil, kan, sampai saat ini?" Kini Ibu Mertuaku yang bersuara dengan lantang dan penuh emosiAku hanya bisa diam menahan emosi dan sakit hati yang makin menjadi, saat dengan jelas ibu mertuaku mengatakan bahwa aku pembawa sial dan juga keluargaku mandul."Ya, sekarang sih syukur Bu, Aruni belum hamil. Lagi kondisi kayak gini Juna gak ingin punya anak dulu. Nantilah kalo sudah mantap lagi kerjaannya!" Kudengar Mas Juna kembali bersuara.Sungguh hatiku semakin sakit saja karena Mas Juna sama sekali tak membelaku yang dikatakan mandul oleh ibunya. Padahal dia tahu sendiri hasil pemeriksaan ku ke dokter kandungan yang menyatakan aku normal. Keterlaluan memang suamiku ini!Aku tak tahan lagi mendengar percakapan mereka. Aku memilih untuk pergi saja meninggalkan mereka karena tak sanggup untuk menahan diri.Kulihat Audrey, anaknya Kak Mentari, datang menghampiri, sebelum Audrey mengatakan apa pun padaku, aku meminta dia diam terlebih dahulu."Audrey sayang, ini nanti tolong bawa masuk ke dalam ya, bilang dari Tante Runi!" ucapku berbisik sambil memberikan bingkisan berisi kue yang sengaja kubeli dalam perjalanan tadi."Siap tante!" Audrey pun berlalu masuk kedalam, dan aku bergegas langsung meninggalkan rumah mertua.Biarlah aku dibilang tak sopan, sungguh aku tak bisa menghadapi semua penghinaan ini.****"Aruni ..., Dek ..., kamu di rumah sayang?"Tak lama setelah sampai di rumah, Mas Juna datang. Mungkin Ia menyusulku setelah mengetahui bahwa aku sempat datang kerumah orang tuanya."Dek ...!" Mas Juna menghampiriku dan mengusap pucuk kepalaku.Ya ..., aku sekarang sedang terbaring lemah di kamar, bantal menjadi saksi betapa air mata ini sudah tumpah ruah."Dek, kamu kenapa? Tadi kamu ke rumah Ibu ya, Dek?" tanyanya.Buat apa bertanya kalo sudah tau?"Dek, kok nangis?" Aku semakin kencang saja menangis, kenapa juga dia masih bertanya akan hal yang sudah diketahui? Pasti Mas Juna tahu aku mendengar semua pembicaraannya dan keluarganya. Kalo ia tak tahu, ia tak akan bergegas pulang menyusulku kan?"Dek ...!" panggilnya lagi."Sudahlah Mas, tadi kan Mas sedang berkumpul sama keluarga, kenapa malah pulang?""Loh kok gtu, Dek, adek gak mau ikut kumpul sama kita memang?" tanyanya seolah tak berslah."Gak! Buat apa aku ikut kumpul, nanti kalian malah gak bisa bebas membicarakan aku, kan?" sindirku sengaja."Dek ...," rajuknya."Kenapa, Mas? Memang benar kan tadi kalian sedang membicarakan aku?""Aku istri pembawa sial, kan? Aku mandul, kan?"Mas Juna tak berkutik, hanya diam saja sambil masih menggenggam tanganku."Kenapa Mas gak belain aku pas mereka semua ngomongin aku? Kenapa Mas hanya diam saja saat ibu bilang aku mandul? Padahal Mas tahu kalo aku normal dan selama ini Mas yang menyuruhku untuk bersabar soal anak, kan?""Maafin Mas, Dek, tadi Mas ingin membela, tapi kau tahu sendiri Ibu dan kakak-kakaku tidak bisa berhenti kalau sedang ngobrol.""Jadi lebih baik aku dibilang mandul begitu, Mas?"Tangis ku makin kencang, sakit hatiku makin menjadi."Maafin Mas dan Ibu ya, Dek.""Mas juga kenapa gak jujur kalo aku sekarang yang kerja, kalo aku gak kerja kan kita gak akan punya uang sepeser pun Mas untuk beli beras. Malah seakan-akan aku hanya jadi istri pemalas yang diam saja tak berbuat apa pun!""Memangnya Mas harus bilang, ya?" ujarnya dengan polosnya."Setidaknya Mas bilang kalo aku gak hanya diam aja dirumah. Kalo aku juga berjuang Mas!""Aku masih bisa terima mereka ngomongin aku seperti itu kalo Mas memang gak ada disitu, karena mereka gak tahu rumah tangga kita seperti apa. Tapi ... ternyata Mas ada dan mendengarkan semua, dan sedikit pun tak membelaku, itu yang bikin aku sakit hati banget, Mas!"Mas Juna hanya diam tak berkata-kata. Dan aku hanya bisa menangis. Entah lelaki seperti apa yang sudah aku nikahi ini, karena bahkan Ia tak bisa menjaga harga diri istrinya sendiri. Sesak rasanya dada ini.Hari ini aku tak begitu semangat berangkat kerja. Kejadian kemarin masih terasa sakit di hati.Rasanya sia-sia saja aku bekerja, karena bahkan suamiku tak menganggapnya, padahal jelas lebih dari dua bulan ini Ia makan dari hasil jerih payahku.Bukannya aku perhitungan, tapi rasanya sakit ketika Ia bahkan tak membela aku saat jelas-jelas aku di cap miskin, penbawa sial juga mandul oleh keluarganya.Aku memang bukan dari keluarga berada seperti mereka. Tapi aku punya harga diri yang harus dijaga. Rasanya ingin sekali aku melabrak mereka saat itu juga. Sayangnya aku bukan tipe orang yang bisa berkonfrontasi langsung. Tak akan sanggup jika aku harus berteriak atu pun mencak-mencak di hadapan mereka. Terlebih mereka adalah keluarga suamiku yang mau tak mau harus kuhormati.***Saat sedang asyik memasak, tiba-tiba Kak Dini menghubungiku. Ia menyuruhku untuk segera pulang kerumah Bapak. Sekarang juga katanya. Setelah meminta izin pada Andin untuk bekerja setengah hari saja, aku langsung ber
Seperti kejatuhan durian runtuh, tentu saja itulah kondisi kami saat ini. Baru saja kemarin Kak Dini mengabarkan terkait warisan itu, awalnya kami pikir jumlahnya tak akan seberapa. Tapi ternyata kami salah.Sungguh aku tak percaya atas semua ini. Ternyata benar kata Bapak bahwa ayahnya mama atau kakekku adalah orang yang sangat kaya. Tapi aku tak pernah berani membayangkannya sama sekali.Setelah Om Satyo dan pengacaranya pulang, Bapak mengatakan bahwa uang dan rumah itu sepenuhnya hak kami. Ia tak ingin ikut campur. Bapak hanya ingin menikmati masa tuanya untuk beribadah.Aku dan kak Dini pun sepakat akan segera mendaftarkan bapak berangkat ke tanah suci dan merenovasi rumah. Itulah yang pertama kami sepakati. Selanjutnya kami masih bingung.Dan kini, aku pun bingung, apa yang akan aku katakan pada suamiku tentang warisan yang aku dapatkan ini? Akankah aku jujur padanya? Kira-kira apa responnya saat mengetahui bahwa istrinya kini menjadi miliyarder?.....Karena tak membawa jatah la
Aku dan Kak Dini sudah sepakat akan adil membagi uang warisan yang kami dapatkan. Kami memutuskan untuk membeli rumah baru untuk Bapak, membiayainya umrah, dan juga membeli sepeda motor baru untuknya.Kami tidak jadi merenovasi rumah dan memilih untuk menjualnya lalu membeli rumah baru di kota untuk Bapak. Htung-hitung sebagai bentuk investasi kami. Juga untuk menghindari menjadi perbincangan warga sekampung tentang kami yang mendadak menjadi kaya. Aku sangat setuju ide ini, karena dengan begitu Mas Juna dan keluarganya pun tidak akan mengetahui bahwa istrinya kini mendadak kaya. Ya, karena kampung kami yang hanya bersebelahan saja, maka biasanya kabar akan sangat cepat menyebar dari satu kampung ke kampung lainnya. Tekadku sudah bulat untuk merahasiakan hal ini dari Mas Juna, Karena aku ingin melihat apakah ia akan berubah kembali menjadi seperti yang dulu lagi meski hanya memberikan sedikit bagian saja untukku, aku tak apa. Yang penting ia telah berusaha dan tak hanya diam ongkang
Sepulang dari Rumah Sakit aku tak mungkin langsung pulang ke rumah. Karena yang Mas Juna tahu aku masih bekerja seperti biasa. Aku terus memikirkan tentang bisnis ketering Andin yang akan dijualnya. Sempat terbersit, apa aku saja yang mengambil alih bisnisnya tersebut, apa lagi sedikit banyak aku tahu soal seluk beluk bisnis kateringnya tersebut. Namun, aku masih ragu akan kemampuan diriku sendiri. Bisakah aku menjalankannya, karena berbisnis bukanlah hal main-main. Dan aku tak ingin mepertaruhkan nasib para karyawan katering itu nantinya.Aku teringat, Oom Satyo pernah mengatakan bahwa Ia terbuka jika ingin menghubunginya. Terpikir olehku untuk berkonsultasi dengan beliau karena beliau sudah ahli di dunia bisnis."Ide yang bagus jika kamu mau mengakuisisi katering tersebut, apalagi kamu bilang prospeknya cukup besar, kan? Mereka punya 5 pabrik yang bekerja sama. Itu sudah sangat luar biasa sekali!" ucap Om Satyo antusias saat aku menceritakan tentang ideku."Pesan Oom kamu harus ban
Setelah mengetahui kebohongan Mas Juna kemarin, Aku memilih untuk tidak berangkat kerja hari ini. Ingin mengetahui adakah gelagat mencurigakan dari Mas Juna yang selama ini aku lewatkan.Berbagai asumsi ada di benakku, pertama ia pergi ke rumah sakit bersama seorang perempuan yang kudengar suaranya di telepon kemarin yang mungkin saja perempuan itu adalah selingkuhannya yang selama ini aku cari.Dan asumsi kedua ia sedang memeriksakan kesehatannya sendiri. Ya ... bagaimana jika selama ini Mas Juna menyembunyikan padaku bahwa dirinya sedang sakit. Bagaimana jika uang-uang yang dia pakai kemarin untuk membiayai pengobatannya sendiri?****"Kamu gak kerja hari ini?" tanya Mas Juna, mungkin Ia merasa aneh jam sembilan pagi ini aku masih di rumah, malah sibuk menyetrika baju."Enggak, aku hari ini libur dulu," jawabku mencoba bertingkah seperti biasa saja."Jangan terlalu sering gak masuk kerja. Nanti gajimu di potong!" ucapnya lagi.Dia belum tahu saja bahwa sekarang aku bisa libur kapan
Saat sampai rumah, sayup-sayup kudengar Mas Juna sedang menerima telepon di kamar. Rupanya dia tidak tahu kedatanganku."Sekarang gimana kondisinya?""Mungkin dia hanya kaget aja.""Kamu gimana bisa tidur?""Ya nantilah aku kesana.""Baiklah, sudah dulu ya."Dengan siapa Mas Juna bicara? Kenapa terdengar sangat lembut gaya bicaranya? Rasanya sudah lama sekali aku tak mendengar Mas Juna berbicara selembut itu padaku. Tiba-tiba saja aku merasa ada sedikit yang sakit di hati ini.****Hari ini aku memasak makanan kesukaan Mas Juna. Semur jengkol, ayam goreng, tahu, tempe, sambal, dan lalapan. "Wah ... menu spesial nih!"seru Mas juna antusias saat ku panggil untuk makan, "Jadi laper ....""Makanlah mas, sudah matang juga semua." Ia pun duduk menunggu aku yang mengambilkan nasi untuknya.Kulihat Ia begitu lahap makannya, sampai menambah beberapa kali. Seusai makan, saat sedang mencuci piring aku merasa ada yang memelukku dari belakang. Mas Juna menempelkan kepalanya di kepalaku."Makasih
Selepas pulang kerja, seperti biasa Mas Juna sedang duduk manis dengan gawainya. Aku sama sekali tak berminat berbincang atau sekedar berbasa-basi dengannya.Sebenarnya sejak tadi Mas Juna mempertanyakan perubahan sikapku. Tapi aku bahkan tak bisa berkata apa pun setelah mengetahui bahwa besar kemungkinan ia telah mengkhianatiku.Malam ini aku tak bisa sekedar memejamkan mata, bayangan Mas Juna bersama wanita lain dan bayinya itu terus menghantui. Sakit rasanya mengetahui semuanya.Wanita itu, cantik, paras keibuannya begitu nampak, Ia juga anggun dan terlihat begitu dewasa.Sedangkan bayinya terlihat masih amat kecil, mungkin usianya sekitar dua atau tiga bulanan.Jika memang Mas Juna telah selingkuh dan anak yang digendongnya itu adalah anaknya, berarti Mas Juna telah mengkhianatiku cukup lama, atau mungkin dari sebelum mereka menikah. Atau jangan-jangan ... aku lah orang ketiga di kehidupan mereka?Rasanya tak sanggup lagi menjalani biduk rumah tangga jika begini, ingin segera kua
Mas Juna masih menjadi tukang ojeg, dia tak peduli walau ibunya terus melarangnya. Aku mengakui salut akan kegigihannya yang satu ini.Namun, dibalik semua itu aku sebenarnya sedih. Karena selama dua minggu menjadi tukang ojeg, Mas Juna sama sekali belum pernah memberikan uang hasil dari mengojegnya padaku. Padahal sehari-hari ia masih makan dari hasil jerih payahku.Bedanya kini memang ia tak lagi meminta uang bensin atau kuota padaku. Namun soal makan, Ia masih mengandalkan aku.Atau mungkin ia akan memberikannya di akhir bulan nanti? Tapi kan hasil dari mengojeg di dapatkan tiap hari.Rasanya malas untuk mempertanyakan kemana hasil mengojeg yang dia dapatkan setiap harinya. Karena seharusnya tanpa ditanya atau pun diminta ia akan langsung memberikannya padaku, kan?Kita lihat saja sampai kapan ini semua akan bertahan. Aku akan fokus untuk mencari bukti pengkhianatannya padaku saja. Dan juga fokus membesarkan bisnisku.****Kini bisnisku berkembang lebih pesat. Beberapa perusahaan m