"Sekarang mandi dulu, kita sarapan," ucap Damar.
"Mandiin," Nisa merajuk manja. Tetapi kerika Nisa sedang merajuk ponsel Damar berdering, Roni mengabarkan pagi ini untuk datang tepat waktu."Roni ngabarin, Mas harus datang tepat waktu." Damar menunjukkan ponsel pada Nisa. "Kamu mandi sendiri, jangan lama-lama, Mas tunggu di sini," ujar Damar.Nisa memanyunkan mulutnya, membuat Damar tersenyum geli, "Buruan nanti Mas telat," ujar lelaki atletis ini.Setelah Nisa menutup pintu kamar mandi Damar menghembuskan nafas lega, jika pagi ini dia harus memberikan Nisa kenikmatan, bisa nggak bisa diajak berdiri dengkulnya. Pasalnya Kirana Benar-benar memberikan service terbaiknya tadi malam.Damar melihat ponsel yang bergetar, pesan dari Kirana. [Udah dapet dokumennya, mas?]Damar menyugar rambutnya frustasi. Dia harus cepat-cepat mengumpulkan dua wanitanya dan menyepakati perjanjian pada dua wanitanya agar tak saling curiga da"Masalah lagi, Ron." "Apa, Pak?" tanya Roni. "Siapa yang nanti aku bawa, dan rumor buruk akan beredar jika publik tau aku beristri dua." pungkas Damar. "Pak, kolega dan semua rekam bisnis taunya Anda menikah dengan Non Nisa, sebaiknya yang Anda perkenalkan pada bublik Non Nisa." saran Roni. Damar tak menjawab, tangannya mengusap-usap janggut yang sudah di tumbuhi bulu tipis. "Jika tak ada yang dibutuhkan lagi saya undur diri, Pak." Hhmmm ... Hanya gumaman yang keluar dari mulut Damar. "Masalah satu belum kelar, sudah muncul lagi masalah baru," gumam Damar. *** "Nis, Mas Bagus udah dua kali dateng ke rumah gue," ujar Lana siang ini. "Eehhh ... Elo udah jadian sama Mas Bagus?" tanya Nisa. Yang diangguki mantap oleh Lana. "Ya ampun, cepet banget move onnya temen gue," ujar Nisa.
"Mas, tadi belum kelar ceritanya?" Nisa berusaha menghindar dari terkaman Damar. "Cerita apa? Mas lupa, sekarang kerjain yang inget aja?" Damar sudah memberikan kecupan-kecupan menggairahkan di tubuh Nisa. "Maasss...." Suara Nisa sudah mendesis. "Lana, kita lagi ngomongin lana, Mass ...." Nafas Nisa sudah terengah. "Mas yang udah ambile keperawanan Lana?" Damar menjeda kuluman bibir di area sensitif Nisa yang terlihat menantang. "Emang muka Mas pecinta darah perawan?" tanya Damar, kembali menyesap benda kemerahan yang selalu membuatnya tergoda. "Ahhh ...." Desahan kembali lolos dari bibir Nisa, tadi Mas, bilang, Mas yang nolongin Lana," Nisa berkata sambil tersengal, tubuhnya bergetar hebat. Jari-jari tangan meremat rambut Damar frustasi. Tak ada jawaban dari Damar, lelaki atletis ini sibuk sendiri dengan aktifitasnya, sudah tak mendengar gumaman yang Dilayangkan Nisa, yang dia dengar dari mulut Nisa sekarang adalah ra
"Sama aja." Nisa bangun dari duduk keluar kamar. Damar hanya memandang kepergian Nisa. "Untung sayang, kalo ngak ...." "Kalo nggak apa?! " ketus Nisa kembali melongokkan kepala ke dalam kamar. Bibir damar tersungging kaku, ternyata Nisa masih di depan kamar dan mendengar gumamnanya. Gerogi mendapatkan tatapan maut dari Nisa Damar hanya menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Baju mas mana Nis, kok belum di siapin?" tanya Damar mengalihkan pembicaraan. "Pilih sindiri," ketus Nisa menutup pintu kamar. Damar meninju angin. "Uuhhh ... Kenapa bisa bucin sama anak manja begitu pikir Damar. Di meja makan Nisa masih memperlihatkan wajah tak suka pada Damar. "Pah, besok saya mau undang Kirana dan Fatta makan malam di sini, sekalian memperkanalkan pada Papah." ujar Damar di sela-sela suapan. Uhuk .... Fina tersedak mendengar penuturan Damar.
"Non," Darmi menghampiri Nisa, perlahan duduk di hadapan Nisa. Wanita muda ini mengayun perlahan setelah Darmi duduk. Suara derit gesekan besi terdengar lebih keras, karna beban yang bertambah. Tangan keriput Darmi menggenggam tangan lembut Nisa, "Non, seumur hidup Non Nisa apa yang tidak Non Nisa dapatkan?" Dengan cepat Nisa menggeleng, "Semua Nisa dapatkan, Mbok." "Tadi Mbok bilang, di dunia ini mustahil kita meraih kesempurnaan, karna kesempurnaan hanya milik Allah, mungkin dengan kejadian seperti ini akan mengajarkan Non Nisa untuk berbagi, untuk saling mengerti, untuk saling mengasihi." panjang lebar Darmi menasehati anak asuhnya. Mendengar ucapan Darmi Nisa termenung. Hati terdalam masih belum terima jika dia harus berbagi. Selama ini apapun yang dia inginkan selalu dia dapat, tetapi dengan Damar, sepertinya akan sulit mendapatkan Damar seutuhnya. Pasalnya Damarpun memiliki sifat teguh pendirian, se
Mata Kirana terlihat mengerucut artinya dia sedang tersenyum. "Ayu kita masuk," Damar menggandeng tangan Kirana, sedang tangam satunya menggendong Fatta. "Assalamualaikum," Damar memberi salam pada Chandra yang menyambut dengan tersenyum, duduk di sofa."Waalaikumsalam," Chandra menjawab salam."Fatta, salim sama Opa juga Oma." Gadis kecil ini menghampiri Chandra juga Fina yang sudah duduk disebelah Chandra. "Pah, masa Mami di panggil oma, mamih berasa tua," ujar Fina manja. "Kita memang sudah tua, Mih," jawab Chandra mengulurkan tangan pad Fatta. " Cantik bener ini, siapa nama kamu?" tanya Chandra mendekatkan tubuhnya pada Fatta. "Fatta, Opa," jawab Fatta dengan suara khas anak kecil umur lima tahun. Setelah menggoda Fatta Chandra mendongak menatap Kirana, melihat iris hitam milik Kirana. Kirana menundukka kepala tanda menyapa. "Pah ini Kirana, istri Damar, sebelum menikahi
Chandra tersenyum teduh melihat gelagat Kirana. "Ayo kita makan dulu nanti baru berbincang." Ajak Chandra. "Kirana, lepas saja Niqobnya mau makan biar nggak sulit, di sini kan nggak ada siapa-siapa, Kita semua kelurga," bisik Damar ketika menuju ruang makan. "Malu, Mas. Ada Pak Chandra," ujar Kirana, menyentuh wajah yang tertutup niqob. "Lagian aku sudah biasa makan pake niqob," ujar Kirana lagi. "Ya sudah." Mereka bergandengan tangan menuju meja makan. Nisa melirik tautan tangan Kirana Chandra dengan cepat Kirana melepas tautan tangannya dengan Damar. Fatta berceloteh riang, Chandra banyak mencandai Fatta si gadis kecil, bola mata Fatta berbinar indah. "Kak, buka aja, penutup wajahnya, biar leluasa makannya," ucap Nisa, pada Kirana karna terlihat sulit menyuapkan makan. "Nggak susah kok, Dek," jawab Kirana. Damar yang mendengar panggilan sebutan dua wanitanya, berdesir indah di pendengaran, hatinya tentram. Chandra melirik pada Kirana, dia juga penasaran terhadap wajah
"Kirana." Suara Damar terdengar lemah. Hatinya pilu, Kirana seolah menyerah dengan keadaan. Dia menerima semua ketidak adilan ini. Kirana tersungging penuh arti. "Ini semua untuk kebaikan kita, Mas. Aku tidak ingin ada pertengkaran di antara kita, aku harap Mas Damar tidak terbebani dengan adanya poligami ini." "Kirana! Nisa!" Otak Damar seolah tak bisa berfikir. Dia menyebut nama kedua istrinya bergantian menatap netra berembun mereka. "Kak, kaka bisa menolak jika keberatan dengan kemauanku," ujar Nisa. "Untuk apa? Toh semua yang aku harapkan jauh dari ekspektasiku selama ini, aku hanya perempuan lemah, ucapanku, keinginanku, tak ada satupun yang bisa Mas Damar kabulkan." Kaca-kaca mengembeng di pulupuk mata Kirana. Hati Damar berdenyut nyeri, Kirana masih berada di sampingnya bukan karna bahagia tetapi karna terpaksa. Damar mengikat begitu erat hingga tak ada daya untuk kirana lepas.
"Mas ,ke bawah dulu tadi bikin kopi." Damar menunjukkan gelas kopi yang dia bawa. "Malem-malem ngopi, kebiasaan," ujar Nisa melangkah menuju kamar di ikuti Damar. "Biar bisa melek sampe pagi," ujar Damar menaruh gelas kopi di atas nakas. Lalu masuk ke dalam selimut, setelah itu meraih gelas kopi lalu menenggak hingga habis. "Kok di abisin, Nisa minta," ujar Nisa berteriak melihat isi gelas yang Damar pegang. "Yaa.... Kamu nggak ngomong, ini masih sedikit." Damar memberikan sedikit yang masih tersisa. "Udah buruan tidur, Mas. Lagi baca apaan sih?" tanya Nisa melirik ponsel di tangan Damar."Sebentar, Mas baca berita bisnis terkini," ucap Damar.Nisa menutupi tubuh dengan bedcover setelah meminum kopi sisa Damar. Beberapa menit tak juga Nisa dapat memejamkan mata. "Kok Nisa jadi nggak bisa tidur, Mas," ujar Nisa. "Minum kopi sihh...," uja