"Jangan di sini, Nis." Fina menarik tangan Nisa keluar kamar. "Apa sebaiknya Papah di rawat di Rumah Sakit, Nis. Mamih khawatir," ada raut cemas di wajah Fina. Dia harus bisa mengambil hati anak sambungnya kali ini."Iya, ini Nisa juga mau ajak Papah untuk di rawat, tadi kata Mas Bagus nggak mau," ujar Nisa. "Iya, tadi sudah mau di panggilkan ambulance tapi Papah nggak mau." "Ya udah Mih, nanti kalo Papah udah bangun panggil Nisa biar kita ajak ke Rumah Sakit," ujar Nisa lagi. Fina mengangguk, "Nis maafin mamih ya," ujar Fina menguatkan hati mencoba memberi kesan baik pada anak sambungnya. "Untuk apa Mih?" tanya Nisa. "Karna mengabaikan kamu selama ini," ujar Finna. Nisa tersenyum. "Iya Mih, ya udah Nisa naik dulu capek banget baru pulang kerja." Fina memandangi kepergian Nisa, dia harus menjalankan strategi baru, mendekati Nisa agar dia bisa tetap berada di sini walau Chandra telah tiada nanti. Kemarin Chandra sudah menceraikan Fina tanpa sepengetahuan siapapun, hanya pengac
Setiap Nisa keluar rumah Damar selalu waspada, memikirkan istri kecilnya, khawatir melakukan hal yang di luar batas. zaman yang sekarang di lalui adalah tahapan pada akhir jaman, siapa yang tidak waspada maka akan celaka. "Mas, ngapain sih sering banget telpon." Wajah Nisa terpampang cemberut di layar ponsel Damar."Kamu makan siang sama siapa?" tanya Damar. "Sama Bu Dini, di dalam kelas." Suara Nisa terlihat sekali tak suka karna Damar sudah beberapa kali menelponnya hari ini, Nisa sampai hafal betul jam Damar menelponnya. Dini cekikikan, melihat eksperesi kesal Nisa. Dan wajah Dini di sorot kamera Damar, karna Damar meminta Nisa menyorot semua ruangan. "Apaan sih, Mas!! Udah ... aku nggak mau di telponin mulu," ujar Nisa. "Kok cuma berdua, muridnya mana?" tanya Damar."Udah pada pulang, 'kan Nisa ngajar kelas satu, jam satu mereka pulang." "Kenapa kamu pulang jam tiga, dua jam ngapain aja di situ?" tanya Damar menelisik. "Ngerjain tugas lain, udah ah ... Nisa tutup telponnya
"Tapi tak bisa semudah itu risign dari yayasan ini, Pak Damar."ucapan Emran membuat Damar sedikit gelisah, tak mudah rupanya menarik istrinya dari tempat ini."Iya saya tau akan hal ini, silahkan cari guru pengganti secepatnya, minimal tiga hari kedapan istri cantik saya ini harus sudah bisa keluar dari yayasan Anda." Damar berkata tegas. Menekankan ucapan di kata 'istri cantik'."Minimal dua minggu paling lama satu bulan," ujar Emran dia menyandarkan bahu, mengangkat kedua tangan ke atas sandaran kursi, mengungkapkan dia tak mau di bantah, karna sekarang ini mereka ada di wilayahnya. "Oke," jawab Damar seolah itu tak masalah. Semua sudah ia pertimbangkan, dan mau tidak mau Damar harus mengikuti peraturan yang berlaku, dia tak ingin Emran tau, jika Damar menarik Nisa Karna cemburu dengannya."Mas, Nisa kan belum setuju mau risign!!" Nisa mencoba bernego dengan Damar. "Bu Nisa, lain waktu kalau ingin kembali ke sini, silahkan. Pintu sekolah kami terbuka untuk Ibu. " Emran mengakhiri
"Ahhh ... Hati kenapa kamu menghianatiku, kenapa aku jadi galau sendiri. Kenapa nggak bisa membenci Kirana." Nisa berbincang sendiri sejak tadi. "Dek." Lamunan Nisa buyar mendengar Kirana memanggil. Wanita muda ini menggeser tubuh saat Kirana ingin duduk di sebelahnya, baru tadi hatinya bilang Kirana baik, sekarang hati yang lain merasa iri melihat perut Kirana. "Alhamdulillah," ucap Kirana saat berhasil mendaratkan bokong di kursi empuk sebelah Nisa."Dek, ini tas rajut, ini syal. Semua ini kakak yang buat sendiri. Nih buat dek Nisa." Kirana meyerahkan barang di tangannya pada Nisa. "Syalnya kakak buat tiga untuk kamu kakak sama Mas Damar. Semoga kita selalu rukun, ya. Bisa sampai ke Jannahnya Allah." Kirana menerangkan jika dia sendiri yang buat tas dan syal pada Nisa. "Bagus, Kak. Tangan kakak trampil banget bikin rajutan," ucap Nisa, meneliti setiap detai rajutan tangan Kirana. "Buat ngisi waktu, Dek. biar nggak jenuh," ujar Kirana. Senyum Kirana begitu tulus, membuat hati N
Aroma obat menyeruak di penciuman, Chandra terbaring lemah di brangkar Rumah Sakit, Fina terlihat sedikit gelisah sejak tadi, entah apa yang sedang dia pikirkan. Nisa mengupas buah apel lalu memberikan pada Chandra. Lelaki tua ini menyantuh pipi putri satu-satunya. "Kok kaya lagi nggak bergairah?" tanya Chandra. Bibir Nisa melengkung terpaksa. Tangannya masih terus mengupas buah apel. Chandra melirik Damar yang duduk di sofa, lelaki itu masih sibuk dengan laptopnya. Sejak tadi Fina memperhatikan Damar, wanita yang kini berpakaian lebih sopan ini sedang berfikir bagaimana bisa mendapatkan uang lebih bulan ini. Ia sudah bukan istri Chandra lagi, jadi tak mungkin memaksa Chandra memberinya uang, biasanya lelaki penyakitan ini akan suka rela mengucurka dia uang setelah Fina merayunya habis -habisan di atas ranjang, tetapi sekarang di dekati saja Chandra enggan. Ponsel Damar berdering, dia keluar ruangan rawat ketika mulai berbincang. Fina mengikuti Damar keluar kamar tanpa peduli tata
"Udah, Mas. Ngomong aja, Mas Damar mau ngomong apa? Pasti punya permintaan yang bakal sulit Nisa terima," ujar Nisa menangkup wajah Damar menjauhkan dari tubuhnya. "Mas kangen sama kamu, Nis." Damar menatap Nisa sayu. Lalu mencium ceruk leher Nisa. Nisa diam pasrah mendapatkan sentuhan-sentuhan dari suaminya, memang sudah beberapa kali Damar pulang ke rumah, Nisa menolak Damar karna dalam keadaan datang bulan, dan juga beberapa kali Nisa dalam keadaan sangat lelah. Setelah menuntaskan segala gejolak rasa, mereka terlelap, melupakan pembicaraan apa, yang ingin di sampaikan Damar. Pagi ini senyum Nisa mengembang dia duduk di depan meja rias. Damar menyisir lembut rambut Nisa, lalu mengecup puncak kepala Nisa."Wangi banget rambutnya, coba cium rambut Mas Damar wangi juga nggak?" tanya Damar, menundukkan kepala agar di cium Nisa. "Kan sampo kita sama, Mas. Bilang aja pengen di cium." Nisa menangkup wajah suaminya lalu mngecup pipi Damar. Meraka tertawa bahagia, netra mereka bersibo
Akhirnya Damar meninggalkan sekolah tempat Nisa mengajar selama ini. Perasaan lelaki ini sedikit gelisah, tetapi dia tak mengerti gelisah karna apa. Semua masih dalam kendali, pikir Damar. Di gedung Hardiansyah beberapa rapat penting terselenggara. Hari ini sangat melelahkan bagi Damar. Dia melonggarkan dasi, menyandarkan kepala di sandaran kursi kebesarannya, hatinya terus berdetak gelisah, pikirannya terus mengingat Nisa.Lelaki tampan ini meraih ponsel menghubungi Nisa masih juga belum bisa di hubungi. "Kamu kemana, Nis? Kok nggak bisa di telpon," gumam Damar. Kembali dia menghubungi Darmi. "Mbok, Nisa udah pulang belum?" tanya Damar pada wanita tua di sebrang sana. "Kalau udah pulang suruh telpon saya, Mbok, penselnya nggak bisa di hubungi," ujar Damar. "Ohh ... Pantesan. Nanti malam saya telpon lagi, kalo belum sempet beli ponsel baru, bilang ke saya Mbok, nanti saya kirim, " ujar Damar, setelah itu menutup panggilan telpon. Lelaki ini meraup wajah kasar, bangun dari duduk,
Setelah mencurahkan segala permohonan, Damar duduk di undakan mushola memasang kembali sepatu hitam mengkilatnya. Sebelum pergi dia merogoh gawai di kantong jas, lalu menelpon Nisa, sudah lima hari ini, Nisa tak dapat di hubungi. "Kemana Nisa," gumam Damar. Setelah itu Damar menelpon Darmi, "Mbok, ponsel Nisa masih belum bisa dihubungi,"ujar Damar pada wanita tua di sebrang sana. Darmi masih belum jujur pada Damar, mengenai Nisa. "Ya sudah kalo baik-baik saja, sampaikan pada Nisa, Kirana kecelakaan, Mbok. minta doanya agar persalinan Kirana lancar, sehat ibu dan bayinya." Damar meminta doa wanita tua ini. Darmi terperanjat kaget mendengar Kirana kecelakaan. "Terimakasih Mbok, saya tutup ponselnya." Damar kembali ke tempat Kirana sedang menjalani operasi. Langkah lebar tergesa membuatnya menabrak pudak lelaki yang juga sedang berbincang dengan seorang perawat."Damar! Sedang apa di sini." Bagus menyapa lelaki yang terlihat kalut ini. "Bagus. Kirana mengalami kecelakaan," ujar Da
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal