Di rumah megah milik Nisa seorang pria sedang mencoba merayu permata yamg selama ini dia jaga, lelaki ini khawatir si permata akan jatuh pada kubang dosa jika di biarkan terus berada berdekatan dengan pria yang bukan mukhrim. Selama ini dia sedikit abai, tetapi setelah melihat kejadian siang tadi, mata kepala Damar kembali terang, bahwa Nisa masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya. "Nis, kamu betah kerjanya?" tanya Damar. Memeluk Nisa dari belakang. "Betah, emang kenapa, tumben tanya-tanya?" tanya Nisa. "Mas Damar butuh sekretaris tambahan, kamu aja yang jadi sekretaris, biar nggak jauh-jauh dari Mas." Damar mencium pudak Nisa. "Nisa 'kan males kerja di kantor," tolak Nisa, "Pusing liat angka-angka, sama jadwal.""Nisa cuma perlu temenin Mas doang, ngingetin Mas meeting, makan. Itu doang." Lagi Damar mencoba meyakinkan bahwa perkerjaan Nisa mudah nantinya. "Kan ada Pak Roni!!" "Tapi Mas butuh kamu di deket Mas tiap hari." Lebih baik menjaga Nisa di dekatnya dari
"Jangan di sini, Nis." Fina menarik tangan Nisa keluar kamar. "Apa sebaiknya Papah di rawat di Rumah Sakit, Nis. Mamih khawatir," ada raut cemas di wajah Fina. Dia harus bisa mengambil hati anak sambungnya kali ini."Iya, ini Nisa juga mau ajak Papah untuk di rawat, tadi kata Mas Bagus nggak mau," ujar Nisa. "Iya, tadi sudah mau di panggilkan ambulance tapi Papah nggak mau." "Ya udah Mih, nanti kalo Papah udah bangun panggil Nisa biar kita ajak ke Rumah Sakit," ujar Nisa lagi. Fina mengangguk, "Nis maafin mamih ya," ujar Fina menguatkan hati mencoba memberi kesan baik pada anak sambungnya. "Untuk apa Mih?" tanya Nisa. "Karna mengabaikan kamu selama ini," ujar Finna. Nisa tersenyum. "Iya Mih, ya udah Nisa naik dulu capek banget baru pulang kerja." Fina memandangi kepergian Nisa, dia harus menjalankan strategi baru, mendekati Nisa agar dia bisa tetap berada di sini walau Chandra telah tiada nanti. Kemarin Chandra sudah menceraikan Fina tanpa sepengetahuan siapapun, hanya pengac
Setiap Nisa keluar rumah Damar selalu waspada, memikirkan istri kecilnya, khawatir melakukan hal yang di luar batas. zaman yang sekarang di lalui adalah tahapan pada akhir jaman, siapa yang tidak waspada maka akan celaka. "Mas, ngapain sih sering banget telpon." Wajah Nisa terpampang cemberut di layar ponsel Damar."Kamu makan siang sama siapa?" tanya Damar. "Sama Bu Dini, di dalam kelas." Suara Nisa terlihat sekali tak suka karna Damar sudah beberapa kali menelponnya hari ini, Nisa sampai hafal betul jam Damar menelponnya. Dini cekikikan, melihat eksperesi kesal Nisa. Dan wajah Dini di sorot kamera Damar, karna Damar meminta Nisa menyorot semua ruangan. "Apaan sih, Mas!! Udah ... aku nggak mau di telponin mulu," ujar Nisa. "Kok cuma berdua, muridnya mana?" tanya Damar."Udah pada pulang, 'kan Nisa ngajar kelas satu, jam satu mereka pulang." "Kenapa kamu pulang jam tiga, dua jam ngapain aja di situ?" tanya Damar menelisik. "Ngerjain tugas lain, udah ah ... Nisa tutup telponnya
"Tapi tak bisa semudah itu risign dari yayasan ini, Pak Damar."ucapan Emran membuat Damar sedikit gelisah, tak mudah rupanya menarik istrinya dari tempat ini."Iya saya tau akan hal ini, silahkan cari guru pengganti secepatnya, minimal tiga hari kedapan istri cantik saya ini harus sudah bisa keluar dari yayasan Anda." Damar berkata tegas. Menekankan ucapan di kata 'istri cantik'."Minimal dua minggu paling lama satu bulan," ujar Emran dia menyandarkan bahu, mengangkat kedua tangan ke atas sandaran kursi, mengungkapkan dia tak mau di bantah, karna sekarang ini mereka ada di wilayahnya. "Oke," jawab Damar seolah itu tak masalah. Semua sudah ia pertimbangkan, dan mau tidak mau Damar harus mengikuti peraturan yang berlaku, dia tak ingin Emran tau, jika Damar menarik Nisa Karna cemburu dengannya."Mas, Nisa kan belum setuju mau risign!!" Nisa mencoba bernego dengan Damar. "Bu Nisa, lain waktu kalau ingin kembali ke sini, silahkan. Pintu sekolah kami terbuka untuk Ibu. " Emran mengakhiri
"Ahhh ... Hati kenapa kamu menghianatiku, kenapa aku jadi galau sendiri. Kenapa nggak bisa membenci Kirana." Nisa berbincang sendiri sejak tadi. "Dek." Lamunan Nisa buyar mendengar Kirana memanggil. Wanita muda ini menggeser tubuh saat Kirana ingin duduk di sebelahnya, baru tadi hatinya bilang Kirana baik, sekarang hati yang lain merasa iri melihat perut Kirana. "Alhamdulillah," ucap Kirana saat berhasil mendaratkan bokong di kursi empuk sebelah Nisa."Dek, ini tas rajut, ini syal. Semua ini kakak yang buat sendiri. Nih buat dek Nisa." Kirana meyerahkan barang di tangannya pada Nisa. "Syalnya kakak buat tiga untuk kamu kakak sama Mas Damar. Semoga kita selalu rukun, ya. Bisa sampai ke Jannahnya Allah." Kirana menerangkan jika dia sendiri yang buat tas dan syal pada Nisa. "Bagus, Kak. Tangan kakak trampil banget bikin rajutan," ucap Nisa, meneliti setiap detai rajutan tangan Kirana. "Buat ngisi waktu, Dek. biar nggak jenuh," ujar Kirana. Senyum Kirana begitu tulus, membuat hati N
Aroma obat menyeruak di penciuman, Chandra terbaring lemah di brangkar Rumah Sakit, Fina terlihat sedikit gelisah sejak tadi, entah apa yang sedang dia pikirkan. Nisa mengupas buah apel lalu memberikan pada Chandra. Lelaki tua ini menyantuh pipi putri satu-satunya. "Kok kaya lagi nggak bergairah?" tanya Chandra. Bibir Nisa melengkung terpaksa. Tangannya masih terus mengupas buah apel. Chandra melirik Damar yang duduk di sofa, lelaki itu masih sibuk dengan laptopnya. Sejak tadi Fina memperhatikan Damar, wanita yang kini berpakaian lebih sopan ini sedang berfikir bagaimana bisa mendapatkan uang lebih bulan ini. Ia sudah bukan istri Chandra lagi, jadi tak mungkin memaksa Chandra memberinya uang, biasanya lelaki penyakitan ini akan suka rela mengucurka dia uang setelah Fina merayunya habis -habisan di atas ranjang, tetapi sekarang di dekati saja Chandra enggan. Ponsel Damar berdering, dia keluar ruangan rawat ketika mulai berbincang. Fina mengikuti Damar keluar kamar tanpa peduli tata
"Udah, Mas. Ngomong aja, Mas Damar mau ngomong apa? Pasti punya permintaan yang bakal sulit Nisa terima," ujar Nisa menangkup wajah Damar menjauhkan dari tubuhnya. "Mas kangen sama kamu, Nis." Damar menatap Nisa sayu. Lalu mencium ceruk leher Nisa. Nisa diam pasrah mendapatkan sentuhan-sentuhan dari suaminya, memang sudah beberapa kali Damar pulang ke rumah, Nisa menolak Damar karna dalam keadaan datang bulan, dan juga beberapa kali Nisa dalam keadaan sangat lelah. Setelah menuntaskan segala gejolak rasa, mereka terlelap, melupakan pembicaraan apa, yang ingin di sampaikan Damar. Pagi ini senyum Nisa mengembang dia duduk di depan meja rias. Damar menyisir lembut rambut Nisa, lalu mengecup puncak kepala Nisa."Wangi banget rambutnya, coba cium rambut Mas Damar wangi juga nggak?" tanya Damar, menundukkan kepala agar di cium Nisa. "Kan sampo kita sama, Mas. Bilang aja pengen di cium." Nisa menangkup wajah suaminya lalu mngecup pipi Damar. Meraka tertawa bahagia, netra mereka bersibo
Akhirnya Damar meninggalkan sekolah tempat Nisa mengajar selama ini. Perasaan lelaki ini sedikit gelisah, tetapi dia tak mengerti gelisah karna apa. Semua masih dalam kendali, pikir Damar. Di gedung Hardiansyah beberapa rapat penting terselenggara. Hari ini sangat melelahkan bagi Damar. Dia melonggarkan dasi, menyandarkan kepala di sandaran kursi kebesarannya, hatinya terus berdetak gelisah, pikirannya terus mengingat Nisa.Lelaki tampan ini meraih ponsel menghubungi Nisa masih juga belum bisa di hubungi. "Kamu kemana, Nis? Kok nggak bisa di telpon," gumam Damar. Kembali dia menghubungi Darmi. "Mbok, Nisa udah pulang belum?" tanya Damar pada wanita tua di sebrang sana. "Kalau udah pulang suruh telpon saya, Mbok, penselnya nggak bisa di hubungi," ujar Damar. "Ohh ... Pantesan. Nanti malam saya telpon lagi, kalo belum sempet beli ponsel baru, bilang ke saya Mbok, nanti saya kirim, " ujar Damar, setelah itu menutup panggilan telpon. Lelaki ini meraup wajah kasar, bangun dari duduk,