"Tapi tak bisa semudah itu risign dari yayasan ini, Pak Damar."ucapan Emran membuat Damar sedikit gelisah, tak mudah rupanya menarik istrinya dari tempat ini."Iya saya tau akan hal ini, silahkan cari guru pengganti secepatnya, minimal tiga hari kedapan istri cantik saya ini harus sudah bisa keluar dari yayasan Anda." Damar berkata tegas. Menekankan ucapan di kata 'istri cantik'."Minimal dua minggu paling lama satu bulan," ujar Emran dia menyandarkan bahu, mengangkat kedua tangan ke atas sandaran kursi, mengungkapkan dia tak mau di bantah, karna sekarang ini mereka ada di wilayahnya. "Oke," jawab Damar seolah itu tak masalah. Semua sudah ia pertimbangkan, dan mau tidak mau Damar harus mengikuti peraturan yang berlaku, dia tak ingin Emran tau, jika Damar menarik Nisa Karna cemburu dengannya."Mas, Nisa kan belum setuju mau risign!!" Nisa mencoba bernego dengan Damar. "Bu Nisa, lain waktu kalau ingin kembali ke sini, silahkan. Pintu sekolah kami terbuka untuk Ibu. " Emran mengakhiri
"Ahhh ... Hati kenapa kamu menghianatiku, kenapa aku jadi galau sendiri. Kenapa nggak bisa membenci Kirana." Nisa berbincang sendiri sejak tadi. "Dek." Lamunan Nisa buyar mendengar Kirana memanggil. Wanita muda ini menggeser tubuh saat Kirana ingin duduk di sebelahnya, baru tadi hatinya bilang Kirana baik, sekarang hati yang lain merasa iri melihat perut Kirana. "Alhamdulillah," ucap Kirana saat berhasil mendaratkan bokong di kursi empuk sebelah Nisa."Dek, ini tas rajut, ini syal. Semua ini kakak yang buat sendiri. Nih buat dek Nisa." Kirana meyerahkan barang di tangannya pada Nisa. "Syalnya kakak buat tiga untuk kamu kakak sama Mas Damar. Semoga kita selalu rukun, ya. Bisa sampai ke Jannahnya Allah." Kirana menerangkan jika dia sendiri yang buat tas dan syal pada Nisa. "Bagus, Kak. Tangan kakak trampil banget bikin rajutan," ucap Nisa, meneliti setiap detai rajutan tangan Kirana. "Buat ngisi waktu, Dek. biar nggak jenuh," ujar Kirana. Senyum Kirana begitu tulus, membuat hati N
Aroma obat menyeruak di penciuman, Chandra terbaring lemah di brangkar Rumah Sakit, Fina terlihat sedikit gelisah sejak tadi, entah apa yang sedang dia pikirkan. Nisa mengupas buah apel lalu memberikan pada Chandra. Lelaki tua ini menyantuh pipi putri satu-satunya. "Kok kaya lagi nggak bergairah?" tanya Chandra. Bibir Nisa melengkung terpaksa. Tangannya masih terus mengupas buah apel. Chandra melirik Damar yang duduk di sofa, lelaki itu masih sibuk dengan laptopnya. Sejak tadi Fina memperhatikan Damar, wanita yang kini berpakaian lebih sopan ini sedang berfikir bagaimana bisa mendapatkan uang lebih bulan ini. Ia sudah bukan istri Chandra lagi, jadi tak mungkin memaksa Chandra memberinya uang, biasanya lelaki penyakitan ini akan suka rela mengucurka dia uang setelah Fina merayunya habis -habisan di atas ranjang, tetapi sekarang di dekati saja Chandra enggan. Ponsel Damar berdering, dia keluar ruangan rawat ketika mulai berbincang. Fina mengikuti Damar keluar kamar tanpa peduli tata
"Udah, Mas. Ngomong aja, Mas Damar mau ngomong apa? Pasti punya permintaan yang bakal sulit Nisa terima," ujar Nisa menangkup wajah Damar menjauhkan dari tubuhnya. "Mas kangen sama kamu, Nis." Damar menatap Nisa sayu. Lalu mencium ceruk leher Nisa. Nisa diam pasrah mendapatkan sentuhan-sentuhan dari suaminya, memang sudah beberapa kali Damar pulang ke rumah, Nisa menolak Damar karna dalam keadaan datang bulan, dan juga beberapa kali Nisa dalam keadaan sangat lelah. Setelah menuntaskan segala gejolak rasa, mereka terlelap, melupakan pembicaraan apa, yang ingin di sampaikan Damar. Pagi ini senyum Nisa mengembang dia duduk di depan meja rias. Damar menyisir lembut rambut Nisa, lalu mengecup puncak kepala Nisa."Wangi banget rambutnya, coba cium rambut Mas Damar wangi juga nggak?" tanya Damar, menundukkan kepala agar di cium Nisa. "Kan sampo kita sama, Mas. Bilang aja pengen di cium." Nisa menangkup wajah suaminya lalu mngecup pipi Damar. Meraka tertawa bahagia, netra mereka bersibo
Akhirnya Damar meninggalkan sekolah tempat Nisa mengajar selama ini. Perasaan lelaki ini sedikit gelisah, tetapi dia tak mengerti gelisah karna apa. Semua masih dalam kendali, pikir Damar. Di gedung Hardiansyah beberapa rapat penting terselenggara. Hari ini sangat melelahkan bagi Damar. Dia melonggarkan dasi, menyandarkan kepala di sandaran kursi kebesarannya, hatinya terus berdetak gelisah, pikirannya terus mengingat Nisa.Lelaki tampan ini meraih ponsel menghubungi Nisa masih juga belum bisa di hubungi. "Kamu kemana, Nis? Kok nggak bisa di telpon," gumam Damar. Kembali dia menghubungi Darmi. "Mbok, Nisa udah pulang belum?" tanya Damar pada wanita tua di sebrang sana. "Kalau udah pulang suruh telpon saya, Mbok, penselnya nggak bisa di hubungi," ujar Damar. "Ohh ... Pantesan. Nanti malam saya telpon lagi, kalo belum sempet beli ponsel baru, bilang ke saya Mbok, nanti saya kirim, " ujar Damar, setelah itu menutup panggilan telpon. Lelaki ini meraup wajah kasar, bangun dari duduk,
Setelah mencurahkan segala permohonan, Damar duduk di undakan mushola memasang kembali sepatu hitam mengkilatnya. Sebelum pergi dia merogoh gawai di kantong jas, lalu menelpon Nisa, sudah lima hari ini, Nisa tak dapat di hubungi. "Kemana Nisa," gumam Damar. Setelah itu Damar menelpon Darmi, "Mbok, ponsel Nisa masih belum bisa dihubungi,"ujar Damar pada wanita tua di sebrang sana. Darmi masih belum jujur pada Damar, mengenai Nisa. "Ya sudah kalo baik-baik saja, sampaikan pada Nisa, Kirana kecelakaan, Mbok. minta doanya agar persalinan Kirana lancar, sehat ibu dan bayinya." Damar meminta doa wanita tua ini. Darmi terperanjat kaget mendengar Kirana kecelakaan. "Terimakasih Mbok, saya tutup ponselnya." Damar kembali ke tempat Kirana sedang menjalani operasi. Langkah lebar tergesa membuatnya menabrak pudak lelaki yang juga sedang berbincang dengan seorang perawat."Damar! Sedang apa di sini." Bagus menyapa lelaki yang terlihat kalut ini. "Bagus. Kirana mengalami kecelakaan," ujar Da
Tetapi saat ingin melewati Emran tangannya di cekal oleh lelaki tampan ini, Nisa menghentak kasar tangan Emran. "Yang sopan, Pak." "Saya ke sini mau ajak Dek Nisa makan, pasti belum makan iya kan?" Emran mendongak menatap wajah Nisa.Tebakan Emir memang benar, entah kapan terakhir Nisa makan, dia makan seingin dia. "Tapi saya nggak suka sama ucapan Bapak barusan," ujar Nisa. "Saya hanya menyampaikan perasaan saya, jika Dek Nisa keberatan, saya nggak akan memaksa. Tapi bolehkan saya menemani dan menghibur Dek Nisa," ujar Emran mantap. "Ayo kita cari tempat makan, masa sudah di sini hanya tidur di dalam kamar, bukan 'kah sudah lima hari Dek Nisa di dalam kamar?" ujar Emran menebak dengan benar. "Ya sudah, saya pake kerudung dulu." Nisa masuk ke dalam kamar, tak lama keluar dengan wajah sedikit di poles bedak. Emran menatap takjub pada Nisa. Nisa semakin grogi di tatap seperti itu oleh Emran, "Pak, bisa nggak jangan liatin Nisa begitu," ujar wanita cantik ini, menunduk malu."Nggak
"Den, maafin mbok, sudah satu minggu lebih Non Nisa nggak pulang, katanya mau menenangkan diri, mbok juga nggak tau kemana Non Nisa, mbok juga khawatir banget Den," Ponsel Damar terjatuh, lelaki ini terduduk di kursi tunggu Rumah Sakit. Bagus yang memang ingin menghampiri Damar memungut ponsel Damar. "Ada apa?" tanya Bagus. "Bagaimana kondisi Kirana?" tanya Bagus lagi.Damar tak menjawab, dia meremas kuat rambutnya. Lalu mendongak menatap Bagus. "Nisa sudah satu minggu lebih nggak pulang, kemana dia?" tanya Damar pada teman baiknya ini. Bagus menggeleng, "Mana gue tau, dia bini, elo," monolog Bagus. "Aku bantu cari." Bagus menepuk pundak Damar. "Tenangin dirimu,"Damar berlalu pergi meninggalkan Bagus menuju ruang perawatan Chandra, di gedung sebelah. Begitu Damar masuk Fina terlihat sedang mengeluarkan beberapa barang dari dalam paper bag."Damar, kamu sudah pulang hanymonnya?" tanya Fina ceria. Damar mengernyit, tetapi enggan meminta penjelasan pada Fina, gegas dia menemui Chan