Semua Sudah Terlalu Jauh

Kyoto, kota yang tak pernah benar-benar mereka tinggalkan, meski tak ada lagi bulan madu, tak ada lagi janji-janji manis.

Di kota ini, Agit dan Shanda pernah memulai segalanya—bahkan cinta mereka seolah terukir di setiap sudutnya.

Kini, mereka kembali ke sini, tapi bukan dalam keadaan yang dulu. Shanda tak membawa bunga untuk Agit, tak ada gelak tawa mesra yang mengiringi perjalanan mereka. Hanya ada satu tujuan: hamil, dan setelah itu, cerai.

Di mobil mewah yang membawa mereka berkeliling kota ini, Shanda duduk diam, menatap keluar jendela. Agit mencoba bersikap biasa, mencoba menikmati perjalanan ini seperti yang direncanakan.

Tetapi hati Agit tidak bisa bohong. Ada sesuatu yang mengganggu—sesuatu yang menekan dada, seperti batu besar yang tak bisa dia lepaskan.

Shanda tak bicara banyak, hanya sesekali tersenyum tipis, seperti mengingat sesuatu yang sulit dijelaskan.

Malam pertama mereka di Kyoto, Shanda mengeluarkan sebuah mini laptop kecil. Di layar, video-video yang sudah lama tidak diputar mulai muncul satu per satu.

Agit merasa ada sesuatu yang aneh, tapi dia menahan diri untuk tidak bertanya. Shanda hanya menatapnya dengan mata yang penuh makna.

"Ini video kita," kata Shanda pelan, tanpa memandang Agit. "Semua kenangan kita. Yang sebenarnya belum pernah kamu lihat."

Agit menatap layar laptop itu. Video pertama muncul. Itu adalah video mereka pertama kali bertemu, tawa mereka yang ceria, perasaan gugup Agit yang masih terasa di setiap detik pertemuan itu.

Lalu video-video berikutnya, dari masa-masa indah mereka, perjalanan ke luar negeri, bulan puasa, hari raya, makan malam romantis di restoran mewah.

Namun, semakin lama, video-video itu menjadi lebih sunyi, lebih sepi. Agit bisa melihat betapa Shanda berusaha keras menutupi kesepiannya.

Di video berikutnya, Shanda tampak sedang berjalan-jalan di Kyoto, sendiri. Tak ada Agit di sampingnya. Dia tersenyum, tetapi senyum itu terasa pudar, seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.

Shanda juga tampak melangkah sendiri di jalan setapak yang biasa mereka lewati berdua, tempat di mana mereka sering berbicara tentang masa depan yang cerah.

"Kenapa kamu pergi sendirian?" tanya Agit, suaranya pecah, seperti tak percaya.

Shanda tidak langsung menjawab. Dia melanjutkan memutar video. "Ada juga saat-saat seperti ini, Agit," katanya, suaranya seolah tercekat. "Saat aku bangun sendirian di rumah kita. Kamu pergi, sibuk dengan pekerjaanmu, dan aku hanya ada di sana, menunggu."

Agit merasakan dadanya sesak. Dalam video berikutnya, Shanda terlihat sedang makan malam sendiri di meja makan besar, meja yang dulu selalu mereka isi berdua. Wajah Shanda yang cantik kini tampak lebih kurus, lebih letih, meski dia berusaha terlihat kuat.

Agit bisa melihatnya, bisa merasakannya. Betapa lama dia mengabaikan wanita ini.

"Apa yang kau rasakan waktu itu, Shanda?" tanya Agit lagi, suaranya lembut, lebih rendah.

Shanda menatapnya, lalu beralih ke layar laptop. "Aku rasa aku sudah belajar menerima, Agit. Menerima kenyataan bahwa aku harus hidup tanpa kehadiranmu. Karena kau terlalu sibuk dengan dunia yang bukan dunia kita berdua."

Agit tak bisa berkata-kata. Dia merasa seperti terbangun dari tidur panjang yang penuh dengan kebohongan.

Selama ini, dia merasa bahwa semuanya berjalan seperti biasa. Tetapi kenyataannya, Shanda—wanita yang dulu dia cintai dengan segenap jiwa—telah berjuang sendirian. Menghadapi kesendirian itu tanpa banyak keluh.

Sementara dia, terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dengan kesibukannya sendiri.

Ketika video itu selesai, suasana di dalam mobil menjadi sunyi. Agit hanya bisa menatap Shanda, yang kini menunduk, tampak jauh lebih lelah daripada yang dia ingat. Wajah cantiknya, yang dulu selalu cerah dan penuh semangat, kini terlihat begitu rapuh.

"Aku minta maaf," kata Agit akhirnya, suaranya bergetar. "Aku... aku tidak tahu kamu merasa seperti ini."

Shanda tidak menjawab, hanya menghela napas pelan. "Tidak ada yang perlu kamu minta maafkan, Agit. Semua ini sudah terlalu jauh."

Setelah itu, mereka menghabiskan sisa malam di Kyoto dalam keheningan.

Agit merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya, sesuatu yang tak bisa dia dapatkan kembali—kehadiran Shanda yang dulu selalu ada, penuh warna dan semangat.

Keesokan harinya, mereka berkeliling kota, mengunjungi tempat-tempat yang penuh kenangan bagi mereka.

Di Fushimi Inari Taisha, Agit melihat Shanda mengenakan gaun merah muda yang dulu dia suka pakai saat mereka berjalan-jalan di sini.

Semua kenangan itu datang kembali, terlalu indah untuk dilupakan, dan Agit mulai merasakan penyesalan yang mendalam.

Shanda tidak berkata apa-apa. Dia hanya berjalan di samping Agit, seakan-akan dia sudah menerima bahwa masa depan mereka sudah ditulis dengan tinta yang berbeda.

Tetapi Agit mulai menyadari satu hal: meskipun mereka akan berpisah, dia tidak akan pernah bisa menghapus Shanda dari hidupnya. Shanda adalah bagian dari dirinya yang tak bisa lepas begitu saja.

Di Kyoto, mereka menemukan kembali sesuatu yang hilang—tapi itu bukan cinta seperti dulu. Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih sejati, dan lebih sulit untuk dilepaskan.

.

.

.