Shanda memandangi rumah Kanaya dengan tatapan tajam, mata penuh amarah yang sudah tak bisa dibendung lagi.
Mobilnya berhenti tepat di depan pagar utama yang megah, yang selama ini ia lihat sebagai simbol dari semua yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya mendidih. Tidak ada lagi keanggunan, tidak ada lagi elegansi. Kini, hanya ada rasa sakit dan dendam yang siap meledak. “Bantuin aku, Sheil,” suara Shanda hampir tidak terdengar, meski itu terdengar tenang. Sheila mengangguk pelan, tahu betul apa yang akan terjadi. Tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk berpikir lebih panjang, Shanda menginjak pedal gas dengan penuh kekuatan. Land Rover-nya melaju kencang menuju tiang utama pagar itu, yang memang sudah dilindungi dengan besi penahan untuk mobil. Shanda tahu, ini akan menjadi ledakan yang besar—ledakan yang akan merobohkan semuanya. Dan dia ingin Kanaya mendengarnya, ingin Kanaya merasakannya. Seperti kilat yang menyambar, mobil Shanda menabrak tiang pagar utama dengan kekuatan penuh. Besi penahan mobil beradu keras dengan pagar yang kokoh, membuatnya berderak hebat. Mobil itu terdorong mundur, lalu maju lagi, dan menabrak sekali lagi, hingga tiang pagar itu berguncang keras, seolah sedang menghadapi kekuatan alam. Shanda terus menekan pedal gas, tanpa mempedulikan apa yang terjadi. Tiang pagar itu mulai retak, kemudian hancur hingga rata dengan lantai carport. Suara bergedebuk keras memenuhi udara, seakan rumah itu terguncang hebat, seperti dunia yang runtuh di depan mata. Di dalam rumah, Kanaya terkejut. Suara berisik dari luar membuatnya terlonjak ketakutan. Ia segera berlari ke jendela, melihat mobil Shanda yang terus menghancurkan pagar rumahnya tanpa henti. Di wajah Kanaya, tercermin ketakutan yang murni, merasa bahwa dunia yang selama ini dia bangun mulai runtuh dalam sekejap. Shanda tidak peduli. Semua rasa sakit dan kekecewaan yang ia rasakan selama ini dituangkan pada setiap hentakan mobilnya. Mobil itu akhirnya berhenti, dan Shanda turun dengan langkah tegas. Matanya tajam, tak ada penyesalan. Hatinya terbalut dendam yang terlalu besar untuk bisa dimaafkan. Sheila yang berada di sampingnya, hanya mengamati dengan ekspresi serius. Dia tahu, ini bukan sekadar aksi sembarangan. Shanda bukan lagi wanita yang mencari pemahaman. Dia mencari kemenangan, dan kali ini dia akan mendapatkannya. Shanda membuka pintu mobil dan menghadap Kanaya, yang kini berdiri di jendela, wajahnya pucat dan kebingungan. “Sudah cukup, Kanaya,” suara Shanda terdengar rendah, namun setiap kata itu seperti tajam menusuk. “Ini rumah yang seharusnya jadi rumahku, rumah yang aku bangun dengan Agit. Tapi kamu menghancurkannya. Kamu menghancurkan hidupku.” Kanaya yang tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa terdiam dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tetapi Shanda sudah terlalu jauh. Kini, dia berbalik menghadap ke arah lain, dan mulai menelepon Agit. Suara Agit terdengar terengah-engah di ujung telepon. “Shanda! Apa yang kamu lakukan?!” “Aku ingin anakmu, Agit. Aku sudah ke dokter, aku sehat,” suara Shanda dingin dan penuh tantangan. “Jika kamu bisa hamilin perempuan lain, kenapa tidak aku? Kamu tidak bisa menolak ini. Kalau kamu menolak, aku akan bawa ini ke pengadilan. Kita punya perjanjian, Agit. Gono-gini itu menguntungkan aku, dan kamu tahu itu.” Di sisi lain, Agit terdiam. Shanda bisa merasakan gelombang ketegangan dari nada suaranya. “Kamu sudah gila, Shanda,” kata Agit akhirnya. “Gila?” Shanda tertawa sinis. “Mungkin, tapi ini adalah saat terakhir kita berbicara. Jika kamu tidak mau memberikan apa yang aku minta, maka semua ini akan berakhir buruk untukmu. Aku akan pastikan kamu tidak punya apa-apa lagi. Miskin dan tak berdaya.” Suaranya keras dan penuh keyakinan. “Aku cuma mau anak, Agit. Kalau kamu mau menjadi bagian dari hidupku lagi, beri aku itu. Setelah itu, kita cerai. Itu yang aku minta, Agit. Jangan coba-coba menolak, karena ini bukan soal cinta lagi, ini soal hakku.” Shanda memutuskan sambungan telepon itu dengan satu tarikan napas berat. Lalu, tanpa menoleh lagi ke rumah Kanaya yang kini penuh dengan kekacauan, ia melangkah dengan pasti ke mobilnya. Sheila mengikuti tanpa kata. Hari ini, segalanya telah berubah. Dan Shanda sudah siap menanggung semua konsekuensinya. . . .Kyoto, kota yang tak pernah benar-benar mereka tinggalkan, meski tak ada lagi bulan madu, tak ada lagi janji-janji manis. Di kota ini, Agit dan Shanda pernah memulai segalanya—bahkan cinta mereka seolah terukir di setiap sudutnya. Kini, mereka kembali ke sini, tapi bukan dalam keadaan yang dulu. Shanda tak membawa bunga untuk Agit, tak ada gelak tawa mesra yang mengiringi perjalanan mereka. Hanya ada satu tujuan: hamil, dan setelah itu, cerai. Di mobil mewah yang membawa mereka berkeliling kota ini, Shanda duduk diam, menatap keluar jendela. Agit mencoba bersikap biasa, mencoba menikmati perjalanan ini seperti yang direncanakan. Tetapi hati Agit tidak bisa bohong. Ada sesuatu yang mengganggu—sesuatu yang menekan dada, seperti batu besar yang tak bisa dia lepaskan. Shanda tak bicara banyak, hanya sesekali tersenyum tipis, seperti mengingat sesuatu yang sulit dijelaskan. Malam pertama mereka di Kyoto, Shanda mengeluarkan sebuah mini laptop kecil. Di layar, video-video yang suda
Kyoto pagi itu terasa seperti sebuah lukisan hidup. Langit biru yang cerah, kabut tipis yang melayang di atas pepohonan, dan udara segar yang mengisi paru-paru. Agit dan Shanda berjalan di jalan setapak menuju Kinkaku-ji, Pavilun Emas, tempat yang dulu mereka kunjungi di bulan madu mereka lima tahun yang lalu. Tempat itu seakan menyambut mereka kembali, seolah ingin mengingatkan mereka tentang betapa indahnya cinta yang pernah mereka punya. Tetapi kali ini, langkah mereka terasa berbeda. Ada beban di setiap langkah Agit, sementara Shanda hanya berjalan tanpa suara, wajahnya lebih rapuh dari yang biasa dia tunjukkan. Agit melihat ke arah Shanda. Wanita itu, yang dulu penuh semangat, penuh dengan cahaya, kini tampak lebih tenang, lebih dalam, dan seolah sedang mencari sesuatu yang hilang. Di matanya, Agit bisa melihat betapa banyak yang telah dia alami dalam diam, betapa banyak waktu yang telah terlewatkan tanpa ada yang tahu. “Aku ingin kembali ke tempat itu,” kata Shanda ti
Di pinggir pantai yang syahdu, angin sepoi-sepoi mengusap wajah mereka. Laut biru membentang, tenang, seolah menunggu waktu untuk memeluk mereka dengan keheningan. Shanda berdiri di sana, dengan wajah yang penuh doa dan harapan. Di bawah langit senja yang indah, dia menutup matanya, mengangkat tangan, dan berdoa dengan lirih, setiap kata keluar begitu tulus dan penuh perasaan. "Ya Allah, berilah aku anak dari suamiku…" Air mata mengalir deras di pipinya, jatuh satu per satu seperti hujan yang tak mampu ia tahan. Dia memejamkan mata, dan setiap tetes yang jatuh seakan mewakili ribuan perasaan yang terpendam, luka-luka yang hanya bisa diceritakan dalam doa. Untuk pertama kalinya, ada kedamaian yang menyelip di hatinya. Dia tidak lagi merasa kosong, meskipun perasaannya bergejolak. Agit berdiri beberapa langkah di belakangnya, diam, menatap Shanda dengan hati yang penuh. Dia melihat Shanda yang sama, namun berbeda. Ada kedalaman yang tidak bisa ia mengerti, sebuah kekuatan
Keheningan terasa begitu dalam di antara mereka.Sejak semalam, Agit merasakan ada yang berbeda dari Shanda. Ada sesuatu yang menggelayut di wajah cantiknya, yang tidak bisa ia baca dengan jelas. Tapi, pagi itu, semuanya mulai terbuka.Mereka duduk di sebuah kafe kecil di pinggir jalan, dengan pemandangan Kyoto yang indah, sementara suara klakson mobil dan riuhnya kota mulai mengisi udara pagi. Shanda menatap Agit dengan wajah yang lebih tenang dari biasanya, meski di matanya ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan."Agit," suara Shanda terdengar pelan, namun sangat jelas. "Pulanglah... Aku akan tinggal di Kyoto."Agit terdiam sejenak, bingung dengan kata-kata itu. "Shanda, apa maksudmu? Kita baru saja memulai semuanya kembali… aku tidak ingin berpisah dari kamu."Shanda menarik napas panjang, menundukkan wajahnya sejenak sebelum melanjutkan dengan suara yang bergetar. "Aku ada proyek di sini, Agit. Proyek lumayan. Aku harus tinggal lama di kota ini. Maaf kalau aku tidak cerita, ta
Hari itu terasa seperti mimpi bagi Shanda. Agit, yang sebelumnya tampak begitu keras kepala dan cemas, kini tiba-tiba berubah menjadi sosok yang manja, seperti anak kecil yang ingin mendapatkan perhatian. Sejak pagi, dia memohon kepada Shanda untuk menemaninya ke Kansai. "Tolong, Shand, kamu harus ikut aku," katanya dengan nada memelas. Shanda yang sudah merasa cukup emosional karena perpisahan mereka sebelumnya, akhirnya terpaksa mengiyakan. Ia mengingatkan dirinya, mungkin Agit butuhnya lebih dari sekadar teman saat itu. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan Shanda untuk kejutan yang akan datang. Saat mereka tiba di Kansai dan mengangkat koper mereka untuk kembali ke Jakarta, Agit tiba-tiba menarik tangan Shanda dengan penuh semangat. "Ayo, Shand, kita pergi. Kita ke Okinawa beach!" katanya dengan antusias. Shanda menatapnya bingung, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Agit, kamu harus kembali ke Jakarta... kamu harus ke kantor," kata Shanda dengan ragu
Tiga hari yang penuh kebahagiaan di resor mungil di Okinawa beach seakan menjadi surga yang tak ingin Shanda tinggalkan. Selama tiga hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama, tanpa gangguan, tanpa beban, hanya ada mereka berdua, menikmati keindahan pantai yang tenang dan saling merasakan cinta yang kembali tumbuh. Agit dan Shanda seperti dua remaja yang baru pertama kali jatuh cinta, tidak peduli dengan dunia luar, hanya mereka berdua. Namun, seperti halnya takdir yang selalu bermain dalam kisah hidup mereka, hari itu, pagi yang seharusnya cerah, membawa perubahan yang mendalam. Shanda terlelap, menikmati tidurnya di tempat yang begitu indah. Pagi itu, ketika udara masih segar dan laut tenang, suara ketukan di pintu kamar membangunkan Agit. Shanda benar-benar pulas. Agit mengernyitkan dahi, ragu-ragu. Dia tidak ingin diganggu, apalagi setelah beberapa hari yang penuh kebahagiaan ini. Namun, kenyataan tetap datang dengan cara yang tak terduga. Keenan, tangan kanan Agi
Kepulangan Agit ke Jakarta terasa seperti sebuah keputusan yang dipaksakan, meski hatinya menolak. Setelah perbincangan panjang dan telepon yang tak pernah berhenti berdengung, dia tahu tak ada lagi alasan untuk menahan diri. Kanaya membutuhkan dia, ibu membutuhkan dia, dan tanggung jawab tak bisa ditunda.Shanda dan Agit berjalan keluar dari resor itu, melangkah perlahan di sepanjang jalan yang mereka lewati dengan penuh cinta dan kebahagiaan tiga hari lalu, seakan tahu entah kapan mereka bisa menginjak pasir lembut ini lagi. Langit di atas Naha hari itu kelabu, seolah-olah tahu ada dua hati yang akan berpisah dengan luka yang tak terungkapkan. Meskipun segalanya tampak sempurna, Agit tahu takdir berkata lain. Di bandara Naha, di mana mereka harus berpisah, suasana berubah tegang. Hanya ada kesunyian yang terasa di antara mereka.Shanda dan Agit berjalan berdampingan menuju terminal keberangkatan, tapi langkah mereka begitu berat. Tak ada yang berbicara. Hening itu bukan karena
Sheila menelpon dengan suara bergetar, penuh kegelisahan. “Shand, kamu lihat Inst4gram Kanaya Abella? Buruan, lihat sekarang!” Shanda merasa darahnya berdesir begitu mendengar nama itu. Tanpa berpikir panjang, jari-jarinya sudah mengetuk layar gawai, membuka Inst4gram. Begitu matanya menangkap gambar itu, dunia seakan terhenti sejenak. Kanaya, dalam balutan gaun putih yang terlalu mencolok, berbaring dengan penuh kemesraan di atas ranjang putih, tersenyum lebar, menyandarkan kepalanya pada tubuh seorang lelaki yang, dengan jelas, adalah suaminya. Agit. Terlihat jelas dari gelang kulit tali tipis di pergelangan tangan lelaki itu—gelang yang ia berikan sebagai hadiah pernikahan mereka, yang kini terlupakan di ingatan Shanda. Wajah Agit—penuh dengan tatapan penuh kasih yang dulu pernah hanya untuknya—kini dipenuhi dengan kekaguman yang sama, namun ditujukan pada wanita lain. With my hubby, mas @Agit Darmawangsa tulis Kanaya dalam caption yang seolah membekukan seluruh dunia Shanda.
Kepulangan Agit ke Jakarta terasa seperti sebuah keputusan yang dipaksakan, meski hatinya menolak. Setelah perbincangan panjang dan telepon yang tak pernah berhenti berdengung, dia tahu tak ada lagi alasan untuk menahan diri. Kanaya membutuhkan dia, ibu membutuhkan dia, dan tanggung jawab tak bisa ditunda.Shanda dan Agit berjalan keluar dari resor itu, melangkah perlahan di sepanjang jalan yang mereka lewati dengan penuh cinta dan kebahagiaan tiga hari lalu, seakan tahu entah kapan mereka bisa menginjak pasir lembut ini lagi. Langit di atas Naha hari itu kelabu, seolah-olah tahu ada dua hati yang akan berpisah dengan luka yang tak terungkapkan. Meskipun segalanya tampak sempurna, Agit tahu takdir berkata lain. Di bandara Naha, di mana mereka harus berpisah, suasana berubah tegang. Hanya ada kesunyian yang terasa di antara mereka.Shanda dan Agit berjalan berdampingan menuju terminal keberangkatan, tapi langkah mereka begitu berat. Tak ada yang berbicara. Hening itu bukan karena
Tiga hari yang penuh kebahagiaan di resor mungil di Okinawa beach seakan menjadi surga yang tak ingin Shanda tinggalkan. Selama tiga hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama, tanpa gangguan, tanpa beban, hanya ada mereka berdua, menikmati keindahan pantai yang tenang dan saling merasakan cinta yang kembali tumbuh. Agit dan Shanda seperti dua remaja yang baru pertama kali jatuh cinta, tidak peduli dengan dunia luar, hanya mereka berdua. Namun, seperti halnya takdir yang selalu bermain dalam kisah hidup mereka, hari itu, pagi yang seharusnya cerah, membawa perubahan yang mendalam. Shanda terlelap, menikmati tidurnya di tempat yang begitu indah. Pagi itu, ketika udara masih segar dan laut tenang, suara ketukan di pintu kamar membangunkan Agit. Shanda benar-benar pulas. Agit mengernyitkan dahi, ragu-ragu. Dia tidak ingin diganggu, apalagi setelah beberapa hari yang penuh kebahagiaan ini. Namun, kenyataan tetap datang dengan cara yang tak terduga. Keenan, tangan kanan Agi
Hari itu terasa seperti mimpi bagi Shanda. Agit, yang sebelumnya tampak begitu keras kepala dan cemas, kini tiba-tiba berubah menjadi sosok yang manja, seperti anak kecil yang ingin mendapatkan perhatian. Sejak pagi, dia memohon kepada Shanda untuk menemaninya ke Kansai. "Tolong, Shand, kamu harus ikut aku," katanya dengan nada memelas. Shanda yang sudah merasa cukup emosional karena perpisahan mereka sebelumnya, akhirnya terpaksa mengiyakan. Ia mengingatkan dirinya, mungkin Agit butuhnya lebih dari sekadar teman saat itu. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan Shanda untuk kejutan yang akan datang. Saat mereka tiba di Kansai dan mengangkat koper mereka untuk kembali ke Jakarta, Agit tiba-tiba menarik tangan Shanda dengan penuh semangat. "Ayo, Shand, kita pergi. Kita ke Okinawa beach!" katanya dengan antusias. Shanda menatapnya bingung, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Agit, kamu harus kembali ke Jakarta... kamu harus ke kantor," kata Shanda dengan ragu
Keheningan terasa begitu dalam di antara mereka.Sejak semalam, Agit merasakan ada yang berbeda dari Shanda. Ada sesuatu yang menggelayut di wajah cantiknya, yang tidak bisa ia baca dengan jelas. Tapi, pagi itu, semuanya mulai terbuka.Mereka duduk di sebuah kafe kecil di pinggir jalan, dengan pemandangan Kyoto yang indah, sementara suara klakson mobil dan riuhnya kota mulai mengisi udara pagi. Shanda menatap Agit dengan wajah yang lebih tenang dari biasanya, meski di matanya ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan."Agit," suara Shanda terdengar pelan, namun sangat jelas. "Pulanglah... Aku akan tinggal di Kyoto."Agit terdiam sejenak, bingung dengan kata-kata itu. "Shanda, apa maksudmu? Kita baru saja memulai semuanya kembali… aku tidak ingin berpisah dari kamu."Shanda menarik napas panjang, menundukkan wajahnya sejenak sebelum melanjutkan dengan suara yang bergetar. "Aku ada proyek di sini, Agit. Proyek lumayan. Aku harus tinggal lama di kota ini. Maaf kalau aku tidak cerita, ta
Di pinggir pantai yang syahdu, angin sepoi-sepoi mengusap wajah mereka. Laut biru membentang, tenang, seolah menunggu waktu untuk memeluk mereka dengan keheningan. Shanda berdiri di sana, dengan wajah yang penuh doa dan harapan. Di bawah langit senja yang indah, dia menutup matanya, mengangkat tangan, dan berdoa dengan lirih, setiap kata keluar begitu tulus dan penuh perasaan. "Ya Allah, berilah aku anak dari suamiku…" Air mata mengalir deras di pipinya, jatuh satu per satu seperti hujan yang tak mampu ia tahan. Dia memejamkan mata, dan setiap tetes yang jatuh seakan mewakili ribuan perasaan yang terpendam, luka-luka yang hanya bisa diceritakan dalam doa. Untuk pertama kalinya, ada kedamaian yang menyelip di hatinya. Dia tidak lagi merasa kosong, meskipun perasaannya bergejolak. Agit berdiri beberapa langkah di belakangnya, diam, menatap Shanda dengan hati yang penuh. Dia melihat Shanda yang sama, namun berbeda. Ada kedalaman yang tidak bisa ia mengerti, sebuah kekuatan
Kyoto pagi itu terasa seperti sebuah lukisan hidup. Langit biru yang cerah, kabut tipis yang melayang di atas pepohonan, dan udara segar yang mengisi paru-paru. Agit dan Shanda berjalan di jalan setapak menuju Kinkaku-ji, Pavilun Emas, tempat yang dulu mereka kunjungi di bulan madu mereka lima tahun yang lalu. Tempat itu seakan menyambut mereka kembali, seolah ingin mengingatkan mereka tentang betapa indahnya cinta yang pernah mereka punya. Tetapi kali ini, langkah mereka terasa berbeda. Ada beban di setiap langkah Agit, sementara Shanda hanya berjalan tanpa suara, wajahnya lebih rapuh dari yang biasa dia tunjukkan. Agit melihat ke arah Shanda. Wanita itu, yang dulu penuh semangat, penuh dengan cahaya, kini tampak lebih tenang, lebih dalam, dan seolah sedang mencari sesuatu yang hilang. Di matanya, Agit bisa melihat betapa banyak yang telah dia alami dalam diam, betapa banyak waktu yang telah terlewatkan tanpa ada yang tahu. “Aku ingin kembali ke tempat itu,” kata Shanda ti
Kyoto, kota yang tak pernah benar-benar mereka tinggalkan, meski tak ada lagi bulan madu, tak ada lagi janji-janji manis. Di kota ini, Agit dan Shanda pernah memulai segalanya—bahkan cinta mereka seolah terukir di setiap sudutnya. Kini, mereka kembali ke sini, tapi bukan dalam keadaan yang dulu. Shanda tak membawa bunga untuk Agit, tak ada gelak tawa mesra yang mengiringi perjalanan mereka. Hanya ada satu tujuan: hamil, dan setelah itu, cerai. Di mobil mewah yang membawa mereka berkeliling kota ini, Shanda duduk diam, menatap keluar jendela. Agit mencoba bersikap biasa, mencoba menikmati perjalanan ini seperti yang direncanakan. Tetapi hati Agit tidak bisa bohong. Ada sesuatu yang mengganggu—sesuatu yang menekan dada, seperti batu besar yang tak bisa dia lepaskan. Shanda tak bicara banyak, hanya sesekali tersenyum tipis, seperti mengingat sesuatu yang sulit dijelaskan. Malam pertama mereka di Kyoto, Shanda mengeluarkan sebuah mini laptop kecil. Di layar, video-video yang suda
Shanda memandangi rumah Kanaya dengan tatapan tajam, mata penuh amarah yang sudah tak bisa dibendung lagi. Mobilnya berhenti tepat di depan pagar utama yang megah, yang selama ini ia lihat sebagai simbol dari semua yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya mendidih. Tidak ada lagi keanggunan, tidak ada lagi elegansi. Kini, hanya ada rasa sakit dan dendam yang siap meledak. “Bantuin aku, Sheil,” suara Shanda hampir tidak terdengar, meski itu terdengar tenang. Sheila mengangguk pelan, tahu betul apa yang akan terjadi. Tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk berpikir lebih panjang, Shanda menginjak pedal gas dengan penuh kekuatan. Land Rover-nya melaju kencang menuju tiang utama pagar itu, yang memang sudah dilindungi dengan besi penahan untuk mobil. Shanda tahu, ini akan menjadi ledakan yang besar—ledakan yang akan merobohkan semuanya. Dan dia ingin Kanaya mendengarnya, ingin Kanaya merasakannya. Seperti kilat yang menyambar, mobil Shanda menabrak tiang pagar utama dengan
Shanda menatap dirinya di cermin dengan tatapan kosong. Tubuhnya tampak rapi, wajahnya sedikit dipoles, namun matanya—ah, matanya penuh keraguan. Entah kenapa, perasaan ini lebih berat dari apapun yang pernah dia rasakan sebelumnya. Ini bukan sekadar masalah hati. Ini tentang mempertahankan sesuatu yang sudah lama dia banggakan. Agit, suaminya, adalah segala yang pernah dia impikan. Dan sekarang, semuanya terasa terancam hanya dengan satu gambar—gambar yang terus berputar dalam pikirannya. "Kenapa dia harus lakukan ini?" gumamnya pelan, meraba cincin kawin di jari manisnya. Cincin itu, yang dulu terasa begitu berat dengan janji, kini terasa ringan, seolah siap lepas begitu saja. Namun, Shanda belum siap untuk melepaskan itu. Tidak begitu saja. Jadi, dia memutuskan. Hari ini, dia harus bertemu dengan Agit. Harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Harus mendengar semuanya dari mulutnya sendiri. Jika Agit memang ingin mengakhiri semuanya, maka dia akan menerima. Tapi jika tidak,