Hari Terakhir Di Kyoto

Di pinggir pantai yang syahdu, angin sepoi-sepoi mengusap wajah mereka.

Laut biru membentang, tenang, seolah menunggu waktu untuk memeluk mereka dengan keheningan.

Shanda berdiri di sana, dengan wajah yang penuh doa dan harapan.

Di bawah langit senja yang indah, dia menutup matanya, mengangkat tangan, dan berdoa dengan lirih, setiap kata keluar begitu tulus dan penuh perasaan.

"Ya Allah, berilah aku anak dari suamiku…"

Air mata mengalir deras di pipinya, jatuh satu per satu seperti hujan yang tak mampu ia tahan.

Dia memejamkan mata, dan setiap tetes yang jatuh seakan mewakili ribuan perasaan yang terpendam, luka-luka yang hanya bisa diceritakan dalam doa.

Untuk pertama kalinya, ada kedamaian yang menyelip di hatinya. Dia tidak lagi merasa kosong, meskipun perasaannya bergejolak.

Agit berdiri beberapa langkah di belakangnya, diam, menatap Shanda dengan hati yang penuh.

Dia melihat Shanda yang sama, namun berbeda. Ada kedalaman yang tidak bisa ia mengerti, sebuah kekuatan yang lebih dari sekadar wajah cantik dan tubuh yang selalu menggoda.

Shanda, yang dulu ceria dan penuh semangat, kini tampak lebih tenang, lebih dewasa, dan lebih kuat. Seperti sebuah versi baru dari wanita yang dulu ia kenal, yang pernah dia nikahi.

Namun, ada perasaan lain yang menggelayut di hati Agit. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang tak akan pernah kembali, sesuatu yang ia khawatirkan akan hilang dalam waktu yang tak lama.

Ia ingin memeluk Shanda, ingin meyakinkan dirinya bahwa mereka akan baik-baik saja, bahwa mereka akan selalu bersama. Tapi di balik tatapan tenangnya, Agit tahu, ada misteri yang belum terpecahkan.

Hari itu, Shanda terlihat bahagia. Lebih bahagia daripada hari-hari sebelumnya, lebih ceria meski ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.

Agit merasa cemas, karena baginya, ini terasa seperti hari terakhir mereka di sini, di Kyoto. Seperti hari terakhir mereka dalam kebahagiaan yang murni, sebelum semuanya berubah.

Shanda berbalik, tersenyum padanya dengan senyum yang mengingatkan Agit pada cinta pertama mereka.

Senyum yang tulus, tanpa beban, seperti saat mereka baru saja menikah, penuh harapan dan impian.

Dan untuk sesaat, Agit ingin membekukan waktu, ingin tetap berada dalam momen itu, di sana, bersama Shanda.

Tapi, seiring waktu berlalu, perasaan Shanda tak lagi semudah itu dipahami. Ada hal-hal yang belum ia katakan, ada perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Agit mendekat, menggenggam tangan Shanda, menatapnya dengan penuh rasa sayang.

"Shand, kita seminggu lagi di sini, ya? Aku nggak mau pulang… Aku mau terus di sini, bersamamu," ujarnya dengan lembut.

Shanda tersenyum, tapi senyumnya kali ini mengandung sesuatu yang lebih dalam, lebih tenang. "Kenapa? Kamu jangan baper," katanya sambil tertawa pelan, meski di balik tawa itu, Agit bisa merasakan ketegangan yang tersembunyi. "Ini cuma baper kamu aja. Aku cuma minta waktu berhargamu tiga hari, dan semoga itu cukup untuk membuatmu menghamili aku. Ya kan, Git?"

Kata-kata Shanda yang begitu langsung, begitu jelas, seperti menyadarkan Agit dari lamunannya.

Hati Agit berdebar kencang. Dia tidak tahu apakah Shanda benar-benar berbahagia, atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang ia hadapi.

Tapi yang jelas, Agit tahu satu hal: ia tidak ingin kehilangan Shanda.

“Shanda, aku takut…” suara Agit hampir tak terdengar, tetapi cukup bagi Shanda untuk mendengarnya.

“Takut apa?” tanya Shanda, dengan wajah yang penuh pengertian, meskipun ada sedikit nada tegas di sana.

“Takut kehilangan kamu,” jawab Agit pelan. “Kamu, semua yang ada di sini. Aku takut kalau kita berakhir… aku nggak mau itu. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu.”

Shanda menatapnya dengan lembut, seolah memahami setiap kata yang keluar dari hati Agit.

Tapi, seperti biasa, Shanda memiliki cara yang unik untuk menyembunyikan perasaannya, untuk menjaga jarak meski hatinya penuh dengan keinginan.

“Agit, aku sudah cukup sabar… aku cuma butuh waktu ini. Semoga itu cukup.” Dia menarik napas panjang, menatap Agit dengan penuh ketegasan. “Ini bukan hanya tentang kita, Agit. Ini tentang aku dan masa depan kita.”

Dengan kata-kata itu, Agit merasa seakan ada sesuatu yang runtuh di dalam dirinya.

Semua kebingungannya, ketakutannya, berubah menjadi tekad. Ia tidak ingin kehilangan Shanda, tidak dalam cara apa pun.

Shanda adalah dunia baginya, dan hari ini, ia akan berusaha untuk memberikan yang terbaik, meski dia tahu perasaan itu lebih rumit dari yang bisa ia bayangkan.

Dan di bawah langit senja yang penuh warna itu, Agit memegang tangan Shanda dengan lebih erat, berharap bahwa ini bukan akhir dari perjalanan mereka, tetapi awal dari sesuatu yang lebih besar.

.

.

.