Shanda menatap dirinya di cermin dengan tatapan kosong.
Tubuhnya tampak rapi, wajahnya sedikit dipoles, namun matanya—ah, matanya penuh keraguan. Entah kenapa, perasaan ini lebih berat dari apapun yang pernah dia rasakan sebelumnya. Ini bukan sekadar masalah hati. Ini tentang mempertahankan sesuatu yang sudah lama dia banggakan. Agit, suaminya, adalah segala yang pernah dia impikan. Dan sekarang, semuanya terasa terancam hanya dengan satu gambar—gambar yang terus berputar dalam pikirannya. "Kenapa dia harus lakukan ini?" gumamnya pelan, meraba cincin kawin di jari manisnya. Cincin itu, yang dulu terasa begitu berat dengan janji, kini terasa ringan, seolah siap lepas begitu saja. Namun, Shanda belum siap untuk melepaskan itu. Tidak begitu saja. Jadi, dia memutuskan. Hari ini, dia harus bertemu dengan Agit. Harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Harus mendengar semuanya dari mulutnya sendiri. Jika Agit memang ingin mengakhiri semuanya, maka dia akan menerima. Tapi jika tidak, dia ingin tahu apakah ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang rusak. Langkah-langkahnya menuju kantor Agit terasa lebih berat dari yang dia bayangkan. Setiap detik rasanya seperti beban yang menambah kepalanya. Dengan hati yang dipenuhi kecemasan, dia melangkah masuk ke dalam gedung. Lobi kantor yang luas, dengan lampu neon yang terang benderang, tampak begitu asing baginya. Suasana yang dulu terasa familiar kini seakan mengingatkannya pada betapa jauh jarak yang terbentuk di antara mereka. Tiba di depan meja resepsionis, Shanda menguatkan diri untuk berbicara. "Siang Mbak, saya ingin bertemu dengan Bapak Agit Darmawangsa," ucapnya dengan suara yang berusaha terdengar tenang, meskipun dadanya berdegup keras. Resepsionis itu menatapnya sejenak, ragu, lalu tersenyum. "Tentu, Ibu Shanda. Silakan duduk, saya akan mengabarkan." Shanda mengangguk, lalu duduk di kursi yang tersedia. Waktu terasa berjalan lambat, detik-detik yang seolah menguji keteguhan hatinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Apakah Agit akan menyambutnya dengan tangan terbuka, atau malah menutup pintu begitu saja? Beberapa menit kemudian, pintu kaca terbuka, dan muncul sosok yang sudah sangat dikenalnya. Agit. Pria yang dulu adalah pusat dunianya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya. Ada ketegangan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. "Shanda." Agit menyapanya dengan nada datar, hampir seperti tidak ada emosi yang menyertai suaranya. Shanda menahan napas, mencoba meredakan detak jantungnya yang nyaris melompat keluar. "Agit... aku ingin bicara," ujarnya, mencoba menjaga suara tetap mantap meski di dalamnya ada ribuan perasaan yang berperang. Agit memandangnya sejenak. Ada rasa enggan yang jelas di wajahnya, namun ia mengangguk pelan. "Ayo masuk." Mereka berjalan bersama menuju ruang kerja Agit. Shanda merasa setiap langkahnya seperti langkah yang berat, penuh dengan ragu dan ketakutan. Ketika mereka duduk, suasana sepi menyelimuti ruangan. Hanya suara detak jam yang terdengar di latar belakang, mengingatkan Shanda bahwa waktu yang tersisa sangat berharga. Agit duduk di kursinya, tampak lebih tenang dari yang seharusnya. Shanda menatapnya dengan hati yang berat. "Aku tahu, Agit," ucapnya pelan, mengingatkan dirinya bahwa ini adalah pertaruhan terbesar dalam hidupnya. "Aku tahu tentang Kanaya." Agit menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Shanda, aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Tapi... ini bukan sesuatu yang harus kita perbesar." "Tapi kenapa, Agit?" suara Shanda pecah, tak tertahankan lagi. "Kenapa kamu bisa begitu saja berfoto dengan dia? Kenapa kamu bisa begitu mudah melupakan semuanya? Semua yang kita bangun—semua yang kita lalui—apakah itu begitu mudah bagimu?" Wajah Agit memucat, dan untuk sesaat, Shanda melihat kilasan penyesalan di matanya. Namun, ia segera menutupnya dengan ekspresi yang lebih keras. "Shanda, jangan salah paham. Aku... aku tidak berniat menyakiti kamu." Shanda tertawa, namun tawanya terdengar pahit di telinganya sendiri. "Tidak, Agit. Kamu sudah melukai aku. Kamu melukai aku lebih dalam dari yang bisa kamu bayangkan. Apa yang ada di foto itu lebih dari sekadar kebetulan. Itu... itu pilihan. Pilihan yang kamu ambil tanpa memikirkan aku." Agit terdiam. Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, tampak berpikir keras. Waktu terasa lama, dan setiap detik yang berlalu membuat Shanda semakin merasa terasing. Dia ingin berteriak, ingin meluapkan segala rasa sakit yang menyesakkan dadanya. Tapi sepertinya, Agit sudah terlanjur jauh, dan dia hanya berdiri di sini, mencoba mengejar sesuatu yang mungkin tak bisa diraih lagi. "Aku ingin tahu satu hal, Agit," Shanda akhirnya berbicara dengan suara yang lebih lembut, meskipun ada kepedihan yang jelas. "Apakah kamu masih mencintaiku? Atau, apakah aku hanya tinggal kenangan bagi kamu?" Agit menatapnya dengan pandangan kosong, seakan mencari jawabannya di dalam dirinya. Namun, ketika dia membuka mulut, kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hati Shanda. "Shanda... aku tidak tahu lagi." . . .Shanda memandangi rumah Kanaya dengan tatapan tajam, mata penuh amarah yang sudah tak bisa dibendung lagi. Mobilnya berhenti tepat di depan pagar utama yang megah, yang selama ini ia lihat sebagai simbol dari semua yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya mendidih. Tidak ada lagi keanggunan, tidak ada lagi elegansi. Kini, hanya ada rasa sakit dan dendam yang siap meledak. “Bantuin aku, Sheil,” suara Shanda hampir tidak terdengar, meski itu terdengar tenang. Sheila mengangguk pelan, tahu betul apa yang akan terjadi. Tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk berpikir lebih panjang, Shanda menginjak pedal gas dengan penuh kekuatan. Land Rover-nya melaju kencang menuju tiang utama pagar itu, yang memang sudah dilindungi dengan besi penahan untuk mobil. Shanda tahu, ini akan menjadi ledakan yang besar—ledakan yang akan merobohkan semuanya. Dan dia ingin Kanaya mendengarnya, ingin Kanaya merasakannya. Seperti kilat yang menyambar, mobil Shanda menabrak tiang pagar utama dengan
Kyoto, kota yang tak pernah benar-benar mereka tinggalkan, meski tak ada lagi bulan madu, tak ada lagi janji-janji manis. Di kota ini, Agit dan Shanda pernah memulai segalanya—bahkan cinta mereka seolah terukir di setiap sudutnya. Kini, mereka kembali ke sini, tapi bukan dalam keadaan yang dulu. Shanda tak membawa bunga untuk Agit, tak ada gelak tawa mesra yang mengiringi perjalanan mereka. Hanya ada satu tujuan: hamil, dan setelah itu, cerai. Di mobil mewah yang membawa mereka berkeliling kota ini, Shanda duduk diam, menatap keluar jendela. Agit mencoba bersikap biasa, mencoba menikmati perjalanan ini seperti yang direncanakan. Tetapi hati Agit tidak bisa bohong. Ada sesuatu yang mengganggu—sesuatu yang menekan dada, seperti batu besar yang tak bisa dia lepaskan. Shanda tak bicara banyak, hanya sesekali tersenyum tipis, seperti mengingat sesuatu yang sulit dijelaskan. Malam pertama mereka di Kyoto, Shanda mengeluarkan sebuah mini laptop kecil. Di layar, video-video yang suda
Kyoto pagi itu terasa seperti sebuah lukisan hidup. Langit biru yang cerah, kabut tipis yang melayang di atas pepohonan, dan udara segar yang mengisi paru-paru. Agit dan Shanda berjalan di jalan setapak menuju Kinkaku-ji, Pavilun Emas, tempat yang dulu mereka kunjungi di bulan madu mereka lima tahun yang lalu. Tempat itu seakan menyambut mereka kembali, seolah ingin mengingatkan mereka tentang betapa indahnya cinta yang pernah mereka punya. Tetapi kali ini, langkah mereka terasa berbeda. Ada beban di setiap langkah Agit, sementara Shanda hanya berjalan tanpa suara, wajahnya lebih rapuh dari yang biasa dia tunjukkan. Agit melihat ke arah Shanda. Wanita itu, yang dulu penuh semangat, penuh dengan cahaya, kini tampak lebih tenang, lebih dalam, dan seolah sedang mencari sesuatu yang hilang. Di matanya, Agit bisa melihat betapa banyak yang telah dia alami dalam diam, betapa banyak waktu yang telah terlewatkan tanpa ada yang tahu. “Aku ingin kembali ke tempat itu,” kata Shanda ti
Di pinggir pantai yang syahdu, angin sepoi-sepoi mengusap wajah mereka. Laut biru membentang, tenang, seolah menunggu waktu untuk memeluk mereka dengan keheningan. Shanda berdiri di sana, dengan wajah yang penuh doa dan harapan. Di bawah langit senja yang indah, dia menutup matanya, mengangkat tangan, dan berdoa dengan lirih, setiap kata keluar begitu tulus dan penuh perasaan. "Ya Allah, berilah aku anak dari suamiku…" Air mata mengalir deras di pipinya, jatuh satu per satu seperti hujan yang tak mampu ia tahan. Dia memejamkan mata, dan setiap tetes yang jatuh seakan mewakili ribuan perasaan yang terpendam, luka-luka yang hanya bisa diceritakan dalam doa. Untuk pertama kalinya, ada kedamaian yang menyelip di hatinya. Dia tidak lagi merasa kosong, meskipun perasaannya bergejolak. Agit berdiri beberapa langkah di belakangnya, diam, menatap Shanda dengan hati yang penuh. Dia melihat Shanda yang sama, namun berbeda. Ada kedalaman yang tidak bisa ia mengerti, sebuah kekuatan
Keheningan terasa begitu dalam di antara mereka.Sejak semalam, Agit merasakan ada yang berbeda dari Shanda. Ada sesuatu yang menggelayut di wajah cantiknya, yang tidak bisa ia baca dengan jelas. Tapi, pagi itu, semuanya mulai terbuka.Mereka duduk di sebuah kafe kecil di pinggir jalan, dengan pemandangan Kyoto yang indah, sementara suara klakson mobil dan riuhnya kota mulai mengisi udara pagi. Shanda menatap Agit dengan wajah yang lebih tenang dari biasanya, meski di matanya ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan."Agit," suara Shanda terdengar pelan, namun sangat jelas. "Pulanglah... Aku akan tinggal di Kyoto."Agit terdiam sejenak, bingung dengan kata-kata itu. "Shanda, apa maksudmu? Kita baru saja memulai semuanya kembali… aku tidak ingin berpisah dari kamu."Shanda menarik napas panjang, menundukkan wajahnya sejenak sebelum melanjutkan dengan suara yang bergetar. "Aku ada proyek di sini, Agit. Proyek lumayan. Aku harus tinggal lama di kota ini. Maaf kalau aku tidak cerita, ta
Hari itu terasa seperti mimpi bagi Shanda. Agit, yang sebelumnya tampak begitu keras kepala dan cemas, kini tiba-tiba berubah menjadi sosok yang manja, seperti anak kecil yang ingin mendapatkan perhatian. Sejak pagi, dia memohon kepada Shanda untuk menemaninya ke Kansai. "Tolong, Shand, kamu harus ikut aku," katanya dengan nada memelas. Shanda yang sudah merasa cukup emosional karena perpisahan mereka sebelumnya, akhirnya terpaksa mengiyakan. Ia mengingatkan dirinya, mungkin Agit butuhnya lebih dari sekadar teman saat itu. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan Shanda untuk kejutan yang akan datang. Saat mereka tiba di Kansai dan mengangkat koper mereka untuk kembali ke Jakarta, Agit tiba-tiba menarik tangan Shanda dengan penuh semangat. "Ayo, Shand, kita pergi. Kita ke Okinawa beach!" katanya dengan antusias. Shanda menatapnya bingung, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Agit, kamu harus kembali ke Jakarta... kamu harus ke kantor," kata Shanda dengan ragu
Tiga hari yang penuh kebahagiaan di resor mungil di Okinawa beach seakan menjadi surga yang tak ingin Shanda tinggalkan. Selama tiga hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama, tanpa gangguan, tanpa beban, hanya ada mereka berdua, menikmati keindahan pantai yang tenang dan saling merasakan cinta yang kembali tumbuh. Agit dan Shanda seperti dua remaja yang baru pertama kali jatuh cinta, tidak peduli dengan dunia luar, hanya mereka berdua. Namun, seperti halnya takdir yang selalu bermain dalam kisah hidup mereka, hari itu, pagi yang seharusnya cerah, membawa perubahan yang mendalam. Shanda terlelap, menikmati tidurnya di tempat yang begitu indah. Pagi itu, ketika udara masih segar dan laut tenang, suara ketukan di pintu kamar membangunkan Agit. Shanda benar-benar pulas. Agit mengernyitkan dahi, ragu-ragu. Dia tidak ingin diganggu, apalagi setelah beberapa hari yang penuh kebahagiaan ini. Namun, kenyataan tetap datang dengan cara yang tak terduga. Keenan, tangan kanan Agi
Kepulangan Agit ke Jakarta terasa seperti sebuah keputusan yang dipaksakan, meski hatinya menolak. Setelah perbincangan panjang dan telepon yang tak pernah berhenti berdengung, dia tahu tak ada lagi alasan untuk menahan diri. Kanaya membutuhkan dia, ibu membutuhkan dia, dan tanggung jawab tak bisa ditunda.Shanda dan Agit berjalan keluar dari resor itu, melangkah perlahan di sepanjang jalan yang mereka lewati dengan penuh cinta dan kebahagiaan tiga hari lalu, seakan tahu entah kapan mereka bisa menginjak pasir lembut ini lagi. Langit di atas Naha hari itu kelabu, seolah-olah tahu ada dua hati yang akan berpisah dengan luka yang tak terungkapkan. Meskipun segalanya tampak sempurna, Agit tahu takdir berkata lain. Di bandara Naha, di mana mereka harus berpisah, suasana berubah tegang. Hanya ada kesunyian yang terasa di antara mereka.Shanda dan Agit berjalan berdampingan menuju terminal keberangkatan, tapi langkah mereka begitu berat. Tak ada yang berbicara. Hening itu bukan karena
Kepulangan Agit ke Jakarta terasa seperti sebuah keputusan yang dipaksakan, meski hatinya menolak. Setelah perbincangan panjang dan telepon yang tak pernah berhenti berdengung, dia tahu tak ada lagi alasan untuk menahan diri. Kanaya membutuhkan dia, ibu membutuhkan dia, dan tanggung jawab tak bisa ditunda.Shanda dan Agit berjalan keluar dari resor itu, melangkah perlahan di sepanjang jalan yang mereka lewati dengan penuh cinta dan kebahagiaan tiga hari lalu, seakan tahu entah kapan mereka bisa menginjak pasir lembut ini lagi. Langit di atas Naha hari itu kelabu, seolah-olah tahu ada dua hati yang akan berpisah dengan luka yang tak terungkapkan. Meskipun segalanya tampak sempurna, Agit tahu takdir berkata lain. Di bandara Naha, di mana mereka harus berpisah, suasana berubah tegang. Hanya ada kesunyian yang terasa di antara mereka.Shanda dan Agit berjalan berdampingan menuju terminal keberangkatan, tapi langkah mereka begitu berat. Tak ada yang berbicara. Hening itu bukan karena
Tiga hari yang penuh kebahagiaan di resor mungil di Okinawa beach seakan menjadi surga yang tak ingin Shanda tinggalkan. Selama tiga hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama, tanpa gangguan, tanpa beban, hanya ada mereka berdua, menikmati keindahan pantai yang tenang dan saling merasakan cinta yang kembali tumbuh. Agit dan Shanda seperti dua remaja yang baru pertama kali jatuh cinta, tidak peduli dengan dunia luar, hanya mereka berdua. Namun, seperti halnya takdir yang selalu bermain dalam kisah hidup mereka, hari itu, pagi yang seharusnya cerah, membawa perubahan yang mendalam. Shanda terlelap, menikmati tidurnya di tempat yang begitu indah. Pagi itu, ketika udara masih segar dan laut tenang, suara ketukan di pintu kamar membangunkan Agit. Shanda benar-benar pulas. Agit mengernyitkan dahi, ragu-ragu. Dia tidak ingin diganggu, apalagi setelah beberapa hari yang penuh kebahagiaan ini. Namun, kenyataan tetap datang dengan cara yang tak terduga. Keenan, tangan kanan Agi
Hari itu terasa seperti mimpi bagi Shanda. Agit, yang sebelumnya tampak begitu keras kepala dan cemas, kini tiba-tiba berubah menjadi sosok yang manja, seperti anak kecil yang ingin mendapatkan perhatian. Sejak pagi, dia memohon kepada Shanda untuk menemaninya ke Kansai. "Tolong, Shand, kamu harus ikut aku," katanya dengan nada memelas. Shanda yang sudah merasa cukup emosional karena perpisahan mereka sebelumnya, akhirnya terpaksa mengiyakan. Ia mengingatkan dirinya, mungkin Agit butuhnya lebih dari sekadar teman saat itu. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan Shanda untuk kejutan yang akan datang. Saat mereka tiba di Kansai dan mengangkat koper mereka untuk kembali ke Jakarta, Agit tiba-tiba menarik tangan Shanda dengan penuh semangat. "Ayo, Shand, kita pergi. Kita ke Okinawa beach!" katanya dengan antusias. Shanda menatapnya bingung, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Agit, kamu harus kembali ke Jakarta... kamu harus ke kantor," kata Shanda dengan ragu
Keheningan terasa begitu dalam di antara mereka.Sejak semalam, Agit merasakan ada yang berbeda dari Shanda. Ada sesuatu yang menggelayut di wajah cantiknya, yang tidak bisa ia baca dengan jelas. Tapi, pagi itu, semuanya mulai terbuka.Mereka duduk di sebuah kafe kecil di pinggir jalan, dengan pemandangan Kyoto yang indah, sementara suara klakson mobil dan riuhnya kota mulai mengisi udara pagi. Shanda menatap Agit dengan wajah yang lebih tenang dari biasanya, meski di matanya ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan."Agit," suara Shanda terdengar pelan, namun sangat jelas. "Pulanglah... Aku akan tinggal di Kyoto."Agit terdiam sejenak, bingung dengan kata-kata itu. "Shanda, apa maksudmu? Kita baru saja memulai semuanya kembali… aku tidak ingin berpisah dari kamu."Shanda menarik napas panjang, menundukkan wajahnya sejenak sebelum melanjutkan dengan suara yang bergetar. "Aku ada proyek di sini, Agit. Proyek lumayan. Aku harus tinggal lama di kota ini. Maaf kalau aku tidak cerita, ta
Di pinggir pantai yang syahdu, angin sepoi-sepoi mengusap wajah mereka. Laut biru membentang, tenang, seolah menunggu waktu untuk memeluk mereka dengan keheningan. Shanda berdiri di sana, dengan wajah yang penuh doa dan harapan. Di bawah langit senja yang indah, dia menutup matanya, mengangkat tangan, dan berdoa dengan lirih, setiap kata keluar begitu tulus dan penuh perasaan. "Ya Allah, berilah aku anak dari suamiku…" Air mata mengalir deras di pipinya, jatuh satu per satu seperti hujan yang tak mampu ia tahan. Dia memejamkan mata, dan setiap tetes yang jatuh seakan mewakili ribuan perasaan yang terpendam, luka-luka yang hanya bisa diceritakan dalam doa. Untuk pertama kalinya, ada kedamaian yang menyelip di hatinya. Dia tidak lagi merasa kosong, meskipun perasaannya bergejolak. Agit berdiri beberapa langkah di belakangnya, diam, menatap Shanda dengan hati yang penuh. Dia melihat Shanda yang sama, namun berbeda. Ada kedalaman yang tidak bisa ia mengerti, sebuah kekuatan
Kyoto pagi itu terasa seperti sebuah lukisan hidup. Langit biru yang cerah, kabut tipis yang melayang di atas pepohonan, dan udara segar yang mengisi paru-paru. Agit dan Shanda berjalan di jalan setapak menuju Kinkaku-ji, Pavilun Emas, tempat yang dulu mereka kunjungi di bulan madu mereka lima tahun yang lalu. Tempat itu seakan menyambut mereka kembali, seolah ingin mengingatkan mereka tentang betapa indahnya cinta yang pernah mereka punya. Tetapi kali ini, langkah mereka terasa berbeda. Ada beban di setiap langkah Agit, sementara Shanda hanya berjalan tanpa suara, wajahnya lebih rapuh dari yang biasa dia tunjukkan. Agit melihat ke arah Shanda. Wanita itu, yang dulu penuh semangat, penuh dengan cahaya, kini tampak lebih tenang, lebih dalam, dan seolah sedang mencari sesuatu yang hilang. Di matanya, Agit bisa melihat betapa banyak yang telah dia alami dalam diam, betapa banyak waktu yang telah terlewatkan tanpa ada yang tahu. “Aku ingin kembali ke tempat itu,” kata Shanda ti
Kyoto, kota yang tak pernah benar-benar mereka tinggalkan, meski tak ada lagi bulan madu, tak ada lagi janji-janji manis. Di kota ini, Agit dan Shanda pernah memulai segalanya—bahkan cinta mereka seolah terukir di setiap sudutnya. Kini, mereka kembali ke sini, tapi bukan dalam keadaan yang dulu. Shanda tak membawa bunga untuk Agit, tak ada gelak tawa mesra yang mengiringi perjalanan mereka. Hanya ada satu tujuan: hamil, dan setelah itu, cerai. Di mobil mewah yang membawa mereka berkeliling kota ini, Shanda duduk diam, menatap keluar jendela. Agit mencoba bersikap biasa, mencoba menikmati perjalanan ini seperti yang direncanakan. Tetapi hati Agit tidak bisa bohong. Ada sesuatu yang mengganggu—sesuatu yang menekan dada, seperti batu besar yang tak bisa dia lepaskan. Shanda tak bicara banyak, hanya sesekali tersenyum tipis, seperti mengingat sesuatu yang sulit dijelaskan. Malam pertama mereka di Kyoto, Shanda mengeluarkan sebuah mini laptop kecil. Di layar, video-video yang suda
Shanda memandangi rumah Kanaya dengan tatapan tajam, mata penuh amarah yang sudah tak bisa dibendung lagi. Mobilnya berhenti tepat di depan pagar utama yang megah, yang selama ini ia lihat sebagai simbol dari semua yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya mendidih. Tidak ada lagi keanggunan, tidak ada lagi elegansi. Kini, hanya ada rasa sakit dan dendam yang siap meledak. “Bantuin aku, Sheil,” suara Shanda hampir tidak terdengar, meski itu terdengar tenang. Sheila mengangguk pelan, tahu betul apa yang akan terjadi. Tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk berpikir lebih panjang, Shanda menginjak pedal gas dengan penuh kekuatan. Land Rover-nya melaju kencang menuju tiang utama pagar itu, yang memang sudah dilindungi dengan besi penahan untuk mobil. Shanda tahu, ini akan menjadi ledakan yang besar—ledakan yang akan merobohkan semuanya. Dan dia ingin Kanaya mendengarnya, ingin Kanaya merasakannya. Seperti kilat yang menyambar, mobil Shanda menabrak tiang pagar utama dengan
Shanda menatap dirinya di cermin dengan tatapan kosong. Tubuhnya tampak rapi, wajahnya sedikit dipoles, namun matanya—ah, matanya penuh keraguan. Entah kenapa, perasaan ini lebih berat dari apapun yang pernah dia rasakan sebelumnya. Ini bukan sekadar masalah hati. Ini tentang mempertahankan sesuatu yang sudah lama dia banggakan. Agit, suaminya, adalah segala yang pernah dia impikan. Dan sekarang, semuanya terasa terancam hanya dengan satu gambar—gambar yang terus berputar dalam pikirannya. "Kenapa dia harus lakukan ini?" gumamnya pelan, meraba cincin kawin di jari manisnya. Cincin itu, yang dulu terasa begitu berat dengan janji, kini terasa ringan, seolah siap lepas begitu saja. Namun, Shanda belum siap untuk melepaskan itu. Tidak begitu saja. Jadi, dia memutuskan. Hari ini, dia harus bertemu dengan Agit. Harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Harus mendengar semuanya dari mulutnya sendiri. Jika Agit memang ingin mengakhiri semuanya, maka dia akan menerima. Tapi jika tidak,