"My lord! Sakit!" keluhku. Dengan tak berdaya, aku berusaha mendorong-dorong bahunya yang keras dan pejal.
"Sial! Sempit sekali!" umpatnya. Kemudian berseri-seri kata kasar keluar dari mulut pria itu. Aku bisa melihatnya memejam sambil menggigit bibir bawah. Dia mengerang kecil. "Ngghh!"
Apa dia juga sama sakitnya denganku? Apa ini adalah siksaan pertamanya untukku? Jika menikah dengannya adalah mimpi buruk seperti ini, aku tidak akan sudi.
Nafasnya lembab dan berat, tidak karuan menghembus ke seluruh wajahku.
"Sa ....kit," lirihku masih.
Kepalanya telah tenggelam di sampingku. "Anya ... bertahanlah sebentar," bisiknya serak. Lalu ia mengulum daun telingaku, mengirim rasa merinding pada seluruh punggung. Suara nafasnya makin keras terdengar di telingaku.
Tubuh besarnya semakin menekan. Aku seperti berada di antara rahang serigala buas. Aku hanya bisa menatap langit-langit kamar gelap dengan merana. Hanya ada nafasnya yang berbalap, dan aku yang tak henti-hentinya merintih kesakitan. Kedua kakiku semakin gemetar.
Ia menaik-turunkan pinggulnya sembari aku bisa merasakan benda itu bergerak-gerak dalam tubuhku. Rasanya luar biasa perih. Kupikir ini akan memakan waktu seumur hidup. Kapan dia akan berhenti? Sampai kapan aku harus menahan rasa sakitnya?
"Suka atau tidak ... kini kau adalah istriku."
xxx
"Kenapa tidak Kakak saja yang menikahi si tua bangka itu?!" protes Seva. Aku bisa melihat gadis itu menangis dan meraung sejadinya.
"Berhentilah bersikap begitu, Seva! Aku melakukan ini untukmu!" bentakku.
Jujur saja, aku sudah muak pada sikap anak ini. Mungkin gara-gara dulu ayah begitu memanjakannya.
"Omong kosong! Kalau Kakak melakukan ini untukku, kenapa tidak Kakak saja yang menikah dengannya?!"
"Lalu kau bagaimana?! Memangnya orang tua seperti Marquess Gusev akan mengajak anak kecil sepertimu bersamanya?! Kalau aku yang pergi, kau akan di sini sendirian! Kau mau didatangi penagih utang terus?! Kau mau?! Hah?!"
Seva hanya bisa terisak. Sungguh, aku tidak mau memarahinya begini. Ini adalah hari terakhir kami bersama. Tapi ... aku harus membuatnya paham.
"Seva," kataku tenang. Aku meraih bahunya yang bergetar. "Marquess Gusev sakit-sakitan. Dia cuma butuh pewaris saja. Kau berikan anak untuknya, lalu setelah dia mati, kau bisa menikmati semua kekayaannya. Kau bisa beli gaun dan perhiasan sebanyak yang kau mau. Bukankah itu yang kau inginkan?" bujukku.
Seva merenung. Matanya masih basah di pelupuk, tapi isakannya berhenti. "Pernikahan tidak seindah yang ada di novel. Untuk orang-orang seperti kita, kita harus menikah agar bisa bertahan hidup. Kalau kau ingin cinta dari seorang pria, kau bisa mendapatkannya nanti. Sekarang ... aku ingin kau punya kehidupan yang baik, Seva."
Mata biru Seva menatapku nanar. "Aku ... takut Kak," rintih Seva.
"Maafkan aku ... Seva. Tapi hanya ini satu-satunya kesempatan kita untuk membawamu pergi dari sini."
"Lalu ... Kakak bagaimana?"
Aku cuma bisa menarik nafas dan mengembangkan senyuman palsu. "Jangan pikirkan aku," ucapku sambil menyeka air mata gadis itu.
Subuh-subuh berikutnya, pesuruh Marquess Gusev telah tiba di depan gerbang kediaman kami untuk menjemput Seva. Aku harus melepas kepergiannya dengan perasaan sesak. Seva Levitski adikku, gadis remaja yang baru saja mekar. Baru empat belas tahun. Tapi aku terpaksa menikahkannya dengan seorang bangsawan tua yang sekarat.
Itu adalah ingatan terakhirku akan Seva.
Sudah lima tahun berlalu. Dia sudah punya anak, dan benar saja kataku, Marquess Gusev tinggal menemui ajalnya. Seva juga sepertinya sedang jatuh cinta pada salah satu ksatria Marquess Gusev. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkannya.
"Sudah sampai, Madam," ucap kusir menyadarkanku.
Buru-buru aku turun dari kereta kuda, beserta koper kecil.
"Ehem Madam ...," tangan kusir langsung menengadah setelah dia membuka pintu kereta kudanya.
"O-Oh ... sebentar."
Tanganku merogoh dompet kecil dari saku gaun. Dari saku satu-satunya 'gaun terbaik' yang kumiliki!
Aku sudah hitung-hitung. Aku cuma bawa lima keping Lyrac dari rumah. Kuberikan satu keping untuk pria itu.
"Ini sire," lalu ia menatapku sambil mengerutkan dahinya.
Aku tahu yang dia pikirkan. Kakiku langsung melangkah pergi sebelum dia mencekalku. Aku bisa mendengarnya mendecak kesal lalu memacu kudanya kencang-kencang.
"Fuh. Maaf aku tidak bisa memberi lebih."
Kini ... aku membawa sebuah koper, melangkah menuju jalanan yang ramai di Kota Balazmir, ibukota wilayah Dukedom Korzakov. Subuh-subuh dua hari lalu aku berangkat dari kediaman, supaya aku bisa sampai di sini saat matahari belum tinggi. Saat toko-toko baru buka, hanya para pekerja kasar saja yang bangun pagi-pagi begini.
Bekalku cuma lima keping Lyrac yang sekarang sudah tinggal empat, berkas-berkas penting di koper, dan ... secarik surat dari Lord Korzakov.
"Lord Korzakov," gumamku.
Dari sini saja aku sudah bisa melihat istananya yang membumbung tinggi. Apa aku benar-benar akan menemui orang itu?
Siapa yang tidak tahu dia? Bahkan aku pun yang sudah lama tidak menghadiri pergaulan kelas atas bisa mendengar segala cibiran tentangnya. Padahal aku tinggal di pinggiran desa kecil. Tapi kabar itu berhembus bersamaan dengan angin-angin di sana.
'Lord Korzakov memukuli mantan istrinya!'
'Lord Korzakov suka sesama jenis!'
'Lord Korzakov suka memenggal orang!'
Sudah tersebar di seluruh Dukedom ini. Mungkin juga di seluruh Kekaisaran Levron.
Yang kutahu, dia adalah pria yang sangat kejam! Dia pernah mendapat julukan Dewa Perang Kekaisaran. Orang gila di medan perang! Gelarnya saja Lord of War! Dewa Perang!
Keluarga Korzakov adalah keluarga militer turun temurun yang mengabdi pada Tsar dan Tsarina, pemimpin kekaisaran ini. Singkatnya, semua kekuasaan mereka didapat bukan karena memiliki darah suci keluarga kekaisaran, tapi dari jasa-jasa pendahulunya untuk negara. Yaitu saat kakek Tsar Nikolai Romanov melakukan penaklukan-penaklukan negara lain. Dan kakek Lord Alexey Korzakov adalah yang paling berdedikasi dalam membunuh lawannya.
Untuk orang seperti dia, jelas saja dia akan memukuli istrinya. Tidak heran! Buah jatuh tak jauh dari pohon.
Terlepas dari itu semua, disinilah aku. Di depan gerbang tinggi kediaman keluarga Korzakov.
Pemandangan ini membuatku gemetar. Jika sesuatu terjadi padaku ... ah sudahlah. Pulang tidak pulang, tidak masalah. Tidak ada ruginya bagiku. Itu yang kupikir.
Saat melihat dari dekat, aku tak menyangka akan semenakjubkan ini.
Dulu sekali aku pernah menghadiri pesta Debyutanka di istana Tsar, pesta debut bagi para putra putri bangsawan yang mencari pasangan untuk menikah. Dan yang kudatangi ini ... tidak jauh berbeda dari istana kaisar!
Aku berdiri di sana tanpa berkedip.
"Hey! Madam! Kalau tidak ada urusan, pergi saja dari sini!" ketus penjaga dengan galak.
Seketika lamunanku pecah.
"Ah! Ma-Maafkan saya, sire. Tapi ... saya membawa surat undangan dari His Grace ... Lord Alexey Korzakov, The Duke of Korzakov."
Kedua penjaga itu saling berpandangan. Salah satunya menghampiriku.
"Aku tidak menerima perintah akan ada tamu hari ini," ucapnya dingin.
Dengan gugup, kukeluarkan surat terbungkus amplop yang ada di sakuku. Segel lilin merah dengan stempel kepala harimau sudah lepas, tapi aku simpan rapi. Barangkali dia tak percaya kalau itu dikirim oleh majikannya.
"Ini sire ...."
Pria itu mulai meraba kata-kata dalam surat. Memeriksa baik-baik keaslian segelnya.
"Tunjukkan tanda pengenalmu."
Aku merogoh sakuku yang lain. Cepat-cepat kuberikan sebuah pelat perunggu tanda pengenalku padanya.
"Levitski?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Saya ... Anya Levitski. Putri sulung mendiang Baron Levitski."
Dahinya mengerut. Ia memperhatikan sekelilingku, dan memandangku dari atas ke bawah. Aku bisa melihat tatapannya tengah menghakimi.
"Saya datang kemari sendirian," jelasku cepat-cepat.
Pasti aneh juga baginya. Bagaimana keluarga bangsawan sepertiku mengunjungi kediaman seseorang tanpa siapapun. Bahkan kereta kuda pun tidak ada. Aku tidak menyalahkan.
"Tunggu sebentar."
Ia membawa surat dan tanda pengenalku, lalu terlihat berdiskusi dengan kawannya. Kemudian salah satu dari mereka berlari masuk ke pelataran istana itu.
Mungkin hampir setengah jam aku berdiri menunggu dengan canggung bersama pengawal. Hingga seorang pria tua berpakaian rapi datang menghampiri gerbang.
"Lady Levitski?" tanyanya sopan. Suaranya begitu tenang dan berwibawa.
"Be-Benar sire."
"Saya sudah menerima pesan dari Lord Korzakov. Tapi ... sepertinya lady harus menunggu dulu."
Ah ... ya. Mungkin salahku yang datang terlalu pagi. Bangsawan mana yang mau bangun pagi-pagi? Cuma pekerja saja yang harus bangun subuh untuk ke ladang.
"Saya mengerti, sire. Pasti tuan Anda masih beristirahat. Saya akan datang lagi nanti."
"Sebenarnya-."
Kalimat pria itu terpotong. Kami berempat bisa mendengar suara gemuruh menghentak tanah dari jauh.
"Beri jalan! Beri jalan!" seru mereka.
Seketika penduduk yang berada di jalanan menyingkir semuanya. Memberi jalan pada pasukan berkuda yang berlari kencang menuju gerbang istana.
"Buka gerbangnya!" teriak pengawal di dekat gerbang. Benda berat itu berkerit terbuka seketika.
"Lady, sebaiknya kita minggir dulu."
Tanpa disuruh pun aku akan minggir. Kalau tidak aku sudah jadi gepeng.
Saat pasukan berkuda itu mendekat, aku bisa melihat mereka. Terlihat agak kacau, mungkin kelelahan. Tapi tubuh mereka masih terbalut baju zirah tebal nan kuat.
Ksatria yang paling depan dengan kuda putih besar, mungkin pemimpinnya. Pria itu mengangkat tangan kanan dan membuat satu kavaleri melambat.
Aku sadar sepenuhnya, kedua matanya yang dingin menatapku!
Ia menarik tali kekang hingga kudanya mengikik dan berhenti.
"Igor! Siapa ini?!" semburnya dengan suara jengkel.
Pria tua bernama Igor membungkuk sopan. "My lord, beliau adalah Lady Levitski."
"Levitski?" ia bergumam. Pandangannya yang kecut padaku belum berhenti. "Sergei! Ambil alih! Berikan mereka makan dan latihan satu jam lagi!"
"Baik my lord!" seru seorang pria yang mungkin bernama Sergei?
"Hiya!"
Selanjutnya mereka semua kembali memacu kuda memasuki pelataran istana yang dihiasi air mancur dan taman bunga.
Ini pertama kalinya aku melihat sebuah kavaleri ksatria. Kedatangan mereka membuat seluruh tubuhku merinding. Tapi ... yang membuatnya terasa lebih buruk adalah pria ini. Ia belum mengalihkan tatapan marah itu dariku.
Apa salahku? Apa aku sudah menghalangi jalannya?
Ia turun dari kuda. Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya pirang bersinar emas saat ditimpa cahaya mentari dengan beberapa tetes keringat. Rahangnya pejal dan keras, leher pria itu besar seperti batang kayu. Ia terlihat begitu gagah dengan baju zirah perak dan jubah biru laut di punggungnya. Wajahnya cukup tampan seperti pahatan para dewa di kuil Yunan. Tapi dengan wajah seperti itu pun tidak akan bisa memikat siapa-siapa.
Mata itu ... menyeramkan.
Kedua mata birunya memandangiku lekat-lekat. Hanya pada mataku. Itu cukup membuat seluruh tulang belakangku jadi kaku. Ujung-ujung jariku dingin dan gemetar ketika ia melangkah dekat. Ia menatapku seperti anjing pemburu yang siap mengoyak daging segar. Aroma kuat kulit binatang, kuda, dan keringat, aku bisa menciumnya dari pria ini. Sebuah aroma kelaki-lakian yang melimpah.
"Baru sekarang kau menjawab undanganku?" sarkasnya galak.
Mataku terbelalak.
'Jangan-jangan ....'
"L-Lord ... Korzakov?"
Aku tak menyangka ... hanya melihat pria itu bisa membuat tanganku gemetar sampai sekarang.Igor, kepala pelayan sudah mempersilahkanku untuk duduk menunggu di ruang tamu yang super mewah ini. Mereka telah menyajikan teh hangat dan camilan. Aku belum makan dari pagi, perutku melilit nyeri, seharusnya siang ini aku sudah lapar. Tapi yang kurasakan adalah mual. Aku ingin muntah. Mulutku kering dan semakin kering. Aku tak menyentuh apapun di meja itu.Sungguh ... aku ingin mengeluarkan semua asam lambungku sekarang juga. Tapi aku tidak bisa melakukannya di kediaman seorang Duke.Padahal, tadinya aku sudah cuek saja untuk datang kemari. Tapi ... kuharap aku belum terlambat untuk menarik kata-kataku. Aku ingin pulang. Seharusnya aku tidak datang kemari!Pintu ruangan terbuka.Lord Korzakov masuk dengan langkah kaki yang sunyi. Ia telah membersihkan dirinya dan kini memakai jas beludru yang mahal dengan bordiran emas.Wajahnya masih sama. Terlihat dingin, getir dan muak, dengan tatapan mata
Putri Sofia masuk ke ruang persidangan. Ia memakai gaun biru pastel yang terlihat begitu elegan. Rambut emasnya dibiarkan jatuh bergelombang. Semua orang melihatnya datang. Bagai bidadari sekaligus simbol kecantikan kekaisaran.Kalau aku laki-laki, aku pasti sudah naksir padanya. Ia cantik dan memukau. Sempurna. Ia berjalan anggun, tapi dengan wajah yang sendu.Jika diperhatikan, tentulah Putri Sofia sangat cocok dengan Lord Korzakov. Keduanya rupawan, terlihat seperti bangsawan kelas atas, dan sama-sama memiliki status yang penting.Semua mata tertuju pada wanita itu ... kecuali Lord Korzakov.Punggungnya tak bergeming dan masih menatap ke depan. Setelah itu Putri Sofia dan beberapa orang duduk di kursi paling depan sebelah kiri.Pengawal menutup pintu, dan persidangan pun dimulai. Udara di ruangan megah ini begitu mencekam. Begitu menegangkan. Igor di sampingku langsung duduk tegak. Bulir-bulir keringat menetes dari pelipisnya yang agak keriput. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan.H
"Me-Menikah?!" pekikku hingga menarik tubuh.'Dengan monster sepertimu?!'"Aku mengundangmu ... bukan hanya karena akan membeli aset dan membebaskan dirimu dari utang. Tapi ... karena aku ingat namamu, Anya Levitski."Wajahku terkejut. Aku masih belum percaya pada apa yang barusan dia ucapkan.Menikah dengannya?! Yang benar saja! Laki-laki itu bisa memotong-motongku hingga tiga puluh bagian dan menyimpan cuilan-cuilannya di perkakas rumah. Apa dia tidak dengar putusan pengadilan tadi?! Kau menganiaya Putri Sofia, kawan!"Kau tidak ingat padaku?" tanya Lord Korzakov.Alisku mengerut. Aku meraba ke sudut kepalaku yang paling dalam. Aku tidak mungkin pernah bertemu orang ini. Pria seeksklusif Lord Korzakov, mana mungkin bangsawan kelas rendah sepertiku pernah bertemu dengannya.Kepalaku hanya bisa menggeleng pelan."Kita bertemu di Debyutanka, dua belas tahun lalu. Di istana kekaisaran. Gaun itu ... kau memakainya juga," ia menunjuk gaun zamrudku yang kuno. "Aku tidak mengira akan meliha
"Haaah ...," erangku berat.'Kenapa aku beli benda seperti ini sih?'Aku, Anya Levitski, telah menyetujui lamaran Lord Alexey Korzakov di atas kereta kuda sebulan lalu. Hanya semudah itu, dengan cap keluarga Korzakov, seluruh asetku telah berpindah tangan. Pabrik dan gudang. Aku menolak menjual mansion karena itu satu-satunya yang menjadi milikku. Semua berkas telah dibereskan oleh Vadim.Lord Korzakov telah membeli gudang dan pabrikku. Sekaligus membayarkan utang paman sebesar lima ribu keping Lyrac. Lalu, menurut kurator, pabrik dan gudangku hanya bisa dihargai dua ribu lima ratus keping Lyrac. Sedangkan Lord Korzakov memutuskan untuk membeli seharga tiga ribu keping Lyrac.Itu uang yang bisa kupakai selama berbulan-bulan. Aku bisa membeli sepetak tanah, rumah kecil, mungkin beberapa sapi dan domba. Tapi tidak. Dengan konyolnya telah kuhabiskan dalam sehari.Kini aku tengah memandangi benda itu. Kupegang di tangan.Sepasang cufflink tersemat di tempatnya, di kotak kecil yang dilapis
Aku tak menyangka, meski Igor hanya kepala pelayan, tapi dia seperti telah dididik dengan tata krama bangsawan. Sedang aku, sepertinya telah memiliki ingatan yang kabur soal bagaimana cara berjalan ala bangsawan. Mungkin karena pekerjaan kasar yang bertahun-tahun melekat dalam diriku hari demi hari ....Membuatku semakin mirip rakyat jelata.Pasti ... mereka juga berpikir hal yang sama. Mataku melirik canggung pada dua orang pelayan yang ada di samping kiri dan kananku. Mereka begitu tenang. Igor di depan kami memandu jalan.Kami menyusuri koridor kastil kediaman keluarga Korzakov yang mewah. Dindingnya dibalut permadani, sepertinya diimpor dari luar negeri. Lampu gantung begitu setia mencengkram langit-langit kastil. Belum lagi di atas sana terhampar lukisan bertema ksa
"Tuan ingin makan malam dengan Lady." Begitu kata Yulia.Kini aku sudah berada di meja makan dengan beberapa pelayan. Ini ruang makan yang sangat besar! Aku tidak yakin pernah berada di ruang makan seluas ini. Mejanya panjang dengan banyak sekali kursi. Mungkin dua puluh? Ada lampu gantung raksasa di sana.Kami semua menunggu Lord Korzakov, majikan nomor satu di kastil megah ini.Jantungku berdebar. Waktu terasa begitu lama kala aku menanti apa yang akan terjadi pada makan malam kami. Tak berapa lama kemudian, pintu ruang makan terbuka. Pria yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga.Ketika Lord Korzakov melangkah, semua membungkuk. Sepatunya nyaris tak terdengar hentakan apapun. Aku tidak tahu apa aku juga harus
Apa barusan aku benar-benar mendengarnya?Bola mataku tak lagi tertancap pada bayangan di cermin, tapi pada Madam Petrov. Wanita gemuk nan ceria itu ... kecut."A-Apa ... maksud Anda,madam?""Apa Anda yakin dengan Tuan Duke?" tanyanya lagi. Begitu pelan. Aku yakin Yulia atau Elena yang sedang ikut menyiapkan pakaian lain tidak dengar."Memangnya kenapa?" bisikku juga."Jangan salah paham,my lady. Tapi ... saya juga membuat gaun untuk Her Royal Highness Prinsessa Sofia Romanov. Saya ... tidak ingin apa yang telah terjadi pada beliau, terjadi pada Anda," desis Madam Petrov cemas.
"Aku tak menyangka kau adalah wanita yang serakah," sindir Lord Korzakov lagi. Alisku mengerut bingung. "S-Saya ... tidak mengerti ...my lord." "Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Anya Levitski? Uang? Kebahagiaan? Apa?" cecarnya. "Aku sudah melakukan semua syaratmu. Lalu kau seenaknya membatalkan begitu saja?" Kedua mata birunya memicing tajam. Tubuh kami berdua masih dekat. Dia tak berteriak padaku, tapi suaranya yang serak dan dalam membuatku merinding setengah mati. "Sa ... saya ...," aku kehabisan kata-kata. "Katakan padaku yang sebenarnya. Kau ingin mempermainkanku? Saat aku telah menyi
Kami menuju perjalanan pulang. Aku dan Seva sudah berjanji untuk sering-sering mengirim surat mulai sekarang. Alexey juga berpesan pada Maxim, supaya dia tak perlu segan untuk meminta bantuan apapun jika diperlukan.Aku lega. Rasanya seluruh beban di pundakku terangkat. Aku tidak pernah merasa seringan ini.Meskipun begitu, aku kepikiran dengan pertanyaan Seva waktu itu. Seva mungkin tidak tahu banyak hal, tapi yang jelas dia jauh lebih tahu soal cinta daripada aku.Apa aku mencintai Alexey?Aku meliriknya. Sedari tadi ia masih menggenggam tanganku. Pria itu memandang keluar jendela kereta kuda. Hari mulai sore. Mungkin sebentar lagi kami akan tiba di kediaman, di Kota Balazmir. Di kastil yang menjulang paling tingg
Pipiku masih basah air mata, tapi bisa-bisanya Alexey punya pikiran seperti itu. Padahal barusan dia melihatku menangis hebat hingga sesenggukan. Dasar aneh.Aku tidak ingat kapan terakhir kali kami bercumbu atau bercinta. Sepertinya sudah lama sekali. Tapi di sinilah ia. Di tengah kunjunganku yang jauh dan melelahkan ke tempat adikku yang telah lama tidak bersua, dia malah merampas bibirku semena-mena.Kedua tangan Alexey menangkup wajahku, berusaha menguasaiku. Sementara bibirnya kian melumat seluruh mulutku. Aku tidak melawan, tentu saja. Meski ini begitu tiba-tiba, aku menikmatinya. Aku merindukan lelaki ini.Alexey melepas singkat ciuman kami. Ia memandangiku dekat."Manis," gumamnya. Kemudian ia kembali menciu
"Seorang janda menikahi ksatria dari bangsawan kelas rendah," ucap Seva luwes. "Aku sudah sering mendengar itu kok. Kalau mau bicara begitu, langsung saja. Aku tidak akan tersinggung, Your Grace~," cemooh Seva dengan nada memuakkan."Seva ... aku tidak-.""Lady Seva, aku sama sekali tidak mengungkapkan kalimat yang merendahkanmu, atau calon suamimu."Aku terkejut mendapati Alexey yang kian tenang. Sementara Maxim beringsut kebingungan. Aku juga mulai risau. Takut mereka berdua akan menghadapi apa yang mereka tidak ketahui soal Alexey. Bahwa dia adalah pria yang berbahaya."Aku tidak ada bedanya dengan Anda dan Kakak, Your Grace.""S-Seva ... apa maksudmu?"
"Kukira kau akan senang karena akan bertemu dengan adikmu," kata Alexey tiba-tiba."Maksudmu?""Kita sudah dua hari melakukan perjalanan jauh untuk datang ke pernikahan adikmu. Kukira kau akan senang."Tempat Seva memang jauh. Kediaman mereka dari wastuku di desa mungkin lebih jauh lagi. Seperti ada di ujung dunia. Bisa empat hari perjalanan. Sedangkan tempat Alexey sekarang hanya butuh dua hari."Bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya."Yang terdengar kini adalah suara derap kaki kuda yang riuh menjejak tanah. Mungkin hanya beberapa jam lagi kereta kuda kami beserta iring-iringan ksatria sampai di kediaman Marchioness Seva Gusev. Adikku.
'Untuk adikku terkasih, Marchioness Seva Gusev.'Penaku telah melumuri kertas putih begitu kontras, tetapi tanganku berhenti.Selepas Paman Dimitri ditangkap, diadili dan dicabut gelarnya, situasi memburuk. Mereka bilang saat pengadilan berlangsung, dia menyebut-nyebut namaku. Meneriak-neriakkannya hingga melengking dan bikin suara serak. Namun kuasa hukum keluarga kami melakukan pekerjaannya dengan baik. Dia mewakiliku menjelaskan dan mengatakan segala yang diperlukan. Hingga aku sama sekali tidak perlu datang. Toh dari awal aku bukanlah tersangka.Meskipun begitu, aku dengar Alexey bicara pada Vadim tempo hari."Anya tidak boleh melihat orang itu lagi," begitu katanya. "Jangan pernah!"
Makan malam.Aku dan Alexey masih belum bicara. Rasanya aku sangat lelah. Badanku pegal-pegal.Dmitri dibawa ke rumah tahanan bangsawan untuk penyelidikan. Nampaknya kejadian ini begitu serius. Aku tahu bangsawan bisa dicabut gelarnya apabila mereka melakukan pengkhianatan atau kegiatan-kegiatan kriminal lainnya. Aku baru pertama kali melihat sendiri kasus berat yang membuat orang lain terancam dengan pencabutan gelar."Apa kau mengkhawatirkan pamanmu?" tanya Alexey. Sepertinya ia menatap iba padaku.Aku menggeleng pelan. "Tidak.""Kau tidak makan?"Aku menghela. Daging panggang di atas piring rasanya tida
Aku, Igor, Vadim, Alexey, Dmitri dan ... dua orang lagi yang kelihatannya sangat penting. Mereka adalah pegawai pemerintah, dari pengadilan.Dmitri begitu sumringah ketika dia tahu siapa orang-orang itu. Hanya dengan satu kalimat darinya, kami bisa langsung diseret ke gereja dan pengadilan untuk bercerai. Dia masih waliku."Saya tidak sangka kalau akan secepat ini, Your Grace. Apa Anda memang sangat buru-buru menginginkan restu dari saya?" katanya setengah mencemooh."Aku ingin menyelesaikan perkara aset-asetmu, Baron Levitski.""Tentu, tentu," jawab Dmitri dengan anggukan yang percaya diri. "Lebih cepat lebih baik. Aku tinggal tanda tangan untuk surat serah terimanya saja kan? Sesuai yang kita sepakati. Setelah itu
Entah sudah berapa lama aku cuma berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Gelisah. Bibirku merengut dengan kepalaku yang mungkin sudah berasap"Duh ... bagaimana ini," gumamku lirih."Apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, my lady?" tanya Yulia menggugahku. Wajahnya yang kalem nampak seperti dia akan mematuhi perintahku tanpa pertanyaan."Hhh. Bukan apa-apa. Kau ... tidak perlu khawatir.""Apa ini soal paman Anda, my lady?"Kakiku berhenti dengan sendirinya, aku memandang Yulia lemas."Ya. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa," keluhku lirih. "Aku cuma ingin dia segera pergi dari rumah ini. Aku t
"Apa maksudmu?! Aku berhutang?! Justru kaulah yang membuatku membayar semua utang-utang yang kau tinggalkan! Sementara kau kabur seperti pengecut!"Susah payah aku menahan suaraku agar tak berteriak di ruang tamu."Hehe. Kau kira aku orang bodoh, hah?" sindir Dmitri. "Kau kira kau bisa membodohiku? Kau pikir aku tidak tahu berapa nilai asetku jika dibandingkan dengan utang-utangku?" Dmitri mulai menaikkan suaranya padaku."Asetmu?!" pekikku jengkel. "Bunga utangmu membengkak! Mansion, gudang dan pabrik kita bahkan tidak bisa melunasi semuanya!" sanggahku. Aku sudah tidak bisa menahan diri. Kubiarkan Vadim yang sedari tadi berdiri di sudut ruang tamu mendengarku. Aku sudah masa bodoh. "Kerjamu cuma minum-minum dan berjudi!"