"Kalau begitu, pergilah!" Rania tahu apa maksudnya.Tidak mungkin menyelesaikan masalah hanya dengan diam di rumah tanpa melihat langsung ke lokasi dan bicara dengan orang-orang yang berkepentingan."Aku tidak bisa," cuma jawaban Reza lagi-lagi membuat Rania speechless.Saat itu Rania baru bangun tidur. Masa kelahirannya sudah tinggal beberapa hari lagi. Sembilan bulan dua minggu. Rania sudah masuk ke minggu kedua. Di sini dia menatap Reza yang masih duduk di sampingnya dengan pakaian rumah, seperti biasa. Padahal dia bilang sendiri sedang ada masalah, makanya Rania gemas."Kenapa? Aku aman di sini. Bodyguard-mu banyak di rumah ini. Lagi pula ada Kakek di sini dan aku kalau perlu bantuan apa-apa bisa bilang pada Shine."Rania membujuk karena dari wajahnya Reza memang tampak kesal sendiri dirinya, menanggung beban yang mengganggunya ini."Pergilah Daddy Reza. Atau kau ingin aku ikut?""Kau beristirahatlah!" Reza menolak."Tapi--""Kau yakin tidak akan apa-apa aku tinggal sebentar?""Hmm
“Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kakek kenapa?"'Rania melihat Vladimir tidak jauh dari posisinya jadi cemas dan meninggikan suara. Dari tadi memang Vladimir berada di sana memperhatikan mereka bermain dan tadi dia juga sempat mengobrol dengan Rania."Kakek? Kakek tidak apa-apa?" Rania ketakutan sendiri melihat kondisi Vladimir."Nyonya Clarke, tenanglah.""Ya Tuhan, bagaimana aku bisa tenang, Han? Apa kakek punya masalah dengan jantungnya?"Dengan wajah cemasnya Rania berusaha berdiri dan berjalan mendekat pada Vladimir yang sempat mengangkat telepon tadi dan kini dia merasa kesakitan di jantungnya, lalu teleponnya juga sudah dimatikan oleh Han."Ehm, saya akan mengurus Tuan Besar. Nyonya Clarke, Anda tidak perlu khawatir dan bermainlah dulu di sini dengan Putri Anda dan mengobrol sajalah di sini dengan Shine.""Mana bisa!" Rania menolak."Kau sendiri cemas begitu!" tegas Rania lagi yang yakin sekali kalau Han sangat mengkhawatirkan Vladimir dan bahkan sudah memberi kode pada bodyguard un
"Selamat pagi Rania. Bagaimana malammu? Mimpimu indah kan?""Hmm, selamat pagi Mama. Yah, aku tidur pulas dan tidak ada lagi mimpi buruk seperti yang kemarin-kemarin."Pagi itu di sebuah mansion besar terdengar sebuah percakapan yang melegakan semua orang yang ada di meja makan itu."Papa senang mendengarnya. Duduk Rania dan makan sarapanmu. Kurang makan bisa membuatmu bermimpi buruk. Dan itu tidak terlalu bagus.""Papa benar. Terima kasih Papa. Dan sekarang juga sudah musim dingin di Paris. Aku butuh makan supaya aku tidak menggigil dan membeku."Gadis bernama Rania itu mengikuti saran dari orang tuanya dan dia sudah duduk di kursinya lalu tersenyum melihat menu sarapan pagi ini."Mama, kau selalu saja punya surprise di pagi hari. Aku selalu saja suka dengan hidangan lezat yang kau sajikan." Rania menjawab lagi antusias."Mama kita memang selalu pintar memasak Rania. Kau lupa? Dari kecil Mama selalu memperhatikan kita. Dan makanan favorit kita selalu sama. Dan kalau Mama masak itu pas
"Hihi, tapi tidak Amar. Aku ingin diperlakukan biasa di kantor dan aku tidak ingin kamu membuka hubungan kita pada siapapun, Mar.""Kok gitu?"Amar serasa tak bisa terima saat Rania membuat rencana seperti itu."Ya, harus begitu. Karena aku tak mau hubungan kita terbuka. Gimana pun aku ini orang baru dan aku ingin memulai semuanya dari awal. Mendapatkan pengakuan dari mereka kalau aku yang memang kompeten di bidangku bukan aku sebagai kekasihmu, kekasihnya si Bos yang punya perusahaan. Pengakuan kemampuanku sendiri itu sangat berharga bagiku, Mar."Sebetulnya Amar ingin protes lagi dan mengatakan kalau dia tidak setuju. Dia ingin semua orang tahu kalau Rania adalah kekasihnya. Tapi Amar melihat keseriusan di wajah Rania saat dirinya meminta itu."Baiklah kalau menurutmu itu yang terbaik.""Kau serius kan?"Amar sudah setuju tapi Rania masih mempertanyakan."Iya. Kalau maumu seperti itu aku bisa apa, Sayang?"Kini senyum pria itu terurai sambil dia memegang tangan Rania."Cuma kamu haru
"Berani kau melawan kami?""Tidak berani! Tapi aku di luar lorong! Dan banyak orang berlalu lalang di sini!"Suara Rania cukup kencang sehingga membuat orang-orang yang melewati jalur itu tertarik untuk mendekat.Karena meski di jalur itu mulai agak sepi masih ada beberapa orang yang lewat."Lepaskan anak itu atau kami akan menelepon polisi!"Seseorang yang berdiri di dekat Rania juga meneriaki penodong itu."I see you!"Dan itu yang dia katakannya sambil menatap Rania. Dia bicara sebelum kabur menuju ke ujung lorong yang berlawanan arah."Hai kau tidak apa-apa?"Dan ada seorang bapak di samping Rania yang mencoba bertanya pada bocah kecil itu."Aku tidak apa-apa!"Dengan sigap, bocah itu mengambil lagi tasnya dan berjalan mendekat pada kerumunan orang di ujung lorong yang berseberangan dengan lorong perampok itu berlari."Aku tadi tidak hati-hati. Terima kasih sudah membantuku."Anak itu masih cukup kecil tapi dia cukup pandai dan tahu beretika. Ini yang membuat Rania tersenyum saat b
"Hei, kau kenapa?""Oh, tidak apa-apa."Rania sampai kaget ketika bocah itu memegang tangannya yang semakin dingin saat kepalanya memutar satu memori yang dirinya tak ingat."Hanya memikirkan sesuatu yang tiba-tiba muncul saja di dalam kepalaku. Seperti ada seseorang yang berjanji padaku."Anak itu diam karena tidak mengerti apa yang dipikirkan Rania."Nah, itu sudah kelihatan plang toserbanya. Ayo kita ke sana!"Rania tidak bisa menjelaskan apapun karena ini bukan masalah yang mudah untuk dijabarkan.Dia memilih membawa anak itu pergi ke toko yang memang mereka ingin kunjungi."Boleh aku menggandengmu? Sebentar lagi kita mau menyeberang jalan.""Kau tenang saja. Aku bukan anak kecil yang tidak bisa menyeberang jalan.""Ow."Senyum Rania terurai."Sebenarnya aku bukan takut kalau tidak bisa menyebrang. Tapi lebih enak saja kalau menyebrang sambil bergandengan tangan dan itu membuatku merasa lebih nyaman.""Begitukah?""Ya. Kau lihat anak dan ibu itu. Mereka saling berpegangan tangan bu
"Di mana anakku?""Oh, dia di belakang tempat biasa. Sepertinya dia mulai membakar hadiah untuk ibu dan kakaknya.""Terima kasih Rein.""Sama-sama Tuan Clarke."Sebuah obrolan singkat di antara Rein dengan pengunjungnya. Dua orang wanita itu hanya bisa memandang punggung pria yang kini memasuki satu ruangan yang tadi dimasuki oleh Dean dan Rich sangat tergesa-gesa."Rania, kau lupa untuk berkedip saat memperhatikannya."Kalau temannya tidak mencubit tangan Rania, dia pasti masih mengamati pintu yang sudah tertutup itu."Eh, hihi, dia ayah anak itu bukan?""Hmm. Apa dia terlalu tampan sampai kau tidak bisa berkedip saat menatapnya tadi?""Ya dia terlalu tampan. Maksudku untuk orang yang katamu sudah berumur ya sangat tampan. Kurasa dia masih seperti seumuran kita?""Dia orang kaya dan banyak uang. Tentu saja dia akan terlihat lebih muda daripada orang-orang seusianya yang hidupnya dalam kondisi di batas garis kemiskinan. Hehehe. Kau tahu kan uang bisa melakukan apapun pada manusia?""Hm
"Yeay, Papa. Kau datang tepat waktu. Aku baru saja mempersiapkan lilinnya."Saat seseorang membuka pintu belakang, Nyonya Dean dan Rich mengarahkan pandangannya ke pintu dan senyum dari bocah itu terlihat ketika tahu siapa yang akan bergabung dengannya."Aku minta maaf padamu sampai terlambat dan membiarkanmu berangkat sendirian ke sini.""Aku tak masalah. Aku sudah besar dan aku bisa sampai di sini dengan selamat.""Tanpa pertolongan siapapun?""Ada seorang wanita yang menolongku. Dia sangat cantik dan dia sangat baik. Dia sangat perhatian dan aku sangat bersyukur sekali dia menyelamatkanku dari perampok.""Wow, aku tidak menyangka kalau Tuan Muda Rich bisa bicara se-elegan itu."Ayahnya hanya tersenyum saja mendengar celetukan dari Nyonya Dean."Anda sepertinya sangat beruntung sekali memilikinya dan kurasa Anda berhasil mendidiknya.”"Aku harap begitu Nyonya Dean Arthur. Tapi aku juga tidak terlalu yakin karena dia berhasil kabur dari rumah. Kurasa didikanku masih ada yang salah.""