Darahku rasanya mendidih mendengar jawaban Mas Roman. Kulepaskan bunga tangan kami yang sedari tadi kupegang. Seandainya bisa bunga ini kubuang dan kuinjak-injak, akan kulakukan sebagai luapan kemarahanku dan gambaran kekecewaanku atas pesta pernikahan ini.
Padahal, ini baru hari pertama dari sekian juta hari yang mungkin akan kulewati bersama Mas Roman yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah sah dan resmi menjadi suamiku, baik secara agama maupun pemerintah.
Melihat ke sisi kiri, wajah Ibu masih saja ditekuk. Aku mengenal hati wanita tua itu, pasti dia pun kecewa melihat saudara-saudaranya membentuk kelompok sendiri di bawah sana, dilirik dengan penuh keheranan oleh tamu undangan yang katanya dari kelas atas.
Bisa jadi sudah dari tadi mereka menertawakan ketidaktahuan keluargaku tentang hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan. Yang paling menonjol adalah risihnya mereka dengan model tata rambut serta gaun yang mereka kenakan.
Gaun mereka yang perempuan, terbuka bagian atas bermodel kemben, menjuntai hingga menyentuh lantai dan sepatu ber-hak tinggi yang membuat mereka harus saling berpegangan saat melangkah, karena takut jatuh. Untuk saudara laki-laki, memang tidak terlalu kentara karena hanya mengenakan setelan jas dan sepatu pantofel.
Sebelum resepsi, aku pun menerima banyak cerita dari keluarga besarku yang semuanya baru kali ini naik lift. Ada yang mengeluh pusing dan sesak napas ketika keluar dari ruang sempit itu, ada juga yang sudah masuk tetapi tidak tahu bagaimana menggunakan tombol-tombol liftnya sehingga harus dibantu petugas gedung. Bahkan ada yang saat masuk gedung nyaris jatuh terjerembab ke depan karena kaget ketika pintu akan mereka dorong malah membuka sendiri ke kiri dan ke kanan.
Untunglah karena kepolosan mereka, saat mengadu padaku, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal sendiri. Mengakui diri mereka sendiri yang masih saja ndeso meski sedang berada di kota. Sesuatu yang kutakutkan akan membuat mereka minder dan malu, malah menjadi bahan lucu-lucuan yang membuatku terhibur di tengah-tengah kegugupanku dengan pernikahan ini.
“Tidak bisakah kamu menghargai dan memperhatikan keluargaku sedikit saja?” tegasku pada Mas Roman yang mungkin merasa tidak melakukan kesalahan sehingga tidak perlu tanggung jawab pada keluargaku. Ya memang kurang beralasan juga jika aku harus menuntut dia untuk keudikan keluargaku, tetapi setidaknya dia tunjukkan kepeduliannya. Berikan aku alasan apa saja yang bisa membuatku yakin bahwa dia pun peduli dengan keluarga besarku. Bukankah mereka sekarang otomatis sudah menjadi keluarganya juga?
“Berhenti memperdebatkan sesuatu yang kamu sendiri tidak jelas apa permasalahannya. Adakah kekerasan terhadap keluargamu di sini? Beritahu aku dan akan kukomplain bagian EO dan security gedung ini.”
Sungguh aku kalah dalam perdebatan. Memang tidak ada keluargaku yang mendapatkan masalah itu, tetapi tamu undangannya menatap mereka sebelah mata. Tatapan mereka diiringi dengan senyum mengejek, tidakkah Mas Roman bisa merasakan itu?
“Aah sudahlah, suamiku memang tidak punya perasaan. Hatinya terbuat dari batu, mana paham dia tentang perasaan manusia,” batinku menghibur diri demi jutaan hari yang akan kulewati bersamanya. Tak ingin kurusak jutaan hari itu hanya dengan satu hari ini.
Belum selesai kecewaku, aku kembali dihadapkan dengan kenyataan pahit lainnya. Nampak di depan mataku sendiri, keluargaku hanya bengong di depan makanan yang sudah tersaji di masing-masing meja berbentuk lingkaran.
Mereka semua bingung menatap bermacam ukuran sendok, garpu sebiji dan pisau yang tertata di samping kiri kanan piring mereka. Aturan table manner yang belibet membatasi mereka untuk bisa segera memenuhi rasa lapar, bahkan menggunakan serbetnya pun mereka tidak paham. Aku mengetahuinya dari gerak tubuh yang diberikan Kakak kedua Ibu ke arahku, tangannya digerak-gerakkan, kupahami sebagai bahasa tubuh yang hendak mengatakan bahwa mereka tidak tahu bagaimana cara memakai semua peralatan makan itu.
Aku hanya bisa mengangguk dengan senyum dari atas, memberi mereka keyakinan bahwa tidak akan terjadi apa-apa jika mereka makan tidak sesuai aturan. Aku tidak peduli lagi mereka akan ditertawakan tamu undangan yang lain atau tidak. Wajah mereka meringis dan memelas dalam kebingungan.
Melihat kebingungan keluargaku di bawah sana, aku seperti tersadar.
Mungkinkah aku juga menciptakan jarak yang terlalu jauh dalam pernikahan ini? Aku dari keluarga tidak berada, bersanding dengan keluarga Permana yang strata sosialnya berada di puncak tertinggi dalam piramida strata sosial masyarakat.
Sejenak aku takut sendiri dengan nasib pernikahanku kelak. Pasti akan banyak masalah yang muncul. Kutengok bunga tangan yang tadi kulepas, tetap saja bunga itu teronggok di antara aku dan Mas Roman. Tidak tergerak hati suamiku untuk bergantian memegang bunga itu. Setidaknya, menjaga keberadaan bunga itu tetap penting menghias indahnya acara pernikahan kami ini.
Bisa jadi akupun akan bernasib sama seperti bunga tangan ini. Tidak akan menjadi penting dalam hidup Mas Roman sehingga pernikahan akan berjalan seperti manusia tak bernyawa, dingin dan tak ada geliat sama sekali, kemudian layu, kering kerontang tak bernilai.
“Khanza, berdirilah! Ada teman-teman kuliahku waktu di Amerika.”
Perintah Mas Roman tanpa ada lembut-lembutnya. Aku pun berdiri, menyambut beberapa orang dengan senyum lebar mendekati kami. Oma Yazmin dan Opa Firman juga ikut berdiri, tetapi salah satu dari mereka langsung meminta untuk dua orang sepuh itu kembali duduk. Mereka berjabat erat dan saling merangkul, sepertinya memang hubungan mereka sangat baik dan dekat juga dengan dua orang tua itu.
Ibu dan Kakak tertua Ibu yang mewakili Bapak, terus saja berdiri menunggu teman-teman Mas Roman itu sampai ke tempat mereka yang sepertinya masih lebih lama lagi, karena masih terjadi obrolan seru dengan Oma Yazmin dan Opa Firman. Belum lagi mereka akan mengobrol dengan Mas Roman.
Kuberikan kode dengan mataku agar ibuku duduk dulu, tetapi wanita tua itu juga keras kepala. Dia masih saja membawa kebiasaannya dari desa, menjadi keluarga pengantin harus berdiri menyambut tamu undangan yang datang mengucapkan doa secara langsung.
“Ngapain menunggu mereka sambil terus berdiri seperti itu, seperti akan menyambut tamu agung dari mana,” gerutuku dalam hati. Kurasa semua tamu dari pihak Mas Roman mendapatkan perlakuan istimewa, sementara pihak keluargaku tidak, bahkan harus menyesuaikan sedemikian rupa dengan tamu mereka.
Aku berdiri dari kursi pengantin dengan wajah kesal, tetapi ketika mereka sudah ada di depan kami, menyampaikan ucapan selamat, aku tersenyum dengan sendirinya. Memang susah untuk mencoba tidak menjadi diri sendiri, aku sulit memasang wajah kesal pada orang lain.
Mas Roman berbicara dalam bahasa Inggris dengan mereka. Aku paham apa yang mereka bicarakan, karena begini-begini skor toefl-ku di atas lima ratus lima puluh. Hanya saja nasib kurang beruntung, makanya tidak bisa sekolah ke luar negeri seperti Mas Roman.
“Kukira kamu punya tipe wanita yang lebih dari ini,” ucap salah seorang teman wanitanya sambil tertawa terkekeh dan mencolek bahu Mas Roman. Dia mengucapkan dalam bahasa Inggris dan mungkin dia berpikir aku tidak paham apa yang dia ucapkan.
“Dia pilihan Oma,” komentar Mas Roman, juga dalam bahasa Inggris. Hatiku semakin meradang, aku merasa jawaban Mas Roman itu makna lain dari penolakan yang ingin dia lakukan, tetapi karena Oma Yazmin yang memilih, maka dia ikut saja meski aku bukan seleranya.
“Ooh ayolah, ini bukan zamannya Sitti Nurbaya,” sambung temannya yang lain lagi dengan tawa yang tidak kalah lebarnya, seolah sedang menertawakan latar belakang pernikahan kami.
Mulutku sudah sangat ingin menghardik mereka, dan tanganku sudah gatal ingin meninju wajah mereka satu per satu. Berani sekali mereka menertawakan keberadaanku bersanding dengan Mas Roman, memangnya pasangan-pasangan mereka sudah sempurna seperti apa? Atau kisah pernikahan mereka sudah sangat bagus semacam kisah cinta cinderella?
“Kamu melewatkan banyak wanita cantik waktu di Amerika hanya untuk wanita ini?”
“Guys, kalian ke sini bukan untuk menertawakan nasibku, bukan?” ungkap Mas Roman kepada mereka, lalu mereka saling merangkul ala pria dan kembali tertawa terbahak-bahak macam orang tidak waras.
Emosiku semakin menjadi, aku tidak tahan lagi.
“Maaf, apa cara kalian bergurau memang tidak sopan seperti ini?” tanyaku dalam bahasa Inggris yang fasih. Membuat mereka terperanjat, bisa jadi tidak menyangka jika pembicaraan tidak sopan mereka kupahami semuanya.
“Oowh, sayang sekali. Ijazah kalian yang hebat itu, tidak mencerminkan kalian orang berpendidikan. Kalian terlalu meremehkan orang lain,” batinku dalam hati.Kulihat mata Mas Roman memicing menatapku, kuharap karena dia kaget lalu kagum dengan kemampuanku menguasai bahasa internasional seperti halnya dia. Dengan begitu, dia tidak akan menganggap aku remeh.Bukannya merasa bersalah, minta maaf atau apalah yang bisa menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, mereka malah melanjutkan tawa mereka tanpa terlihat ada beban apapun.“Wanitamu sungguh ekspresif, Roman. But, itu akan lebih baik untukmu yang perfeksionis, daripada wanita penyimpan yang tidak akan kamu tahu kenapa dia marah sepanjang hari dan kamu frustasi berkepanjangan” ujar teman Mas Roman masih dengan bahasa Inggris sambil mengedipkan matanya ke arahku, dan aku tidak suka ditatap seperti itu.Kulihat Mas Roman hanya tersenyum datar, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Yang jelas ak
Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang, memastikan bahwa Mas Roman memang tidak ada di kamar ini. Di kamar mandi terkonfirmasi dia tidak ada. Aku semakin yakin begitu melihat tas kerjanya yang tadi malam ada di atas meja sudah tidak ada di tempatnya. Kecewaku seperti datang terus menerus. Kuteruskan langkahku menuju balkon, setidaknya aku akan merasa ditemani ombak pantai.Mataku terkagum dengan suguhan laut tak berbatas, mengeluarkan bunyi desir ombak yang mencoba mendekati daratan meski akhirnya harus kembali ke tengah laut. Sejenak aku lupa dengan rentetan kekecewaan yang dihadirkan Mas Roman.“Seperti apapun aku lari, tetaplah aku harus kembali pada pasung pernikahan yang telah berhasil dipasang Mas Roman padaku,” batinku dengan rentetan tarikan napas panjang untuk membuat bebanku sedikit lebih ringan.Puas memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar. Kukira aku perlu tahu di mana sebenarnya Mas Roman. Kuraih ponselku yang tadi malam sudah berada di kamar ini, sepertinya sudah ad
Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku
“Maaf saya sibuk dengan pekerjaan ke luar kota. Jadi, kita tidak ada pre-wedding. Aku tidak bisa membuang-buang waktu kerjaku hanya untuk hal tidak berguna seperti itu.”“Whaaat? Tidak berguna katanya?” kubuang dengan kasar napasku setelah menariknya dengan dalam dan panjang. Geramku yang hanya kusimpan rapih di hatiku.Nada bicara Mas Roman memang terdengar biasa saja, tanpa volume yang meninggi atau emosi meledak-ledak yang terkesan kasar, hanya saja menyakitkan hati untuk kuterima. Dia tidak paham betapa aku menginginkan kami ada sesi foto itu.Ini salah satu impianku tentang pernikahan. Melihat beberapa temanku yang sudah lebih dulu menikah dengan foto-foto pre-wedding mereka yang romantis di tempat-tempat indah membuatku berimpian yang sama. Haruskah impianku ini menjadi tidak penting baginya? Impianku tentu bagian dari bahagiaku, tidakkah dia ingin membuatku bahagia?“Hanya sehari, Mas. Sulitkah meluangkan waktu sehari saja untuk itu?” tanyaku bermohon. Sungguh aku sangat mengin
Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku
Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang, memastikan bahwa Mas Roman memang tidak ada di kamar ini. Di kamar mandi terkonfirmasi dia tidak ada. Aku semakin yakin begitu melihat tas kerjanya yang tadi malam ada di atas meja sudah tidak ada di tempatnya. Kecewaku seperti datang terus menerus. Kuteruskan langkahku menuju balkon, setidaknya aku akan merasa ditemani ombak pantai.Mataku terkagum dengan suguhan laut tak berbatas, mengeluarkan bunyi desir ombak yang mencoba mendekati daratan meski akhirnya harus kembali ke tengah laut. Sejenak aku lupa dengan rentetan kekecewaan yang dihadirkan Mas Roman.“Seperti apapun aku lari, tetaplah aku harus kembali pada pasung pernikahan yang telah berhasil dipasang Mas Roman padaku,” batinku dengan rentetan tarikan napas panjang untuk membuat bebanku sedikit lebih ringan.Puas memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar. Kukira aku perlu tahu di mana sebenarnya Mas Roman. Kuraih ponselku yang tadi malam sudah berada di kamar ini, sepertinya sudah ad
“Oowh, sayang sekali. Ijazah kalian yang hebat itu, tidak mencerminkan kalian orang berpendidikan. Kalian terlalu meremehkan orang lain,” batinku dalam hati.Kulihat mata Mas Roman memicing menatapku, kuharap karena dia kaget lalu kagum dengan kemampuanku menguasai bahasa internasional seperti halnya dia. Dengan begitu, dia tidak akan menganggap aku remeh.Bukannya merasa bersalah, minta maaf atau apalah yang bisa menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, mereka malah melanjutkan tawa mereka tanpa terlihat ada beban apapun.“Wanitamu sungguh ekspresif, Roman. But, itu akan lebih baik untukmu yang perfeksionis, daripada wanita penyimpan yang tidak akan kamu tahu kenapa dia marah sepanjang hari dan kamu frustasi berkepanjangan” ujar teman Mas Roman masih dengan bahasa Inggris sambil mengedipkan matanya ke arahku, dan aku tidak suka ditatap seperti itu.Kulihat Mas Roman hanya tersenyum datar, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Yang jelas ak
Darahku rasanya mendidih mendengar jawaban Mas Roman. Kulepaskan bunga tangan kami yang sedari tadi kupegang. Seandainya bisa bunga ini kubuang dan kuinjak-injak, akan kulakukan sebagai luapan kemarahanku dan gambaran kekecewaanku atas pesta pernikahan ini.Padahal, ini baru hari pertama dari sekian juta hari yang mungkin akan kulewati bersama Mas Roman yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah sah dan resmi menjadi suamiku, baik secara agama maupun pemerintah.Melihat ke sisi kiri, wajah Ibu masih saja ditekuk. Aku mengenal hati wanita tua itu, pasti dia pun kecewa melihat saudara-saudaranya membentuk kelompok sendiri di bawah sana, dilirik dengan penuh keheranan oleh tamu undangan yang katanya dari kelas atas.Bisa jadi sudah dari tadi mereka menertawakan ketidaktahuan keluargaku tentang hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan. Yang paling menonjol adalah risihnya mereka dengan model tata rambut serta gaun yang mereka kenakan.Gaun mereka yang perempuan, terbuka bagian atas be
“Maaf saya sibuk dengan pekerjaan ke luar kota. Jadi, kita tidak ada pre-wedding. Aku tidak bisa membuang-buang waktu kerjaku hanya untuk hal tidak berguna seperti itu.”“Whaaat? Tidak berguna katanya?” kubuang dengan kasar napasku setelah menariknya dengan dalam dan panjang. Geramku yang hanya kusimpan rapih di hatiku.Nada bicara Mas Roman memang terdengar biasa saja, tanpa volume yang meninggi atau emosi meledak-ledak yang terkesan kasar, hanya saja menyakitkan hati untuk kuterima. Dia tidak paham betapa aku menginginkan kami ada sesi foto itu.Ini salah satu impianku tentang pernikahan. Melihat beberapa temanku yang sudah lebih dulu menikah dengan foto-foto pre-wedding mereka yang romantis di tempat-tempat indah membuatku berimpian yang sama. Haruskah impianku ini menjadi tidak penting baginya? Impianku tentu bagian dari bahagiaku, tidakkah dia ingin membuatku bahagia?“Hanya sehari, Mas. Sulitkah meluangkan waktu sehari saja untuk itu?” tanyaku bermohon. Sungguh aku sangat mengin