Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang, memastikan bahwa Mas Roman memang tidak ada di kamar ini. Di kamar mandi terkonfirmasi dia tidak ada. Aku semakin yakin begitu melihat tas kerjanya yang tadi malam ada di atas meja sudah tidak ada di tempatnya. Kecewaku seperti datang terus menerus. Kuteruskan langkahku menuju balkon, setidaknya aku akan merasa ditemani ombak pantai.
Mataku terkagum dengan suguhan laut tak berbatas, mengeluarkan bunyi desir ombak yang mencoba mendekati daratan meski akhirnya harus kembali ke tengah laut. Sejenak aku lupa dengan rentetan kekecewaan yang dihadirkan Mas Roman.
“Seperti apapun aku lari, tetaplah aku harus kembali pada pasung pernikahan yang telah berhasil dipasang Mas Roman padaku,” batinku dengan rentetan tarikan napas panjang untuk membuat bebanku sedikit lebih ringan.
Puas memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar. Kukira aku perlu tahu di mana sebenarnya Mas Roman. Kuraih ponselku yang tadi malam sudah berada di kamar ini, sepertinya sudah ada yang diperintahkan Mas Roman untuk mengantarkan semua barang-barang pribadi kami ke kamar ini.
Mencoba menghubungi ponsel Mas Roman, sedikit lega ketika nada aktif terdengar olehku yang tiba-tiba berubah menjadi pesan operator yang mengatakan bahwa nomor Mas Roman sedang dialihkan.
“Dialihkan ke siapa?” tanyaku ragu dan sedikit gugup, “jangan-jangan Mas Roman punya wa – “ belum sempat selesai aku menggumam sendiri, sudah terdengar suara wanita yang menerima panggilanku. Dadaku berdegup kencang, “benarkah dugaanku?”
“Selamat pagi, Nyonya Khanza. Saya Linda, sekretaris Tuan Roman,” ucapnya dengan fasih dan suara yang terdengar sangat nyaman bak penyiar radio.
“Oh dewa, apakah benar cerita yang sering kudengar bahwa banyak pengusaha yang jatuh ke pelukan sekretarisnya?” otakku seketika menjadi tidak karuan menanggapi wanita bernama Linda ini.
“Maaf, Nyonya, hallo,” Linda kembali memanggilku.
“Ehh, ya, iya, hallo. Apakah Tuan Roman sedang bersama Anda saat ini?” tanyaku tanpa basa basi, rasa kecewaku seketika menjelma jadi kecemburuan.
Entah wanita itu paham atau tidak rasa cemburu yang sedang kurasakan, yang pasti dia segera mengklarifikasi.
“Maaf, Nyonya, semoga Anda tidak salah paham. Saya sekarang standby di kantor, sementara Tuan Roman terbang ke Singapura tadi subuh dengan jadwal penerbangan pertama.”
“Apaaa? Ke Singapura? Apa dia menjalani bulan madu dengan perempuan lain?” pertanyaan itu keluar begitu saja di mulutku. Hanya dalam hitungan detik aku merasa sedang dibodohi oleh suamiku sendiri. Emosiku memuncak hingga napasku memburu.
“Maaf, Nyonya, tidak seperti itu. Anda sungguh salah paham. Tuan Roman ada pertemuan pengusaha eksport import Asia Tenggara pagi ini.” Klarifikasi yang belum sempurna meredakan emosiku. Tidak ada yang bisa menjamin kebenaran, banyak hal yang bisa dimanipulasi sedemikian rupa. Jadi, bukan tidak mungkin Mas Roman pun melakukan hal yang sama.
“Berapa lama dia akan berada di sana? Apa aku boleh menyusulnya?” Aku tidak peduli akan dianggap terlalu posesif atau pencemburu, yang pasti aku tidak ingin diduakan. Mumpung dia belum menyentuhku sama sekali, maka pernikahan ini tidak akan menyisakan luka mendalam jika memang harus diakhiri karena dia punya wanita lain.
“Tetapi Tuan Roman akan kembali hari ini juga dengan penerbangan terakhir dari Singapura.” Suara Linda terdengar bingung untuk memutuskan.
“Sungguh?” tanyaku dengan polosnya.
“Iya, Nyonya, seperti itu yang tercatat di jadwal besar buku agenda saya. Jadi, mungkin akan percuma jika anda menyusul Tuan ke sana.”
“Ya okelah, asalkan anda tidak membohongi saya untuk menutupi kelakuan bosmu itu ya.” Sebut saja ini semacam ancaman untuk sekretaris Mas Roman. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, tetapi mendengar caranya berbicara yang sopan dan berkelas, sepertinya dia pun bukan wanita sembarangan.
“Sejauh ini anda bisa mempercayai saya, Nyonya.” Kalimat yang cukup menenangkan dan meyakinkan dari Linda. Kuputuskan pembicaraan kami. Aku butuh mandi dan sarapan, “Tidak apalah sarapan sendiri, habis itu aku mau berleha-leha menikmati kesendirian hingga Tuan bawel itu kembali.” Beragam rencana sudah kususun di kepalaku.
“Ngapain harus stres dengannya, bukannya kalau dia sedang tidak ada maka aku bisa santai-santai tanpa dikritik dan disuguhi aturan super duper memusingkan?”
Selesai sarapan aku mau jalan-jalan di sekitar hotel yang ternyata terkoneksi juga dengan pusat perbelanjaan, cuci mata-lah istilahnya. Setelah itu aku kembali ke hotel untuk makan siang, istirahat lalu dilanjutkan dengan main di pantai menunggu matahari terbenam.
“Uuuhh, asiknya punya suami tajir melintir,” ujarku di depan cermin, menghibur diri tidak dilarang ‘kan ya.
Baru saja aku akan masuk ke kamar mandi, terdengar bunyi bel pintu. Aku yang hanya sendirian, menyempatkan diri mengintip di lubang khusus yang tersedia di penampang pintu.
Seorang wanita yang tidak kukenal berdiri di depan pintu, pasti dia yang membunyikan bel pintu.
“Ehm, mungkin petugas dari hotel,” desisku yang masih beranggapan wanita yang datang itu adalah bagian dari layanan kamar president suite, “semoga dia akan memberiku layanan spa gratis,” desisku lagi sambil tersenyum. Maklum dulu ya, aku memang istri konglomerat sekarang, tetapi suamiku belum memberiku nafkah. Jadi, aku harus berhitung dengan sangat ketat jika ingin mengeluarkan uang.
Kubuka pintu kamar dengan senyum sumringah, “Hai, iya, ada apa ya?”
“Selamat pagi, Nyonya Khanza. Nama saya, Winda, orang yang ditugaskan Tuan Roman untuk menemani anda dan mengatur jadwal anda hari ini.”
“Jadwal? Jadwal apaan?”
Pertanyaan itu langsung menghasilkan paparan jadwal yang disampaikan oleh wanita bernama Winda.
“Pukul delapan sarapan, anda bisa memilih akan sarapan di kamar atau turun ke restoran hotel. Pukul sembilan ke ruang fitnes untuk olahraga, sudah ada yang akan memandu anda di sana, selanjutnya istirahat tiga puluh menit untuk kemudian makan si – “
“Sebentar-sebentar, apa maksudnya ini? Aku bukan anak kecil, di rumah sakit aku yang mengatur pasien-pasienku.” Aku protes keras dengan semua jadwal ini, diperlakukan seperti anak kecil tidaklah menyenangkan, kukira kalian juga paham apa yang kurasakan. Ini menjengkelkan.
“Maaf, Nyonya, sayangnya anda tidak sedang berada di rumah sakit sekarang. Saya hanya menjalankan perintah Tuan Roman, saya harap Anda bisa bekerja sama dengan baik,” ucap Winda dengan menundukkan kepala.
Rasanya aku ingin mencengkram leher Mas Roman, tega sekali dia mengurungku di sini dengan segala jadwal gila ini, “Aaargghhhh, aku kesaaaal,” umpatku dalam hati, tanganku mengepal dengan sendirinya akibat dari rasa kesalku yang tidak bisa terlampiaskan.
“Saya lanjutkan kembali, Nyonya. Setelah makan siang anda bisa kembali istirahat dan menuju ruang spa premium pukul empat sore. Pukul enam sore makan malam, dan selanjutnya anda tingga menunggu kepulangan Tuan Roman.”
Mulutku menganga mendengarkan ocehan Winda.
“Apa semua harus terjadwal seperti ini? Bagaimana jika aku makannya lambat? Ehmm, bagaimana jika aku juga ketiduran lama?”
“Saya yakin anda tidak akan mengalaminya, Nyonya. Saya akan berada di dekat anda lima belas menit sebelum jadwal berganti.”
“Ohmaygaaat, apakah aku sedang latihan jadi seorang presiden?” lontarku dengan wajah ditekuk. Kulirik Winda, dia hanya tersenyum, entahlah apa dia sedang menertawakan aku ataukah sebenarnya sedang sedih dengan nasib yang sedang menimpaku.
“Silahkan anda bersiap, Nyonya, jadwal sarapan akan dimulai tiga puluh menit lagi,” ucap Winda lalu berlalu dari depan kamar. Aku menganggu sambil meringis, “sakitnya tuh di sini,” desisku sambil mengusap dada lalu menutup pintu kamar itu.
Benar saja, lima belas menit menuju pukul delapan, bel pintu kembali terdengar. Tidak perlu kuintip lagi siapa yang datang, pasti Winda.
“Mari silahkan, Nyonya, sarapan anda sudah siap. Mau dibawakan ke kamar?”
“Tidak. Aku mau keluar cari angin, aku bisa sesak napas dikurung di sini.”
Ucapan nyelenehku yang lagi-lagi hanya disambut dengan senyum oleh Winda.
Memasuki restoran, aku dipersilahkan duduk di sebuah meja yang di atasnya sudah tersaji beragam makanan, tetapi semuanya seperti tidak menarik bagiku. Aku melipir ke meja panjang yang di atasnya sudah tersaji makanan yang harumnya menarik penciumanku.
“Maaf, Nyonya makanan anda sudah disiapkan di sini,” cegah Winda ketika aku mulai mengambil piring yang disediakan di dekat meja panjang.
“Tapi aku tidak suka menu yang di situ,” jawabku santai.
“Itu menu sarapan yang diperintahkan Tuan Roman khusus untuk anda.”
“Whaaat? Sampai menu makananku juga harus ikuti aturannya?” tanyaku dengan emosi.
Winda tersenyum sambil mempersilahkan aku untuk kembali duduk di meja yang sudah disiapkan khusus untukku.
“Awaaas kamu Mas Roman, aku akan membalas perlakuanmu ini,” geramku dalam hati.
Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku
“Maaf saya sibuk dengan pekerjaan ke luar kota. Jadi, kita tidak ada pre-wedding. Aku tidak bisa membuang-buang waktu kerjaku hanya untuk hal tidak berguna seperti itu.”“Whaaat? Tidak berguna katanya?” kubuang dengan kasar napasku setelah menariknya dengan dalam dan panjang. Geramku yang hanya kusimpan rapih di hatiku.Nada bicara Mas Roman memang terdengar biasa saja, tanpa volume yang meninggi atau emosi meledak-ledak yang terkesan kasar, hanya saja menyakitkan hati untuk kuterima. Dia tidak paham betapa aku menginginkan kami ada sesi foto itu.Ini salah satu impianku tentang pernikahan. Melihat beberapa temanku yang sudah lebih dulu menikah dengan foto-foto pre-wedding mereka yang romantis di tempat-tempat indah membuatku berimpian yang sama. Haruskah impianku ini menjadi tidak penting baginya? Impianku tentu bagian dari bahagiaku, tidakkah dia ingin membuatku bahagia?“Hanya sehari, Mas. Sulitkah meluangkan waktu sehari saja untuk itu?” tanyaku bermohon. Sungguh aku sangat mengin
Darahku rasanya mendidih mendengar jawaban Mas Roman. Kulepaskan bunga tangan kami yang sedari tadi kupegang. Seandainya bisa bunga ini kubuang dan kuinjak-injak, akan kulakukan sebagai luapan kemarahanku dan gambaran kekecewaanku atas pesta pernikahan ini.Padahal, ini baru hari pertama dari sekian juta hari yang mungkin akan kulewati bersama Mas Roman yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah sah dan resmi menjadi suamiku, baik secara agama maupun pemerintah.Melihat ke sisi kiri, wajah Ibu masih saja ditekuk. Aku mengenal hati wanita tua itu, pasti dia pun kecewa melihat saudara-saudaranya membentuk kelompok sendiri di bawah sana, dilirik dengan penuh keheranan oleh tamu undangan yang katanya dari kelas atas.Bisa jadi sudah dari tadi mereka menertawakan ketidaktahuan keluargaku tentang hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan. Yang paling menonjol adalah risihnya mereka dengan model tata rambut serta gaun yang mereka kenakan.Gaun mereka yang perempuan, terbuka bagian atas be
“Oowh, sayang sekali. Ijazah kalian yang hebat itu, tidak mencerminkan kalian orang berpendidikan. Kalian terlalu meremehkan orang lain,” batinku dalam hati.Kulihat mata Mas Roman memicing menatapku, kuharap karena dia kaget lalu kagum dengan kemampuanku menguasai bahasa internasional seperti halnya dia. Dengan begitu, dia tidak akan menganggap aku remeh.Bukannya merasa bersalah, minta maaf atau apalah yang bisa menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, mereka malah melanjutkan tawa mereka tanpa terlihat ada beban apapun.“Wanitamu sungguh ekspresif, Roman. But, itu akan lebih baik untukmu yang perfeksionis, daripada wanita penyimpan yang tidak akan kamu tahu kenapa dia marah sepanjang hari dan kamu frustasi berkepanjangan” ujar teman Mas Roman masih dengan bahasa Inggris sambil mengedipkan matanya ke arahku, dan aku tidak suka ditatap seperti itu.Kulihat Mas Roman hanya tersenyum datar, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Yang jelas ak
Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku
Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang, memastikan bahwa Mas Roman memang tidak ada di kamar ini. Di kamar mandi terkonfirmasi dia tidak ada. Aku semakin yakin begitu melihat tas kerjanya yang tadi malam ada di atas meja sudah tidak ada di tempatnya. Kecewaku seperti datang terus menerus. Kuteruskan langkahku menuju balkon, setidaknya aku akan merasa ditemani ombak pantai.Mataku terkagum dengan suguhan laut tak berbatas, mengeluarkan bunyi desir ombak yang mencoba mendekati daratan meski akhirnya harus kembali ke tengah laut. Sejenak aku lupa dengan rentetan kekecewaan yang dihadirkan Mas Roman.“Seperti apapun aku lari, tetaplah aku harus kembali pada pasung pernikahan yang telah berhasil dipasang Mas Roman padaku,” batinku dengan rentetan tarikan napas panjang untuk membuat bebanku sedikit lebih ringan.Puas memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar. Kukira aku perlu tahu di mana sebenarnya Mas Roman. Kuraih ponselku yang tadi malam sudah berada di kamar ini, sepertinya sudah ad
“Oowh, sayang sekali. Ijazah kalian yang hebat itu, tidak mencerminkan kalian orang berpendidikan. Kalian terlalu meremehkan orang lain,” batinku dalam hati.Kulihat mata Mas Roman memicing menatapku, kuharap karena dia kaget lalu kagum dengan kemampuanku menguasai bahasa internasional seperti halnya dia. Dengan begitu, dia tidak akan menganggap aku remeh.Bukannya merasa bersalah, minta maaf atau apalah yang bisa menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, mereka malah melanjutkan tawa mereka tanpa terlihat ada beban apapun.“Wanitamu sungguh ekspresif, Roman. But, itu akan lebih baik untukmu yang perfeksionis, daripada wanita penyimpan yang tidak akan kamu tahu kenapa dia marah sepanjang hari dan kamu frustasi berkepanjangan” ujar teman Mas Roman masih dengan bahasa Inggris sambil mengedipkan matanya ke arahku, dan aku tidak suka ditatap seperti itu.Kulihat Mas Roman hanya tersenyum datar, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Yang jelas ak
Darahku rasanya mendidih mendengar jawaban Mas Roman. Kulepaskan bunga tangan kami yang sedari tadi kupegang. Seandainya bisa bunga ini kubuang dan kuinjak-injak, akan kulakukan sebagai luapan kemarahanku dan gambaran kekecewaanku atas pesta pernikahan ini.Padahal, ini baru hari pertama dari sekian juta hari yang mungkin akan kulewati bersama Mas Roman yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah sah dan resmi menjadi suamiku, baik secara agama maupun pemerintah.Melihat ke sisi kiri, wajah Ibu masih saja ditekuk. Aku mengenal hati wanita tua itu, pasti dia pun kecewa melihat saudara-saudaranya membentuk kelompok sendiri di bawah sana, dilirik dengan penuh keheranan oleh tamu undangan yang katanya dari kelas atas.Bisa jadi sudah dari tadi mereka menertawakan ketidaktahuan keluargaku tentang hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan. Yang paling menonjol adalah risihnya mereka dengan model tata rambut serta gaun yang mereka kenakan.Gaun mereka yang perempuan, terbuka bagian atas be
“Maaf saya sibuk dengan pekerjaan ke luar kota. Jadi, kita tidak ada pre-wedding. Aku tidak bisa membuang-buang waktu kerjaku hanya untuk hal tidak berguna seperti itu.”“Whaaat? Tidak berguna katanya?” kubuang dengan kasar napasku setelah menariknya dengan dalam dan panjang. Geramku yang hanya kusimpan rapih di hatiku.Nada bicara Mas Roman memang terdengar biasa saja, tanpa volume yang meninggi atau emosi meledak-ledak yang terkesan kasar, hanya saja menyakitkan hati untuk kuterima. Dia tidak paham betapa aku menginginkan kami ada sesi foto itu.Ini salah satu impianku tentang pernikahan. Melihat beberapa temanku yang sudah lebih dulu menikah dengan foto-foto pre-wedding mereka yang romantis di tempat-tempat indah membuatku berimpian yang sama. Haruskah impianku ini menjadi tidak penting baginya? Impianku tentu bagian dari bahagiaku, tidakkah dia ingin membuatku bahagia?“Hanya sehari, Mas. Sulitkah meluangkan waktu sehari saja untuk itu?” tanyaku bermohon. Sungguh aku sangat mengin