“Oowh, sayang sekali. Ijazah kalian yang hebat itu, tidak mencerminkan kalian orang berpendidikan. Kalian terlalu meremehkan orang lain,” batinku dalam hati.
Kulihat mata Mas Roman memicing menatapku, kuharap karena dia kaget lalu kagum dengan kemampuanku menguasai bahasa internasional seperti halnya dia. Dengan begitu, dia tidak akan menganggap aku remeh.
Bukannya merasa bersalah, minta maaf atau apalah yang bisa menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, mereka malah melanjutkan tawa mereka tanpa terlihat ada beban apapun.
“Wanitamu sungguh ekspresif, Roman. But, itu akan lebih baik untukmu yang perfeksionis, daripada wanita penyimpan yang tidak akan kamu tahu kenapa dia marah sepanjang hari dan kamu frustasi berkepanjangan” ujar teman Mas Roman masih dengan bahasa Inggris sambil mengedipkan matanya ke arahku, dan aku tidak suka ditatap seperti itu.
Kulihat Mas Roman hanya tersenyum datar, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Yang jelas aku cukup puas meski hanya dengan matanya yang memicing ke arahku tadi, setidaknya ada hal berbeda yang bisa dilihatnya dariku. Tidak semata sebagai gadis malang yang bisa menyelesaikan kuliah dengan pengasihan dari Oma dan Opa-nya.
Kepuasan itu membuatku tidak peduli lagi dengan omongan maupun bahasa tubuh teman-temannya Mas Roman yang sempat membuatku meradang. Kami pun foto bersama, senyum berusaha kuberikan agar tidak merusak satu pun momentum mengabadikan acara bahagia sekali seumur hidup ini.
Setelah beberapa jam menjadi pusat perhatian di gedung mewah ini, perut sudah terisi dengan baik, acara pun usai. Aku hanya sempat menyapa Ibuku sebentar sekalian berpamitan, kemudian turun menemui keluarga besarku dari desa. Mendengar sebentar keluhan mereka yang disampaikan sambil tertawa, sarat dengan kepolosan tanpa menyalahkan siapapun. Jelas saja aku lega dan bisa dengan tenang dibawa oleh Mas Roman yang aku sendiri tidak tahu ke mana dia akan membawaku di malam pengantin kami.
Beberapa kali Roman tersenyum, berjabat tangan dan masih berbincang sebentar dengan beberapa orang yang mungkin dianggapnya penting saat kami mencapai selasar mewah depan ballroom. Sementara tadi dengan keluarga besarku, dia hanya berjabat tangan nyaris tanpa senyum, lalu berjalan meninggalkan aku yang masih tinggal sedikit lebih lama darinya.
“Di mana kamar kita? Aku sangat lelah,” ucapku sambil beberapa kali mengangkat lebih tinggi gaunku yang lumayan berat bagian bawahnya, agar aku bisa berjalan lebih cepat. Rasanya sepatu berhak sembilan sentimeter ini pun ingin kutenteng saja agar otot betis dan engkelku bisa lebih cepat istirahat.
“Tunggulah sampai sopir menjemput kita di selasar ini,” jawab Roman dengan tenang. Berdiri sambil memasukkan salah satu tangannya ke saku celananya yang hampir membuatku semaput karena ternyata setelan jasnya itu dipesan langsung dari Paris dengan harga yang fantastis. Itu informasi yang kudapat dari petugas butik rekanan import ketika Oma Yazmin memintaku mengambil pesanan itu.
“Bukannya kamar-kamar di hotel ini tidak jauh? Kenapa harus memakai mobil segala?” kusambung pertanyaanku, tanganku sudah mulai pegal memegang bagian bawah gaunku ini. Jangan berpikir Mas Roman peduli dan empati denganku sehingga membantuku memegang gaunku ini, sudah kubilang tadi ‘kan kalau suamiku ini hatinya terbuat dari batu es.
“Kita tidak menginap di sini,” jawabnya singkat.
“Lalu di mana kita akan menginap? Jangan bilang kita akan menginap di rumah. Di sana sangat sepi, hanya ada pegawai dan asisten rumah tangga.”
Mas Roman memutar badannya hingga berhadapan persis denganku.
“Apa pasienmu tidak frustasi dengan kebiasaanmu ini?” sorot mata Mas Roman terlihat seperti menatapku dengan anggapan bahwa aku manusia aneh yang sangat suka bicara.
“Kenapa kamu sangat suka merendahkan aku? Aku yang suka bicara, apa salah? Aku bisa juga mengatakan kamu pria pendiam yang menjengkelkan.” Aku jadi tidak bisa menahan kekesalanku, karena terus saja disalahkan.
Semakin membuat aku kesal, karena Mas Roman tidak ada tanda-tanda kemarahannya akan terpancing. Dengan tenang dia menatap ke arah datangnya mobil dengan sorot lampunya. Mobil mewah yang sangat kusukai modelnya, dulu hanya bisa menontonnya di video terbuka saat iseng berselancar di internet. Sekarang aku akan sering berada di mobil ini, mungkin kisahku ini hanya beda tipis dengan kisah cinderella.
Sopir membukakan kami pintu, aku pun akhirnya bisa menikmati mewah dan empuknya mobil sultan ini. Inilah suamiku, entah apa maksudnya sehingga sebelumnya aku tidak pernah diajak naik mobil mewahnya ini. Mas Roman akan menjemputku dengan mobil operasional kantor yang biasa saja meski memang tergolong mewah juga untuk kalangan berekonomi biasa seperti kami. Anggap saja dia tidak ingin aku hanya terbuai dengan kekayaan yang dia miliki. Berpikir positif saja, tidak ada salahnya.
“Lalu Ibu dan keluarga besarku akan menginap di mana?” kukira aku juga harus memastikan jika keluargaku mendapatkan tempat menginap yang layak. Cukup sudah mereka jadi sorotan tidak menyenangkan saat di resepsi mewah kami.
“Mereka akan baik-baik saja.” jawaban singkat dan terkesan dingin yang benar-benar membuatku muak. Aku benci dengan cara berkomunikasi seperti ini.
“Apa benar kita suami-istri?” tanyaku dengan maksud menyindir Mas Roman. Dia tersenyum miring dengan tatapan tetap lurus ke depan tanpa menatapku yang sedari tadi menatapnya meski membuat leherku tidak nyaman.
“Pertanyaan bodoh,” ucapnya dengan suara pelan, tetapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Lalu dia diam, memangku kakinya dan menatap santai ke depan. Tidak menggubrisku, menggagalkan rencanaku yang hendak meyinggung cara dia berkomunikasi denganku.
Kami pun tiba di sebuah hotel mewah yang aku sendiri tidak menyangka jika ada hotel sebesar itu di kota ini. Kota yang sudah enam tahun menjadi kota keduaku. Saat aku turun dari mobil, aku bisa mendengar suara debur ombak dan mencium aroma air laut yang khas.
Mas Roman masuk duluan ke dalam lobby, menuju meja resepsionis dan kulihat menyerahkan sebuah kartu yang dia keluarkan dari dompetnya. Tidak menunggu lama, kunci kartu dari petugas resepsionis sudah berpindah ke tangan Mas Roman. Selanjutnya senyum hangat dari petugas resepsionis.
“Semoga honeymoonnya menyenangkan, selamat malam.”
Aaah iya, benar, malam ini akan menjadi titik awal perubahan statusku, dari wanita lajang menjadi wanita bersuami. Harus kuserahkan pada Mas Roman, apa yang selama ini kujaga sebagai mahkota berhargaku sebagai seorang wanita, di mana harga diriku menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari mahkotaku ini.
Lampu kamar menyala begitu kunci kartu dimasukkan Mas Roman di saklar. Aku terkagum dengan fasilitas di kamar ini, “Woouw, apa ini yang disebut president suite?” batinku. Beberapa kali mataku mengerjap untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi ada di kamar mewah seperti ini.
Tatapanku semakin terpukau begitu mengintip dari balik tirai besar, pemandangan di luar sana. Lampu-lampu sorot yang menerangi taman pohon palm di pinggiran pantai, memesona mataku untuk terus menatapnya.
“Mandilah duluan! Apa perlu kubantu membuka gaunmu itu?” pertanyaan Mas Roman yang membuatku kaget dan seketika meremas gaunku.
“Membantu membuka gaunku? Dia akan melihat semuanya, hingga tidak ada yang dapat kusembunyikan darinya?” pikiranku menjelajah dengan liar, lalu kembali terkejut dengan suara Mas Roman yang sedikit lebih keras dari sebelumnya.
“Khanza, apa kamu mendengar apa yang kukatakan?”
Aku terkesiap, lalu mengangguk dengan cepat, kemudian mengubah lagi dengan menggeleng, “Tidak, aku akan melakukannya sendiri.”
“Oke, lakukan sekarang, karena kamar mandi hanya ada satu, meski ini tipe president suite.” Suaranya tegas tanpa basa-basi.
“Ups, benar, ini tipe kamar fantastis untuk semua tipe hotel berbintang.” Aku menggumam dalam hati. Segera aku masuk ke kamar mandi yang ternyata tidak juga kurang luasnya, bahkan mengalahkan luasnya kamarku di desa.
Aku pun keluar sudah dengan pakaian tidur yang disiapkan di dalam nakas kamar mandi kering, di tanganku ada gaun pengantin yang sudah kugulung sedemikian rupa. Kumasukkan gaun itu ke kantong besar yang ditunjuk Mas Roman sebelum dia masuk ke kamar mandi. Lega dan segar rasanya setelah hampir seharian tubuhku tidak diguyur air.
Setelah rambut selesai kukeringkan, kurebahkan tubuhku di ranjang. Meregangkan otot-otot tubuh yang nyaris semuanya pegal dan menegang. Hampir saja aku tertidur ketika aku kaget karena Mas Roman keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih agak basah, acak karena belum sisiran.
“Ternyata bentuk tubuhnya seksi juga,” batinku. Harap maklum karena baru kali ini dia kulihat mengenakan kaos ketat, membuat massa otot tubuhnya tergambar dengan baik di penglihatanku.
Sejenak pikiranku jadi mengada-ada, “Aku harus membiasakan tubuhku bersentuhan dengan tubuh berotot itu.” Bulu kudukku meremang, lalu segera kuusap dengan telapak tangan agar berhenti ketegangannya.
Kulungsurkan tubuhku ke bawah lalu menutup tubuhku hingga kepala dengan bed cover. Aku sedikit gugup, hingga rasanya tubuh sangat lelah tetapi mata jadi sulit terpejam. Aku intip apa yang akan Mas Roman lakukan.
“Ya ampun, dia masih sempat-sempatnya membuka laptop untuk kerja?” aku berdecak sendiri di balik bed cover. Kumiringkan badanku dan menatap lampu tidur, pikiranku menerawang, seolah tidak percaya jika sekarang aku sudah punya tanggungjawab sebagai istri. Beberapa kali kutarik napas panjang, apakah harus bersyukur dengan pernikahan ini, ataukah ini adalah pasung yang akan mengikatku seumur hidup.
Selanjutnya aku tidak tahu lagi apa yang sedang kupikirkan sampai aku terbangun tiba-tiba, menatap ke sebelahku yang telah kosong. Mas Roman tidak ada di sana, sepertinya tidak ada juga di kamar mandi. Di kamar ini aku hanya sendirian.
“Mas Roman kemana? Apa dia tidur di kamar yang lain?”
Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang, memastikan bahwa Mas Roman memang tidak ada di kamar ini. Di kamar mandi terkonfirmasi dia tidak ada. Aku semakin yakin begitu melihat tas kerjanya yang tadi malam ada di atas meja sudah tidak ada di tempatnya. Kecewaku seperti datang terus menerus. Kuteruskan langkahku menuju balkon, setidaknya aku akan merasa ditemani ombak pantai.Mataku terkagum dengan suguhan laut tak berbatas, mengeluarkan bunyi desir ombak yang mencoba mendekati daratan meski akhirnya harus kembali ke tengah laut. Sejenak aku lupa dengan rentetan kekecewaan yang dihadirkan Mas Roman.“Seperti apapun aku lari, tetaplah aku harus kembali pada pasung pernikahan yang telah berhasil dipasang Mas Roman padaku,” batinku dengan rentetan tarikan napas panjang untuk membuat bebanku sedikit lebih ringan.Puas memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar. Kukira aku perlu tahu di mana sebenarnya Mas Roman. Kuraih ponselku yang tadi malam sudah berada di kamar ini, sepertinya sudah ad
Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku
“Maaf saya sibuk dengan pekerjaan ke luar kota. Jadi, kita tidak ada pre-wedding. Aku tidak bisa membuang-buang waktu kerjaku hanya untuk hal tidak berguna seperti itu.”“Whaaat? Tidak berguna katanya?” kubuang dengan kasar napasku setelah menariknya dengan dalam dan panjang. Geramku yang hanya kusimpan rapih di hatiku.Nada bicara Mas Roman memang terdengar biasa saja, tanpa volume yang meninggi atau emosi meledak-ledak yang terkesan kasar, hanya saja menyakitkan hati untuk kuterima. Dia tidak paham betapa aku menginginkan kami ada sesi foto itu.Ini salah satu impianku tentang pernikahan. Melihat beberapa temanku yang sudah lebih dulu menikah dengan foto-foto pre-wedding mereka yang romantis di tempat-tempat indah membuatku berimpian yang sama. Haruskah impianku ini menjadi tidak penting baginya? Impianku tentu bagian dari bahagiaku, tidakkah dia ingin membuatku bahagia?“Hanya sehari, Mas. Sulitkah meluangkan waktu sehari saja untuk itu?” tanyaku bermohon. Sungguh aku sangat mengin
Darahku rasanya mendidih mendengar jawaban Mas Roman. Kulepaskan bunga tangan kami yang sedari tadi kupegang. Seandainya bisa bunga ini kubuang dan kuinjak-injak, akan kulakukan sebagai luapan kemarahanku dan gambaran kekecewaanku atas pesta pernikahan ini.Padahal, ini baru hari pertama dari sekian juta hari yang mungkin akan kulewati bersama Mas Roman yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah sah dan resmi menjadi suamiku, baik secara agama maupun pemerintah.Melihat ke sisi kiri, wajah Ibu masih saja ditekuk. Aku mengenal hati wanita tua itu, pasti dia pun kecewa melihat saudara-saudaranya membentuk kelompok sendiri di bawah sana, dilirik dengan penuh keheranan oleh tamu undangan yang katanya dari kelas atas.Bisa jadi sudah dari tadi mereka menertawakan ketidaktahuan keluargaku tentang hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan. Yang paling menonjol adalah risihnya mereka dengan model tata rambut serta gaun yang mereka kenakan.Gaun mereka yang perempuan, terbuka bagian atas be
Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku
Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang, memastikan bahwa Mas Roman memang tidak ada di kamar ini. Di kamar mandi terkonfirmasi dia tidak ada. Aku semakin yakin begitu melihat tas kerjanya yang tadi malam ada di atas meja sudah tidak ada di tempatnya. Kecewaku seperti datang terus menerus. Kuteruskan langkahku menuju balkon, setidaknya aku akan merasa ditemani ombak pantai.Mataku terkagum dengan suguhan laut tak berbatas, mengeluarkan bunyi desir ombak yang mencoba mendekati daratan meski akhirnya harus kembali ke tengah laut. Sejenak aku lupa dengan rentetan kekecewaan yang dihadirkan Mas Roman.“Seperti apapun aku lari, tetaplah aku harus kembali pada pasung pernikahan yang telah berhasil dipasang Mas Roman padaku,” batinku dengan rentetan tarikan napas panjang untuk membuat bebanku sedikit lebih ringan.Puas memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar. Kukira aku perlu tahu di mana sebenarnya Mas Roman. Kuraih ponselku yang tadi malam sudah berada di kamar ini, sepertinya sudah ad
“Oowh, sayang sekali. Ijazah kalian yang hebat itu, tidak mencerminkan kalian orang berpendidikan. Kalian terlalu meremehkan orang lain,” batinku dalam hati.Kulihat mata Mas Roman memicing menatapku, kuharap karena dia kaget lalu kagum dengan kemampuanku menguasai bahasa internasional seperti halnya dia. Dengan begitu, dia tidak akan menganggap aku remeh.Bukannya merasa bersalah, minta maaf atau apalah yang bisa menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, mereka malah melanjutkan tawa mereka tanpa terlihat ada beban apapun.“Wanitamu sungguh ekspresif, Roman. But, itu akan lebih baik untukmu yang perfeksionis, daripada wanita penyimpan yang tidak akan kamu tahu kenapa dia marah sepanjang hari dan kamu frustasi berkepanjangan” ujar teman Mas Roman masih dengan bahasa Inggris sambil mengedipkan matanya ke arahku, dan aku tidak suka ditatap seperti itu.Kulihat Mas Roman hanya tersenyum datar, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Yang jelas ak
Darahku rasanya mendidih mendengar jawaban Mas Roman. Kulepaskan bunga tangan kami yang sedari tadi kupegang. Seandainya bisa bunga ini kubuang dan kuinjak-injak, akan kulakukan sebagai luapan kemarahanku dan gambaran kekecewaanku atas pesta pernikahan ini.Padahal, ini baru hari pertama dari sekian juta hari yang mungkin akan kulewati bersama Mas Roman yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah sah dan resmi menjadi suamiku, baik secara agama maupun pemerintah.Melihat ke sisi kiri, wajah Ibu masih saja ditekuk. Aku mengenal hati wanita tua itu, pasti dia pun kecewa melihat saudara-saudaranya membentuk kelompok sendiri di bawah sana, dilirik dengan penuh keheranan oleh tamu undangan yang katanya dari kelas atas.Bisa jadi sudah dari tadi mereka menertawakan ketidaktahuan keluargaku tentang hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan. Yang paling menonjol adalah risihnya mereka dengan model tata rambut serta gaun yang mereka kenakan.Gaun mereka yang perempuan, terbuka bagian atas be
“Maaf saya sibuk dengan pekerjaan ke luar kota. Jadi, kita tidak ada pre-wedding. Aku tidak bisa membuang-buang waktu kerjaku hanya untuk hal tidak berguna seperti itu.”“Whaaat? Tidak berguna katanya?” kubuang dengan kasar napasku setelah menariknya dengan dalam dan panjang. Geramku yang hanya kusimpan rapih di hatiku.Nada bicara Mas Roman memang terdengar biasa saja, tanpa volume yang meninggi atau emosi meledak-ledak yang terkesan kasar, hanya saja menyakitkan hati untuk kuterima. Dia tidak paham betapa aku menginginkan kami ada sesi foto itu.Ini salah satu impianku tentang pernikahan. Melihat beberapa temanku yang sudah lebih dulu menikah dengan foto-foto pre-wedding mereka yang romantis di tempat-tempat indah membuatku berimpian yang sama. Haruskah impianku ini menjadi tidak penting baginya? Impianku tentu bagian dari bahagiaku, tidakkah dia ingin membuatku bahagia?“Hanya sehari, Mas. Sulitkah meluangkan waktu sehari saja untuk itu?” tanyaku bermohon. Sungguh aku sangat mengin