“Maaf saya sibuk dengan pekerjaan ke luar kota. Jadi, kita tidak ada pre-wedding. Aku tidak bisa membuang-buang waktu kerjaku hanya untuk hal tidak berguna seperti itu.”
“Whaaat? Tidak berguna katanya?” kubuang dengan kasar napasku setelah menariknya dengan dalam dan panjang. Geramku yang hanya kusimpan rapih di hatiku.
Nada bicara Mas Roman memang terdengar biasa saja, tanpa volume yang meninggi atau emosi meledak-ledak yang terkesan kasar, hanya saja menyakitkan hati untuk kuterima. Dia tidak paham betapa aku menginginkan kami ada sesi foto itu.
Ini salah satu impianku tentang pernikahan. Melihat beberapa temanku yang sudah lebih dulu menikah dengan foto-foto pre-wedding mereka yang romantis di tempat-tempat indah membuatku berimpian yang sama. Haruskah impianku ini menjadi tidak penting baginya? Impianku tentu bagian dari bahagiaku, tidakkah dia ingin membuatku bahagia?
“Hanya sehari, Mas. Sulitkah meluangkan waktu sehari saja untuk itu?” tanyaku bermohon. Sungguh aku sangat menginginkan punya foto-foto romantis dan unik yang akan kupajang di rumah kita. Aku sudah punya konsep tentang itu, sesuai profesi kita masing-masing,” ucapku yang masih berharap hati Mas Roman akan tersentuh.
Mas Roman hanya menatapku sambil lalu, tersenyum mengejek seolah permintaanku hanyalah permintaan anak kecil yang tidak harus dituruti. Atau bisa jadi dia berpikir jika permohonanku hanya seperti angin sepoi yang meniup, tak ada artinya. Akhirnya, kurelakan melepas impian yang sudah terkonsep baik di kepalaku.
Aku dengan jas dokterku sambil memegang stetoscope, lalu Mas Roman dengan tampilan setelah jas sesuai profesinya sebagai pengusaha sukses. Iya, calon suamiku itu memiliki pabrik makanan dan minuman. Sekarang, sedang melebarkan sayap bisnisnya ke property jasa hotel dan resort di kota-kota pariwisata. Yang kutahu, pundi-pundi tabungannya bisa terisi hingga ratusan juta dalam sebulan.
“Yang terpenting dalam pernikahan adalah ke-sah-annya dan bagaimana setelahnya,” ucap Mas Roman tanpa menatapku. Dia hanya sibuk menatap layar ponselnya dengan sesekali dahinya mengerut, jari telunjuk tangannya mengusap hidungnya sesaat, lalu kembali lagi mengusap layar ponselnya yang berinci besar. Ketika aku berdiri untuk memesan air mineral di meja kasir, sepintas kulihat tampilan layar ponselnya adalah grafik-grafik yang tidak kumengerti sama sekali.
Jika menjelang pernikahan yang tinggal sebulan lagi model kencannya saja seperti ini, maka jangan ditanya bagaimana di waktu-waktu sebelumnya. Mas Roman dingin macam batu es, bicara hanya sepatah dua kata, membuatku hampir menyerah.
“Oma Yazmin, sepertinya aku tidak sanggup menikah dengan Mas Roman. Dia terlalu dingin untuk urusan cinta mencinta, dia hanya tertarik dengan urusan kerjaannya,” keluhku dua bulan lalu, ketika sudah dua bulan juga aku dan Mas Roman resmi berniat untuk saling mengenal dan menjajaki sebelum pernikahan.
“Oma tidak akan memaksa. Kamu bebas menentukan pilihanmu. Pernikahan hanya sekali seumur hidup, pilihlah yang terbaik.”
Sayangnya, keikhlasan Oma Yazmin itu malah membuat aku terpasung sendiri dalam pilihan untuk menerima Mas Roman dengan ikhlas juga. Aku berhutang budi pada Oma Yazmin sejak Om Robby masuk penjara karena korupsi yang membuat bantuan kuliahku pun otomatis berhenti. Sementara Ibu di desa tidak bisa mencukupi semua kebutuhan kuliahku yang baru memasuki semester empat di Fakultas Kedokteran salah satu universitas negeri di kota ini, Jogjakarta.
Akupun terpaksa harus mencari rumah kos murah dan terjangkau kantong, karena rumah Om Robby pun ikut disita. Jadilah aku bekerja paruh waktu menjaga Oma Yazmin dan Opa Firman, sekaligus bisa tinggal gratis di rumah kos milik mereka di dekat kampus. Mereka hadir di saat yang tepat, ibarat kapal penolong saat badai besar menghantam kapalku yang sudah terlanjur di laut dalam.
Pekerjaan paruh waktu inilah yang akhirnya membuatku bisa menyelesaikan kuliah dan Co-Ass hingga sekarang sudah bisa bekerja kontrak di rumah sakit swasta sebagai dokter umum yang ditempatkan di bagian Intalasi Gawat Darurat.
Bisa dibilang, uang yang diberikan Oma Yazmin sudah berjuta-juta jika dihitung, tidak sebanding dengan upah bekerjaku yang sesuai kontrak hanya satu juta rupiah untuk pukul delapan malam hingga keesokan paginya pukul enam. Gantian dengan dua perawat yang akan bergantian datang pagi hingga pukul delapan malam. Itu pun gajiku tidak pernah dipotong dengan semua hutang-hutangku itu.
Ya sudahlah, aku tidak akan berdebat lagi hanya karena tidak ada sesi foto pre-wedding. Jika kata-kata Mas Roman kesannya lebih mengedepankan bagaimana pernikahan itu akan dijalani, maka aku berekspektasi dia akan membahagiakan aku setelah status kami resmi menikah.
Dua bulan kemudian …
Sakit hati dan kekecewaanku yang sudah berusaha kukendalikan gara-gara foto pre-wedding dua bulan lalu, akhirnya harus kembali lagi dalam rupa yang berbeda meski masih satu rangkaian dengan pesta pernikahan kami.
Pesta pernikahan kami digelar di gedung megah berkelas premium. Tamu undangan terhormat banyak yang hadir karena hubungan mereka terjalin baik dengan Roman, apalah penampakan keluarga besarku dari desa.
Meski sudah dari sehari sebelumnya dibawa ke salon agar dibuat kinclong dan tidak kusam kulitnya, dipakaikan gaun-gaun mahal dan mewah, tetap saja mereka nampak sebagai orang desa yang terlihat udik sekaligus risih sendiri memakai pakaian dengan desain-desain seperti itu.
Aku sudah bilang pada Mas Roman untuk memakaikan saja mereka pakaian-pakaian dengan desain yang biasa mereka pakai kalau kondangan di desa, paling hanya dimodifikasi sedikit desainnya agar tetap terlihat modern dan berkelas.
Namun, entah siapa yang membuat mereka berpenampilan seperti itu, mirip dakocan yang jadi tontonan tamu undangan dari kalangan kelas atas. Sebenarnya bukan hanya karena desain baju dan aksesoris yang mereka kenakan, tetapi juga bahasa tubuh mereka.
“Ibu tahu keluarga suamimu dari kalangan orang kaya, tetapi janganlah buat keluarga kita jadi seperti itu,” protes Ibu disela-sela kami foto bersama di atas panggung gedung mewah ini. Pernyataan Ibu yang membuat hatiku perih dan merasa sangat bersalah. Aku sungguh tidak ada niat membuat keluargaku disorot seperti itu meski mereka dari desa.
“Maaf, Bu, Khanza tidak tahu siapa yang mengatur bagian itu.”
Hanya permohonan maaf itu yang bisa kuucapkan pada Ibu. Memang salahku, karena aku pun sudah tidak memeriksa lagi ke bagian Event Organizer yang dipercaya Mas Roman untuk mengurus pesta pernikahan kami ini.
Aku sudah sangat percaya Mas Roman akan mengatur apa yang kupesankan padanya mengenai kostum keluargaku. Inilah juga salah satu kekecewaanku pada Mas Roman, komunikasi kami tidak terjalin dengan baik. Dia sibuk dengan pekerjaannya dan aku merasa tidak diberi ruang untuk ikut mengatur persiapan pernikahan kami.
“Tidak perlu repot dengan urusan yang tidak penting. Sudah kuserahkan semua pengaturan ke bagian EO, tinggal duduk dan ikuti semua rangkaian acaranya.” Itu yang dia sampaikan padaku, ketika aku mulai membahas tentang bentuk acara resepsi kami itu.
“Bagaimana ini tidak penting, ini acara pernikahan kita yang hanya akan berlangsung sekali seumur hidup, Mas?” protesku kala itu. Aku merasa dikesampingkan, rasanya seperti bukan aku yang akan menikah.
“Kamu sebenarnya mau menikah atau membuka usaha Event Organizer?”
Pertanyaan Mas Roman yang nyaris membuatku ingin meneriakinya, jika tidak ingat kami sedang duduk makan siang di kantin rumah sakit tempat aku bekerja.
Aku menahan sedemikian rupa gejolak dalam hatiku, aku ingin berontak dan menolak, tetapi selalu saja kalah setiap kali mengingat wajah Oma Yazmin dan Opa Firman. Selain juga mengingat adik-adikku yang masih butuh banyak biaya untuk sekolah. Aku sadar jika menikah dengan Mas Roman maka aku bisa membantu meringankan beban Ibu yang sudah belasan tahun berjuang sendiri membiayai kami, karena Bapak pergi bersama perempuan lain, meninggalkan kami dalam badai hidup yang harus kami hadapi tanpa sosok Bapak.
“Mas, kenapa desain baju keluargaku tidak sesuai pesananku?” bisikku pada Mas Roman, di saat senandung tembang dari musik fullband yang menggema di gedung resepsi menjeda lelah kami karena terus berdiri menyambut tamu yang sedari tadi bergantian untuk foto bersama.
“Acara sudah hampir berakhir dan kamu masih mempermasalahkan sesuatu yang tidak ada gunanya.”
Hatiku serasa diremas. Aku sakit dan terluka oleh kata-kata suamiku sendiri.
“Aaah, semesta, akan berapa lama pernikahan ini bisa kujalani?”
Darahku rasanya mendidih mendengar jawaban Mas Roman. Kulepaskan bunga tangan kami yang sedari tadi kupegang. Seandainya bisa bunga ini kubuang dan kuinjak-injak, akan kulakukan sebagai luapan kemarahanku dan gambaran kekecewaanku atas pesta pernikahan ini.Padahal, ini baru hari pertama dari sekian juta hari yang mungkin akan kulewati bersama Mas Roman yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah sah dan resmi menjadi suamiku, baik secara agama maupun pemerintah.Melihat ke sisi kiri, wajah Ibu masih saja ditekuk. Aku mengenal hati wanita tua itu, pasti dia pun kecewa melihat saudara-saudaranya membentuk kelompok sendiri di bawah sana, dilirik dengan penuh keheranan oleh tamu undangan yang katanya dari kelas atas.Bisa jadi sudah dari tadi mereka menertawakan ketidaktahuan keluargaku tentang hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan. Yang paling menonjol adalah risihnya mereka dengan model tata rambut serta gaun yang mereka kenakan.Gaun mereka yang perempuan, terbuka bagian atas be
“Oowh, sayang sekali. Ijazah kalian yang hebat itu, tidak mencerminkan kalian orang berpendidikan. Kalian terlalu meremehkan orang lain,” batinku dalam hati.Kulihat mata Mas Roman memicing menatapku, kuharap karena dia kaget lalu kagum dengan kemampuanku menguasai bahasa internasional seperti halnya dia. Dengan begitu, dia tidak akan menganggap aku remeh.Bukannya merasa bersalah, minta maaf atau apalah yang bisa menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, mereka malah melanjutkan tawa mereka tanpa terlihat ada beban apapun.“Wanitamu sungguh ekspresif, Roman. But, itu akan lebih baik untukmu yang perfeksionis, daripada wanita penyimpan yang tidak akan kamu tahu kenapa dia marah sepanjang hari dan kamu frustasi berkepanjangan” ujar teman Mas Roman masih dengan bahasa Inggris sambil mengedipkan matanya ke arahku, dan aku tidak suka ditatap seperti itu.Kulihat Mas Roman hanya tersenyum datar, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Yang jelas ak
Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang, memastikan bahwa Mas Roman memang tidak ada di kamar ini. Di kamar mandi terkonfirmasi dia tidak ada. Aku semakin yakin begitu melihat tas kerjanya yang tadi malam ada di atas meja sudah tidak ada di tempatnya. Kecewaku seperti datang terus menerus. Kuteruskan langkahku menuju balkon, setidaknya aku akan merasa ditemani ombak pantai.Mataku terkagum dengan suguhan laut tak berbatas, mengeluarkan bunyi desir ombak yang mencoba mendekati daratan meski akhirnya harus kembali ke tengah laut. Sejenak aku lupa dengan rentetan kekecewaan yang dihadirkan Mas Roman.“Seperti apapun aku lari, tetaplah aku harus kembali pada pasung pernikahan yang telah berhasil dipasang Mas Roman padaku,” batinku dengan rentetan tarikan napas panjang untuk membuat bebanku sedikit lebih ringan.Puas memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar. Kukira aku perlu tahu di mana sebenarnya Mas Roman. Kuraih ponselku yang tadi malam sudah berada di kamar ini, sepertinya sudah ad
Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku
Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku
Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang, memastikan bahwa Mas Roman memang tidak ada di kamar ini. Di kamar mandi terkonfirmasi dia tidak ada. Aku semakin yakin begitu melihat tas kerjanya yang tadi malam ada di atas meja sudah tidak ada di tempatnya. Kecewaku seperti datang terus menerus. Kuteruskan langkahku menuju balkon, setidaknya aku akan merasa ditemani ombak pantai.Mataku terkagum dengan suguhan laut tak berbatas, mengeluarkan bunyi desir ombak yang mencoba mendekati daratan meski akhirnya harus kembali ke tengah laut. Sejenak aku lupa dengan rentetan kekecewaan yang dihadirkan Mas Roman.“Seperti apapun aku lari, tetaplah aku harus kembali pada pasung pernikahan yang telah berhasil dipasang Mas Roman padaku,” batinku dengan rentetan tarikan napas panjang untuk membuat bebanku sedikit lebih ringan.Puas memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar. Kukira aku perlu tahu di mana sebenarnya Mas Roman. Kuraih ponselku yang tadi malam sudah berada di kamar ini, sepertinya sudah ad
“Oowh, sayang sekali. Ijazah kalian yang hebat itu, tidak mencerminkan kalian orang berpendidikan. Kalian terlalu meremehkan orang lain,” batinku dalam hati.Kulihat mata Mas Roman memicing menatapku, kuharap karena dia kaget lalu kagum dengan kemampuanku menguasai bahasa internasional seperti halnya dia. Dengan begitu, dia tidak akan menganggap aku remeh.Bukannya merasa bersalah, minta maaf atau apalah yang bisa menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, mereka malah melanjutkan tawa mereka tanpa terlihat ada beban apapun.“Wanitamu sungguh ekspresif, Roman. But, itu akan lebih baik untukmu yang perfeksionis, daripada wanita penyimpan yang tidak akan kamu tahu kenapa dia marah sepanjang hari dan kamu frustasi berkepanjangan” ujar teman Mas Roman masih dengan bahasa Inggris sambil mengedipkan matanya ke arahku, dan aku tidak suka ditatap seperti itu.Kulihat Mas Roman hanya tersenyum datar, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Yang jelas ak
Darahku rasanya mendidih mendengar jawaban Mas Roman. Kulepaskan bunga tangan kami yang sedari tadi kupegang. Seandainya bisa bunga ini kubuang dan kuinjak-injak, akan kulakukan sebagai luapan kemarahanku dan gambaran kekecewaanku atas pesta pernikahan ini.Padahal, ini baru hari pertama dari sekian juta hari yang mungkin akan kulewati bersama Mas Roman yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah sah dan resmi menjadi suamiku, baik secara agama maupun pemerintah.Melihat ke sisi kiri, wajah Ibu masih saja ditekuk. Aku mengenal hati wanita tua itu, pasti dia pun kecewa melihat saudara-saudaranya membentuk kelompok sendiri di bawah sana, dilirik dengan penuh keheranan oleh tamu undangan yang katanya dari kelas atas.Bisa jadi sudah dari tadi mereka menertawakan ketidaktahuan keluargaku tentang hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan. Yang paling menonjol adalah risihnya mereka dengan model tata rambut serta gaun yang mereka kenakan.Gaun mereka yang perempuan, terbuka bagian atas be
“Maaf saya sibuk dengan pekerjaan ke luar kota. Jadi, kita tidak ada pre-wedding. Aku tidak bisa membuang-buang waktu kerjaku hanya untuk hal tidak berguna seperti itu.”“Whaaat? Tidak berguna katanya?” kubuang dengan kasar napasku setelah menariknya dengan dalam dan panjang. Geramku yang hanya kusimpan rapih di hatiku.Nada bicara Mas Roman memang terdengar biasa saja, tanpa volume yang meninggi atau emosi meledak-ledak yang terkesan kasar, hanya saja menyakitkan hati untuk kuterima. Dia tidak paham betapa aku menginginkan kami ada sesi foto itu.Ini salah satu impianku tentang pernikahan. Melihat beberapa temanku yang sudah lebih dulu menikah dengan foto-foto pre-wedding mereka yang romantis di tempat-tempat indah membuatku berimpian yang sama. Haruskah impianku ini menjadi tidak penting baginya? Impianku tentu bagian dari bahagiaku, tidakkah dia ingin membuatku bahagia?“Hanya sehari, Mas. Sulitkah meluangkan waktu sehari saja untuk itu?” tanyaku bermohon. Sungguh aku sangat mengin