Shena berdiri di depan pintu kamarnya. Nampak bimbang antara mau masuk dan tidak. Setelah beberapa saat dilanda dilema, akhirnya ia memutuskan masuk ke dalam. Ketika dia membuka pintu kamarnya, ruangan itu gelap. Sepertinya, Mahendra sudah tidur. Saat dia mengira begitu, Mahendra yang dikiranya telah tertidur ternyata tengah duduk di tepi ranjang. "Aku pikir kau tidak akan kembali ke kamar kita."Sebab gelap, Shena tidak bisa melihat dengan jelas. Jadi dia harus melangkah sangat pelan sekali demi mencegah dirinya terjatuh maupun tersandung kakinya sendiri. "Kenapa lampunya kau matikan? Sangat gelap, aku tidak bisa melihat dengan jelas." ucap Shena memprotes. Selepas dia selesai bicara begitu, terdengar pergerakan dari depannya dan tak lama kemudian, lampu di kamar itu menyala. "Kenapa kau belum tidur?" "Aku menunggumu," jawab Mahendra singkat. "Apa sekarang kau sudah baikan?" tanya Shena memastikan. Mahendra mengangguk, "Ya, lebih baik daripada yang tadi.""Jadi, kalau sekaran
"Jangan bertanya... aku sedang marah sekarang." Shena menghentakkan kakinya, membanting pintu kulkas saat dia mengambil sekarton susu. Edwin yang mau menyapa dan ingin bertanya ada apa dengan bibirnya dan pakaian berkerah panjang itu, seketika langsung bungkam. Gelagapan sendiri dia dibuatnya berkat bentakan sang kakak. "Belum juga bertanya, tapi sudah dimarahi," Rutuk Edwin kesal. Ia pun membuka kulkas, mengambil air dingin lalu dibawanya ke pantry. Dia duduk di sebelah sang kakak, menyantap sarapannya sebelum berangkat ke kampus pagi sekali. Dua bersaudara itu tidak saling bicara. Hanya fokus memakan sarapan paginya yang terdiri dari roti dan susu saja. Pembantu rumah tangga yang baru saja dari halaman belakang melihat Shena dan Edwin, lantas bertanya sopan. "Non Shena, Den Edwin, kalian butuh apa lagi? Biar saya yang melayani kalian berdua.""Tidak perlu, Bi. Sebentar lagi kami sudah selesai." Tolak Shena dengan halus. "Bibi bisa lanjutkan saja pekerjaannya." imbuhnya kemudian.
Tiba di Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Mahendra keluar dari mobilnya.Pria itu tidak masuk ke dalam, melainkan berdiri di luar dan bersandar di kap mobilnya. Berkat penampilan serta wajah tampannya, para turis maupun orang-orang yang tak sengaja melihat ke arahnya meliriknya lama. Seperti biasa, Mahendra meresponsnya dengan sikap acuh tak acuh.Ia mengeluarkan ponselnya dari saku, mengecek apakah ada pesan dari Angga atau tidak. Ternyata tidak ada. Jadi dia sendiri yang mengirim pesan pada temannya itu untuk memberitahu kalau dia sudah ada di bandara untuk menjemput. Selagi menunggu Angga datang, Mahendra menelepon Shena. Tak butuh waktu lama bagi istrinya itu menerima panggilan tersebut."Aku sudah sampai." beritahu Mahendra pada Shena."Syukurlah," sahut Shena dari seberang panggilan. "Apa yang kau lakukan sekarang?""Aku di bandara, menunggu Angga. Bagaimana denganmu? Kau sudah sarapan?"Shena mengangguk, "Sudah tadi. Aku berada di kamar
"Kau tidak ikut?" "Tidak. Dengan kondisiku sekarang, mana mungkin aku ikut." ujar Shena menjawab Laura. Laura yang baru tahu jika sahabatnya baru saja melahirkan dari Edwin lantas pergi berkunjung ke kediaman paman Mahendra setelah diberitahu alamatnya. Wanita itu pergi bersama dengan Maria. Apabila dia sekarang berdua saja dengan Shena, maka Maria sedang bersama Hera di kamar Askara, menemani bayi itu. Laura mengangkat kepala, menatap sahabatnya yang tengah duduk di kursi single. Karena operasi, Shena tidak diperbolehkan duduk di kursi rendah, harus tinggi dan beralaskan bantal empuk tipis.Shena menghela napas. Tahu betul akan sifat sahabatnya yang selalu ingin tahu tentang dirinya. "Kau tidak perlu menahannya. Kalau mau bertanya, tanyakan saja."Kedapatan sering melirik secara diam-diam, Laura menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Begini, aku memang cukup penasaran. Tapi, kalau pertanyaanku malah membuatmu mengingat suatu kenangan yang buruk dan itu dapat merusak moodmu
Sebab perkataan Laura barusan, Shena jadi melamun di tempat duduknya. Pada saat Hera dan Maria datang meghampiri setelah datang dari menemui Askara, pemandangan Shena sedang duduk diam inilah yang keduanya lihat. Maria menyenggol Laura, bertanya penasaran, "Ada apa dengannya?" Laura yang sedang sibuk dengan ponsel lantas memberitahu, "Entah. Dia sudah begitu dari tadi.""Kau tidak mengajaknya bicara?""Malah, kami baru saja selesai mengobrol." imbuh Laura cuek. "Dia begitu setelah aku memberitahu kalau Rafael akan pergi."Hera ikutan menoleh. Niatannya untuk bicara pada Shena jadi urung begitu dia mendengar perkataan Laura barusan. "Kau bilang Rafael pergi, Laura? Pergi ke mana?"Maria dan Laura secara bersamaan melihat ke arah Hera. "Bilangnya ke luar negeri, Tan. Apa tante juga tidak dikabarinya?" "Dia tidak memberi tahu tante kabar apa pun. Bahkan soal dia mau ke luar negeri pun, tante baru tau darimu barusan." ujar Hera nampak terkejut sekaligus bingung. Masih bertanya-tanya
Di salah satu restoran, di sebuah ruangan tamu VIP, terdapat Angga dan Mahendra sedang duduk. Dua pria itu baru saja tiba di tempat pertemuan. Tepat saat keduanya sedang menunggu kedatangan Jessica, dering ponsel Mahendra berbunyi.Angga melihat ke arah temannya yang tengah melakukan panggilan. Sampai saat Mahendra pun kembali ke kursi, ia tidak mengalihkan tatapannya sedikitpun."Bukannya tadi waktu pergi masih dengan senyuman lebar? Sekarang, kenapa dengan ekspresi tak sedap dipandang ini?"Pertanyaan Angga hanya mendapat lirikan sekilas dari ujung mata Mahendra. Seakan pria itu sudah kehilangan mood sepenuhnya untuk bahkan sekedar berbasa-basi.Tidak mendapat tanggapan, Angga menaikkan alisnya bingung. Bertanya-tanya siapa kiranya yang dapat membuat sahabatnya itu jadi bermuram durja layaknya sekarang. Setelah menikah, dia dapat melihat sisi baru yang Mahendra tunjukkan. Contohnya seperti sekarang. Dulu, selain ekspresi dingin, datar dan menjengkelkan, ekspresi temannya itu jadi b
Mahendra keluar dari restoran. Berdiri di depan mobilnya, ia mengeluarkan ponsel, mengecek notifikasi pesan baru masuk, dari Martin. Pesan masuk itu tak lain berisikan alamat sebuah gudang dimana Bagas telah disembunyikan oleh anak buahnya.Pria itu masuk ke dalam mobil, memasukkan kunci, menyalakannya. Seorang diri, Mahendra pergi ke pinggiran kota yang jaraknya cukup jauh dari tempat pertemuan mereka.Suara deburan ombak terdengar samar dari gedung kosong tak terpakai. Duduk di dalamnya seorang pria, kepala menunduk, dengan tubuh terikat dan pakaian compang-camping.Di sekitar pria itu, Martin duduk di kursi lain. Kedua tangannya sibuk mengelap pisau yang menjadi senjata andalannya. Pekerjaannya mengharuskan dia menjaga Bagas yang masih dalam keadaan pingsan. Meski pekerjaan seperti menjaga seseorang tampak membosankan baginya, namun demi profesionalitas, dia tetap menjalankan tugasnya itu dengan sebaik-baiknya.Dari arah luar, dia mendengar suara deru mobil. Martin berdiri. Melangk
Di hari yang sama, di kota Jakarta. Robin baru saja mengunjungi kekasihnya, mau pulang dan sudah dalam perjalanan saat kemudian sebuah panggilan menyita perhatiannya. Pria itu tampak bahagia, wajahnya berseri-seri setelah menghabiskan waktu berkencan dengan sang pujaan hati. Melihat pada ponsel yang menyala di samping, alisnya mengerut. Norman menelepon. Ada apa? Tak mau lama-lama membiarkan pria itu menunggu, ia lantas menjawab. Sebuah earphone menempel ditelinga. "Ya, Pak?""Robin, aku baru saja menerima panggilan dari Martin. Dia bilang sudah menemukan Bagas dan keluarganya yang kita cari."Robin yang terkejut dengan berita itu, lantas menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Anda bilang, Martin?""Ya. Sepupumu yang menyuruhnya. Kami sudah bersiap untuk pergi sekarang. Kalau kau mau ikut, pergi jugalah. Lokasinya, biar aku kirimkan padamu alamatnya.""Tunggu, tunggu, tunggu... Mahendra tidak memberitahu saya apa-apa soal ini. Dan lagi, sepupu saya itu masih di Jakarta. Anda yak