Sebab perkataan Laura barusan, Shena jadi melamun di tempat duduknya. Pada saat Hera dan Maria datang meghampiri setelah datang dari menemui Askara, pemandangan Shena sedang duduk diam inilah yang keduanya lihat. Maria menyenggol Laura, bertanya penasaran, "Ada apa dengannya?" Laura yang sedang sibuk dengan ponsel lantas memberitahu, "Entah. Dia sudah begitu dari tadi.""Kau tidak mengajaknya bicara?""Malah, kami baru saja selesai mengobrol." imbuh Laura cuek. "Dia begitu setelah aku memberitahu kalau Rafael akan pergi."Hera ikutan menoleh. Niatannya untuk bicara pada Shena jadi urung begitu dia mendengar perkataan Laura barusan. "Kau bilang Rafael pergi, Laura? Pergi ke mana?"Maria dan Laura secara bersamaan melihat ke arah Hera. "Bilangnya ke luar negeri, Tan. Apa tante juga tidak dikabarinya?" "Dia tidak memberi tahu tante kabar apa pun. Bahkan soal dia mau ke luar negeri pun, tante baru tau darimu barusan." ujar Hera nampak terkejut sekaligus bingung. Masih bertanya-tanya
Di salah satu restoran, di sebuah ruangan tamu VIP, terdapat Angga dan Mahendra sedang duduk. Dua pria itu baru saja tiba di tempat pertemuan. Tepat saat keduanya sedang menunggu kedatangan Jessica, dering ponsel Mahendra berbunyi.Angga melihat ke arah temannya yang tengah melakukan panggilan. Sampai saat Mahendra pun kembali ke kursi, ia tidak mengalihkan tatapannya sedikitpun."Bukannya tadi waktu pergi masih dengan senyuman lebar? Sekarang, kenapa dengan ekspresi tak sedap dipandang ini?"Pertanyaan Angga hanya mendapat lirikan sekilas dari ujung mata Mahendra. Seakan pria itu sudah kehilangan mood sepenuhnya untuk bahkan sekedar berbasa-basi.Tidak mendapat tanggapan, Angga menaikkan alisnya bingung. Bertanya-tanya siapa kiranya yang dapat membuat sahabatnya itu jadi bermuram durja layaknya sekarang. Setelah menikah, dia dapat melihat sisi baru yang Mahendra tunjukkan. Contohnya seperti sekarang. Dulu, selain ekspresi dingin, datar dan menjengkelkan, ekspresi temannya itu jadi b
Mahendra keluar dari restoran. Berdiri di depan mobilnya, ia mengeluarkan ponsel, mengecek notifikasi pesan baru masuk, dari Martin. Pesan masuk itu tak lain berisikan alamat sebuah gudang dimana Bagas telah disembunyikan oleh anak buahnya.Pria itu masuk ke dalam mobil, memasukkan kunci, menyalakannya. Seorang diri, Mahendra pergi ke pinggiran kota yang jaraknya cukup jauh dari tempat pertemuan mereka.Suara deburan ombak terdengar samar dari gedung kosong tak terpakai. Duduk di dalamnya seorang pria, kepala menunduk, dengan tubuh terikat dan pakaian compang-camping.Di sekitar pria itu, Martin duduk di kursi lain. Kedua tangannya sibuk mengelap pisau yang menjadi senjata andalannya. Pekerjaannya mengharuskan dia menjaga Bagas yang masih dalam keadaan pingsan. Meski pekerjaan seperti menjaga seseorang tampak membosankan baginya, namun demi profesionalitas, dia tetap menjalankan tugasnya itu dengan sebaik-baiknya.Dari arah luar, dia mendengar suara deru mobil. Martin berdiri. Melangk
Di hari yang sama, di kota Jakarta. Robin baru saja mengunjungi kekasihnya, mau pulang dan sudah dalam perjalanan saat kemudian sebuah panggilan menyita perhatiannya. Pria itu tampak bahagia, wajahnya berseri-seri setelah menghabiskan waktu berkencan dengan sang pujaan hati. Melihat pada ponsel yang menyala di samping, alisnya mengerut. Norman menelepon. Ada apa? Tak mau lama-lama membiarkan pria itu menunggu, ia lantas menjawab. Sebuah earphone menempel ditelinga. "Ya, Pak?""Robin, aku baru saja menerima panggilan dari Martin. Dia bilang sudah menemukan Bagas dan keluarganya yang kita cari."Robin yang terkejut dengan berita itu, lantas menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Anda bilang, Martin?""Ya. Sepupumu yang menyuruhnya. Kami sudah bersiap untuk pergi sekarang. Kalau kau mau ikut, pergi jugalah. Lokasinya, biar aku kirimkan padamu alamatnya.""Tunggu, tunggu, tunggu... Mahendra tidak memberitahu saya apa-apa soal ini. Dan lagi, sepupu saya itu masih di Jakarta. Anda yak
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.