Surya mengamati sekeliling ruangan dengan raut penasaran. Pasalnya, baru kali ini dia pergi secara pribadi ke kediaman keluarga Muneer hanya untuk menepati janji yang telah terlanjur dia ucapkan.Dikarenakan suatu hal. Ia terpaksa tinggal lebih lama di Indonesia. Seharusnya, lusa kemarin dia sudah harus betolak ke Australia demi menjalankan bisnisnya kembali. Namun, karena koleganya yang di Indonesia meminta waktunya, ia jadi mengurungkan niat untuk pergi itu dan berkata pada asistennya bahwa dia kemungkinan besar akan menambah hari untuk tinggal. Setelah pekerjaan di Indonesia selesai dia handle, dia kemudian teringat akan janjinya pada pria muda itu. Permintaannya untuk berkunjung baru bisa terlaksana setelah beberapa hari berlalu. Semoga saja pihak Mahendra memaklumi keterlambatannya dan tida ada pikiran aneh-aneh soal dia yang tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa janji temu dulu. Selagi Surya sibuk dengan pikirannya, Mahendra dan Hartawan muncul dari dalam. Dua pria beda usia itu
"Ehem."Terdengar deheman nyaring dari belakang. Secara bersamaan, Mahendra dan Shena menoleh ke arah sumber suara tersebut. Hartawan dan Surya berdiri tak jauh dari pasangan suami istri itu. "Kami tidak mengganggu kalian berdua kan?""Paman.""Tuan Surya mau pulang sekarang, Mahendra. Karena kau tidak kunjung kembali, jadi aku ingin memanggilmu sebab beliau mau berpamitan pulang." ujar Hartawan. "Anda sudah mau pulang? Kenapa cepat sekali, Tuan Surya?" tanya Mahendra kemudian. Pria itu lantas menghampiri Surya dan sang paman. Tak lupa, dibawanya pula Shena bersamanya. "Kenapa aku harus ikut?" Shena berbisik dengan suara rendah. "Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku." "Buat apa?" tanya Shena lagi dengan raut tak mengerti. Baru kali ini Mahendra mau memperkenalkan dirinya dengan rekan bisnisnya. Karena biasanya tidak pernah ada kejadian seperti itu. "Dia ingin tahu dirimu, Shena. Dia sudah tahu tentang kejadian yang menimpa kita waktu itu." jelasnya langsung dengan nada
Langit diluar tampak mendung tatkala kediaman Keluarga Muneer kedatangan Sal dan Angga. Satu sepupu Mahendra sedangkan yang lainnya merupakan sahabatnya. Ketika Edwin turun, berniat ingin mengambil minum, dua lelaki gagah inilah yang dia lihat. Sebab malu, ia pun menundukkan kepala, terus melanjutkan berjalan meski dua pasang mata tengah menatapnya.“Tunggu… Kau pemuda yang disana.” Sal bicara dulu, menghentikan Edwin dengan terpaksa.Walau enggan dan tak tau mengapa laki-laki asing itu memanggil, Edwin tetap menolehkan kepala ke arah Sal.“Ya? Ada apa?” tanyanya di tempatnya berdiri. Tak mau repot untuk menghampiri.“Siapa kau? Apa yang kau lakukan di rumah pamanku?” Sal bertanya penasaran dikarenakan baru kali ini dia melihat Edwin di kediaman sang paman.“Aku adik Shena. Istri Mahendra. Dan kau? Siapa dirimu?” tanya Edwin balik sekedar basa-basi.Mendengar kalau ternyata Edwin masih memiliki hubungan kekerabatan dengan istri sepupunya itu, Sal bersikap antusias. Ia pun mengambil l
"Di luar ada siapa? Mama dengar seperti ada beberapa orang bicara." Hera sedang berada di kamar bayi bersama Shena, serta suster yang kini tengah merawat Askara. Tanpa mengalihkan tatapannya dari sang bayi, Shena menjawab, "Tidak tahu, Ma. Aku belum keluar sama sekali. Mungkin temannya Mahendra.""Ohh....""Kenapa Edwin lama sekali perginya." "Dia hanya turun ke lantai bawah. Tidak pulang. Tunggu saja di sini." Shena kembali menjawab. "Mama mau pulang sekarang, Shena." ujar Hera kemudian. Kali ini kepala Shena menoleh ke samping, menatap Hera dengan pandangan bingung. "Kenapa sudah mau pulang? Aku pikir mama akan menginap di sini hari ini. Aku baru saja pulang dari rumah sakit, masih butuh bantuan Edwin dan kehadiran mama juga. Tidak bisakah kalian tinggal untuk sementara waktu buat temani aku?"Itulah yang dipikirkan oleh Hera sedari tadi. Niatannya untuk pulang lebih awal menyebabkan dia dilema. Satu sisi takut bertemu dengan Surya. Sisi lainnya, dia khawatir akan kondisi Shena
"Kami punya kesepakatan bersama."Suara Mahendra memecah hening yang tadi melanda. Angga memalingkan kepalanya. "Kesepakatan macam apa?""Dia berkata, dia punya kekasih yang harus dijaga dari tangan ayahnya. Itulah mengapa Jessica setuju untuk bertemu denganku. Saat kami bertemu, dia meminta bantuanku untuk menjadi kekasih bohongannya dalam beberapa bulan saja.""Dan kau setuju?" tanya Angga tak mengerti"Ngga, aku juga sama sepertinya. Aku memiliki seseorang yang perlu aku lindungi dari orang-orang yang membenciku." ujar Mahendra dengan tatapan seriusnya."Apakah berhasil? Kau melindungi Shena dari orang-orang yang membencimu?" Angga melontarkan pertanyaan retroris yang sulit dibantah oleh Mahendra.Tidak, dia tidak berhasil. Apa pun rencanan yang telah coba dia lakukan, entah itu untuk melindungi Shena atau untuk kepentingan pribadinya sendiri, kegagalan senantiasa yang ditemuinya.Mendapati keterdiaman Mahendra, Angga mengepalkan tangannya di sisi jahitan celana. "Kau seharusnya
Shena berdiri di depan pintu kamarnya. Nampak bimbang antara mau masuk dan tidak. Setelah beberapa saat dilanda dilema, akhirnya ia memutuskan masuk ke dalam. Ketika dia membuka pintu kamarnya, ruangan itu gelap. Sepertinya, Mahendra sudah tidur. Saat dia mengira begitu, Mahendra yang dikiranya telah tertidur ternyata tengah duduk di tepi ranjang. "Aku pikir kau tidak akan kembali ke kamar kita."Sebab gelap, Shena tidak bisa melihat dengan jelas. Jadi dia harus melangkah sangat pelan sekali demi mencegah dirinya terjatuh maupun tersandung kakinya sendiri. "Kenapa lampunya kau matikan? Sangat gelap, aku tidak bisa melihat dengan jelas." ucap Shena memprotes. Selepas dia selesai bicara begitu, terdengar pergerakan dari depannya dan tak lama kemudian, lampu di kamar itu menyala. "Kenapa kau belum tidur?" "Aku menunggumu," jawab Mahendra singkat. "Apa sekarang kau sudah baikan?" tanya Shena memastikan. Mahendra mengangguk, "Ya, lebih baik daripada yang tadi.""Jadi, kalau sekaran
"Jangan bertanya... aku sedang marah sekarang." Shena menghentakkan kakinya, membanting pintu kulkas saat dia mengambil sekarton susu. Edwin yang mau menyapa dan ingin bertanya ada apa dengan bibirnya dan pakaian berkerah panjang itu, seketika langsung bungkam. Gelagapan sendiri dia dibuatnya berkat bentakan sang kakak. "Belum juga bertanya, tapi sudah dimarahi," Rutuk Edwin kesal. Ia pun membuka kulkas, mengambil air dingin lalu dibawanya ke pantry. Dia duduk di sebelah sang kakak, menyantap sarapannya sebelum berangkat ke kampus pagi sekali. Dua bersaudara itu tidak saling bicara. Hanya fokus memakan sarapan paginya yang terdiri dari roti dan susu saja. Pembantu rumah tangga yang baru saja dari halaman belakang melihat Shena dan Edwin, lantas bertanya sopan. "Non Shena, Den Edwin, kalian butuh apa lagi? Biar saya yang melayani kalian berdua.""Tidak perlu, Bi. Sebentar lagi kami sudah selesai." Tolak Shena dengan halus. "Bibi bisa lanjutkan saja pekerjaannya." imbuhnya kemudian.
Tiba di Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Mahendra keluar dari mobilnya.Pria itu tidak masuk ke dalam, melainkan berdiri di luar dan bersandar di kap mobilnya. Berkat penampilan serta wajah tampannya, para turis maupun orang-orang yang tak sengaja melihat ke arahnya meliriknya lama. Seperti biasa, Mahendra meresponsnya dengan sikap acuh tak acuh.Ia mengeluarkan ponselnya dari saku, mengecek apakah ada pesan dari Angga atau tidak. Ternyata tidak ada. Jadi dia sendiri yang mengirim pesan pada temannya itu untuk memberitahu kalau dia sudah ada di bandara untuk menjemput. Selagi menunggu Angga datang, Mahendra menelepon Shena. Tak butuh waktu lama bagi istrinya itu menerima panggilan tersebut."Aku sudah sampai." beritahu Mahendra pada Shena."Syukurlah," sahut Shena dari seberang panggilan. "Apa yang kau lakukan sekarang?""Aku di bandara, menunggu Angga. Bagaimana denganmu? Kau sudah sarapan?"Shena mengangguk, "Sudah tadi. Aku berada di kamar
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan