"Dengar apa?"Mahendra tidak langsung menjawab, tapi menatap lekat pada Shena di depannya.Risih sebab dilihat sedemikian rupa oleh Mahendra, Shena dapat merasakan wajahnya memanas. "Kalau tidak mau jawab, minggir. Aku mau menyusul mama." ucapnya terdengar galak. Padahal, dia bersikap seperti itu demi menyembunyikan degup jantungnya yang bertalu-talu. "Shena, kenapa kau tidak percaya kalau aku sungguhan sayang padamu? Apa pernyataan cintaku selama ini padamu hanya kau anggap bohongan semata?"Jadi, dia dengar? Adalah isi pikiran Shena tatkala Mahendra berkata demikian padanya. Sejauh mana pria ini mendengar percakapannya bersama sang ibu?"Kenapa kau diam?" desak Mahendra karena Shena tidak menjawab."Jangan salahkan aku," cicit Shena seraya mengintip wajah Mahendra. Ingin memastikan bagaimana ekspresi pria itu sekarang. Ketika dilihatnya Mahendra tidak menunjukkan ekspresi aneh, ia pun melanjutkan, "kau tidak tahu saja kalau di hotel kau ini begitu populer. Banyak staff wanita yan
Surya mengamati sekeliling ruangan dengan raut penasaran. Pasalnya, baru kali ini dia pergi secara pribadi ke kediaman keluarga Muneer hanya untuk menepati janji yang telah terlanjur dia ucapkan.Dikarenakan suatu hal. Ia terpaksa tinggal lebih lama di Indonesia. Seharusnya, lusa kemarin dia sudah harus betolak ke Australia demi menjalankan bisnisnya kembali. Namun, karena koleganya yang di Indonesia meminta waktunya, ia jadi mengurungkan niat untuk pergi itu dan berkata pada asistennya bahwa dia kemungkinan besar akan menambah hari untuk tinggal. Setelah pekerjaan di Indonesia selesai dia handle, dia kemudian teringat akan janjinya pada pria muda itu. Permintaannya untuk berkunjung baru bisa terlaksana setelah beberapa hari berlalu. Semoga saja pihak Mahendra memaklumi keterlambatannya dan tida ada pikiran aneh-aneh soal dia yang tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa janji temu dulu. Selagi Surya sibuk dengan pikirannya, Mahendra dan Hartawan muncul dari dalam. Dua pria beda usia itu
"Ehem."Terdengar deheman nyaring dari belakang. Secara bersamaan, Mahendra dan Shena menoleh ke arah sumber suara tersebut. Hartawan dan Surya berdiri tak jauh dari pasangan suami istri itu. "Kami tidak mengganggu kalian berdua kan?""Paman.""Tuan Surya mau pulang sekarang, Mahendra. Karena kau tidak kunjung kembali, jadi aku ingin memanggilmu sebab beliau mau berpamitan pulang." ujar Hartawan. "Anda sudah mau pulang? Kenapa cepat sekali, Tuan Surya?" tanya Mahendra kemudian. Pria itu lantas menghampiri Surya dan sang paman. Tak lupa, dibawanya pula Shena bersamanya. "Kenapa aku harus ikut?" Shena berbisik dengan suara rendah. "Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku." "Buat apa?" tanya Shena lagi dengan raut tak mengerti. Baru kali ini Mahendra mau memperkenalkan dirinya dengan rekan bisnisnya. Karena biasanya tidak pernah ada kejadian seperti itu. "Dia ingin tahu dirimu, Shena. Dia sudah tahu tentang kejadian yang menimpa kita waktu itu." jelasnya langsung dengan nada
Langit diluar tampak mendung tatkala kediaman Keluarga Muneer kedatangan Sal dan Angga. Satu sepupu Mahendra sedangkan yang lainnya merupakan sahabatnya. Ketika Edwin turun, berniat ingin mengambil minum, dua lelaki gagah inilah yang dia lihat. Sebab malu, ia pun menundukkan kepala, terus melanjutkan berjalan meski dua pasang mata tengah menatapnya.“Tunggu… Kau pemuda yang disana.” Sal bicara dulu, menghentikan Edwin dengan terpaksa.Walau enggan dan tak tau mengapa laki-laki asing itu memanggil, Edwin tetap menolehkan kepala ke arah Sal.“Ya? Ada apa?” tanyanya di tempatnya berdiri. Tak mau repot untuk menghampiri.“Siapa kau? Apa yang kau lakukan di rumah pamanku?” Sal bertanya penasaran dikarenakan baru kali ini dia melihat Edwin di kediaman sang paman.“Aku adik Shena. Istri Mahendra. Dan kau? Siapa dirimu?” tanya Edwin balik sekedar basa-basi.Mendengar kalau ternyata Edwin masih memiliki hubungan kekerabatan dengan istri sepupunya itu, Sal bersikap antusias. Ia pun mengambil l
"Di luar ada siapa? Mama dengar seperti ada beberapa orang bicara." Hera sedang berada di kamar bayi bersama Shena, serta suster yang kini tengah merawat Askara. Tanpa mengalihkan tatapannya dari sang bayi, Shena menjawab, "Tidak tahu, Ma. Aku belum keluar sama sekali. Mungkin temannya Mahendra.""Ohh....""Kenapa Edwin lama sekali perginya." "Dia hanya turun ke lantai bawah. Tidak pulang. Tunggu saja di sini." Shena kembali menjawab. "Mama mau pulang sekarang, Shena." ujar Hera kemudian. Kali ini kepala Shena menoleh ke samping, menatap Hera dengan pandangan bingung. "Kenapa sudah mau pulang? Aku pikir mama akan menginap di sini hari ini. Aku baru saja pulang dari rumah sakit, masih butuh bantuan Edwin dan kehadiran mama juga. Tidak bisakah kalian tinggal untuk sementara waktu buat temani aku?"Itulah yang dipikirkan oleh Hera sedari tadi. Niatannya untuk pulang lebih awal menyebabkan dia dilema. Satu sisi takut bertemu dengan Surya. Sisi lainnya, dia khawatir akan kondisi Shena
"Kami punya kesepakatan bersama."Suara Mahendra memecah hening yang tadi melanda. Angga memalingkan kepalanya. "Kesepakatan macam apa?""Dia berkata, dia punya kekasih yang harus dijaga dari tangan ayahnya. Itulah mengapa Jessica setuju untuk bertemu denganku. Saat kami bertemu, dia meminta bantuanku untuk menjadi kekasih bohongannya dalam beberapa bulan saja.""Dan kau setuju?" tanya Angga tak mengerti"Ngga, aku juga sama sepertinya. Aku memiliki seseorang yang perlu aku lindungi dari orang-orang yang membenciku." ujar Mahendra dengan tatapan seriusnya."Apakah berhasil? Kau melindungi Shena dari orang-orang yang membencimu?" Angga melontarkan pertanyaan retroris yang sulit dibantah oleh Mahendra.Tidak, dia tidak berhasil. Apa pun rencanan yang telah coba dia lakukan, entah itu untuk melindungi Shena atau untuk kepentingan pribadinya sendiri, kegagalan senantiasa yang ditemuinya.Mendapati keterdiaman Mahendra, Angga mengepalkan tangannya di sisi jahitan celana. "Kau seharusnya
Shena berdiri di depan pintu kamarnya. Nampak bimbang antara mau masuk dan tidak. Setelah beberapa saat dilanda dilema, akhirnya ia memutuskan masuk ke dalam. Ketika dia membuka pintu kamarnya, ruangan itu gelap. Sepertinya, Mahendra sudah tidur. Saat dia mengira begitu, Mahendra yang dikiranya telah tertidur ternyata tengah duduk di tepi ranjang. "Aku pikir kau tidak akan kembali ke kamar kita."Sebab gelap, Shena tidak bisa melihat dengan jelas. Jadi dia harus melangkah sangat pelan sekali demi mencegah dirinya terjatuh maupun tersandung kakinya sendiri. "Kenapa lampunya kau matikan? Sangat gelap, aku tidak bisa melihat dengan jelas." ucap Shena memprotes. Selepas dia selesai bicara begitu, terdengar pergerakan dari depannya dan tak lama kemudian, lampu di kamar itu menyala. "Kenapa kau belum tidur?" "Aku menunggumu," jawab Mahendra singkat. "Apa sekarang kau sudah baikan?" tanya Shena memastikan. Mahendra mengangguk, "Ya, lebih baik daripada yang tadi.""Jadi, kalau sekaran
"Jangan bertanya... aku sedang marah sekarang." Shena menghentakkan kakinya, membanting pintu kulkas saat dia mengambil sekarton susu. Edwin yang mau menyapa dan ingin bertanya ada apa dengan bibirnya dan pakaian berkerah panjang itu, seketika langsung bungkam. Gelagapan sendiri dia dibuatnya berkat bentakan sang kakak. "Belum juga bertanya, tapi sudah dimarahi," Rutuk Edwin kesal. Ia pun membuka kulkas, mengambil air dingin lalu dibawanya ke pantry. Dia duduk di sebelah sang kakak, menyantap sarapannya sebelum berangkat ke kampus pagi sekali. Dua bersaudara itu tidak saling bicara. Hanya fokus memakan sarapan paginya yang terdiri dari roti dan susu saja. Pembantu rumah tangga yang baru saja dari halaman belakang melihat Shena dan Edwin, lantas bertanya sopan. "Non Shena, Den Edwin, kalian butuh apa lagi? Biar saya yang melayani kalian berdua.""Tidak perlu, Bi. Sebentar lagi kami sudah selesai." Tolak Shena dengan halus. "Bibi bisa lanjutkan saja pekerjaannya." imbuhnya kemudian.