"Emh...." Shena mengerang begitu dia tak sengaja menggerakkan anggota badannya.Khawatir mendengar suara itu, Mahendra mencondongkan tubuhnya ke depan, "Ada apa? Ada yang kau butuhkan? Atau merasa sakit? Beritahu aku dimana kau merasa tak nyaman, Shena."Sakit? Seluruh tubuhku terasa sakit, batinnya lalu kembali memejamkan mata sebentar.Sapuan tangan nan lembut kemudian membelai keningnya, membuat dia membuka mata dan di depannya, wajah Mahendra terpampang. Raut pria itu tampak cemas, frustasi, dan lelah. Dari jarak sedekat itu, dia dapat melihat dengan jelas jambang di dagu sang suami yang belum di cukur.Ia ingin menyentuhnya, tapi tangannya terlalu lemah untuk di gerakkan."Mau minum?" tanya Mahendra lagi saat dilihatnya Shena hanya diam saja dan malah menatap lurus padanya.Shena mengangguk.Mahendra mengambil minum, menggunakan sendok untuk memberi Shena minum beberapa teguk. Ia juga mengolesi madu pada bibir sang istri yang kering."Terima kasih." ucapnya lirih."Aku mengantuk.
Aku mau pipis. Hal pertama yang muncul dalam benak Shena waktu dia setengah bangun adalah keinginan besar buang air kecil. Padahal dia sudah dipasangi kateter, dan dalam beberapa hari saat dia tak sadarkan diri pun, dia buang air kecil menggunakan itu. Tetapi, setelah dia bangun, dia ingin pergi ke kamar mandi. Langit di luar sudah malam dan jam di dinding bangsal menunjukkan pukul sembilan malam saat Shena secara perlahan membuka kedua matanya. Ruangan itu tampak remang-remang. Tidak dilihatnya siapa pun ada di bangsalnya. Namun, ketika dia menolehkan kepalanya ke sofa panjang di mana tadi malam dia melihat sang suami, ia mendapati pria itu ada di sana, kepala menunduk menghadap laptop yang sedang menyala. Cahaya layar dari laptop itu membuat Shena bisa melihat bibir sang suami yang mengetahui segaris serta rahangnya yang dipenuhi janggut. Mulanya Shena tidak mau menganggu apa yang Mahendra sedang lakukan. Dia berencana mengintip sang suami yang sedang bekerja bahkan di malam ha
Setelah selesai diperiksa oleh dokter, dan dokter berkata bahwa kondisi wanita itu baik-baik saja, dokter dan suster tersebut tidak lama tinggal. Di dalam bangsal tersisa Shena dan Mahendra saja. Pria itu kembali menuju ke ranjang Shena setelah mematikan lampu utama dalam bangsal, hanya menyisakan lampu tidur di sisi ranjang. Dia sudah mematikan laptopnya sejak dokter datang dan tidak mau lagi melanjutkan menangani pekerjaannya. Sebelum duduk di pinggir ranjang, ia kembali menanamkan ciuman di kening sang istri. "Hey," sapanya sedikit gugup. Perasaannya berubah campur aduk, antara senang, lega dan sakit. Ia merasa sakit setelah melihat betapa sengsaranya wanita di hadapannya yang telah berjuang mempertahankan anak mereka. Sedangkan dia sendiri, tidak ada yang bisa dia lakukan selain terus menemani wanita ini di sini, sampai bangun. Shena menatap lama pada wajah tampan di mana kecemerlangannya sedikit berkurang. Menggunakan tangannya yang tanpa IV, dia mengelus rahang Mahendra yang
Pagi hari, gorden sudah terbuka lebar. Sinar mentari yang cerah dan semilir angin masuk ke celah-celah jendela. Di dalam bangsal, Mahendra yang bangun lebih awal seperti biasa dan sudah membersihkan dirinya, bahkan telah bercukur juga, duduk di kursi sambil menyilangkan tangannya di dada. Penampilan kasualnya pagi itu sungguh menarik perhatian. Dibandingkan dengan tadi malam dan beberapa hari yang lalu, pria itu kembali pada penampilan rapinya seperti biasa. Sambil menunggu Shena bangun, Mahendra lebih awal melakukan pekerjaan. Serangkaian intruksi harian telah diberikannya pada bawahannya melalui email. Satu cup kopi espresso terdapat di atas meja, dan sarapan setengah di makan pun telah di pinggirkan. "Selamat pagi, Pak Mahendra. Kelihatannya hari ini Anda jauh lebih hidup. Tampaknya bangunnya nyonya Shena memberikan dampak besar ya pada Anda." Seorang suster senior datang dan menyapa Mahendra seperti biasa. Suster itu tersenyum lebar, terlihat senang karena akhirnya masuk ke dal
Rafael menghentikan langkahnya, membuat Karina sang ibu menatap heran padanya."Ada apa? Mengapa kau berhenti?"Pria itu menghadap ibunya, berkata, "Mama jalan duluan. Tunggu aku di mobil, aku mau ke toilet sebentar. Ini kuncinya." Karina tidak curiga apa pun. Ia mengambil kunci mobil dari tangan sang putra dan pergi dari koridor menuju ke lantai bawah rumah sakit. Selepas kepergian sang ibu, Rafael buru-buru berjalan ke depan. Dia tak mungkin salah melihat seorang wanita dan pria lewat di depannya. Wanita itu mirip Shena. Dan dari pakaian rumah sakit yang dikenakan oleh wanita itu, hanya dapat diartikan kalau Shena juga di rawat di rumah sakit ini. Tapi sakit apa?Sejak terakhir kali mereka bertemu, dia tidak mendapat kabar apa pun yang berkaitan dengan Shena. Sejak saat dia tahu kalau Shena tak akan pernah membuka hati untuknya lagi, dia memutuskan melupakan cintanya juga. Meski sulit, tapi ia tahu hanya itu satu-satunya cara membuat dia terhindar dari rasa sakit berkelanjutan yan
"A-Apa yang terjadi di sini?" Edwin nampak terkejut melihat ibunya tengah menangis terisak di dekat Rafael.Edwin sudah salah paham dengan mengira kalau Rafael telah menyakiti sang ibu, dan hampir saja memberondongi pria itu dengan banyaknya pertanyaan. Namun, niatannya berhenti tatkala Hera menarik lengannya agar ikut duduk di sampingnya."Maafkan aku Edwin, aku tak bermaksud membuat tante Hera seperti ini. Aku pikir kalian tahu kalau Shena sekarang berada di rumah sakit." ungkap pria itu dengan raut wajah bersalah.Tak mengerti dengan maksud percakapan keduanya, Edwin menatap bolak-balik pada Hera dan Rafael."Kak Shena di rumah sakit kau bilang? Apa maksudnya itu?" tanyanya dengan ekspresi tak mengerti. Jelas-jelas yang ia tahu kalau kakaknya itu berada di luar negeri sekarang bersama dengan kakak iparnya. Lalu, tiba-tiba Rafael datang dan bilang kalau kakaknya sedang ada di rumah sakit? Lelucon macam apa yang kiranya Rafael lakukan?Menyadari tatapan tak percaya yang dilayangkan
"Presdir." panggil Hedy pada Mahendra ketika dilihatnya atasannya sudah keluar dari apartemen.Sambil jalan, Mahendra memasang dasinya. Pria itu hanya melirik sebentar ke arah asistennya demi menanggapi panggilan barusan dengan gumaman rendah dan singkat. Kedua pria itu kemudian berjalan memasuki lift menuju ke lantai basment untuk mengambil mobil yang akan membawa mereka ke tempat tujuan.Setibanya di tempat parkir, Mahendra membuka sendiri pintu mobilnya lalu mengambil duduk di kursi belakang. Ia mengambil dokumen yang telah disiapkan oleh Hedy untuk dirinya cek kembali. Sedangkan Hedy yang bertugas menyetir di hari itu."Apa kau sudah cek langsung soal pertemuan ini, Hed?" tanya Mahendra masih belum yakin dengan berita yang tadi malam dia dengar."Sekretarisnya langsung yang menghubungi saya, Presdir." jawab Hedy singkat."Aku ingat terakhir kali sebelum aku memutuskan pergi dari rumahnya, dia berkata tidak akan mau memiliki kerja sama denganku jika aku memutuskan pergi langsung ta
"Tolong, duduk dulu." Pinta Rafael dengan suara lembut. Awalnya Shena enggan duduk di sebelah Rafael. Setelah apa yang terjadi pada mereka berdua, dia tidak bisa berpura-pura tidak pernah menyakiti pria baik ini yang ia tahu telah mencintainya sejak lama. Begitu pula dengan dirinya. Meskipun perasaan lama di hatinya telah tergantikan dengan sosok pria lain, tapi tetap saja tidak mengubah fakta bahwa dulunya, dia mengangumi pria di depannya ini."Shena. Please, duduklah, jangan berdiri saja." ucap Rafael lagi mengingatkan.Ragu-ragu, Shena akhirnya bersedia duduk di sebelah Rafael.Lorong itu sangat sepi. Selain suara napas keduanya, tidak satu suarapun yang dapat mereka dengar. Shena memutuskan menunggu Rafael bicara lebih dulu. Dia menunggu dengan sabar sampai mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan."Bukan maksudku untuk berbohong padamu." mulai pria itu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Shena. "Aku hanya terpaksa menyembunyikan siapa aku sebenarnya bukan semata-mata i