Rafael menghentikan langkahnya, membuat Karina sang ibu menatap heran padanya."Ada apa? Mengapa kau berhenti?"Pria itu menghadap ibunya, berkata, "Mama jalan duluan. Tunggu aku di mobil, aku mau ke toilet sebentar. Ini kuncinya." Karina tidak curiga apa pun. Ia mengambil kunci mobil dari tangan sang putra dan pergi dari koridor menuju ke lantai bawah rumah sakit. Selepas kepergian sang ibu, Rafael buru-buru berjalan ke depan. Dia tak mungkin salah melihat seorang wanita dan pria lewat di depannya. Wanita itu mirip Shena. Dan dari pakaian rumah sakit yang dikenakan oleh wanita itu, hanya dapat diartikan kalau Shena juga di rawat di rumah sakit ini. Tapi sakit apa?Sejak terakhir kali mereka bertemu, dia tidak mendapat kabar apa pun yang berkaitan dengan Shena. Sejak saat dia tahu kalau Shena tak akan pernah membuka hati untuknya lagi, dia memutuskan melupakan cintanya juga. Meski sulit, tapi ia tahu hanya itu satu-satunya cara membuat dia terhindar dari rasa sakit berkelanjutan yan
"A-Apa yang terjadi di sini?" Edwin nampak terkejut melihat ibunya tengah menangis terisak di dekat Rafael.Edwin sudah salah paham dengan mengira kalau Rafael telah menyakiti sang ibu, dan hampir saja memberondongi pria itu dengan banyaknya pertanyaan. Namun, niatannya berhenti tatkala Hera menarik lengannya agar ikut duduk di sampingnya."Maafkan aku Edwin, aku tak bermaksud membuat tante Hera seperti ini. Aku pikir kalian tahu kalau Shena sekarang berada di rumah sakit." ungkap pria itu dengan raut wajah bersalah.Tak mengerti dengan maksud percakapan keduanya, Edwin menatap bolak-balik pada Hera dan Rafael."Kak Shena di rumah sakit kau bilang? Apa maksudnya itu?" tanyanya dengan ekspresi tak mengerti. Jelas-jelas yang ia tahu kalau kakaknya itu berada di luar negeri sekarang bersama dengan kakak iparnya. Lalu, tiba-tiba Rafael datang dan bilang kalau kakaknya sedang ada di rumah sakit? Lelucon macam apa yang kiranya Rafael lakukan?Menyadari tatapan tak percaya yang dilayangkan
"Presdir." panggil Hedy pada Mahendra ketika dilihatnya atasannya sudah keluar dari apartemen.Sambil jalan, Mahendra memasang dasinya. Pria itu hanya melirik sebentar ke arah asistennya demi menanggapi panggilan barusan dengan gumaman rendah dan singkat. Kedua pria itu kemudian berjalan memasuki lift menuju ke lantai basment untuk mengambil mobil yang akan membawa mereka ke tempat tujuan.Setibanya di tempat parkir, Mahendra membuka sendiri pintu mobilnya lalu mengambil duduk di kursi belakang. Ia mengambil dokumen yang telah disiapkan oleh Hedy untuk dirinya cek kembali. Sedangkan Hedy yang bertugas menyetir di hari itu."Apa kau sudah cek langsung soal pertemuan ini, Hed?" tanya Mahendra masih belum yakin dengan berita yang tadi malam dia dengar."Sekretarisnya langsung yang menghubungi saya, Presdir." jawab Hedy singkat."Aku ingat terakhir kali sebelum aku memutuskan pergi dari rumahnya, dia berkata tidak akan mau memiliki kerja sama denganku jika aku memutuskan pergi langsung ta
"Tolong, duduk dulu." Pinta Rafael dengan suara lembut. Awalnya Shena enggan duduk di sebelah Rafael. Setelah apa yang terjadi pada mereka berdua, dia tidak bisa berpura-pura tidak pernah menyakiti pria baik ini yang ia tahu telah mencintainya sejak lama. Begitu pula dengan dirinya. Meskipun perasaan lama di hatinya telah tergantikan dengan sosok pria lain, tapi tetap saja tidak mengubah fakta bahwa dulunya, dia mengangumi pria di depannya ini."Shena. Please, duduklah, jangan berdiri saja." ucap Rafael lagi mengingatkan.Ragu-ragu, Shena akhirnya bersedia duduk di sebelah Rafael.Lorong itu sangat sepi. Selain suara napas keduanya, tidak satu suarapun yang dapat mereka dengar. Shena memutuskan menunggu Rafael bicara lebih dulu. Dia menunggu dengan sabar sampai mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan."Bukan maksudku untuk berbohong padamu." mulai pria itu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Shena. "Aku hanya terpaksa menyembunyikan siapa aku sebenarnya bukan semata-mata i
Pertemuan hari itu diadakan di sebuah restoran western yang cukup terkenal. Begitu Mahendra dan Hedy tiba, mereka di sambut oleh pelayan yang membawa keduanya menuju ke sebuah ruangan pribadi. Menunggu di dalam ruangan tersebut tak lain adalah pria paruh baya mengenakan setelan jas formal yang membuat penampilannya jadi tampak terhormat."Pak, mereka sudah tiba." asisten Surya memberitahu perihal kedatangan Mahendra dan Hedy."Persilahkan mereka masuk," jawabnya singkat yang langsung dipatuhi pria berusia empat puluhan itu.Begitu pintu ruangan pribadi tersebut di buka, Mahendra dan Hedy masuk ke dalam. "Silahkan duduk." ujar Surya mempersilahkan keduanya agar menempati tempat duduk yang kosong.Mahendra dan Hedy saling berpandangan sebentar, sebelum mengambil duduk saling berhadapan dengan Surya dan asistennya yang membukakan mereka pintu."Apa Anda membawa berkas yang saya minta?" Mulai Surya bertanya lebih dulu pada Mahendra."Saya membawanya," balas pria tampan itu lalu menyerah
Mahendra tidak membuang-buang waktu. Dia langsung memberitahu keadaan sebenarnya pada Surya dan menyerahkan pembicaraan yang belum usai itu pada Hedy."Maafkan saya karena harus pergi lebih dulu, Tuan Surya." ucap Mahendra bersungguh-sungguh meminta maaf. Ini adalah kali kedua dia pergi secara mendadak dan dia melakukannya pada orang yang sama yang tidak suka diperlakukan seperti itu.Berbanding terbalik dengan kekhawatiran yang di pikirkan oleh Mahendra, Surya justru menunjukkan sikap biasa-biasa saja."Pergilah." kata Surya sembari mengibaskan tangannya.Tak lupa demi menunjukkan kesopanannya, Mahendra memberikan anggukan rendah dan tulus. Namun, sebelum dia berhasil membuka pintu, dia mendengar suara di belakangnya."Mahendra, kalau kau tidak keberatan, apakah boleh aku mengunjungi istri dan putramu?"Mahendra memalingkan muka ke belakang, dengan senyum kecil dan anggukan, ia menjawab, "Kedatangan Anda senantiasa kami tunggu. Silahkan datang apabila Anda sudah tidak sibuk."Begitu
Satu Minggu setelah kedatangan Rafael dan berhasilnya operasi kedua yang Shena lakukan, wanita itu bersikeras meminta untuk di pulangkan. Sejak Mahendra tahu mengapa Shena bisa celaka yang mengharuskan sang istri kembali melakukan operasi, pria itu memiliki kemarahan dalam dadanya yang kini menumpuk seiring waktu berlalu. Ia memiliki dendam kepada Rafael yang telah melakukan ini pada Shena. Tetapi, atas bujukan Rossa, pria itu akhirnya menyerah membalas dendam kesakitan Shena pada Rafael. Saat ini, dia memiliki hal lain yang perlu dia amati betul keadaannya. Dan ini berkaitan dengan kondisi Shena setelah sang istri sadar kembali. Beberapa hari telah berlalu, namun Shena lebih banyak diam. Yang membuat dia tidak tahu harus bersikap bagaimana membujuk istrinya itu agar tidak terlalu banyak berpikir.Hari ini adalah hari di mana mereka akan pulang ke rumah. Atas saran Rossa, Mahendra akan membawa Shena ke kediaman utama Muneer. Untuk sementara waktu dia akan membiarkan sang tante menja
Pada saat kendaraan yang membawa mereka hampir tiba di kediaman keluarga Muneer, Shena memiliki antisipasi dalam benaknya. Ketakutannya menghadapi Hera di kala ibunya itu tahu segala kebenarannya membuat Shena kehilangan pikirannya dalam beberapa waktu.Sebagai pasangannya, Mahendra tak bisa berbuat banyak selain senantiasa berada di sisi Shena. Bahkan meski banyak kalimat lembut dan penuh perhatian telah di utarakan sebagai bentuk untuk menenangkan sang istri dari berpikir terlalu berlebihan, usahanya tidaklah membuahkan hasil. Meski begitu, dia tidak menyerah. Dia selalu berada di sana, berada di sisi Shena untuk menemani istrinya tersebut."Ayo turun." ajak Mahendra pada Shena yang kini menatap ke luar jendela. Tepatnya, pada rumah mewah di depannya. Helaan napas kasar dihembuskan Shena kala ia bersiap untuk turun.Menunggu di dalam rumah, Hera dan Edwin bersama dengan Rossa dan juga Hartawan. Berita kepulangan Shena Siang itu telah diketahui seluruh keluarga.Membawa Askara dalam
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan