"Tolong, duduk dulu." Pinta Rafael dengan suara lembut. Awalnya Shena enggan duduk di sebelah Rafael. Setelah apa yang terjadi pada mereka berdua, dia tidak bisa berpura-pura tidak pernah menyakiti pria baik ini yang ia tahu telah mencintainya sejak lama. Begitu pula dengan dirinya. Meskipun perasaan lama di hatinya telah tergantikan dengan sosok pria lain, tapi tetap saja tidak mengubah fakta bahwa dulunya, dia mengangumi pria di depannya ini."Shena. Please, duduklah, jangan berdiri saja." ucap Rafael lagi mengingatkan.Ragu-ragu, Shena akhirnya bersedia duduk di sebelah Rafael.Lorong itu sangat sepi. Selain suara napas keduanya, tidak satu suarapun yang dapat mereka dengar. Shena memutuskan menunggu Rafael bicara lebih dulu. Dia menunggu dengan sabar sampai mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan."Bukan maksudku untuk berbohong padamu." mulai pria itu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Shena. "Aku hanya terpaksa menyembunyikan siapa aku sebenarnya bukan semata-mata i
Pertemuan hari itu diadakan di sebuah restoran western yang cukup terkenal. Begitu Mahendra dan Hedy tiba, mereka di sambut oleh pelayan yang membawa keduanya menuju ke sebuah ruangan pribadi. Menunggu di dalam ruangan tersebut tak lain adalah pria paruh baya mengenakan setelan jas formal yang membuat penampilannya jadi tampak terhormat."Pak, mereka sudah tiba." asisten Surya memberitahu perihal kedatangan Mahendra dan Hedy."Persilahkan mereka masuk," jawabnya singkat yang langsung dipatuhi pria berusia empat puluhan itu.Begitu pintu ruangan pribadi tersebut di buka, Mahendra dan Hedy masuk ke dalam. "Silahkan duduk." ujar Surya mempersilahkan keduanya agar menempati tempat duduk yang kosong.Mahendra dan Hedy saling berpandangan sebentar, sebelum mengambil duduk saling berhadapan dengan Surya dan asistennya yang membukakan mereka pintu."Apa Anda membawa berkas yang saya minta?" Mulai Surya bertanya lebih dulu pada Mahendra."Saya membawanya," balas pria tampan itu lalu menyerah
Mahendra tidak membuang-buang waktu. Dia langsung memberitahu keadaan sebenarnya pada Surya dan menyerahkan pembicaraan yang belum usai itu pada Hedy."Maafkan saya karena harus pergi lebih dulu, Tuan Surya." ucap Mahendra bersungguh-sungguh meminta maaf. Ini adalah kali kedua dia pergi secara mendadak dan dia melakukannya pada orang yang sama yang tidak suka diperlakukan seperti itu.Berbanding terbalik dengan kekhawatiran yang di pikirkan oleh Mahendra, Surya justru menunjukkan sikap biasa-biasa saja."Pergilah." kata Surya sembari mengibaskan tangannya.Tak lupa demi menunjukkan kesopanannya, Mahendra memberikan anggukan rendah dan tulus. Namun, sebelum dia berhasil membuka pintu, dia mendengar suara di belakangnya."Mahendra, kalau kau tidak keberatan, apakah boleh aku mengunjungi istri dan putramu?"Mahendra memalingkan muka ke belakang, dengan senyum kecil dan anggukan, ia menjawab, "Kedatangan Anda senantiasa kami tunggu. Silahkan datang apabila Anda sudah tidak sibuk."Begitu
Satu Minggu setelah kedatangan Rafael dan berhasilnya operasi kedua yang Shena lakukan, wanita itu bersikeras meminta untuk di pulangkan. Sejak Mahendra tahu mengapa Shena bisa celaka yang mengharuskan sang istri kembali melakukan operasi, pria itu memiliki kemarahan dalam dadanya yang kini menumpuk seiring waktu berlalu. Ia memiliki dendam kepada Rafael yang telah melakukan ini pada Shena. Tetapi, atas bujukan Rossa, pria itu akhirnya menyerah membalas dendam kesakitan Shena pada Rafael. Saat ini, dia memiliki hal lain yang perlu dia amati betul keadaannya. Dan ini berkaitan dengan kondisi Shena setelah sang istri sadar kembali. Beberapa hari telah berlalu, namun Shena lebih banyak diam. Yang membuat dia tidak tahu harus bersikap bagaimana membujuk istrinya itu agar tidak terlalu banyak berpikir.Hari ini adalah hari di mana mereka akan pulang ke rumah. Atas saran Rossa, Mahendra akan membawa Shena ke kediaman utama Muneer. Untuk sementara waktu dia akan membiarkan sang tante menja
Pada saat kendaraan yang membawa mereka hampir tiba di kediaman keluarga Muneer, Shena memiliki antisipasi dalam benaknya. Ketakutannya menghadapi Hera di kala ibunya itu tahu segala kebenarannya membuat Shena kehilangan pikirannya dalam beberapa waktu.Sebagai pasangannya, Mahendra tak bisa berbuat banyak selain senantiasa berada di sisi Shena. Bahkan meski banyak kalimat lembut dan penuh perhatian telah di utarakan sebagai bentuk untuk menenangkan sang istri dari berpikir terlalu berlebihan, usahanya tidaklah membuahkan hasil. Meski begitu, dia tidak menyerah. Dia selalu berada di sana, berada di sisi Shena untuk menemani istrinya tersebut."Ayo turun." ajak Mahendra pada Shena yang kini menatap ke luar jendela. Tepatnya, pada rumah mewah di depannya. Helaan napas kasar dihembuskan Shena kala ia bersiap untuk turun.Menunggu di dalam rumah, Hera dan Edwin bersama dengan Rossa dan juga Hartawan. Berita kepulangan Shena Siang itu telah diketahui seluruh keluarga.Membawa Askara dalam
Beberapa saat setelah Shena selesai menceritakan detail pertemuannya dengan Mahendra sampai sekarang bagaimana mereka menjalin hubungan serius, Hera jadi terdiam. Wanita paruh baya itu menatap rumit ke arah Shena yang tampak tersenyum kecil dan menghela napas tak berdaya."Jadi begitu," ujar Hera menanggapi, "Sekarang mama tahu kenapa selama ini kau terus menerus menolak perasaan Rafael. Ternyata, karena kau sudah memiliki hubungan dengan Mahendra."Shena memalingkan mukanya ke samping dengan raut malu. Ia menyentuh cuping hidungnya yang tak gatal demi mengalihkan rasa gugup sebab ditatap oleh ibunya dengan tatapan yang mencurigakan."Jangan melihatku seperti itu, Ma." kata Shena seraya menghela napas ringan. "Sebenarnya, mama sendiri tahu kan, antara aku dan Rafael sedari awal memang tak cocok satu sama lain.""Kata siapa tak cocok?" Hera membalas tak terima. Sedangkan Shena hanya geleng-geleng kepala memandangi Hera yang begitu perhatian terhadap Rafael."Pokoknya sekarang, aku maun
"Dengar apa?"Mahendra tidak langsung menjawab, tapi menatap lekat pada Shena di depannya.Risih sebab dilihat sedemikian rupa oleh Mahendra, Shena dapat merasakan wajahnya memanas. "Kalau tidak mau jawab, minggir. Aku mau menyusul mama." ucapnya terdengar galak. Padahal, dia bersikap seperti itu demi menyembunyikan degup jantungnya yang bertalu-talu. "Shena, kenapa kau tidak percaya kalau aku sungguhan sayang padamu? Apa pernyataan cintaku selama ini padamu hanya kau anggap bohongan semata?"Jadi, dia dengar? Adalah isi pikiran Shena tatkala Mahendra berkata demikian padanya. Sejauh mana pria ini mendengar percakapannya bersama sang ibu?"Kenapa kau diam?" desak Mahendra karena Shena tidak menjawab."Jangan salahkan aku," cicit Shena seraya mengintip wajah Mahendra. Ingin memastikan bagaimana ekspresi pria itu sekarang. Ketika dilihatnya Mahendra tidak menunjukkan ekspresi aneh, ia pun melanjutkan, "kau tidak tahu saja kalau di hotel kau ini begitu populer. Banyak staff wanita yan
Surya mengamati sekeliling ruangan dengan raut penasaran. Pasalnya, baru kali ini dia pergi secara pribadi ke kediaman keluarga Muneer hanya untuk menepati janji yang telah terlanjur dia ucapkan.Dikarenakan suatu hal. Ia terpaksa tinggal lebih lama di Indonesia. Seharusnya, lusa kemarin dia sudah harus betolak ke Australia demi menjalankan bisnisnya kembali. Namun, karena koleganya yang di Indonesia meminta waktunya, ia jadi mengurungkan niat untuk pergi itu dan berkata pada asistennya bahwa dia kemungkinan besar akan menambah hari untuk tinggal. Setelah pekerjaan di Indonesia selesai dia handle, dia kemudian teringat akan janjinya pada pria muda itu. Permintaannya untuk berkunjung baru bisa terlaksana setelah beberapa hari berlalu. Semoga saja pihak Mahendra memaklumi keterlambatannya dan tida ada pikiran aneh-aneh soal dia yang tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa janji temu dulu. Selagi Surya sibuk dengan pikirannya, Mahendra dan Hartawan muncul dari dalam. Dua pria beda usia itu
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan