Kantor polisi kota Bibes. Distrik Bibes International University.
"Apa masalahmu? Mau jadi jagoan atau jadi gangster?!" bentak seorang polisi dengan wajah yang terlihat geram. “Berkelahi di depan hotel, apa kamu tahu sudah mengganggu kenyamanan umum!? Hotel bisa menuntutmu untuk membayar denda!” Nathan yang duduk berhadapan dengan polisi tersebut hanya memasang ekspresi datar, tidak sedikit pun dia terlihat tertarik untuk menjawab pertanyaan sang polisi. Menjelaskan kenapa Nathan bisa berakhir di tempat ini sekarang … semua itu karena perdebatannya dengan Quenzi dan Dyren divideokan oleh seorang anak kampus yang kebetulan ada di area tersebut saat itu. Entah bagaimana caranya, video itu sampai ke tangan dosen wali yang bertanggung jawab atas angkatan mereka dan dia pun langsung mendatangi tempat tersebut sembari membawa pihak kepolisian. “Apa Anda tidak akan menanyakan kronologisnya untuk menentukan siapa yang benar dan salah?” tanya Nathan. Namun, ucapannya itu semakin membuat polisi marah. "Bajingan sombong! Ini kantorku, hanya aku yang berhak menentukan ingin menanyakan apa! Kamu cukup menjawab saja," bentak polisi itu lagi dengan nada tinggi. Pelipis Nathan berkedut. Dia sudah tahu kenapa polisi tersebut tidak menanyakan pertanyaan penting padanya dan hanya menahannya dengan ceramah panjang. Nathan menoleh dan menatap sosok Dyren dan Quenzi yang duduk agak jauh darinya. Tidak jauh berbeda darinya, dua orang tersebut juga sedang dimintai keterangan oleh polisi lainnya. Akan tetapi, mereka ditetapkan sebagai korban dan dirinya adalah tersangka, dan semua itu berkat status Dyren sebagai putra dekan. "Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, aku mau dia berlutut dan menjilat sepatuku sebagai permintaan maaf! Kalau tidak, jebloskan dia ke penjara!" Raungan Dyren yang sedang berbicara dengan dosen dan polisi yang menanganinya terdengar lantang di seisi kantor. Hal tersebut membuat sang dosen menghela napas berat, tampak tidak memiliki pilihan. Akhirnya, dosen wali pun menghampiri Nathan. Dengan wajah kesal dan tidak sabaran, dia berkata, “Cepat minta maaf pada Dyren. Jangan buat masalah makin runyam karena keegoisanmu.” Nathan langsung mengerutkan kening. “Aku tidak bersalah. Kenapa harus aku yang minta maaf?” PLAK! Sebuah tamparan keras dilayangkan oleh sang dosen wali ke kepala Nathan. “Bajingan! Sudah tahu miskin dan tidak ada dukungan, tapi masih banyak berulah. Sudah, cepat lakukan saja! Kau tahu siapa Ayah Dyren, bukan?!" bentaknya kesal. Sang dosen merasa dirinya harusnya sedang bersantai di ruangannya sekarang, tapi gara-gara ulah pemuda ini, dia harus mengurus masalah sepele seperti ini. Sang polisi pun menimpali, “Kalau kubilang, Nak. Ikuti kata dosenmu. Itu pilihan bijak.” Dia menyeruput segelas kopi dengan santai, tampak acuh tak acuh dengan kondisi Nathan. “Kalau memang tidak punya kuasa, tunduk saja.” Mendengar ucapan dua orang dewasa yang tidak bertanggung jawab itu, Nathan mengepalkan tangannya. Seorang dosen yang seharusnya mendidik mengenai benar dan salah, malah memaki dirinya karena miskin. Sedangkan polisi yang harusnya menjadi penegak hukum, malah menyuruhnya tunduk kepada kuasa? Hebat, sungguh hebat! Melihat Nathan masih terdiam, Quenzi yang tidak sabar untuk keluar dari kantor polisi langsung menghampiri. "Nathan, mereka benar. Dibandingkan mempertahankan harga dirimu yang tidak berharga itu, lebih baik minta maaf saja dan selesaikan masalah ini dengan cepat! Kau tidak mau berakhir di dalam penjara, ‘kan?!" “Kalau memang ingin memenjarakanku, maka penjarakan saja.” Nathan menatap dingin Quenzi sebelum akhirnya beralih pada Dyren. “Yang jelas, aku tidak akan minta maaf untuk hal yang tidak kulakukan, terlebih pada seseorang yang hanya bisa mengandalkan reputasi ayahnya." "Kau bilang apa?!” Dyren seketika langsung berdiri dan menghampiri Nathan. “Dasar bajingan, aku hajar kau–” Sang dosen langsung menahan Dyren, khawatir dia akan mulai melayangkan tangan dan sogokan yang harus diberikan kepada polisi semakin besar. “Dyren, tenang!” Kesal, Dyren meraung, “Sudah cukup! Penjarakan saja dia! Tidak peduli bajingan itu memohon atau menangis, jangan lepaskan sampai dia membusuk karena telah menghinaku!" Kemarahan Dyren membuat sang dosen frustrasi. Dia tahu betapa repot dirinya nanti karena insiden ini. Sebagai dosen wali, tentunya dia harus bertanggung jawab menekan media dari menyebarkan berita adanya murid universitas mereka yang masuk penjara! ‘Nathan sialan!’ maki dosen itu kesal. Di sisi lain, polisi langsung menghela napas dan memborgol tangan Nathan, bersiap membawanya masuk ke penjara. "Dasar bodoh. Diberi kesempatan, malah dibuang begitu saja. Nanti kau pasti akan menyesal!" ucap sang polisi yang sedang memborgol Nathan. Tepat di saat itu, tiba-tiba pintu kantor polisi terbuka lebar dan satu suara menggelegar terdengar bertitah, "Berhenti!" Sontak saja semua orang menoleh ke arah sumber suara. Melihat orang yang datang, terlihat mereka semua terkejut. “Dekan?” "Ayah!?" Melihat ayahnya, Darel Xavier–sang dekan kampus–hadir di tempat tersebut bersama asistennya, Dyren cukup kaget. Namun, Dyren tersenyum bangga. Dia yakin ayahnya hadir untuk mendukungnya dan memberi pelajaran untuk Nathan! Akan tetapi, ketika Darel berhadapan dengan polisi, pria tersebut malah berkata, “Bebaskan dia dan pastikan masalah ini tidak tersentuh media!”Semua orang terkejut, terlebih Dyren yang menyaksikan asisten ayahnya memberika amplop cokelat–sogokan–kepada kepala polisi kantor cabang itu demi membebaskan Nathan. “Ayah! Bajingan ini sudah membuatku malu di depan publik! Kenapa Ayah malah–” PLAK! Sebuah tamparan dihadiahkan oleh Darel kepada Dyren, membuat semua orang melongo. Tamparan itu begitu keras sampai Dyren terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang, dan dia hampir jatuh kalau bukan ditahan oleh Quenzi. “A-Ayah?” “Bajingan tidak tahu diri! Hanya karena wanita, kamu tidak lagi tahu cara menjaga reputasi?” tegur Darel dengan penuh kemarahan.Darel melirik Quenzi yang berada di sebelah putranya sekilas, lalu mendengus dingin sebelum beralih pada dua pengawal putranya. “Bawa bocah itu pulang dan jangan biarkan dia keluar untuk satu minggu!" Diperintahkan demikian, Dyren langsung diseret oleh kedua pengawalnya. “Ayah! Ayah tidak bisa melakukan ini padaku!” Namun, Darel sama sekali tidak peduli dan hanya d
Nathan mengernyitkan dahi, terkejut melihat wanita yang berhasil ia selamatkan semalam duduk di kursi dekan, tampak begitu sangat santai seolah itu kursinya sendiri. "Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu sudah berjanji tidak akan mengganggu hidupku, setelah aku menyelamatkanmu?" "Setelah apa yang telah kamu perbuat padaku, beraninya kamu berkata demikian?! Dasar pria tidak bertanggung jawab!" sindir Adelina dengan nada sinis. Nathan mengerjapkan matanya, mencoba memahami maksud Adelina. "Apa maksudmu, Nona?" "Jangan berpura-pura tidak mengerti!” Adelina mengepalkan tangannya, tapi tampak wajahnya yang cantik merona saat mengingat bagaimana dirinya terbangun tanpa busana. Dan setelah terbangun, hal pertama yang muncul di benak Adelina adalah … bagaimana Nathaniel menyentuh tubuhnya dan membuatnya mendesah. Ditempatnya, Nathan berusaha menjelaskan, "Nona, semalam kamu terkena racun dan obat perangsang, jika aku tidak melakukan pengobatan …." BRAK! Mendengar Nathan meng
Melihat ekspresi terkejut Nathan, Adelina menatapnya tajam, matanya menyipit, dan ia menyilangkan kedua tangan di depan dadanya yang membusung. "Kenapa? Apakah kamu lebih suka membusuk di dalam kamp militer?" ucap Adelina dengan nada sinis, membuat Nathan merasa terpojok. Nathan mengepalkan tangan. Dia mencoba untuk bersabar menghadapi wanita yang berdiri di depannya. "Nona, apakah kamu sudah tidak waras? Kita bahkan tidak saling mengenal, bagaimana kamu bisa menjadikanku tunanganmu? Itu tidak masuk akal." Adelina menjawab dengan dingin, "Kamu tidak punya pilihan.” Dia menambahkan, “Dan lagi, alasan aku melakukan ini adalah karena kamu telah menodai kehormatanku. Aku juga sama sekali tidak ingin berhubungan denganmu, tetapi kejadian semalam mengikat kita dalam situasi ini!" tegasnya, wajahnya menunjukkan aura mendominasi. Nathan menghela napas panjang, kesabarannya di ujung tanduk. "Itu lagi yang kamu bahas, Adelina? Aku sudah bilang berkali-kali, tindakanku itu hanya untuk me
Di dalam mobil yang melaju cepat di jalanan kota Bibes, suasana canggung menyelimuti Nathan dan Adelina yang duduk bersebelahan. Adelina dengan percaya diri memamerkan paha mulusnya yang terlihat akibat mengenakan rok di atas lutut, membuat Nathan merasa tidak nyaman. Nathan berusaha menjaga jarak dengan Adelina, memalingkan wajahnya dan menjauhkan pahanya yang tanpa sengaja menyentuh wanita itu. Adelina tiba-tiba mengejeknya. "Kau sudah menyentuh tubuhku, kenapa berpura-pura malu?" "Jangan berbicara omong kosong, aku malas berdebat denganmu," sahut Nathan, tetap menatap lurus ke depan. Adelina menyipitkan matanya, keheranan muncul di wajahnya saat menyadari Nathan benar-benar pria yang berbeda. Tidak seperti pria pada umumnya, Nathan tampak tidak tergoda dengan keindahan tubuhnya. Tiba-tiba ponsel Adelina berdering. “Hal–” "Kamu ada di mana, Adelina?!” teriak orang di seberang telepon, memotong kalimat Adelina y
Mendengar perkataan Adelina, mata semua orang membulat penuh kejutan. "Omong kosong apa yang kau bicarakan, Adelina?!" sergah Kelvin, nada suaranya meninggi tajam. “Kau pasti bercanda, bukan?” Adelina, dengan tatapan tenang yang mendalam, menjawab tanpa ragu. "Aku sungguh-sungguh, Paman. Hanya Nathan yang akan menjadi suamiku." Dia berbalik, lalu menatap Jeremy. "Jadi, maaf, Tuan Adelray, Anda harus kecewa karena pernikahan kita tidak akan pernah terjadi!" Jeremy langsung melemparkan tatapan tajam kepada Marlina dan Kelvin. “Kekonyolan apa ini?” Kemarahan Jeremy membuat Marlina dan Kelvin panik. Mereka pun menatap Adelina dengan tatapan nyalang. "Adelina! Jangan bodoh! Kau hanya bisa menikah dengan Tuan Adelray!" desis Marlina. “Tuan Adelray adalah keturunan keluarga terhormat, sedangkan pria itu …” dia menatap Nathan, “… dari penampilannya jelas dia hanya orang biasa tanpa latar belakang!” “Ada latar belakang ata
"Paket!" Malam itu, hujan mengguyur deras kota Bibes. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghentikan Nathaniel Clain dari melakukan pekerjaan sampingannya mengantar paket. Semua dia lakukan demi bisa mengumpulkan uang untuk membeli hadiah ulang tahun tas mahal yang sang kekasih manisnya inginkan. Pemuda di semester akhir kuliah itu tampak berdiri di depan sebuah pintu apartemen mewah yang menjadi tujuan terakhirnya malam tersebut. Sekian lama menunggu, pintu tersebut tidak terbuka, dan hal itu membuat Nathan–nama panggilan Nathaniel–menautkan alis. ‘Apa penghuninya tidak di rumah?’ pikirnya seraya melihat sekeliling. Hanya ada satu pintu di lantai ini, menunjukkan bahwa pemilik apartemen ini adalah satu-satunya penghuni satu lantai tersebut. ‘Haruskah kutinggalkan saja paketnya di sini?’ pikir Nathan, ingin segera menyelesaikan tugasnya. ‘Sudahlah, kutinggalkan saja ….’ Namun, baru saja dia menunduk untuk meletakkan box paket di depan pintu, suara teriakan seorang perempu
Tanpa menunggu, Nathan pergi ke Hotel Evergarden, hotel berbintang yang ada di dekat area kampus. Menurut informasi dari Jack, Quenzi pergi ke sana bersama Dyren untuk merayakan hari jadi mereka yang pertama. Dan Nathan, dia ke sana untuk meminta penjelasan mengenai kenapa Quenzi mengkhianatinya. Sampai di hotel, Nathan melihat Quenzi baru saja keluar dari sana selagi bergelayut manja di lengan Dyren. Di belakang keduanya, terlihat ada dua orang pengawal setia milik pria tersebut yang mengikuti. "Terima kasih Dyren, aku suka sekali hadiahmu," ucap Quenzi manja dengan senyum malu-malu. Di tangannya, ada sejumlah kantong belanja bermerek yang barang termurahnya masing-masing bisa bernilai jutaan! Dyren tersenyum puas dan melingkarkan tangannya di pinggang Quenzi dengan semakin intim. “Apa pun untukmu, Sayang ….” Melihat hal itu Nathan mengepalkan tangan. Tidak pernah Quenzi menampakkan wajah sebahagia itu ketika diberikan hadiah olehnya. Padahal, dia setengah mati berjuang kerj
Mendengar perkataan Adelina, mata semua orang membulat penuh kejutan. "Omong kosong apa yang kau bicarakan, Adelina?!" sergah Kelvin, nada suaranya meninggi tajam. “Kau pasti bercanda, bukan?” Adelina, dengan tatapan tenang yang mendalam, menjawab tanpa ragu. "Aku sungguh-sungguh, Paman. Hanya Nathan yang akan menjadi suamiku." Dia berbalik, lalu menatap Jeremy. "Jadi, maaf, Tuan Adelray, Anda harus kecewa karena pernikahan kita tidak akan pernah terjadi!" Jeremy langsung melemparkan tatapan tajam kepada Marlina dan Kelvin. “Kekonyolan apa ini?” Kemarahan Jeremy membuat Marlina dan Kelvin panik. Mereka pun menatap Adelina dengan tatapan nyalang. "Adelina! Jangan bodoh! Kau hanya bisa menikah dengan Tuan Adelray!" desis Marlina. “Tuan Adelray adalah keturunan keluarga terhormat, sedangkan pria itu …” dia menatap Nathan, “… dari penampilannya jelas dia hanya orang biasa tanpa latar belakang!” “Ada latar belakang ata
Di dalam mobil yang melaju cepat di jalanan kota Bibes, suasana canggung menyelimuti Nathan dan Adelina yang duduk bersebelahan. Adelina dengan percaya diri memamerkan paha mulusnya yang terlihat akibat mengenakan rok di atas lutut, membuat Nathan merasa tidak nyaman. Nathan berusaha menjaga jarak dengan Adelina, memalingkan wajahnya dan menjauhkan pahanya yang tanpa sengaja menyentuh wanita itu. Adelina tiba-tiba mengejeknya. "Kau sudah menyentuh tubuhku, kenapa berpura-pura malu?" "Jangan berbicara omong kosong, aku malas berdebat denganmu," sahut Nathan, tetap menatap lurus ke depan. Adelina menyipitkan matanya, keheranan muncul di wajahnya saat menyadari Nathan benar-benar pria yang berbeda. Tidak seperti pria pada umumnya, Nathan tampak tidak tergoda dengan keindahan tubuhnya. Tiba-tiba ponsel Adelina berdering. “Hal–” "Kamu ada di mana, Adelina?!” teriak orang di seberang telepon, memotong kalimat Adelina y
Melihat ekspresi terkejut Nathan, Adelina menatapnya tajam, matanya menyipit, dan ia menyilangkan kedua tangan di depan dadanya yang membusung. "Kenapa? Apakah kamu lebih suka membusuk di dalam kamp militer?" ucap Adelina dengan nada sinis, membuat Nathan merasa terpojok. Nathan mengepalkan tangan. Dia mencoba untuk bersabar menghadapi wanita yang berdiri di depannya. "Nona, apakah kamu sudah tidak waras? Kita bahkan tidak saling mengenal, bagaimana kamu bisa menjadikanku tunanganmu? Itu tidak masuk akal." Adelina menjawab dengan dingin, "Kamu tidak punya pilihan.” Dia menambahkan, “Dan lagi, alasan aku melakukan ini adalah karena kamu telah menodai kehormatanku. Aku juga sama sekali tidak ingin berhubungan denganmu, tetapi kejadian semalam mengikat kita dalam situasi ini!" tegasnya, wajahnya menunjukkan aura mendominasi. Nathan menghela napas panjang, kesabarannya di ujung tanduk. "Itu lagi yang kamu bahas, Adelina? Aku sudah bilang berkali-kali, tindakanku itu hanya untuk me
Nathan mengernyitkan dahi, terkejut melihat wanita yang berhasil ia selamatkan semalam duduk di kursi dekan, tampak begitu sangat santai seolah itu kursinya sendiri. "Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu sudah berjanji tidak akan mengganggu hidupku, setelah aku menyelamatkanmu?" "Setelah apa yang telah kamu perbuat padaku, beraninya kamu berkata demikian?! Dasar pria tidak bertanggung jawab!" sindir Adelina dengan nada sinis. Nathan mengerjapkan matanya, mencoba memahami maksud Adelina. "Apa maksudmu, Nona?" "Jangan berpura-pura tidak mengerti!” Adelina mengepalkan tangannya, tapi tampak wajahnya yang cantik merona saat mengingat bagaimana dirinya terbangun tanpa busana. Dan setelah terbangun, hal pertama yang muncul di benak Adelina adalah … bagaimana Nathaniel menyentuh tubuhnya dan membuatnya mendesah. Ditempatnya, Nathan berusaha menjelaskan, "Nona, semalam kamu terkena racun dan obat perangsang, jika aku tidak melakukan pengobatan …." BRAK! Mendengar Nathan meng
Semua orang terkejut, terlebih Dyren yang menyaksikan asisten ayahnya memberika amplop cokelat–sogokan–kepada kepala polisi kantor cabang itu demi membebaskan Nathan. “Ayah! Bajingan ini sudah membuatku malu di depan publik! Kenapa Ayah malah–” PLAK! Sebuah tamparan dihadiahkan oleh Darel kepada Dyren, membuat semua orang melongo. Tamparan itu begitu keras sampai Dyren terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang, dan dia hampir jatuh kalau bukan ditahan oleh Quenzi. “A-Ayah?” “Bajingan tidak tahu diri! Hanya karena wanita, kamu tidak lagi tahu cara menjaga reputasi?” tegur Darel dengan penuh kemarahan.Darel melirik Quenzi yang berada di sebelah putranya sekilas, lalu mendengus dingin sebelum beralih pada dua pengawal putranya. “Bawa bocah itu pulang dan jangan biarkan dia keluar untuk satu minggu!" Diperintahkan demikian, Dyren langsung diseret oleh kedua pengawalnya. “Ayah! Ayah tidak bisa melakukan ini padaku!” Namun, Darel sama sekali tidak peduli dan hanya d
Kantor polisi kota Bibes. Distrik Bibes International University. "Apa masalahmu? Mau jadi jagoan atau jadi gangster?!" bentak seorang polisi dengan wajah yang terlihat geram. “Berkelahi di depan hotel, apa kamu tahu sudah mengganggu kenyamanan umum!? Hotel bisa menuntutmu untuk membayar denda!” Nathan yang duduk berhadapan dengan polisi tersebut hanya memasang ekspresi datar, tidak sedikit pun dia terlihat tertarik untuk menjawab pertanyaan sang polisi. Menjelaskan kenapa Nathan bisa berakhir di tempat ini sekarang … semua itu karena perdebatannya dengan Quenzi dan Dyren divideokan oleh seorang anak kampus yang kebetulan ada di area tersebut saat itu. Entah bagaimana caranya, video itu sampai ke tangan dosen wali yang bertanggung jawab atas angkatan mereka dan dia pun langsung mendatangi tempat tersebut sembari membawa pihak kepolisian. “Apa Anda tidak akan menanyakan kronologisnya untuk menentukan siapa yang benar dan salah?” tanya Nathan. Namun, ucapannya itu sema
Tanpa menunggu, Nathan pergi ke Hotel Evergarden, hotel berbintang yang ada di dekat area kampus. Menurut informasi dari Jack, Quenzi pergi ke sana bersama Dyren untuk merayakan hari jadi mereka yang pertama. Dan Nathan, dia ke sana untuk meminta penjelasan mengenai kenapa Quenzi mengkhianatinya. Sampai di hotel, Nathan melihat Quenzi baru saja keluar dari sana selagi bergelayut manja di lengan Dyren. Di belakang keduanya, terlihat ada dua orang pengawal setia milik pria tersebut yang mengikuti. "Terima kasih Dyren, aku suka sekali hadiahmu," ucap Quenzi manja dengan senyum malu-malu. Di tangannya, ada sejumlah kantong belanja bermerek yang barang termurahnya masing-masing bisa bernilai jutaan! Dyren tersenyum puas dan melingkarkan tangannya di pinggang Quenzi dengan semakin intim. “Apa pun untukmu, Sayang ….” Melihat hal itu Nathan mengepalkan tangan. Tidak pernah Quenzi menampakkan wajah sebahagia itu ketika diberikan hadiah olehnya. Padahal, dia setengah mati berjuang kerj
"Paket!" Malam itu, hujan mengguyur deras kota Bibes. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghentikan Nathaniel Clain dari melakukan pekerjaan sampingannya mengantar paket. Semua dia lakukan demi bisa mengumpulkan uang untuk membeli hadiah ulang tahun tas mahal yang sang kekasih manisnya inginkan. Pemuda di semester akhir kuliah itu tampak berdiri di depan sebuah pintu apartemen mewah yang menjadi tujuan terakhirnya malam tersebut. Sekian lama menunggu, pintu tersebut tidak terbuka, dan hal itu membuat Nathan–nama panggilan Nathaniel–menautkan alis. ‘Apa penghuninya tidak di rumah?’ pikirnya seraya melihat sekeliling. Hanya ada satu pintu di lantai ini, menunjukkan bahwa pemilik apartemen ini adalah satu-satunya penghuni satu lantai tersebut. ‘Haruskah kutinggalkan saja paketnya di sini?’ pikir Nathan, ingin segera menyelesaikan tugasnya. ‘Sudahlah, kutinggalkan saja ….’ Namun, baru saja dia menunduk untuk meletakkan box paket di depan pintu, suara teriakan seorang perempu