"Bapak," Segera kuhampiri dan mencium punggung tangannya dengan takzim."Bapak sendiri aja? Ibu mana?""Ada di dalam, Nak Jane.""Bapak dan Ibu kapan datang?""Tadi malam. Kami langsung meluncur ke Jakarta, begitu mendengar kabar dari Firman, kalau kalian akan bercerai hari ini," ujarnya dengan logat Jawa Timur yang khas.Kutatap wajah keriput, yang tua melebihi umurnya. Dulu, Pak Darmo-bapaknya Mas Firman bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Sedangkan ibunya berjualan jamu gendong keliling.Kemudian aku berinisiatif untuk membangunkan sebuah toko sembako untuk Bapak dan gerobak jamu untuk Ibu supaya bisa berjualan di depannya.Mana tega aku membiarkan mereka masih bekerja keras, sementara anak dan menantunya hidup bergelimangan kemewahan di Jakarta.Mereka menolak ketika aku mengajak untuk tinggal bersama kami di Jakarta. Dengan alasan, mereka tidak terbiasa hidup di kota yang penuh hingar bingar."Nak Jane," Bapak melambaikan tangannya pelan, di depan wajahku.Aku terkesiap. "Eng,
"Bang, Zahwa, Bang!" ujarku setengah memekik."Kenapa dengan Zahwa?" Bang Yudha yang tadinya bersandar, ikut terduduk tegak."Zahwa kayaknya mau bunuh diri, Bang," Suaraku bergetar panik. Seakan akalku hilang dan tak sanggup berpikir lagi."Apa?" pekik Bang Yudha dan Kak Vera serentak.Mas Firman yang berdiri tak jauh dari kami, tersentak kaget. Ia menatap penuh tanya kemudian melangkah menghampiri."Ada apa, Jane? Selintas, aku mendengar kalian berteriak panik menyebut nama Zahwa.""Ini semua gara-gara kamu, tahu nggak! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan keponakanku itu, habislah kau di tanganku," geram Bang Yudha. Begitu marahnya ia, sampai gerahamnya pun mengatup keras."Maksud kalian apa? Aku benar-benar nggak ngerti.""Udahlah, Bang. Kita harus cepat ke sana. Takut terjadi apa-apa pada Zahwa," tukasku dengan suara yang masih bergetar."Ya udah, kamu pergi sama abang aja. Mobil kamu biar aja di sini dulu. Kalian sekarang nunggu di mobil aja. Biar abang ngomong ke Pak Armand dulu.
"Ya Allah, istighfar, Nak. Jangan begitu. Kamu nggak kasihan sama mama? Mama sayang banget sama kamu," Aku berteriak, berusaha membujuk putri semata sayangku itu."Aku ini cupu, b3go kan, Ma? Aku ini anak dari tukang selingkuh juga kan, Ma? Aku malu, waktu foto Papa dipajang di mading. Aku terus diejek setiap hari karena papaku ketahuan selingkuh dan digerebek massal. Untuk apa aku hidup, Ma. Aku capek dibully terus, huhuhu ….""Nggak gitu, Nak. Kamu itu cantik, pintar, selalu juara umum kan? Siapa yang bilang kamu b3go? Nggak ada!""Ada, Ma, ada. Mereka …." Telunjuk Zahwa menunjuk ke arah sekumpulan anak-anak perempuan di luar kerumunan. Mereka langsung menundukkan kepala, begitu semua mata menoleh."Mereka yang nyebarin foto-foto Papa, Ma. Mereka yang terus ngehina aku. Mereka bilang jangan-jangan aku ini juga anak haram. Apa benar aku ini anak haram?"Aku ternganga mendengar penuturan gadis, yang baru duduk di kelas dua sekolah menengah pertama itu. Sampai seperti itukah perkembanga
Jantungku nyaris berhenti berdetak, melihat putri semata wayangku memijak bagian rapuh pinggiran balkon. Beruntung Allah masih mengizinkannya untuk tetap hidup. Zahwa masih bisa menjaga keseimbangan tubuh, hingga jatuh ke belakang. Orang-orang di sekitar ikut menarik napas lega. Ketegangan yang ada, seperti sedang menonton adegan action di film Hollywood. "Mama ke atas ya, Nak." Zahwa mengangguk lemah. Pasti saat ini dia pun sedang shock. Aku dan Kak Vera berlari menuju bagian atap sekolah, dengan menggunakan lift terlebih dahulu sampai ke lantai tiga. Lalu disambung dengan tangga biasa. Kudapati Zahwa menangis dengan posisi telungkup. Perlahan aku dan Kak Vera melangkah mendekati gadis malang itu. Sesekali kami melempar pandang. Tersirat kesedihan mendalam di netra kakak iparku itu. "Zahwa … Sayang …." Kuletakkan tangan dengan hati-hati di atas pundaknya. "Huhuhu," Bahunya masih berguncang "Kita pulang, yuk," bujukku pelan. Zahwa mengangguk dalam tunduknya. Perlahan ia bangk
Aku membalikkan badan menghadap gadis polos itu. Wajahnya sudah basah lagi dengan air mata. Kubingkai wajahnya dengan kedua tangan seraya tersenyum. "Coba kamu lihat mama. Apa kamu lihat mama sesedih yang kamu pikirkan, hum?" Zahwa menelusuri wajahku dan menyelami netra yang kuupayakan untuk tidak terlihat ada luka. Perlahan gadis itu menggeleng. Senyumku pun mengembang. "Mama baik-baik aja kan? Mama sama sekali nggak peduli. Karena apa? Karena selain Eyang, Pakde, Bude, mama juga sudah punya kamu, itu sudah lebih dari cukup!" Bola mata yang sendu itu bergerak-gerak menatap mataku. Lalu perlahan senyum tipis mengembang di wajah putih mulus itu. "Mama memang wanita yang hebat. Aku salut banget, Ma." "Makasih, Sayang. Kamu itu sumber kekuatan mama untuk selalu kuat dan bertahan. Tapi, kamu harus janji, kejadian seperti tadi, jangan sampai terulang lagi ya? Mama bisa gila kalau kehilangan kamu." "Maafin aku ya, Ma." *Ya udah, sekarang, kamu ke kamar, mandi, terus istirahat ya."
"Udah deh, kamu jangan bawel! Abang dan Revan sudah mengantongi kartu as si Firman. Dan itu bisa digunakan untuk merampas aset-aset rahasianya nanti." Kartu as Mas Firman? Apa maksud Bang Yudha sih? Cepat kusambar kunci mobil dan tas di nakas. Sebelum turun, kuperiksa Zahwa di kamarnya, untuk mengetahui apa yang dilakukannya saat ini. Pelan-pelan, kutekan pegangan pintu dan mendorong sedikit daun pintunya. Dari balik pintu, tampak Zahwa sedang berbaring miring. Kuhampiri gadis semata sayangku itu. Sebenarnya dulu, pernah juga sempat mengalami kehamilan saat Zahwa berusia delapan tahun. Hanya saja, kondisi kandunganku yang memang tidak begitu kuat, aku harus merelakan janin lima bulan itu mesti diangkat. Aku berlutut di hadapan gadis yang tengah terlelap itu. Kuusap perlahan rambutnya. Wajahnya benar-benar sangat mirip dengan Mas Firman. Mungkin itu salah satu sebab, kenapa Zahwa begitu dekat dengan papanya. Lagi, air mata kembali berderai tanpa izin. Membasuh perih yang teru
"Baik, Nya.""Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya ya.""Siap, Nyonya.""Saya mau pergi dulu ke rumah Tuan Yudha. Tolong tutupkan pintu depan ya, Bik."Aku melangkah elegan dengan tas branded yang dijinjing, kemeja putih berpita di bagian dada dan celana hitam. Masih baju yang sama dengan pagi tadi, karena aku terlalu hanyut dalam kesedihan, sampai tak sempat untuk mandi atau sekedar mengganti pakaian.Mobil melaju dengan kecepatan standar. Dengan pikiran yang masih kalut seperti benang kusut, ditambah kondisi jalan yang cukup padat merayap. Di jam-jam begini, situasi lalu lintas cukup padat. Karena pasti warga Jakarta pasti tengah bergegas untuk pulang ke rumah masing-masing, setelah seharian bekerja.Matahari mulai tergelincir ke arah barat. Senja mulai menampakkan wajahnya. Perjalanan yang semestinya memakan waktu hanya tiga puluh menit, menjadi hampir lebih dari satu jam.Akhirnya, aku sampai juga di kawasan perumahan elit di bilangan Bintaro. Mobil berbelok tepat di depan pa
Dari jendela, aku bisa melihat ada sebuah mobil memasuki area parkiran. Dan aku kenal betul mobil siapa itu. Karena dulu hadiah dari Papa untuk Mas Firman."Dia udah datang, Bang," tukasku pada Bang Yudha, yang tengah serius menatap lembar demi lembar kertas di atas meja. Kami tengah berada di ruangan yang dulu digunakan oleh Mas Firman."Siapa? Firman?""Hu'um. Dia datang menggunakan mobil pemberian Papa.""Dasar, pria tak tahu malu! Benalu!""Aku nggak sabar lihat reaksinya dengan kasus penggelapan uang perusahaan.""Kita tunggu aja dia naik. Abang akan bantu kamu untuk membalaskan dendammu pada benalu itu."Selang tidak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk."Masuk!"Pintu berkaca buram itu didorong dan Mas Firman yang berada di baliknya."Masuk kamu, Firman!"Ia melangkah masuk dan mata kami bertemu pandang. Ada sorot yang entah di mata itu. Anehnya, meski aku sempat merindu, tapi kali ini tidak ada sedikit pun desir di hati, meski netra kami bertemu."Jane, kamu apa kabar?" t
Berbagai cara kuupayakan untuk tetap bisa bercerai dari Mas Firman, kendati ia terus menolak. Sudah tidak ada yang bisa diselamatkan lagi. Bagiku, tidak ada penghianatan yang berhak untuk dimaafkan."Bukti-bukti semua sudah lengkap kan, Bu Jane?" tanya pengacara yang biasa menangani permasalahan di keluargaku."Sudah, Pak.""Baik lah, kita bersiap untuk sidang lanjutan perceraian Ibu.""Jane!" Aku pura-pura menatap kertas mendengar suara yang memanggilku. Itu suara Mas Firman."Jane!" panggilnya lagi dengan suara sedikit lebih tinggi.Steve menyikut lenganku. Ia memberi isyarat dengan matanya.Kuhela napas berat. Malas rasanya menanggapi lelaki satu ini."Apa lagi, Mas?""Aku … Aku mohon, Jane, urungkan perceraian kita," Ia menangkupkan tangan di depan dada."Keputusanku sudah bulat. Kamu dan aku sudah tidak bisa bersama. Seharusnya kamu sadar itu, Mas.""Tapi-- ""Sudah cukup! Aku tidak mau dengar apa-apa lagi darimu!""Ayo, Jane, giliran sidangmu," ujar pengacara berkulit putih itu
"Aku pergi dulu ya, Pa," pamitku sembari mencium dahi dan pipinya, berakhir dengan memeluk tubuh yang dulunya tegap, kini semakin kurus."Ya, Nak. Kamu hati-hati ya di jalan. Kalau sudah sampai, jangan lupa kabarin papa.""Baik, Pa. Aku pergi,ya, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Entah kenapa, ada yang berbeda kali ini. Seperti berat untuk melepaskan Papa sendiri, kendati ada Suster Lia yang sudah terbiasa menangani Papa dan juga ada Zahwa yang tidak bisa meninggalkan sekolahnya. Aku berangkat menuju bandara, menggunakan taksi yang juga bisa dipesan melalui aplikasi online, sama seperti di Jakarta.Di dalam taksi, pandanganku melayang ke luar jendela. Kenapa dengan perasaanku ya? Berkecamuk tak menentu. Jika bukan karena hari ini sidang pertama perceraianku dengan Mas Firman, tentu tidak mungkin aku meninggalkan lelaki yang paling kusayang itu, untuk ke sekian kalinya.Sesampai di bandara, aku segera check in, dan mengurus barang untuk disimpan di bagasi pesawat. Setelah itu, se
Aku segera merampas kertas di tangan Papa. Membaca isi kertas itu dan dugaanku benar. Pria licik ini membujuk Papa untuk menandatangani surat pengalihan kepemilikan perusahaan, menjadi atas namanya. Kertas itu kusobekkan menjadi serpihan-serpihan kecil yang bertebaran di lantai dan kucampakkan ke atas."Apa-apaan kamu, Jane?" tanya Papa bingung. Matanya menatap kertas yang sudah berubah menjadi serpihan-serpihan kecil yang jatuh ke lantai seperti hujan."Papa jangan mau ditipu sama orang ini. Dia ini jahat, Pa. Dia penipu!" Kudorong bahu Mas Firman hingga terjengkang ke belakang."Penipu? Jahat? Apa sih maksud kamu?""Sebenarnya kami sedang dalam proses cerai, Pa. Dia sudah selingkuh dengan sekretarisnya di belakangku dan dia juga menggelapkan sebagian uang perusahaan."Papa menatapku lalu berpindah ke Mas Firman yang tertunduk lesu di pinggir ranjang."Benar begitu, Firman?" Mas Firman menggeleng cepat. "Nggak, Pa. Itu semua bohong! Aku nggak sejahat itu.""Halah, sudahlah, Mas! Ng
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!💜💜"Jadi, nggak usah macam-macam, Jane. Hidup papa kamu ada di tanganku sekarang," tukasnya pongah. "Jangan sombong kamu jadi orang, selagi hidupmu pun bergantung padaku dan keluargaku, Mas. Budayakan punya malu dikit, dong," Kudorong tubuhnya hingga mundur selangkah.Dengan kesal, aku masuk ke kamar dan membanting pintu. Kuhempaskan tubuh ke atas ranjang dengan hati yang membatu marah. Tak kuduga, Mas Firman menyusulku masuk ke dalam kamar yang lupa untuk dikunci. Aku terperangah melihat pria itu berdiri dengan senyum yang entah."Ngapain kamu ke sini, Mas?""Memangnya kenapa? Kamu masih sah istriku. Itu artinya, aku masih berhak penuh atas dirimu," tukasnya penuh percaya diri.Aku mendengus sinis. "Pede banget jadi orang. Kamu dan aku itu sudah selesai, Mas. Hanya tinggal menunggu ketuk palu aja. Kalau bukan karena Papa, aku sudah nggak mau berurusan denganmu lagi."Mas Firman diam. Ia berjalan pelan ke arah ranjang tanpa sepatah kata."Kamu mau apa,
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!"Omong kosong! Telepon dia sekarang, biar Papa yang ngomong!""Tapi, Pa-- ""Telepon Firman, Jane! Se-ka-rang!"Mau tidak mau kubuka daftar kontak di aplikasi whatsapp, menekan tombol panggil. Terdengar suara nada sambung dari panggilan video tersebut."Halo, assalamualaikum, Jane.""Wa'alaikumsalam, Mas. Kamu lagi apa? Aku kangen," ujarku."Ka-kangen?" Pasti Mas Firman kebingungan dengan ucapanku barusan.Aku melirik ke arah Papa. Ia tengah menatap dengan mata sendunya. Semoga aja Mas Firman bisa mengerti dengan maksudku barusan."Iya, Mas. Aku kangen. Oh ya, ini Papa mau ngomong sama kamu," Kualihkan panggilan video itu ke Papa."Halo, Firman, assalamualaikum," sapa Papa dengan suara serak dan pelan."Halo, Pa. Wa'alaikumsalam. Papa gimana keadaannya, udah sehat?"Papa terbatuk kecil. "Ya, seperti yang kamu lihat. Masih sering ngedrop. Kamu kok nggak ikut ke mari bareng Jane dan Zahwa?"Aku memejamkan mata seraya meneguk ludah. Semoga saja Mas Firman tid
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! "Kalau begitu, suruh Firman besok datang ke mari. Papa kangen sama dia." "Tapi, Pa-- " "Nggak ada tapi-tapian! Suruh Firman datang ke sini besok, titik!" Aku dan Zahwa kembali saling pandang. Papa merupakan sosok yang tegas dan sulit untuk dibantah perintahnya. Tapi, bagaimana mungkin aku membawa Mas Firman ke sini. "Eyang, aku mau ke kamar dulu ya. Gerah, pengen mandi. Sekalian beresin barang-barang," pamit Zahwa. Papa mengangguk. Sebelum ke luar, Zahwa mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi kakeknya. "Eyang, cepat sembuh ya. Aku kangen jalan-jalan lagi sama Eyang." "Doain eyang ya, Nak." Zahwa mengangguk tersenyum, lalu beranjak ke luar. "Papa udah makan?" "Udah tadi sama suster." Kuraih tangannya dalam dekapan. Kemudian mencium punggung tangan itu. Lagi-lagi ada sesuatu yang berdenyut di dada. "Kamu pasti lagi ada masalah 'kan, Jane?" tebak Papa tepat. Aku menggeleng. "Nggak ada, Pa. Aku cuma kangen Papa. Aku terlalu sibuk dengan uru
Steve mengantarkanku dan Zahwa sampai ke bandara. Bang Yudha tidak bisa mengantar, karena ia sibuk mengurus perusahaan dan mengurus perceraianku dan Mas Firman. "Kamu diantar sama Steve aja ya. Abang sibuk ngurusin perusahaan abang yang di Surabaya. Besok ada meeting, ditambah persoalan pengalihan aset Firman menjadi milikmu dan perceraianmu juga. Diantar sama Steve aja ya," Begitu kata Bang Yudha tadi. Beruntung ada Steve yang selalu siap membantu. Meski entah ada apa di balik kebaikannya. 'Ah, tidak tidak', Cepat kutepis perasaan. Baru saja hati terluka. Mana mungkin sudah semudah itu aku membuka hati. Harusnya aku lebih hati-hati dalam menata perasaan ini. "Kamu hati-hati ya, Jane. Sampai sana kabarin aku langsung, ya?" Aku mengangguk. "Terima kasih banyak ya, Steve. Kamu udah baik banget selama ini. Aku nggak bisa balas." Steve terbahak. "Apaan sih kamu? Lebay deh!" Pria blasteran Inggris-Indonesia itu menghampiri Zahwa. "Hai, Cantik. Nanti sampai sana, kamu wajib langsung
Steve tidak mau menyerah begitu saja. Ia bangkit dan membalas memukul orang asing yang menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya, jaket hoodie dan bertopi. Hanya dengan sekali sentak pukul saja, orang tersebut terjerembab ke belakang. Ia mengaduh sembari memegang perutnya yang dihantam bogem Steve tadi. Sontak jeritan pengunjung restoran terutama wanita, semakin riuh ketika orang asing tersebut terjatuh menghantam kursi. Steve berjongkok lalu membuka topi dan menarik paksa masker yang menutupi wajah orang asing tersebut. Astaga, Mas Firman! "Mas Firman?" "Papa?" Ia menundukkan kepala, sembari masih mengaduh kesakitan. "Ada apa ini?" Dua orang security menghampiri. "Orang ini tiba-tiba datang dan langsung memukul saya, ketika saya lagi makan," jelas Steve. "Ayo, ikut kami ke kantor untuk diproses." "Eng, sudah, tidak usah, Pak. Saya kenal orang ini. Biar saya selesaikan secara kekeluargaan," tukasku. "Mbak yakin?" "Ya, saya yakin sekali. Biar saya urus. Sekali lag
"Ini semua akibat keserakahanmu, Jane!" "Apa maksud Ibu?""Seandainya kamu tidak merebut villa dan empat kontrakan Firman, kami tidak sampai terlantar seperti ini. Bahkan bisa-bisanya Firman sampai tidak mengantongi sepeser uang pun. Karena deposito dan tabungannya juga ludes dirampas oleh abangmu.""Itu emang sudah semestinya. Karena anak Ibu sudah menggelapkan uang perusahaanku. Itu pun masih kurang jika harus menutupi semua yang diambil oleh anak Ibu itu," tandasku tak mau kalah.Ibu sontak terdiam. Sedangkan Bapak sejak tadi hanya diam, sibuk menghisap rokok kreteknya. Sehingga ruangan penuh dengan kepulan-kepulan asap."Masih untung anak Ibu itu nggak aku laporkan ke polisi. Atau nggak, mungkin saat ini dia sudah mendekam di balik jeruji besi.""Lagipula, ke mana hasil grosir dan warung jamu Ibu? Aku pikir, jika hanya untuk biaya sekolah Lastri dan kehidupan sehari-hari kalian, rasanya cukup. Kecuali ….""Kecuali apa, Jane?" tukas Ibu ketus."Kecuali, jika untuk kebutuhan gaya