"Ya Allah, istighfar, Nak. Jangan begitu. Kamu nggak kasihan sama mama? Mama sayang banget sama kamu," Aku berteriak, berusaha membujuk putri semata sayangku itu."Aku ini cupu, b3go kan, Ma? Aku ini anak dari tukang selingkuh juga kan, Ma? Aku malu, waktu foto Papa dipajang di mading. Aku terus diejek setiap hari karena papaku ketahuan selingkuh dan digerebek massal. Untuk apa aku hidup, Ma. Aku capek dibully terus, huhuhu ….""Nggak gitu, Nak. Kamu itu cantik, pintar, selalu juara umum kan? Siapa yang bilang kamu b3go? Nggak ada!""Ada, Ma, ada. Mereka …." Telunjuk Zahwa menunjuk ke arah sekumpulan anak-anak perempuan di luar kerumunan. Mereka langsung menundukkan kepala, begitu semua mata menoleh."Mereka yang nyebarin foto-foto Papa, Ma. Mereka yang terus ngehina aku. Mereka bilang jangan-jangan aku ini juga anak haram. Apa benar aku ini anak haram?"Aku ternganga mendengar penuturan gadis, yang baru duduk di kelas dua sekolah menengah pertama itu. Sampai seperti itukah perkembanga
Jantungku nyaris berhenti berdetak, melihat putri semata wayangku memijak bagian rapuh pinggiran balkon. Beruntung Allah masih mengizinkannya untuk tetap hidup. Zahwa masih bisa menjaga keseimbangan tubuh, hingga jatuh ke belakang. Orang-orang di sekitar ikut menarik napas lega. Ketegangan yang ada, seperti sedang menonton adegan action di film Hollywood. "Mama ke atas ya, Nak." Zahwa mengangguk lemah. Pasti saat ini dia pun sedang shock. Aku dan Kak Vera berlari menuju bagian atap sekolah, dengan menggunakan lift terlebih dahulu sampai ke lantai tiga. Lalu disambung dengan tangga biasa. Kudapati Zahwa menangis dengan posisi telungkup. Perlahan aku dan Kak Vera melangkah mendekati gadis malang itu. Sesekali kami melempar pandang. Tersirat kesedihan mendalam di netra kakak iparku itu. "Zahwa … Sayang …." Kuletakkan tangan dengan hati-hati di atas pundaknya. "Huhuhu," Bahunya masih berguncang "Kita pulang, yuk," bujukku pelan. Zahwa mengangguk dalam tunduknya. Perlahan ia bangk
Aku membalikkan badan menghadap gadis polos itu. Wajahnya sudah basah lagi dengan air mata. Kubingkai wajahnya dengan kedua tangan seraya tersenyum. "Coba kamu lihat mama. Apa kamu lihat mama sesedih yang kamu pikirkan, hum?" Zahwa menelusuri wajahku dan menyelami netra yang kuupayakan untuk tidak terlihat ada luka. Perlahan gadis itu menggeleng. Senyumku pun mengembang. "Mama baik-baik aja kan? Mama sama sekali nggak peduli. Karena apa? Karena selain Eyang, Pakde, Bude, mama juga sudah punya kamu, itu sudah lebih dari cukup!" Bola mata yang sendu itu bergerak-gerak menatap mataku. Lalu perlahan senyum tipis mengembang di wajah putih mulus itu. "Mama memang wanita yang hebat. Aku salut banget, Ma." "Makasih, Sayang. Kamu itu sumber kekuatan mama untuk selalu kuat dan bertahan. Tapi, kamu harus janji, kejadian seperti tadi, jangan sampai terulang lagi ya? Mama bisa gila kalau kehilangan kamu." "Maafin aku ya, Ma." *Ya udah, sekarang, kamu ke kamar, mandi, terus istirahat ya."
"Udah deh, kamu jangan bawel! Abang dan Revan sudah mengantongi kartu as si Firman. Dan itu bisa digunakan untuk merampas aset-aset rahasianya nanti." Kartu as Mas Firman? Apa maksud Bang Yudha sih? Cepat kusambar kunci mobil dan tas di nakas. Sebelum turun, kuperiksa Zahwa di kamarnya, untuk mengetahui apa yang dilakukannya saat ini. Pelan-pelan, kutekan pegangan pintu dan mendorong sedikit daun pintunya. Dari balik pintu, tampak Zahwa sedang berbaring miring. Kuhampiri gadis semata sayangku itu. Sebenarnya dulu, pernah juga sempat mengalami kehamilan saat Zahwa berusia delapan tahun. Hanya saja, kondisi kandunganku yang memang tidak begitu kuat, aku harus merelakan janin lima bulan itu mesti diangkat. Aku berlutut di hadapan gadis yang tengah terlelap itu. Kuusap perlahan rambutnya. Wajahnya benar-benar sangat mirip dengan Mas Firman. Mungkin itu salah satu sebab, kenapa Zahwa begitu dekat dengan papanya. Lagi, air mata kembali berderai tanpa izin. Membasuh perih yang teru
"Baik, Nya.""Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya ya.""Siap, Nyonya.""Saya mau pergi dulu ke rumah Tuan Yudha. Tolong tutupkan pintu depan ya, Bik."Aku melangkah elegan dengan tas branded yang dijinjing, kemeja putih berpita di bagian dada dan celana hitam. Masih baju yang sama dengan pagi tadi, karena aku terlalu hanyut dalam kesedihan, sampai tak sempat untuk mandi atau sekedar mengganti pakaian.Mobil melaju dengan kecepatan standar. Dengan pikiran yang masih kalut seperti benang kusut, ditambah kondisi jalan yang cukup padat merayap. Di jam-jam begini, situasi lalu lintas cukup padat. Karena pasti warga Jakarta pasti tengah bergegas untuk pulang ke rumah masing-masing, setelah seharian bekerja.Matahari mulai tergelincir ke arah barat. Senja mulai menampakkan wajahnya. Perjalanan yang semestinya memakan waktu hanya tiga puluh menit, menjadi hampir lebih dari satu jam.Akhirnya, aku sampai juga di kawasan perumahan elit di bilangan Bintaro. Mobil berbelok tepat di depan pa
Dari jendela, aku bisa melihat ada sebuah mobil memasuki area parkiran. Dan aku kenal betul mobil siapa itu. Karena dulu hadiah dari Papa untuk Mas Firman."Dia udah datang, Bang," tukasku pada Bang Yudha, yang tengah serius menatap lembar demi lembar kertas di atas meja. Kami tengah berada di ruangan yang dulu digunakan oleh Mas Firman."Siapa? Firman?""Hu'um. Dia datang menggunakan mobil pemberian Papa.""Dasar, pria tak tahu malu! Benalu!""Aku nggak sabar lihat reaksinya dengan kasus penggelapan uang perusahaan.""Kita tunggu aja dia naik. Abang akan bantu kamu untuk membalaskan dendammu pada benalu itu."Selang tidak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk."Masuk!"Pintu berkaca buram itu didorong dan Mas Firman yang berada di baliknya."Masuk kamu, Firman!"Ia melangkah masuk dan mata kami bertemu pandang. Ada sorot yang entah di mata itu. Anehnya, meski aku sempat merindu, tapi kali ini tidak ada sedikit pun desir di hati, meski netra kami bertemu."Jane, kamu apa kabar?" t
Tok tok tok."Masuk!"Pak Arman melangkah masuk dengan juga membawa map di tangannya.Mimik wajah Mas Firman berubah semakin memutih karena pucat. Berkali-kali ia meneguk ludah."Selamat siang Pak Yudha.""Siang, Pak Arman. Silahkan duduk!"Pak Arman menarik kursi, lalu meletakkan bokongnya di atas kursi putar tersebut."Bapak bawa semua laporan dimulai dari tahun lalu?" tanya Bang Yudha. Sedangkan aku hanya duduk di atas sofa. Puas rasanya melihat Mas Firman seperti terdakwa. Bahkan tidak sedikit pun aku atau Bang Yudha berniat mempersilakan duduk."Bawa, Pak. Semua laporan ada di dalam map ini. Bahkan laporan dari dua tahun yang lalu. Ketimpangan keuangan dimulai dari tahun itu," Pak Arman membuka map berwarna biru itu, lalu mengeluarkan lembaran kertas ke hadapan Bang Yudha."Kamu dengar sendiri, Firman? Ketimpangan dimulai dari sejak kamu yang memegang perusahaan. Dan di sini jelas, kamu terus menggunakan uang perusahaan untuk proyek bisnis fiktif kamu. Kamu juga memalsukan tanda
Mas Firman terus mengusap peluh di dahinya. Ketampanan ala Don Juan-nya meluntur sempurna saat ini. Aku tertawa dalam hati. Apalagi melihatnya miskin nanti. Semakin puaaas. "Bagaimana, Firman? Deal?" Pria jangkung itu masih tetap dengan diam seribu bahasanya. Lama kelamaan, semakin membuat habis kesabaran menghadapi lelaki ini. "Hei!" Mas Firman tersentak kaget, saat meja kugebrak kuat. "Jangan diam aja, ayo jawab!" Mas Firman menatapku dengan tatapan nelangsa. Kedua sudut manik hitam itu berkaca-kaca. Entah apa arti dari pandangannya. Aku tak peduli! Kemudian pria itu menundukkan kepala. Sejenak ia menarik napas panjang, lalu mengangkat kepala. Dengan wajah memelas, ia menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. "Baik, Bang. Aku akan serahkan semua untuk menebus semuanya. Tapi, tolong, jangan laporkan aku ke polisi." "Oke, kami tidak akan melaporkanmu ke polisi, asalkan kamu tidak mangkir dari janjimu. Kami punya semua bukti lengkap yang bisa saja menjebloskanmu ke tempat