Dari jendela, aku bisa melihat ada sebuah mobil memasuki area parkiran. Dan aku kenal betul mobil siapa itu. Karena dulu hadiah dari Papa untuk Mas Firman."Dia udah datang, Bang," tukasku pada Bang Yudha, yang tengah serius menatap lembar demi lembar kertas di atas meja. Kami tengah berada di ruangan yang dulu digunakan oleh Mas Firman."Siapa? Firman?""Hu'um. Dia datang menggunakan mobil pemberian Papa.""Dasar, pria tak tahu malu! Benalu!""Aku nggak sabar lihat reaksinya dengan kasus penggelapan uang perusahaan.""Kita tunggu aja dia naik. Abang akan bantu kamu untuk membalaskan dendammu pada benalu itu."Selang tidak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk."Masuk!"Pintu berkaca buram itu didorong dan Mas Firman yang berada di baliknya."Masuk kamu, Firman!"Ia melangkah masuk dan mata kami bertemu pandang. Ada sorot yang entah di mata itu. Anehnya, meski aku sempat merindu, tapi kali ini tidak ada sedikit pun desir di hati, meski netra kami bertemu."Jane, kamu apa kabar?" t
Tok tok tok."Masuk!"Pak Arman melangkah masuk dengan juga membawa map di tangannya.Mimik wajah Mas Firman berubah semakin memutih karena pucat. Berkali-kali ia meneguk ludah."Selamat siang Pak Yudha.""Siang, Pak Arman. Silahkan duduk!"Pak Arman menarik kursi, lalu meletakkan bokongnya di atas kursi putar tersebut."Bapak bawa semua laporan dimulai dari tahun lalu?" tanya Bang Yudha. Sedangkan aku hanya duduk di atas sofa. Puas rasanya melihat Mas Firman seperti terdakwa. Bahkan tidak sedikit pun aku atau Bang Yudha berniat mempersilakan duduk."Bawa, Pak. Semua laporan ada di dalam map ini. Bahkan laporan dari dua tahun yang lalu. Ketimpangan keuangan dimulai dari tahun itu," Pak Arman membuka map berwarna biru itu, lalu mengeluarkan lembaran kertas ke hadapan Bang Yudha."Kamu dengar sendiri, Firman? Ketimpangan dimulai dari sejak kamu yang memegang perusahaan. Dan di sini jelas, kamu terus menggunakan uang perusahaan untuk proyek bisnis fiktif kamu. Kamu juga memalsukan tanda
Mas Firman terus mengusap peluh di dahinya. Ketampanan ala Don Juan-nya meluntur sempurna saat ini. Aku tertawa dalam hati. Apalagi melihatnya miskin nanti. Semakin puaaas. "Bagaimana, Firman? Deal?" Pria jangkung itu masih tetap dengan diam seribu bahasanya. Lama kelamaan, semakin membuat habis kesabaran menghadapi lelaki ini. "Hei!" Mas Firman tersentak kaget, saat meja kugebrak kuat. "Jangan diam aja, ayo jawab!" Mas Firman menatapku dengan tatapan nelangsa. Kedua sudut manik hitam itu berkaca-kaca. Entah apa arti dari pandangannya. Aku tak peduli! Kemudian pria itu menundukkan kepala. Sejenak ia menarik napas panjang, lalu mengangkat kepala. Dengan wajah memelas, ia menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. "Baik, Bang. Aku akan serahkan semua untuk menebus semuanya. Tapi, tolong, jangan laporkan aku ke polisi." "Oke, kami tidak akan melaporkanmu ke polisi, asalkan kamu tidak mangkir dari janjimu. Kami punya semua bukti lengkap yang bisa saja menjebloskanmu ke tempat
"Ini semua akibat keserakahanmu, Jane!" "Apa maksud Ibu?""Seandainya kamu tidak merebut villa dan empat kontrakan Firman, kami tidak sampai terlantar seperti ini. Bahkan bisa-bisanya Firman sampai tidak mengantongi sepeser uang pun. Karena deposito dan tabungannya juga ludes dirampas oleh abangmu.""Itu emang sudah semestinya. Karena anak Ibu sudah menggelapkan uang perusahaanku. Itu pun masih kurang jika harus menutupi semua yang diambil oleh anak Ibu itu," tandasku tak mau kalah.Ibu sontak terdiam. Sedangkan Bapak sejak tadi hanya diam, sibuk menghisap rokok kreteknya. Sehingga ruangan penuh dengan kepulan-kepulan asap."Masih untung anak Ibu itu nggak aku laporkan ke polisi. Atau nggak, mungkin saat ini dia sudah mendekam di balik jeruji besi.""Lagipula, ke mana hasil grosir dan warung jamu Ibu? Aku pikir, jika hanya untuk biaya sekolah Lastri dan kehidupan sehari-hari kalian, rasanya cukup. Kecuali ….""Kecuali apa, Jane?" tukas Ibu ketus."Kecuali, jika untuk kebutuhan gaya
Steve tidak mau menyerah begitu saja. Ia bangkit dan membalas memukul orang asing yang menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya, jaket hoodie dan bertopi. Hanya dengan sekali sentak pukul saja, orang tersebut terjerembab ke belakang. Ia mengaduh sembari memegang perutnya yang dihantam bogem Steve tadi. Sontak jeritan pengunjung restoran terutama wanita, semakin riuh ketika orang asing tersebut terjatuh menghantam kursi. Steve berjongkok lalu membuka topi dan menarik paksa masker yang menutupi wajah orang asing tersebut. Astaga, Mas Firman! "Mas Firman?" "Papa?" Ia menundukkan kepala, sembari masih mengaduh kesakitan. "Ada apa ini?" Dua orang security menghampiri. "Orang ini tiba-tiba datang dan langsung memukul saya, ketika saya lagi makan," jelas Steve. "Ayo, ikut kami ke kantor untuk diproses." "Eng, sudah, tidak usah, Pak. Saya kenal orang ini. Biar saya selesaikan secara kekeluargaan," tukasku. "Mbak yakin?" "Ya, saya yakin sekali. Biar saya urus. Sekali lag
Steve mengantarkanku dan Zahwa sampai ke bandara. Bang Yudha tidak bisa mengantar, karena ia sibuk mengurus perusahaan dan mengurus perceraianku dan Mas Firman. "Kamu diantar sama Steve aja ya. Abang sibuk ngurusin perusahaan abang yang di Surabaya. Besok ada meeting, ditambah persoalan pengalihan aset Firman menjadi milikmu dan perceraianmu juga. Diantar sama Steve aja ya," Begitu kata Bang Yudha tadi. Beruntung ada Steve yang selalu siap membantu. Meski entah ada apa di balik kebaikannya. 'Ah, tidak tidak', Cepat kutepis perasaan. Baru saja hati terluka. Mana mungkin sudah semudah itu aku membuka hati. Harusnya aku lebih hati-hati dalam menata perasaan ini. "Kamu hati-hati ya, Jane. Sampai sana kabarin aku langsung, ya?" Aku mengangguk. "Terima kasih banyak ya, Steve. Kamu udah baik banget selama ini. Aku nggak bisa balas." Steve terbahak. "Apaan sih kamu? Lebay deh!" Pria blasteran Inggris-Indonesia itu menghampiri Zahwa. "Hai, Cantik. Nanti sampai sana, kamu wajib langsung
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! "Kalau begitu, suruh Firman besok datang ke mari. Papa kangen sama dia." "Tapi, Pa-- " "Nggak ada tapi-tapian! Suruh Firman datang ke sini besok, titik!" Aku dan Zahwa kembali saling pandang. Papa merupakan sosok yang tegas dan sulit untuk dibantah perintahnya. Tapi, bagaimana mungkin aku membawa Mas Firman ke sini. "Eyang, aku mau ke kamar dulu ya. Gerah, pengen mandi. Sekalian beresin barang-barang," pamit Zahwa. Papa mengangguk. Sebelum ke luar, Zahwa mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi kakeknya. "Eyang, cepat sembuh ya. Aku kangen jalan-jalan lagi sama Eyang." "Doain eyang ya, Nak." Zahwa mengangguk tersenyum, lalu beranjak ke luar. "Papa udah makan?" "Udah tadi sama suster." Kuraih tangannya dalam dekapan. Kemudian mencium punggung tangan itu. Lagi-lagi ada sesuatu yang berdenyut di dada. "Kamu pasti lagi ada masalah 'kan, Jane?" tebak Papa tepat. Aku menggeleng. "Nggak ada, Pa. Aku cuma kangen Papa. Aku terlalu sibuk dengan uru
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!"Omong kosong! Telepon dia sekarang, biar Papa yang ngomong!""Tapi, Pa-- ""Telepon Firman, Jane! Se-ka-rang!"Mau tidak mau kubuka daftar kontak di aplikasi whatsapp, menekan tombol panggil. Terdengar suara nada sambung dari panggilan video tersebut."Halo, assalamualaikum, Jane.""Wa'alaikumsalam, Mas. Kamu lagi apa? Aku kangen," ujarku."Ka-kangen?" Pasti Mas Firman kebingungan dengan ucapanku barusan.Aku melirik ke arah Papa. Ia tengah menatap dengan mata sendunya. Semoga aja Mas Firman bisa mengerti dengan maksudku barusan."Iya, Mas. Aku kangen. Oh ya, ini Papa mau ngomong sama kamu," Kualihkan panggilan video itu ke Papa."Halo, Firman, assalamualaikum," sapa Papa dengan suara serak dan pelan."Halo, Pa. Wa'alaikumsalam. Papa gimana keadaannya, udah sehat?"Papa terbatuk kecil. "Ya, seperti yang kamu lihat. Masih sering ngedrop. Kamu kok nggak ikut ke mari bareng Jane dan Zahwa?"Aku memejamkan mata seraya meneguk ludah. Semoga saja Mas Firman tid