Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini.
"Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"
Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ...
"Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."
... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu.
"Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"
Yang diajak bicara hanya bergeming. Membuang pandangannya pada sebuah benda mati di sudut ruangan. Ada sesuatu yang lantas disadarinya.
"Spion motormu kenapa rusak? Kamu kecelakaan? Apa ada luka yang serius?" tanya Jihan beruntun, mengalihkan arah percakapan.
"Aku baik-baik saja. Oh ... itu ... kaca spion motorku sedikit retak karena terserempet motor lain," jawab Yanan penuh dusta.
Jihan mengetahui bahwa kekasihnya berbohong. Namun ia mengalah. Jika Yanan tidak berkata apa yang sebenarnya telah terjadi, itu artinya ia sedang tidak ingin membahas masalahnya di saat-saat seperti ini.
Ya sudah, kalau tidak mau jujur. Tak usah kupaksa, nanti juga bicara sendiri.
Jihan berlalu dari hadapan Yanan. Ia berjalan menuju dapur yang hanya disekat oleh papan tipis sebagai pembatas dengan ruang tengah.
Matanya memindai isi kulkas kecil milik Yanan. Hanya terdapat air mineral, sekaleng bir, beberapa butir telur, sayuran kering yang sudah tak layak pangan, dan masakan yang sepertinya datang dari rumahnya.
Kalau tahu begini, harusnya tadi kuajak dia mampir ke warung sate.
"Kamu semalam pulang jam berapa, Yan?"
"Sekitar jam delapan. Aku tadinya mau menunggu sampai kamu keluar dari kamar. Tapi sepertinya kamu tertidur."
Wajan aluminium dipanaskan, Jihan memutuskan untuk membuat telur dadar dan menghangatkan lauk yang ada di kulkas Yanan. Beruntung masih ada sedikit persediaan nasi hangat di rice cooker milik Yanan. Jadi, ia tak perlu lagi menanak nasi, dan membiarkan kekasihnya menahan lapar lebih lama.
"Kamu belum tidur, ya, dari semalam?"
"Nggg ... ya ... karena ada pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan."
Jihan membalikkan tubuhnya, memunggungi Yanan. Tak sanggup memandang wajah lelah kekasihnya. "Yan, aku telah sering menyusahkanmu. Malam ... kamu bekerja. Siang, waktu yang seharusnya kau gunakan untuk beristirahat, malah masih saja kupersulit untuk membantuku menangani hal-hal yang patutnya bisa kuatasi sendiri."
Sungguh Yanan tidak pernah keberatan melakukan apapun demi meringankan beban kekasihnya. Ia juga tak mengharap balas budi atas segala yang telah ia berikan pada sang gadis pemilik tempat spesial di hatinya itu.
Direngkuhnya pundak ringkih itu dengan kedua lengannya, "Jangan begitu, Ji. Aku kekasihmu, sudah semestinya aku selalu ada saat kau membutuhkanku."
***
Maka, ia biarkan Yanan tertidur lelap di pangkuannya. Meski kakinya kram. Meski dahaga menyerangnya. Meski keringat bercucuran deras di dahinya karena berusaha menahan urin di kandung kemihnya yang kian penuh---agar tidak mengalir di tempat yang tak semestinya. Meski ia butuh ke toilet untuk memenuhi panggilan alam, akan tetapi tak beringsut dirinya barang sejengkalpun.
Kali ini Jihan merasa harus menempatkan kepentingan Yanan di atas segalanya.
Hari minggu cepatlah datang. Beri waktu luang untuk Yanan. Jangan buat ia bekerja keras terus-menerus seperti ini.
***
"Ya?"
"Orangtuamu ... mana? Sedang di luar kota, atau..."
Pertanyaan polos itu sontak membuat Yanan tersenyum canggung.
"Hmmm... bagaimana mengatakannya, ya?" Yanan menggaruk pelan tengkuknya. "Sejak kecil aku tinggal di panti asuhan. Jadi, aku tidak pernah tahu siapa orangtuaku."
"Kak, maaf. Aku benar-benar tak bermaksud---"
"Oh, tidak masalah, Han."
Pandangan Hansel tertunduk dalam, seperti enggan bertatap muka dengan Yanan. "Mmm ... Kak, boleh aku mengenal Kak Yanan?"
"Lah, bukannya kita sudah saling mengenal?"
"Maksudku, aku ingin mengenal Kak Yanan ... secara lebih ... dalam. Bolehkah, jika ... aku bertanya beberapa hal?"
"Tentu saja. Kamu bebas bertanya apapun padaku," ucap Yanan mantap, mungkin ini akan menjadi langkah awal dimana ia akan berusaha untuk mengikis jarak di antara mereka.
"Nggg ... apa ... Kak Yanan dan Kak Meari memiliki hubungan yang lebih dari sekadar ... teman dekat?" tanya Hansel dengan penuh keraguan, takut Yanan akan tersinggung atas pertanyaannya ini.
Yanan terkekeh kecil, "Jadi Jihan belum memberitahumu, ya?"
Melihat kekehan ringan yang tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan itu, Hansel bernapas lega. Ia lantas hanya menggeleng dan menanti jawaban dari Yanan.
"Ya, kami berpacaran. Sudah enam bulan."
Dari sorot matanya, Yanan tahu ada hal yang ingin disampaikan oleh Hansel, tetapi entah mengapa sepertinya hal itu hanya tertahan di tenggorokan.
Kemudian atmosfer kembali hening. Kecanggungan pun kembali hadir. Hansel tidak menginginkan hal semacam ini, ia harus mencari topik lain agar perbincangan di antara mereka terus berlanjut.
"Sebelumnya, maaf kalau pertanyaanku ini mungkin terdengar lancang. Kak ... bagaimana rasanya ... hidup sebatang kara?"
"Awalnya terasa berat. Tinggal seorang diri tanpa sanak saudara. Bahkan, tadinya aku hampir memutuskan untuk tetap berada di panti asuhan saja selamanya. Karena, saat pertama kali keluar dari sana, aku benar-benar meragukan kemampuan diriku untuk survive. Aku selalu khawatir apakah aku bisa bertahan hidup sampai besok atau tidak. Tapi kemudian ku sadari, aku tak bisa terus-menerus hidup bergantung pada orang lain. Bagaimanapun, aku akan beranjak dewasa. Aku harus bisa mandiri."
Hansel terpaku. Semakin banyak yang ingin ia ketahui tentang pria yang kini matanya tengah menerawang ke dalam potongan memori.
"Apakah pihak panti asuhan tidak pernah memberitahumu tentang ... bagaimana kau bisa sampai ke tempat itu?"
"Selama ini aku selalu bertanya, apakah aku ini korban penculikan, yang mana sang penculik secara ceroboh menjatuhkanku ke area sekitar panti. Atau mungkinkah orang tuaku memang benar-benar tidak menginginkan lahirnya diriku, dengan kata lain ... aku ini dibuang. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu hanya kusimpan dalam benakku. Tak pernah berani kusampaikan pada siapapun yang berada di ruang lingkup panti asuhan. Karena sama sepertiku, mereka pasti tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Rangkulan lengan Yanan pada bahu Hansel menandakan bahwa mereka sudah selangkah lebih dekat. "Tapi, tidak apa-apa. Aku sudah menerima semuanya. Aku ikhlas jika takdirku memang begini. Tumbuh besar di panti asuhan, lalu menghabiskan sisa hidup di rumah kontrakan sederhana, dan bekerja sebagai kasir minimarket."
Yanan tak bisa membendung rasa girang yang meletup-letup di hatinya, saat Hansel perlahan membalas rangkulan itu.
"Aku tak dapat mengucapkan secara lisan semua kata-kata pujian untukmu. Dan sekalipun kutuliskan kedalam buku dengan tebal tujuh ratus halaman, itu rasanya belum tentu cukup menjabarkan betapa kagumnya diriku padamu. Tapi, yang jelas Kak Jihan beruntung memilikimu dalam hidupnya. Kau sungguh berhati besar. Aku iri karena aku tak bisa setabah dirimu, Kak."
Seberkas cahaya yang menyilaukan mulai menghalangi pandangan Yanan. Meski begitu, beruntung ia masih tetap bisa melihat senyum teduh dari wajah Hansel.
"Kak Yanan, Hansel mohon ... jaga selalu Kak Jihan."
Yanan ingin membalas, "Tanpa kamu minta pun, aku akan melakukannya," tetapi tak berdaya dirinya untuk mengeluarkan suara selirih apapun.
Sepenggal ingatan lampau menyapa Yanan dalam lelapnya. Ia hendak menggapai tangan Hansel untuk mengatakan bahwa ia sangat merindukannya, dan ingin mendengar suaranya lebih lama lagi. Namun betapa nahas, sesaat kemudian bayang-bayang masa lalu itu sirna.
***
Ia hanya melihat layar ponselnya sekilas, kemudian meletakannya begitu saja di lantai---tak berminat mengecek isi pesan yang ia terima barusan. Mata kantuknya belum bisa menyambut sinar kebiruan yang dipancarkan benda persegi panjang tersebut. Tampaknya, ia harus mengatur kembali brightness ponselnya agar tak terlalu menusuk penglihatan.
"Yan, kamu sudah bangun?" tanya sebuah suara yang ia yakini berasal dari atas kepalanya.
Yanan segera tersadar dan bangkit dari posisi berbaringnya. Astaga. Jadi, dirinya sejak tadi tidur dipangkuan Jihan?
"Maaf, Ji. Pasti kamu kesemutan."
"Tidak apa-apa. Aku ke toilet dulu ya," balas Jihan secepat kilat dan segera melesat ke arah belakang.
Sambil menunggu Jihan menyelesaikan urusannya di kamar mandi, Yanan mengambil ponsel hitamnya yang tergeletak di lantai---hendak mengecek pesan apakah yang ia terima barusan.
Cepat-cepat dirinya membuka e-mail yang ia terima beberapa saat lalu, setelah menyadari bahwa e-mail tersebut datang dari sebuah instasi yang cukup penting bagi kelangsungan hidupnya.
📧 [E-mail Inbox]
Sender : recruitment@crackerscompany.com
Recipient : yanan701@g****.com
Subject : Panggilan Interview
Content : Kepada saudara Yanan Hermansyah, kami mengundang anda agar datang ke PT. CraKers cabang Jakarta Pusat pada hari Minggu, 22 Juli 2018, untuk melakukan wawancara berkaitan dengan lamaran kerja yang sebelumnya telah anda kirimkan.
Harap membawa print out CV serta berkas asli surat tanda tamat belajar.Demikian yang dapat kami sampaikan. Terima kasih.Reply | Delete | Spam | Mark as Unread
Yanan terbelalak tak percaya
Apakah ini nyata?
Ayolah, Yanan mengira e-mail yang didapatkannya merupakan sebuah penolakan seperti sebelum-sebelumnya saat ia menaruh lamaran di berbagai macam pabrik. Sungguh tadinya ia sudah sangat pesimis, setelah beberapa waktu lalu harapannya selalu digantungkan untuk kemudian dihempas ke dalam teluk kekecewaan.
Seperti sebuah mimpi, akhirnya sebentar lagi ia bisa bekerja di tempat baru dengan gaji yang lebih masuk akal. Akhirnya ia bisa keluar setelah bertahun-tahun terkurung dalam sangkar kaca bernama Family's Mart.
Tunggu.
Lalu ... bagaimana dengan Jihan?
"Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam
Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se
Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s
Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur
Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal
Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp
Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas
Gumpalan-gumpalan besar awan kumulus bergulung memadati langit. Awan berwarna kelabu pekat itu berpotensi mengundang hujan lebat jika bergesekan satu sama lain.Di sore dengan cuaca yang tak bersahabat, tengah disaksikan oleh Jihan peristiwa paling menyakitkan dalam hidupnya."Hansel ... jangan pergi." Napas Jihan tersengal, air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya luruh juga membanjiri kemeja Yanan---kekasihnya yang senantiasa menyediakan bahu sebagai tempat bersandar."Kamu boleh menangis di pundakku selama yang kau inginkan, tapi biarkan Hansel tenang di sana. Jangan buat dia bersedih karena kamu masih belum bisa melepasnya. Dia pasti tidak suka kalau melihatmu seperti ini." Yanan yang bertugas menenangkan Jihan pun tak kuasa menahan tangis.Sesaat setelah jasad Hansel dikebumikan, kesadaran Jihan detik demi detik bagai direnggut oleh atmosfer duka yang menyelimuti areal pemakaman ini. Semili
Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas
Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp
Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal
Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur
Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s
Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se
"Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam
Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"
Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju