Beranda / Thriller / Aftermath / 6. Si Bajingan dan Si Gila

Share

6. Si Bajingan dan Si Gila

Penulis: obliviahye
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-20 21:54:50

Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan.

Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli.

Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya.

Dengan sabar, Jihan menunggu di samping pintu masuk restoran. Ia tidak mau terlibat peredebatan dengan wanita yang tak dikenalnya itu. Ia hanya ingin bertemu pria bajingan yang telah melakukan pengkhianatan terhadap keluarganya sendiri.

Beruntungnya, tanpa perlu waktu lama, wanita itu keluar dari restoran seorang diri. Wajahnya tampak sumringah seperti baru saja menang lotre.

Jihan melipat payungnya dan masuk ke dalam rumah makan mewah itu, menghampiri ayahnya yang sedang terduduk di salah satu meja dengan jemari yang bergerak gesit di atas papan ketik laptop.

"Kenapa tidak datang ke pemakaman Hansel?"

Pria paruh baya bersetelan formal itu spontan terperanjat ketika mendapati sang anak sulung yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Dengan sigap ia menyusun sejumlah alasan, karena ia tahu anaknya tidak akan puas dengan jawaban yang singkat. "Sebenarnya Ayah ingin datang, tapi ada partner bisnis dari Beijing yang mendadak mengadakan meeting. Dan juga, beberapa hari lagi Ayah harus mengurus proyek di Tokyo. Jadi Ayah tidak sempat--"

"Tidak sempat Anda bilang? Atau jangan-jangan Anda sebenarnya merasa bahwa memberi penghormatan terakhir pada Hansel tidaklah lebih penting dari bisnis murahan itu?" potong Jihan dengan intonasi tinggi.

"Heh, apa-apaan kamu ini? Kenapa malah mengejek ayahmu sendiri?"

"Anda pikir saya butuh jawaban yang seperti itu? Anda bermaksud pamer, 'kan, pada saya? Pamer betapa kehidupan yang Anda jalani baik-baik saja meski telah berpisah dengan ibu saya. Pamer betapa karir Anda semakin melejit setelah berhasil menendang keluargamu sendiri. Asal Anda tahu, saya tidak peduli Anda ada proyek di Tokyo, Beijing, Hongkong, Taipei, atau Uzbekistan sekalipun!"

Jihan sudah muak mendengar semua alibi yang dipaparkan oleh mantan ayahnya. Ia paham benar semenjak bercerai dengan ibunya, pria ini memang sudah tidak lagi mempedulikan bagaimana kedua anak kandungnya menjalani hidup. Ayahnya hanya bernafsu menumpuk harta dan mengejar kesenangan duniawi.

Jihan tidak masalah jika ayahnya memang ingin mencabut jatah bulanan yang selalu diberikan kepadanya, toh ia bisa kerja paruh waktu untuk menutupi biaya kuliahnya. Jihan tidak masalah jika ayahnya lebih memilih lepas dari kehidupan lamanya yang mungkin saja membuat ia seperti terkukung dalam jeruji. Jihan tidak masalah jikapun ia benar-benar kehilangan sosok ayah dalam hidupnya.

Namun yang ini sungguh keterlaluan.

"Menghadiri upacara pemakaman anak sendiri saja tidak sempat. Saya ragu, apa Anda masih layak saya sebut sebagai seorang ayah." Ingin sekali ia mengeluarkan makian terkasar dan berkata betapa tolol pria didepannya ini, tetapi hanya itu yang dapat ia ucapkan dengan suara begetar karena menahan sesuatu yang ingin segera meledak---entah kesedihan atau kemarahan atau keduanya.

Ia memang tidak akan pernah menang melawan ayahnya.

"Hapus air matamu. Yang sudah pergi biarlah pergi, sebanyak apapun kamu menangis tak akan membuatnya hidup lagi. Kamu tidak boleh cengeng. Mulailah hidup baru." Pak Hasim berujar dengan ringan, seolah tak ada penyesalan sebesar atom pun dalam hati busuknya.

Seolah kepergian Hansel hanyalah seremeh kematian karakter figuran dalam sebuah pertunjukkan drama.

Jihan benar-benar tak menyangka, ayahnya ternyata sudah serusak ini.

Tangan Jihan terkepal erat sampai kuku-kukunya menusuk kulit. Kalau ia tidak bisa mengatur emosi, kemungkinan besar kepalan itu sudah meluncur dengan ganas dan bertubi di wajah sang pria keparat.

Kenapa harus Hansel? Kenapa bukan si tua bangka ini saja yang mati? Aku yakin raja iblis telah menyiapkan singgasana teristimewa di neraka untuk orang seperti dia.

***

Seseorang pernah berkata padaku ...

"Jika kamu menangis di depan orang yang menyayangimu, maka orang itu akan bersedia menyediakan bahunya sebagai tempat bersandar.

Namun jika kamu menangis di depan orang yang ... jangankan menyayangimu, peduli akan dirimu saja tidak. Maka orang itu akan memaparkan sejuta alasan tentang betapa mereka bernasib lebih malang darimu dan tak seharusnya kamu menangis hanya karena sebuah masalah yang mereka anggap sepele."

Tadinya kuanggap ucapan itu hanya omong kosong belaka, tetapi sikap brengsek ayahku barusan membuktikan bahwa perkataan itu benar adanya.

Payung yang setia menemani perjalanan Jihan, sengaja ia tinggalkan di depan restoran tadi. Ia biarkan rintik hujan membasahi sekujur tubuhnya. Ia biarkan air hujan turun di wajahnya, menyamarkan tangisnya.

Ia bawa langkahnya ke suatu tempat di mana ia bisa benar-benar sendirian. Tentu saja rumah ia taruh sebagai opsi terakhir. Lagipula ia tak mungkin pulang dengan keadaan kacau seperti ini. Masalah seperti, apakah nanti ibunya akan khawatir mencarinya karena tak pulang semalaman, itu urusan belakangan.

Suara tapak sepatunya bergaung di sepanjang koridor sunyi yang menghubungkan antara Fakultas Pertanian dan Fakultas Geologi. Bayangannya tercipta dari pantulan cahaya neon. Jaket tipisnya berkibar perlahan diterpa semilir angin. Kedua tungkainya gemetar hebat, sebagai akibat dari kelelahan dan hawa dingin yang tak tertahankan.

Ia menguatkan dirinya sendiri agar tak tumbang.

Akhirnya, anak tangga yang berjumlah kurang lebih enam puluh tiga berhasil ia taklukan.

Dari balik pintu rooftop, terpaan angin yang lebih kuat menyapanya. Perlahan ia tutup benda persegi panjang bermaterial logam tersebut.

Jihan melihat pantulan semu dirinya pada genangan air hujan di dekat sepatunya. Wajah seorang pecundang. Segera ia injak sang refleksi buram dengan perasaan kesal. Entah mengapa ia jadi benci melihat wajahnya sendiri.

Ia abaikan genangan keruh tak penting itu, kemudian berjalan lagi hingga langkahnya dihentikan secara sepihak oleh beton pembatas.

Dari atap bangunan tinggi yang ditapakinya, ia melihat segalanya tampak mengecil di bawah sana. Bentangan sawah, kebun semangka, toko kelontong, bus terakhir, motor yang satu-dua masih melintas, rumah-rumah warga, jalanan yang temaram. Jihan merasa seperti ia sanggup meremukkan semua itu dalam genggamannya.

Gedung kampusnya memang tak seberapa tinggi jika dibandingkan dengan gedung-gedung pencakar langit di perkotaan. Namun dapat terbayang oleh Jihan akan sehancur apa tubuhnya, jika ia menuruti insting gilanya untuk menyusul Hansel ke alam baka.

Ada suara gerendel yang menelisik ke telinganya. Khayalan mengerikan tentang rencana mengakhiri hidup terpecah begitu saja. Pintu rooftop yang tadi sudah ia tutup rapat, kembali terbuka. Seseorang berpostur tinggi menghampirinya.

Sumpah demi apapun, saat ini ia sama sekali tidak ingin diganggu. Terlebih oleh orang yang sekarang tengah berjalan dengan langkah santai sambil bersiul menyebalkan itu.

"Sendirian saja? Yanan mana?"

"Ke Jakarta."

"Ke Jakarta? Untuk apa?"

"Dia dapat panggilan wawancara kerja."

Juno bertepuk tangan dramatis, seolah baru saja mendengar kisah super fantastis. "Wow! Keren juga anak itu. Bermodal ijazah SMA, bisa sampai ke ibukota. Padahal, aku yang merupakan calon sarjana saja tidak yakin akan segera mendapat kerja setelah lulus nanti."

Jihan tidak peduli. Ia sedang malas berbasa-basi. Yang ia inginkan hanyalah bocah idiot itu segera angkat kaki dari sini.

Merasa diabaikan oleh partner mengobrolnya, Juno memiliki ide untuk melakukan sesuatu yang dapat membuatnya menjadi pusat perhatian. Sebatang kembang api yang ada di genggamannya, ia sulut dengan sebuah pemantik tanpa aba-aba. Gemerlap pijar-pijar api menyembur, menghiasi langit malam yang monoton. Suara ledakannya membuat telinga Jihan pekak.

Sial. Dia pikir ini malam tahun baru?

"Sebenarnya apa tujuanmu datang ke mari, brengsek?!"

Dengan senyum bodoh seperti tidak pernah melakukan dosa, Juno berseloroh. "Mmm ... menghiburmu."

Ah, aku hampir lupa satu hal. Jika kamu menangis di depan orang gila, maka orang itu akan melakukan hal konyol yang senantiasa memicu tingginya tekanan darahmu.

"Sudah cukup aku dibuat muak oleh bajingan bau tanah itu. Kamu tidak perlu memperkeruh suasana hatiku." Satu tangannya terangkat untuk mencengkeram kerah baju Juno. "Jika kamu ingin menghiburku, tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku menangis tanpa siapapun di hadapanku."

Juno ternganga, tidak biasanya Jihan seserius ini ketika berbicara dengannya. Ia jadi merasa sedikit iba pada sobat karibnya. Pasti perempuan bermata sembab itu melalui hari yang benar-benar parah.

"H-hei ... santai, Ji." Perlahan diturunkannya tangan Jihan yang masih bertengger di kerah kemeja flanelnya. "Aku tahu kamu sedang berduka. Tapi memangnya tidak lelah menangis terus-menerus?" 

Juno merogoh sesuatu dari saku celana jeansnya, lalu menyodorkan sebungkus bubuk putih beraroma aneh tepat di depan wajah Jihan. "Mungkin ini bisa membuatmu ceria kembali."

Mata Jihan memicing, rasa curiga tak dapat dihindarkan saat melihat bungkusan transparan berisi butiran-butiran sewarna kapas tersebut, "Apa itu?"

"Coba saja. Rasanya enak."

Sungginggan seringai terbit di bibir Jihan, seperti telah mengetahui maksud terselubung Juno. "Tidak. Aku tidak mau."

Kurang ajar betul. Kamu mau menyeretku ke dalam lembah maksiat, kemudian memeras hartaku hingga tak bersisa? Tidak semudah itu, Juno!

"Baiklah. Akan aku tinggalkan di sini. Mungkin saja kamu berubah pikiran." Bungkusan hina tersebut Juno selipkan pada temali sepatu kets yang Jihan kenakan, "Ah, kali ini kuberikan gratis untukmu. Jadi tidak perlu merasa berhutang."

Bab terkait

  • Aftermath   7. Buku Terkutuk

    Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-24
  • Aftermath   8. Unconditional Love

    Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-29
  • Aftermath   9. Jejak-jejak Mengerikan

    Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-15
  • Aftermath   10. Penyesalan yang Datang Terlambat

    Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-20
  • Aftermath   1. Kematian Hansel

    Gumpalan-gumpalan besar awan kumulus bergulung memadati langit. Awan berwarna kelabu pekat itu berpotensi mengundang hujan lebat jika bergesekan satu sama lain.Di sore dengan cuaca yang tak bersahabat, tengah disaksikan oleh Jihan peristiwa paling menyakitkan dalam hidupnya."Hansel ... jangan pergi." Napas Jihan tersengal, air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya luruh juga membanjiri kemeja Yanan---kekasihnya yang senantiasa menyediakan bahu sebagai tempat bersandar."Kamu boleh menangis di pundakku selama yang kau inginkan, tapi biarkan Hansel tenang di sana. Jangan buat dia bersedih karena kamu masih belum bisa melepasnya. Dia pasti tidak suka kalau melihatmu seperti ini." Yanan yang bertugas menenangkan Jihan pun tak kuasa menahan tangis.Sesaat setelah jasad Hansel dikebumikan, kesadaran Jihan detik demi detik bagai direnggut oleh atmosfer duka yang menyelimuti areal pemakaman ini. Semili

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Aftermath   2. Jiwa yang Lelah

    Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Aftermath   3. Hansel yang Hadir di Mimpi Yanan

    Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Aftermath   4. Rahasia Yanan

    "Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17

Bab terbaru

  • Aftermath   10. Penyesalan yang Datang Terlambat

    Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas

  • Aftermath   9. Jejak-jejak Mengerikan

    Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp

  • Aftermath   8. Unconditional Love

    Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal

  • Aftermath   7. Buku Terkutuk

    Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur

  • Aftermath   6. Si Bajingan dan Si Gila

    Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s

  • Aftermath   5. Ruang Eksekusi

    Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se

  • Aftermath   4. Rahasia Yanan

    "Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam

  • Aftermath   3. Hansel yang Hadir di Mimpi Yanan

    Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"

  • Aftermath   2. Jiwa yang Lelah

    Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju

DMCA.com Protection Status