Beranda / Thriller / Aftermath / 5. Ruang Eksekusi

Share

5. Ruang Eksekusi

Penulis: obliviahye
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-19 22:30:29

Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.

Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.

Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.

***

Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.

Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Sendirian. Tanpa siapapun di sampingnya.

Sinting!

Membayangkan saja sudah membuat dadanya disesaki beragam emosi. Sedih, takut, marah. Namun yang paling dominan adalah penyesalan.

"Setelah menyatakan insiden ini sebagai kecelakaan, polisi menutup kasus kematian Hansel," ujar ibunya sangat lirih, terdengar bagai bisikkan yang dikumandangkan di ruang angkasa.

Jihan mendengus kasar. Mengapa para polisi itu terlalu cepat menarik kesimpulan? Tidak bisakah menunggu hasil visum dokter? Dan, bukankah seharusnya mereka melakukan investigasi lebih lanjut mengenai kematian adiknya yang tampak sangat janggal ini?

Baiklah, ia memang tak membutuhkan bantuan dari para aparat yang tidak becus itu.

Mulai detik ini tekadnya sudah bulat, tidak ada yang bisa menghentikan Jihan untuk mencari tahu penyebab riil kematian adiknya.

Jika suatu saat nanti ia menemukan sosok tersangka di balik tragedi ini, maka ia sendiri yang akan menghakimi orang tersebut. Tanpa campur tangan penegak hukum sekalipun.

***

Persis di depan piagam penghargaan "Sekolah Peduli Kesehatan Mental Siswa se-Indonesia"---yang terpampang di suatu sudut strategis sekolah itu---Jihan berdiri menunggu ibunya yang sedang berada di dalam ruang komite sekolah. Sepertinya beliau menerima santunan duka cita dari pihak yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa yang menimpa Hansel---dalam hal ini segenap guru dan kepala sekolah.

Batinnya berkata, uang sebanyak apapun yang mereka berikan, nyawa adiknya tetap tidak akan terganti.

Tiba-tiba dari arah belakang, seorang siswa yang tengah kerepotan membawa setumpuk kertas tidak sengaja menubruk punggungnya.

"Maaf. Biar kubantu." Ya, Jihan tetap mengucap kata maaf walaupun ini bukan salahnya.

Jihan membantu sang siswa mengumpulkan kembali kertas-kertas yang bertebaran. Ia meliriknya sekilas. Kertas itu berisi soal-soal matematika dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Mungkin untuk try out, pikir Jihan.

Anak lelaki itu hanya membungkuk kecil, kemudian melengang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

***

"Diduga akibat terpeleset lantai yang licin, seorang siswa SMA tewas di toilet sekolah, setelah kepalanya membentur kloset. Pihak sekolah menyimpulkan semua ini murni kecelakaan."

Suara pembaca berita di televisi sungguh mengusik telinga Jihan. Begitu bising dan menyebalkan seperti kicauan burung parkit yang kelaparan.

"Kecelakaan? Mereka bilang kecelakaan?"

Lewat sambungan telepon, Yanan masih menyimak. Belum berani memberi komentar apapun.

"Berdasarkan data yang ku terima dari ahli patologi forensik ..." Jihan membaca saksama lembaran analisis di tangannya, "... terdapat kandungan hidrogen peroksida dalam kadar yang cukup tinggi di lambung Hansel."

"Hidrogen peroksida?" Yanan berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah membaca komposisi kimia tersebut.

"Ya, zat yang jika tertelan bisa menyebabkan iritasi lambung serta hematemesis."

Dengan frustasi, Jihan membanting tumpukan kertas hasil visum hingga berhamburan. Dari seberang sana, Yanan dapat mendengar suara gemeresaknya.

"Yang aku herankan, bagaimana bisa para wartawan yang sok tahu itu, menelan mentah-mentah informasi dari pihak sekolah yang menyatakan bahwa adikku meninggal karena kecelakaan? Polisi dan kepala sekolah juga, mengapa banyak yang mereka tutup-tutupi dari media? Ah, entahlah, mereka semua terlihat brengsek di mataku." Ponsel diapit di antara telinga dan bahu. Sebatang rokok dinyalakan untuk kemudian dihisap dalam-dalam oleh Jihan. "Terpeleset di toilet? Adakah lelucon yang lebih tidak lucu dari ini?"

"Jika Hansel memang terbentur kloset, pasti ia mengalami pendarahan internal di kepalanya. Sementara tidak satupun hasil visum dokter yang menyebut bahwa ada pembuluh darah yang pecah di bagian kepala adikmu."

"Ya, kamu benar Yan. Karena itu, aku meragukan kesaksian yang diungkap pihak sekolah." Asap rokok yang terhirup dan mengumpul di rongga mulut, kini terhembus. Meari menaruh lintingan tembakaunya pada sebuah asbak berbentuk kura-kura. "Tadi aku berkunjung ke sekolah Hansel. Mengambil beberapa sampel makanan di kantin untuk kemudian mengujinya di lab, aku curiga kalau dia keracunan. Dan setelah itu ..."

Jihan menggantungkan kalimatnya.

"Setelah itu ...?"

Hening melihngkupi keduanya untuk beberapa saat. Hingga akhirnya Jihan kembali membuka mulut.

"Aku ... melihat sendiri tempat dimana adikku meregang nyawa."

Bab terkait

  • Aftermath   6. Si Bajingan dan Si Gila

    Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-20
  • Aftermath   7. Buku Terkutuk

    Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-24
  • Aftermath   8. Unconditional Love

    Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-29
  • Aftermath   9. Jejak-jejak Mengerikan

    Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-15
  • Aftermath   10. Penyesalan yang Datang Terlambat

    Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-20
  • Aftermath   1. Kematian Hansel

    Gumpalan-gumpalan besar awan kumulus bergulung memadati langit. Awan berwarna kelabu pekat itu berpotensi mengundang hujan lebat jika bergesekan satu sama lain.Di sore dengan cuaca yang tak bersahabat, tengah disaksikan oleh Jihan peristiwa paling menyakitkan dalam hidupnya."Hansel ... jangan pergi." Napas Jihan tersengal, air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya luruh juga membanjiri kemeja Yanan---kekasihnya yang senantiasa menyediakan bahu sebagai tempat bersandar."Kamu boleh menangis di pundakku selama yang kau inginkan, tapi biarkan Hansel tenang di sana. Jangan buat dia bersedih karena kamu masih belum bisa melepasnya. Dia pasti tidak suka kalau melihatmu seperti ini." Yanan yang bertugas menenangkan Jihan pun tak kuasa menahan tangis.Sesaat setelah jasad Hansel dikebumikan, kesadaran Jihan detik demi detik bagai direnggut oleh atmosfer duka yang menyelimuti areal pemakaman ini. Semili

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Aftermath   2. Jiwa yang Lelah

    Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Aftermath   3. Hansel yang Hadir di Mimpi Yanan

    Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17

Bab terbaru

  • Aftermath   10. Penyesalan yang Datang Terlambat

    Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas

  • Aftermath   9. Jejak-jejak Mengerikan

    Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp

  • Aftermath   8. Unconditional Love

    Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal

  • Aftermath   7. Buku Terkutuk

    Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur

  • Aftermath   6. Si Bajingan dan Si Gila

    Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s

  • Aftermath   5. Ruang Eksekusi

    Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se

  • Aftermath   4. Rahasia Yanan

    "Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam

  • Aftermath   3. Hansel yang Hadir di Mimpi Yanan

    Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"

  • Aftermath   2. Jiwa yang Lelah

    Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status