Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda.
"Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?"
Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya.
"Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?"
Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini.
"Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan."
Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggurui.
"Yang kusesali hanyalah timing-nya tidak pernah tepat."
Ah, ia jadi teringat Jihan.
Yanan harus pergi jauh di saat ia semestinya menjadi sandaran orang yang paling ia cintai setengah mati.
Sebenarnya Yanan tak tega harus menyembunyikan sesuatu dari Jihan.
Keinginannya pindah tempat kerja sudah ia pikirkan dari jauh-jauh hari. Dan itupun bukanlah karena alasan yang remeh. Namun bukan berarti ia memang berniat untuk menginggalkan Jihan. Ia juga tidak menyangka dapat panggilan kerja di tempat sejauh ini.
Yanan juga berbohong pada Hansel. Ia pernah berkata bahwa ia benar-benar legawa jika seumur hidupnya dihabiskan untuk bekerja di minimarket yang buka selama 24jam.
Namun di tengah ancaman perampokan yang siap menimpanya kapan saja, orang waras mana yang masih sanggup bertahan? Terlebih di malam sepi ...
... seperti hari itu.
Seharusnya ia sudah terbiasa dengan situasi semacam ini. Ia sudah berkali-kali menghadapi serangan tak terduga dari sekumpulan geng motor maupun sekawanan bandit. Dan seharusnya ia sudah terlatih untuk memanggil bala bantuan lewat dial number di teleponnya.
Bukan malah gemetar ketakutan melihat senjata tajam yang diacungkan ke arahnya.
Tubuhnya memang tinggi besar, tetapi ia kalah jumlah. Yang ada di pikirannya hanyalah ia tidak boleh mati konyol.
Jadi ketimbang melawan, ia justru dengan pasrah menyerahkan semua uang yang berada di mesin kasir untuk diserahkan pada para begundal tak tahu diri itu.
***
Pagi-pagi buta, rumah Juno sudah digegerkan oleh kehadiran Jihan yang tiba-tiba. Tidak tahu saja, semalam Jihan membuntutinya sampai ke rumah dan menginap di rumahnya yang kumuh itu. Mengendap-endap masuk melalui jendela rumah Juno yang tak terkunci dan tanpa teralis. Tidur di sofa, dalam gulungan selimut lembab yang ia temukan di atas mesin cuci. Pakaian basahnya sudah ia lucuti sejak semalam. Untung tak ada yang memergokinya tidur tanpa busana.
"Jun, aku numpang mandi, ya."
Setelah mengobrak-abrik dan menjarah sebagian isi lemari Juno, Jihan melesat ke kamar mandi bersama selembar handuk yang entah sejak kapan sudah ia kalungkan di lehernya, serta segenggam sandang di tangannya.
"Hei! Hei! Pakaianku mau diapakan?"
"Pinjam sebentar masa tidak boleh sih? Pelit sekali!"
Gerutuan itu disusul dengan bantingan pintu kamar mandi.
***
Hari ini seorang tukang kebun dipanggil oleh Bu Tara ke rumahnya untuk membersihkan halaman pekarangan. Rumput dan semak belukar sudah semakin meninggi, tetapi Bu Tara dan Jihan tak pernah sempat untuk memangkasnya.
"Bu Tara terlalu sibuk mengurus kios ikan di pasar. Sampai rumah sendiri tak terurus. Lain kali aku akan bawa domba-dombaku kemari. Rumput disini lebih lebat daripada rumput di tanah lapang. Domba-dombaku pasti senang karena bisa makan banyak."
Bu Tara tertawa ringan. Memang benar adanya. Ia sudah terlalu lama membiarkan rumahnya terbengkalai.
Saat hendak memberekan peralatannya, sang tukang kebun menemukan sebuah buku bersampul jinga yang terselip di antara bebatuan besar.
"Maaf, Bu. Ini mau dibuang saja?"
Bu Tara melihat buku tersebut sekilas. "Ah, jangan, Pak Broto. Biar saya simpan. Ini pasti milik Hansel."
Perasaan sentimental itu hadir. Bu Tara seperti ingin menyimpan semua kenangan yang ditinggalkan oleh almarhum anaknya.
***
Setelah berterima kasih dan memberi upah pada tukang kebun yang tadi membersihkan halaman rumahnya, Bu Tara melihat putri sulungnya pulang dengan pakaian yang berbeda dengan yang ia kenakan saat ia pergi semalam.
"Kamu dari mana, Jihan? Kenapa tidak pulang semalaman?"
"Ah ... itu ... aku semalam menginap di rumah teman."
"Lain kali kalau mau pergi dan pulang pagi, setidaknya beri kabar. Ibu kira kamu diculik wewe gombel."
"Hehe ... maaf, Bu. Semalam baterai ponselku habis. Aku ke rumah temanku untuk meminjam charger agar bisa menghubungi Ibu. Tapi ternyata charger milik si bodoh itu malah rusak. Benar-benar tidak bisa diandalkan."
"Ya, sudah. Sekarang sarapanlah. Sudah Ibu siapkan bubur ayam di meja makan. Setelah itu istirahatlah, kamu terlihat lelah."
"Iya... Ibuku sayang." Jihan menyunggingkan senyum termanisnya, kemudian berjalan masuk menuju ruang makan.
***
Seorang anak lelaki berseragam putih abu-abu berlari tergesa menuju gerbang sekolahnya. Sekitar lima belas menit lagi gerbang itu akan ditutup. Bisa hancur reputasinya di mata para guru kalau sampai sekali saja ia datang terlambat.
Napasnya tersengal. Dadanya bergemuruh secepat tapak kuda. Bulir-bulir peluh sebesar biji jagung membasahi dahinya.
Tidak memperhatikan sekelilingnya, ia menabrak pintu mobil yang tiba-tiba terbuka begitu saja.
Orang tolol macam apa yg memarkirkan mobilnya di tengah jalan seperti ini?
"Kamu tidak apa-apa, Nak?"
Seorang pria dengan setelan jas kasual keluar dari mobil disusul pria lain yang memakai kemeja flanel berwarna biru muda.
Ia mengenal mereka, ditatapnya kedua pria itu dengan sinis, lalu menepis uluran tangan dari salah satu pria tersebut.
***
"Sani makin aneh saja, ya, kelakuannya."
Ada bisik-bisik yang terdengar oleh telinganya. Sani memperkirakan suara tersebut berasal dari bilik nomor lima.
"Ya, begitulah. Kudengar, pemikiran seorang anak yang pintar itu jauh lebih pelik daripada anak yang bodoh seperti kita ini. Lihatlah cara dia membasuh tangannya. Ia mengusap semua sisi tangannya seperti baru saja memegang sebongkah kotoran manusia, seolah tidak ingin meninggalkan noda sedikitpun. Menurutmu berapa lama ia berkutat dengan air yang mengalir dari keran?"
"Kalau aku tak salah perkiraan, ia sudah berada di wastafel itu selama dua puluh menit. Gawat! Bisa-bisa tagihan listrik sekolah kita melonjak drastis karena perbuatannya."
"Dia benar-benar maniak kebersihan ya? Apa dia tidak takut kulitnya akan keriput kalau terlalu lama bersentuhan dengan air?"
"Entahlah. Tapi satu hal yang ku tahu, ternyata dia tidak sesempurna yang dibilang orang-orang. Dia memiliki sisi janggal juga."
"Mungkin dia selama ini sangat terbebani oleh titel anak unggulan yang disandangnya."
"Atau mungkin dia mengidap OCD?"
"Apa kalian yakin, kalian benar-benar seorang lelaki?" Sani menimpali secara tiba-tiba. "Ah! Pertanyaanku sungguh retoris. Tentu saja kalian bukan 'lelaki'. Karena mana ada lelaki sejati yang bergosip seperti banci."
Dihampirinya bilik toilet yang tak tertutup itu. Ia tahu, kedua murid tersebut sengaja mengintip kegiatannya sejak tadi.
Ckrek
"Dua siswa laki-laki berada dalam satu bilik toilet. Kalau aku sebarkan foto ini di media sosial, menurut kalian apa yang akan terjadi?" Sani mengibaskan layar ponselnya ke depan wajah dua murid lelaki yang telah kurang ajar terhadapnya itu.
"JANGAN MACAM-MACAM, BRENGSEK!"
"Terserah saja. Kalau kalian masih suka bergunjing di belakangku seperti pecundang, aku tidak tahu bagaimana nasib kalian selanjutnya. Seperti yang kalian tahu sendiri, tak ada tempat di sini untuk para kaum penyimp--"
Bugh
"BAJINGAN! JANGAN SAMAKAN AKU DENGAN DUA MAKHLUK MENJIJIKAN ITU!"
Sani terkapar tak berdaya di lantai toilet yang lembap. Murid yang berawakan tambun terus-menerus menghajarnya. Sementara murid yang bertubuh kurus menginjak ponselnya hingga remuk tak berbentuk.
***
Kelas Pak Darmin akan dimulai pada pukul sepuluh. Sekarang baru pukul delapan, itu artinya Jihan memiliki waktu sekitar dua jam untuk bersantai sejenak di rumah.
Ia membuka akun sosial medianya. Ucapan bela sungkawa membanjiri timeline dan kotak notifikasi. Temannya berbondong-bondong menuliskan sesuatu yang berkaitan dengan kepergian Hanse. Bahkan salah seorang teman yang tidak terlalu dekat dengannya sampai membuat video berisi celotehan tentang rasa duka citanya pada keluarga Jihan. Dan lebih parahnya video yang berdurasi hampir setengah jam itu tak lain dilakukan demi mendulang viewers serta adsense di kanal youtube.
Ah, kepalanya jadi pening.
Ponselnya ia masukkan kedalam saku celananya. Bukan waktu yang tepat untuk berselancar di dunia maya.
Jihan melintasi kamar Hansel saat hendak pergi ke kamarnya sendiri. Ia tertegun menatap ruangan bernuansa biru itu dengan perasaan yang tak sama. Jihan masih tak percaya, kini ia takkan lagi menemukan adiknya yang terlelap di sana.
Ia berjalan perlahan masuk ke kamar mendiang adiknya. Meresapi setiap aroma yang masih tertinggal. Matanya menyapu ke seluruh penjuru ruangan.
Ditemukannya sebuah buku di atas meja belajar milik Jihan. Ia membuka buku bersampul jingga tersebut. Kawat yang dipakai untuk menjilidnya sudah berkarat. Kertasnya sudah rapuh terkena air hujan. Tulisan-tulisan di dalamnya sudah luntur, tidak terlalu jelas untuk dibaca. Tapi ada beberapa tulisan yang masih utuh. Jihan menduga tulisan itu ditulis menggunakan spidol waterproof. Isinya hanya catatan pelajaran. Di antara aksara-aksara yang masih dapat terbaca itu, ada sebuah kalimat yang membuat amarah Jihan memuncak. Ditulis dengan spidol berwarna merah, di sana tertulis, 'Hansel si homo menjijikan! Seorang pendosa!'
Seiring Jihan membalik halaman-halaman berikutnya, ia menemukan lebih banyak lagi kata-kata hinaan yang sungguh tak patut ditujukan kepada adik manisnya.
'Gay tidak punya masa depan!'
'Penderita gay patut dimusnahkan!'
'Penyuka sesama jenis, jangan pernah kamu berani menulariku!'
'Bercinta saja dengan anjing!'
'Matilah kamu gay keparat!'
'Aku tak sudi menghirup udara yang sama denganmu!'
Jihan berteriak histeris. Ia tak menyangka ada makhluk sekeji itu yang tega menyakiti adiknya. Membaca deretan kalimat penuh cercaan benar-benar membuatnya ragu apakah yang ia baca barusan merupakan tulisan tangan seorang manusia atau iblis.
Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal
Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp
Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas
Gumpalan-gumpalan besar awan kumulus bergulung memadati langit. Awan berwarna kelabu pekat itu berpotensi mengundang hujan lebat jika bergesekan satu sama lain.Di sore dengan cuaca yang tak bersahabat, tengah disaksikan oleh Jihan peristiwa paling menyakitkan dalam hidupnya."Hansel ... jangan pergi." Napas Jihan tersengal, air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya luruh juga membanjiri kemeja Yanan---kekasihnya yang senantiasa menyediakan bahu sebagai tempat bersandar."Kamu boleh menangis di pundakku selama yang kau inginkan, tapi biarkan Hansel tenang di sana. Jangan buat dia bersedih karena kamu masih belum bisa melepasnya. Dia pasti tidak suka kalau melihatmu seperti ini." Yanan yang bertugas menenangkan Jihan pun tak kuasa menahan tangis.Sesaat setelah jasad Hansel dikebumikan, kesadaran Jihan detik demi detik bagai direnggut oleh atmosfer duka yang menyelimuti areal pemakaman ini. Semili
Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju
Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"
"Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam
Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se
Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas
Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp
Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal
Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur
Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s
Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se
"Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam
Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"
Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju