Home / Thriller / Aftermath / 1. Kematian Hansel

Share

Aftermath
Aftermath
Author: obliviahye

1. Kematian Hansel

Author: obliviahye
last update Last Updated: 2021-06-17 15:37:31

Gumpalan-gumpalan besar awan kumulus bergulung memadati langit. Awan berwarna kelabu pekat itu berpotensi mengundang hujan lebat jika bergesekan satu sama lain.

Di sore dengan cuaca yang tak bersahabat, tengah disaksikan oleh Jihan peristiwa paling menyakitkan dalam hidupnya.

"Hansel ... jangan pergi." Napas Jihan tersengal, air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya luruh juga membanjiri kemeja Yanan---kekasihnya yang senantiasa menyediakan bahu sebagai tempat bersandar.

"Kamu boleh menangis di pundakku selama yang kau inginkan, tapi biarkan Hansel tenang di sana. Jangan buat dia bersedih karena kamu masih belum bisa melepasnya. Dia pasti tidak suka kalau melihatmu seperti ini." Yanan yang bertugas menenangkan Jihan pun tak kuasa menahan tangis.

Sesaat setelah jasad Hansel dikebumikan, kesadaran Jihan detik demi detik bagai direnggut oleh atmosfer duka yang menyelimuti areal pemakaman ini. Semilir angin senja yang berembus perlahan pun sanggup membuat tubuhnya tumbang. Ia merasa sisa-sisa pertahanannya runtuh bersama air mata. Ia mendadak tak sadarkan diri. Orang-orang di sekitarnya kelimpungan menahan agar tubuhnya tak jatuh ke tanah.

Kehilangan sosok saudara kandung bagaikan kehilangan salah satu anggota tubuh yang teramputasi. Lukanya akan berangsur sembuh, tapi bekas yang ditinggalkan tidak akan pernah menghilang. Selamanya akan selalu terpatri. Rasa sakit yang pernah terlupakan, bisa saja muncul sewaktu-waktu tabir luka lama dibuka kembali.

***

Musim kemarau telah sepenuhnya berakhir. Dahan serta dedaunan mulai dibasahi rintik-rintik air langit. Rona mendung sudah mengambil alih paras terik. Curah hujan dan kelembapan udara mengalami peningkatan.

Para petani bersuka cita. Hasil bumi dari ladang yang telah mereka tanam dan rawat selama ini, siap dituai. Musim panen yang penuh berkah telah datang. Karma baik yang selama ini bersemayam di perut bumi, berkembang merekah, menyambut siapa saja dengan kebahagiaan.

Namun suka cita ini tidak berlaku untuk Jihan. Baginya tak ada yang bisa ia tuai selain kesedihan yang tumbuh dari benih-benih peristiwa tragis.

Musim penghujan ini hanya membawa bekas luka yang tertinggal dari musim-musim yang telah berlalu.

Meningkatnya presipitasi berbanding lurus dengan derasnya aliran air mata yang turun di pipi Jihan. Isak tangis yang setiap jam semakin memilukan hati, tersamar oleh suara rintik hujan dan gemuruh petir.

Di kamarnya yang temaram, ia bebas menangis sepuas kehendaknya tanpa siapapun yang melihat.

Namun yang tak ia sadari, di balik pintu yang tertutup rapat itu terdapat dua insan dengan persaan yang tak kalah hancurnya. Dua insan yang bergulir bersama waktu. Hal yang mereka lakukan tiada lain selain menunggu sampai pintu itu terbuka. Menunggu sesuatu yang tak memiliki kepastian.

"Nak Yanan, hari sudah hampir larut, hujan juga sudah reda. Sebaiknya kamu pulang dan beristirahat. Atau kamu ingin menginap di sini?" tanya seorang wanita paruh baya berwajah lesu yang sedari tadi membisu sejuta kalimat.

Yanan tersenyum getir. Di lubuk hatinya terdapat kesedihan yang tak dapat ia deskripsikan secara verbal, saat melihat jejak-jejak air mata yang mengering di pipi wanita yang merupakan ibunda Jihan tersebut.

"Tak usah, Bu. Saya tidak mau merepotkan. Lagipula setelah ini saya harus berangkat kerja."

"Oh, kamu ada shift malam?"

Yanan mengangguk pelan.

"Kalau begitu biar kumasakkan sesuatu." Bu Tara beranjak dari duduknya, pergi ke dapur. "Sebentar ya."

"Ya Tuhan. Bu, 'kan, sudah saya bilang, tak perlu repot-repot.

Bagaimanapun, Yanan merasa tak enak hati jika harus membuat seseorang yang tengah berkabung jadi kerepotan. Meskipun ini merupakan tawaran.

"Tidak merepotkan kok. Anggap saja sebagai rasa terima kasihku," sahut Bu Tara dari arah dapur. Beliau menyiapkan beberapa sayur-mayur untuk kemudian diolah menjadi lauk-pauk siap makan.

***

Motor matic yang dikendarai Yanan melaju perlahan. Jalanan masih licin setelah tadi diguyur hujan deras. Kubangan lumpur---hasil dari rusaknya jalan yang kemudian membentuk ceruk dan terisi oleh air hujan--juga terlihat di beberapa titik. Ia harus berhati-hati, kalau tidak ia bisa tergelincir.

Malam ini terasa begitu dingin. Angin seolah menusuk menembus serat garmen yang dipakainya.

Dengan kondisi psikis yang kurang stabil seperti sekarang ini, memang lebih baik ia mengajukan izin untuk tidak bekerja. Sayangnya, beberapa hari lalu ia sudah banyak mengambil jatah cuti. Ia takut jika terlalu sering tidak masuk kerja, ia akan dianggap pemalas oleh sang bos dan karirnya bisa terancam.

TIIIINNN...

Suara klakson mobil di belakang Yanan membuatnya kaget setengah mati.

Motor yang ia naiki oleng tak tentu arah, sebelum akhirnya ia terperosok ke bahu jalan. Kaki kirinya tergencat bodi motor setelah gagal menahan keseimbangan. Salah satu kaca spion motornya pecah akibat menghantam bebatuan. Aspal basah menggores lengannya yang meski terbalut jaket tebal, rasa sakitnya tetap tidak bisa diremehkan.

Si pengendara mobil yang tadi membunyikan klakson, dengan angkuh berteriak kepadanya, "Hei! Kalau tidak becus jadi pengemudi, jangan pakai kendaraan bermotor! Jalan kaki atau naik sepeda balita saja!"

Ia sedikit kesal pada pria tua yang seenaknya menumpahkan kekesalan padanya. Belum cukupkah menjadi saksi atas dirinya yang bagai digempur kemalangan tiada henti ini?

Sudah jatuh tertimpa motor pula.

Ah ... sudahlah, semua ini memang salahnya karena kurang fokus saat berkendara di jalan raya.

Lelah fisik dan mental membuat pikirannya menjadi berkabut. Bagaimana tidak, seharian ini ia dihadapkan oleh setumpuk perkara yang tak pernah sekalipun ia harapkan akan terjadi. Apalagi siang tadi, saat pertama kalinya ia melihat Jihan dalam keadaan yang sehancur dan semenyedihkan itu.

***

Setelah mandi air hangat, membersihkan luka-lukanya akibat kecelakaan tadi, dan memakai seragam, Yanan lantas membuka kotak bekal yang diberikan oleh Bu Tara. Aroma udang goreng dan tumisan sawi putih membuat perut kosongnya bergemuruh. Tak ada salahnya, 'kan, mengisi perut sebelum berangkat kerja?

Jihan sudah makan belum ya? Apa dia masih mengurung diri di kamar? Bagaimana suasana hatinya saat ini?

Baru sempat menyantap beberapa suap nasi beserta lauk yang dibuatkan Bu Tara dengan sepenuh hati itu, sendok di tangannya sudah ia jatuhkan dengan frustasi ke atas meja. Pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat di otaknya membuat ia sulit menelan makanan. Masakan seenak apapun kini menjadi terasa hambar di lidahnya.

Jihan, apa kamu tidak lelah menangis seharian? Apa kamu tidak kelaparan?

Yanan tak menuntaskan makan malamnya. Mangkuk nasi ia singkirkan ke wastafel, sementara lauk yang masih tersisa cukup banyak ia masukkan ke dalam kulkas.

Setelah mengikat tali sepatunya, ia bergegas melajukan kembali motornya menembus angin malam menuju tempat kerjanya yang terletak di dekat persimpangan jalan.

Kali ini ia harus lebih mawas diri. Sebisa mungkin meminimalisir kemungkinan terburuk. Kecelakaan kecil yang baru-baru ini menimpanya, ia jadikan sebagai bahan refleksi agar tak mengulangi kecerobohan yang bisa mengundang petaka.

Kilat-kilat cahaya berkelebatan di langit, disusul suara petir berfrekuensi rendah. Tampak tetes-tetes air jatuh ke permukaan kaca helm Yanan. Sepertinya gerimis kembali melanda. Laju motor dipercepat. Ia berharap segera sampai tujuan, sebelum terjebak hujan di tengah perjalanan.

***

Jihan terbangun dengan rasa sakit luar biasa yang menghantam kepalanya. Pikirannya menjadi sedikit linglung. Dan yang terparah, ia seakan buta waktu.

Sudah pagi, kah?

Saat tirai jendela kamar disibakkan, yang tertangkap oleh pandangan matanya hanya suasana gelap. Benaknya berpendapat, mungkin fajar belum menyingsing.

Tubuh lunglai bangkit dari ranjang. Kaki diseret menuju ruang makan. Entah mengapa hari ini tubuhnya merasakan kelelahan yang tidak biasa. Tengkuknya terasa berat. Bahunya seperti sedang memikul beban puluhan kilogram. Perutnya juga seolah tak henti-henti membunyikan musik heavy metal.

Sebagian tekanan di pundaknya seakan menguap ketika---dari radius lima meter---ia mencium aroma harum khas masakan ibunya. Dan benar saja, di sana, di atas meja makan ia menemukan piring-piring berisi makanan kesukaannya. Tak menyangka ibunya sudah masak sepagi ini.

Ia berjalan ke dapur, mengambil semangkuk nasi dari rice cooker. Lalu menaruhnya di atas sebuah baki bersama beberapa lauk dan segelas air mineral.

Tungkai-tungkai panjang berjalan menaiki anak tangga. Menuju kamar Hansel

di lantai dua.

Tepat di depan pintu kamar adiknya, ia berpapasan dengan sang ibu.

"Jihan, kamu sedang apa, Nak?" tanya Bu Tara pada putri sulungnya. Akhirnya anak keras kepala ini bangkit juga dari fase hibernasi.

"Aku ingin membangunkan Hansel supaya tidak telat ke sekolah. Sekalian kubawakan sarapan untuknya."

Bu Tara melirik sekilas jam di dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Tanpa memotong pembicaraan, ia masih menyimak sampai sang anak menyelesaikan ujarannya.

"Aku juga ingin meminta maaf pada Hansel. Tempo hari aku pernah membentaknya hanya karena masalah sepele."

Baki berisi makanan diambil dari tangan Jihan. Bu Tara lantas memindahkannya ke meja terdekat. Bentuk antisipasi jika nanti Jihan secara tak sengaja menjatuhkannya ke lantai.

Tangan kanan terulur untuk mengusap lembut kepala anak yang saat ini tinggal satu-satunya ia miliki. Air mata meleleh, berjatuhan ditarik oleh gravitasi.

"Nak ... Jihan sayang ..." Deru nafas tercekat di ujung tenggorokan, Bu Tara berusaha melanjutkan kalimatnya meski sulit terucap oleh lisan, "Hansel sudah tiada."

Related chapters

  • Aftermath   2. Jiwa yang Lelah

    Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju

    Last Updated : 2021-06-17
  • Aftermath   3. Hansel yang Hadir di Mimpi Yanan

    Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"

    Last Updated : 2021-06-17
  • Aftermath   4. Rahasia Yanan

    "Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam

    Last Updated : 2021-06-17
  • Aftermath   5. Ruang Eksekusi

    Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se

    Last Updated : 2021-06-19
  • Aftermath   6. Si Bajingan dan Si Gila

    Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s

    Last Updated : 2021-06-20
  • Aftermath   7. Buku Terkutuk

    Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur

    Last Updated : 2021-06-24
  • Aftermath   8. Unconditional Love

    Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal

    Last Updated : 2021-06-29
  • Aftermath   9. Jejak-jejak Mengerikan

    Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp

    Last Updated : 2021-07-15

Latest chapter

  • Aftermath   10. Penyesalan yang Datang Terlambat

    Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas

  • Aftermath   9. Jejak-jejak Mengerikan

    Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp

  • Aftermath   8. Unconditional Love

    Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal

  • Aftermath   7. Buku Terkutuk

    Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur

  • Aftermath   6. Si Bajingan dan Si Gila

    Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s

  • Aftermath   5. Ruang Eksekusi

    Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se

  • Aftermath   4. Rahasia Yanan

    "Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam

  • Aftermath   3. Hansel yang Hadir di Mimpi Yanan

    Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"

  • Aftermath   2. Jiwa yang Lelah

    Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju

DMCA.com Protection Status