Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.
Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.
Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."
Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.
Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penjuru lain. Sampai-sampai suara pelanggan tak ia sadari.
"Hei, Mas! Dengar tidak, sih?"
Sebuah daya kejut menjalar di sel motoriknya, "Oh! M-maaf. Saya melamun tadi."
Katakanlah Yanan khilaf. Ia benar-benar tidak bermaksud lancang terhadap konsumen.
Yanan bodoh! Ingat, kamu harus tetap profesional!
Kemudian bunyi mesin kasir berdilatasi di udara. Yanan bergerak cepat, memindai harga-harga yang tersimpan dibalik barcode dengan sebuah piranti elektrik berteknologi laser.
"Kalau tidak salah dengar ... anda ingin sekalian membeli rokok, ya? Yang merk apa?"
"Tidak jadi."
Si lelaki berlalu begitu saja setelah membayarkan belanjaannya. Dari raut wajahnya, Yanan bisa menebak, lelaki itu terlihat amat kecewa akan sikapnya. Ia merasa bersalah karena telah tidak sengaja mengabaikan pelanggannya.
Aku bahkan tadi tidak mengucapkan 'selamat datang' dan 'silakan berkunjung kembali' pada orang itu.
Hening kembali melingkupi, selepas kepergian sang pembeli mie instan.
Kehadiran pelanggan hanya tampak bagai sekilas pariwara yang mampir sejenak. Kebisingan lalu-lintas dari petang hingga pagi pun tak mampu mengalihkan fokus Yanan akan hal-hal yang saat ini memenuhi rongga kepala. Rasa getir yang mengusik batinnya benar-benar tak dapat dienyahkan. Suara tangis Jihan masih terus bergaung di otaknya.
Pintu minimarket kembali terbuka, tampak seseorang bernama Sammy memasuki tempat ini. Ia menyapa Yanan seraya melempar senyum ramah padanya. Kini kesadaran Yanan telah penuh. Tidak seperti beberapa waktu lalu saat melayani sang lelaki berjas hujan.
Rupanya pemuda yang tadi membeli tujuh bungkus mie instan menjadi pelanggan terakhir yang Yanan layani sebelum jam kerjanya habis untuk hari ini.
Sammy hendak menggantikan posisi Yanan untuk bertugas di meja kasir, namun dirinya terlebih dulu menyampaikan isi hati pada rekan kerjanya tersebut. "Yanan, aku turut berbelasungkawa. Maaf karena kemarin aku hanya datang sebentar kemudian pulang."
Seulas senyum tipis menghiasi wajah lelah Yanan. "Tidak apa-apa, Sam. Menyempatkan untuk datang ke prosesi pemakaman Hansel saja, kami sudah sangat berterimakasih."
Hela napas lega terembus dari kedua belah bibir Sammy.
Layaknya mendapat sebuah dorongan imajiner, Sammy tiba-tiba berjalan ke bangsal bagian perkakas rumah tangga. Awalnya Yanan tak mengerti apa yang hendak dilakukan oleh pria yang setahun lebih tua darinya itu.
Ternyata, naluri pekerja Sammy tergerak untuk membenarkan letak label harga yang terpasang tak beraturan.
Seperti yang sudah Sammy duga, matanya pasti akan terpaku saat menatap deretan produk detergen. "Aku jadi ingat terakhir kali bertemu dengan Hansel. Kalau tidak salah, hari selasa pekan lalu, dia ke sini. Membeli sebotol kecil cairan pemutih pakaian."
"Pemutih pakaian? Untuk apa?" Yanan menimpali dengan pertanyaan.
"Dia bilang, akan digunakan sebagai bahan uji coba di laboratorium sekolahnya."
"Hm ... untuk laporan ilmiah?"
"Ya, mungkin semacam itulah." Jaket abu-abu dilepas dari tubuhnya, kini tampak dirinya mengenakan seragam sama persis seperti yang dipakai Yanan. "Mmm ... sebelumnya dia juga sering berkujung ke sini. Bersama teman-teman sekolahnya. Membeli peralatan tulis dan makanan ringan. Itu sebabnya aku cukup akrab dengan anak itu."
Yanan jadi iri. Terakhir kali ia bertemu dengan Hansel adalah ketika malam natal. Malam itu jika Jihan tidak memaksa adiknya untuk berkunjung ke rumah kontrakan Yanan demi merayakan hari raya, mungkin Yanan takkan pernah mempunyai kenangan terakhir bersamanya.
Masih segar di ingatannya, sang adik manis merajuk saat dipaksa kakaknya untuk memakai setelan mantel merah dengan gambar Hello Kitty di punggungnya, serta celana hijau lumut yang tampak kebesaran di kaki kecilnya. Perpaduan warna dan corak yang sangat Hansel benci.
Takkan terlupa oleh Yanan betapa menggemaskan wajah merengut Hansel yang tampak tak setuju akan keputusan sang kakak dalam memilihkan sandang untuknya.
"Kak, aku ini sudah dewasa! Kenapa Kak Jihan selalu saja mengatur-atur apa yang boleh kupakai dan yang tidak boleh kupakai?" ia berkilah, "Lagipula, malam natal itu seharusnya dihabiskan bersama keluarga. Bukan dengan pacar!"
Beruntung Yanan sempat mengabadikan momen berharga tersebut ke dalam handycam-nya. Jika suatu saat ia merindukan kenangan indah itu, ia dapat menengoknya kembali.
Sudah. Yanan sudah terlalu lama sibuk mengawang-awang bersama khayalnya. Kini ia mesti kembali ke dunia nyata.
Oh, tunggu!
Ada satu hal lagi yang membuatnya penasaran. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak terlalu dekat secara personal seperti si Sammy itu, mendapat lebih banyak peluang untuk bertemu dengan Hansel. Sungguh merupakan blind luck yang tak ia miliki.
Meski Yanan merupakan kekasih Jihan, tetapi kesempatan yang ia punya untuk bertemu adik dari kekasihnya itu tidak terlampau signifikan.
Anak itu memang jarang terlihat di rumah, sepulang sekolah ia selalu pergi entah kemana juntrungnya. Kalau berada di rumah pun, Hansel lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kamar bertemankan music player kesayangannya.
***
Selepas kerja, Yanan tak langsung pulang ke rumah kecil sewaannya. Dengan membawa sekantung buah-buahan segar, ia terlebih dulu mengunjungi rumah Jihan. Walau kantuk menyergap sekujur kepala, tak menghalangi niatnya untuk mengetahui kondisi terkini sang sosok tercinta. Cukup sudah dirinya dibuat uring-uringan semalaman, sekarang ia harus memastikan sendiri keadaan Jihan.
Dari depan gerbang, tampak olehnya teras rumah Jihan yang dipenuhi orang-orang berbusana serba gelap, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa duka cita.
Mungkin rekan sekampusnya yang sedang melayat.
Yanan melihat Bu Tara kesulitan membawa nampan berisi hidangan kecil untuk para tamu. Tanpa perlu diminta, secara suka rela ia menyerahkan diri untuk memberi bantuan pada wanita itu.
"Yanan, kenapa kamu datang lagi? Seharusnya kamu pulang. Lihatlah, wajahmu sudah seperti orang yang begadang selama dua tahun."
"Hanya mampir sebentar masa tidak boleh?" Yanan terkekeh, sebuah usaha untuk mencairkan suasana. "Biar saya bantu, Bu."
Sengaja Yanan menyibukkan diri dan memilih untuk tidak membaur dengan yang lain. Toh, ia tidak mengenal mereka.
Denting-denting cangkir yang bertubrukan dengan permukaan meja kaca seakan menjadi pembeda subtil di tengah puluhan suara manusia yang beragam corak.
Jihan terduduk di salah satu kursi, di antara teman-temannya yang sibuk melontarkan berbagai pernyataan maupun pertanyaan.
"Maaf ya, kemarin kami tidak datang," ucap temannya, penuh rasa sesal.
Salah satu teman laki-lakinya menimpali, "Iya. Pak Dosen tiba-tiba mengadakan kuis."
"Ji, sebenarnya adikmu sakit apa?" tanya seorang teman perempuannya yang berambut pirang.
Jihan membisu. Kalbunya mendadak pedih jika harus mengingat kembali peristiwa tragis yang menimpa Hansel, adiknya.
Kalau boleh jujur, ia tidak tahu harus menjawab apa. Adiknya meninggal bukan karena sakit. Ia tidak tahu apa penyebabnya. Maka dari itu, ia benci jika ditanya akan sesuatu yang dirinya sendiripun belum berhasil menemukan titik terang.
Pihak kepolisian tak banyak membantu. Mereka sepertinya sengaja mengulur waktu supaya ia semakin terlihat clueless.
Sampai sekarang, belum ada satupun pihak berwajib yang datang ke sini untuk memberi informasi terkait penyebab kematian adikku.
Sebulir air menggantung di pelupuk mata, Jihan berusaha menguatkan diri agar tidak menumpahkannya di situasi yang kurang tepat. Jangan sampai dirinya menangis di depan teman-temannya.
"Hei, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya kawan lainnya yang merasa tak setuju akan pertanyaan yang dilontarkan si rambut pirang.
"Memang kenapa? Aku, 'kan, hanya bertanya," sanggah si rambut pirang, membela diri.
"Pertanyaan itu terlalu sensitif. Kamu harus memahami perasaan Jihan."
Tak ingin terjadi pertikaian di rumahnya, Jihan segera melerai mereka, "Sudah, jangan pada ribut begitu. Aku tidak apa-apa."
Bohong.
Tampak sekali dari sorot matanya yang hampa, keadaan hati Jihan pasti belum membaik.
Wajah itu. Wajah yang menyiratkan rasa kehilangan mendalam. Yanan mengerti benar apa yang tengah berusaha ia tutupi di balik selubung kamuflase: kepingan hati yang porak poranda.
Raut muka menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meski kenyataannya berbanding terbalik.
Kenapa kamu harus menyembunyikan rasa sakitmu? Toh, aku yakin teman-temanmu akan maklum.
Sedikit memaksakan sunggingan senyum di parasnya yang kuyu, Jihan tetap harus menghargai teman-teman yang sudah bersedia untuk bertandang ke sini. Tak elok rasanya jika memasang tampang muram.
Meski harus ia akui, semua yang ia tampilkan di depan para kerabat merupakan rekayasa belaka.
Batin terdalam menjerit, sungguh ia ingin berkata bahwa ia lelah. Lelah mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka yang kian repetitif. Lelah harus menjelaskan berkali-kali terkait hal yang---kalau boleh memilih---sedang tidak ingin ia bahas.
Namun bagaimanapun, ia tidak bisa mengatakan isi hatinya. Ia tidak ingin menyakiti perasaan teman-temannya demi mengutamakan ego pribadi.
Selang beberapa saat, rekan-rekan Jihan yang kurang lebih berjumlah dua lusin, secara bergiliran mulai pamit meninggalkan rumahnya.
Kediaman yang tadi disesaki bermacam tipe suara serta tabiat, seketika berubah senyap. Kini hanya tersisa dirinya, Yanan, dan ibunya---yang sekarang berada di dapur, berkutat dengan cangkir-cangkir untuk membersihkannya dari sisa teh para tamu.
Helm dipakaikan pada kepala Jihan. Starter motor dinyalakan untuk kesekian kalinya.
"Ayo!" seru Yanan yang sudah lebih dulu menaiki jok motor.
"Mau ke mana?"
"Ke rumah sakit. Kamu ingin mengetahui hasil autopsi milik Hansel, 'kan?"
***
"Yan!" panggil Jihan dengan sedikit berteriak.
"Iya. Kenapa?"
"Di sana ada pom bensin. Cepat isi tangki motormu. Jangan sampai mogok di tengah jalan."
Jihan benar. Suplai bahan bakar di tangkinya hampir kosong. Yanan tidak menghitung sudah berapa kali dirinya telah mengendarai sepeda motor ini dalam dua hari terakhir, sampai tak mengira jarum indikator bensinnya sedikit lagi menyentuh angka nol.
***
Penantian keduanya selama hampir tiga setengah jam di lobby rumah sakit, tak membuahkan apapun selain rasa penat yang makin bertumpuk.
Mereka pulang dengan tangan kosong. Hasil autopsi yang mereka tunggu-tunggu tak kunjung keluar. Dokter forensik berkata, mereka harus menunggu hingga esok hari untuk dapat mengambilnya.
Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"
"Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam
Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se
Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s
Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur
Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal
Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp
Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas
Jihan duduk bersandar di kursinya, hanya berdiam diri tanpa mengerjakan tugas yang telah diamanahkan oleh dosennya. Kalut yang melanda hatinya tak kunjung berakhir sejak kemarin.Riuh para mahasiswa semester empat di ruangan itu membuat telinga Jihan seperti tertusuk-tusuk jutaan duri kaktus. Tawa, candaan, serta cekikikan menyelubung bagai asap pekat. Keberadaan Jihan menimbulkan paradoks dalam lingkup tersebut. Ia merasa terasing.Panorama di luar pun tak jauh berbeda, hanya saja kecerian itu terbalut oleh suasana yang lebih tenang dan damai. Dalam batin memaki sang surya sebab memancarkan kecerahan dan kehangatan untuk menyelimuti Senin pagi.Suara-suara berisik yang tak pernah berhenti itu seolah bernafsu untuk menjerat dan mengusik pikirannya. Lihat saja wajah-wajah bahagia itu, mereka seperti tak mempunyai beban hidup sedikitpun. Sial.BRAAKKKK...Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlakuan yang lembut. Jihan yang sudah merasa sangat frustas
Kurang lebih lima kaleng bir telah mengalir ke dalam lambung Jihan. Dua kotak rokok hampir tandas isinya. Di dalam asbak tersisa puntung dan abu tak berguna.Anak lelaki yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan Jihan, secara perlahan mulai beranjak dari kursi. Hendak undur diri karena sejak tadi keberadaannya tampak tak ada artinya di sini."Mau ke mana?""P-pulang ... Kak.""Jangan ke mana-mana. Aku belum mengizinkanmu pulang."Si anak lelaki kembali duduk di kursinya. Merutuki diri sendiri, mengapa ia begitu patuh terhadap perintah orang yang baru ditemuinya hari ini.Kegusarannya bukan tanpa alasan. Sepulang sekolah, ia diseret menuju ke tempat yang kental dengan bau alkohol, setelah sebelumnya dipaksa menanggalkan seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian kasual. Dan yang paling membuatnya muak adalah fakta bahwa ia dan si wanita asing ini telah membuang waktu selama dua jam hanya untuk saling duduk terbisu di sebuah pub yang tamp
Malam ini Jihan memaksa untuk tidur bersama ibunya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang ibu."Bu, aku mau bicara jujur. Sebenarnya ... Hansel itu gay. Maaf ... aku baru memberitahu Ibu. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak lama."Ibunya hanya terdiam.Jihan menghadap ke arah sang ibu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada perubahan yang ia takuti. Ibunya tetap berwajah tenang, bahkan kini memasang senyum yang membuatnya secantik malaikat."Pantas saja dia tidak pernah bercerita tentang gadis cantik manapun," gumam Bu Tara."Ibu tidak marah?""Marah? Kenapa harus marah?""Mmm ... karena orientasi seksual Hansel.""Ibu akan marah kalau Hansel melakukan tindak kriminal selama hidupnya. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, selama dia menjadi anak yang baik, Ibu akan selalu menyayanginya."Jihan mengerti, mungkin inilah yang disebut sebagai unconditional love."Apakah Ibu sudah tahu kal
Yanan tak tahu, apakah takdir memang serumit ini, atau Tuhan hanya senang mengajak hamba-Nya bercanda. "Kemana saja Dia saat bertahun-tahun lalu aku tak pernah sedetikpun berhenti memohon kepada-Nya?" Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada pemuda yang tengah bercerita di sampingnya. "Apakah frekuensi suaraku terlalu kecil untuk bisa didengar oleh-Nya yang Mahabesar? Atau mungkin doa-doa yang selama ini kupanjatkan, baru sampai kepada-Nya?" Lelaki muda itu menerima minuman yang diberikan Yanan, sambil terus mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenalnya belum lama ini. "Sungguh bukannya aku ingkar terhadap kebaikan yang Tuhan berikan. Bagaimanapun aku tetap bersyukur akan hal itu. Bersyukur karena semua ini berarti harapan yang ku pinta setulus hati akhirnya didengar oleh Tuhan." Yanan mendengar dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulut partner mengobrolnya tersebut. Hanya menyimak. Tanpa memotong. Tanpa menggur
Malam itu langit seperti menumpahkan seluruh persediaan likuidnya dari dalam tempayan. Jihan berjalan pulang---setelah sebelumnya melewati dua distrik tanpa ada tujuan jelas---bersama sebuah payung merah maroon yang menghalanginya dari tetes-tetes air hujan. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah restoran bergaya oriental yang mengambil alih atensinya. Di depan restoran itu ia berhenti setelah tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di dalam sana, duduk di pinggir jendela lebar yang menghadap jalan. Itu ayahnya. Beliau tengah berbincang serius dengan seorang wanita berpenampilan modis. Entah siapa wanita tersebut. Mungkin kliennya, atau mungkin saja pacar barunya. Jihan tidak terlalu peduli. Jujur saja, Jihan tidak terkejut jika secara random ia bisa bertemu ayahnya di tempat seperti ini. Ia tahu persis, destinasi macam apa yang ayahnya sudi untuk menginjakkan kaki. Dan kawasan-kawasan elit seperti inilah pilihannya. Dengan s
Tangan Jihan masih terlambai pada kereta yang telah melintas laju di depan sana.Deru kendaraan berkapasitas besar tersebut berangsur lenyap, menyisakan hiruk pikuk orang-orang di peron yang sebelumnya telah turun dari gerbong.Seberangkatnya Yanan mengadu nasib di ibu kota, ia yakin beberapa waktu kedepan, hari-harinya akan semakin sepi.***Jihan menyibak garis polisi yang terpasang membujur di sepanjang tempat kejadian perkara. Hari ini, setelah mengantar Yanan ke stasiun, Jihan mengajak ibunya untuk bertandang ke sekolah Hansel. Ia merasa perlu melakukan ini demi mencari secercah petunjuk. Meski ia tidak yakin seberapa banyak yang akan ia temukan.Bilik toilet di hadapan mereka tampak seperti ruang eksekusi di mata Jihan. Tak terpikir olehnya, sedahsyat apa sakit yang harus adiknya rasakan saat ajal datang menjemput. Sekarat. Se
"Jihan ...""Ya?""Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Dan bolehkah aku minta tolong?""Tidak masalah, aku akan ke sana sendiri. Dan kenapa harus bertanya? Tentu saja boleh." Jihan yang tengah fokus melipat pakaian kotornya untuk dimasukkan ke dalam ransel, hanya menjawab seperlunya. Dan ia memang tidak keberatan sama sekali dimintai tolong oleh kekasihnya.Jujur saja Yanan ragu mengatakan ini, tetapi biar bagaimanapun Jihan harus tahu. "Tolong titipkan surat ini pada bosku. Besok ... aku ... harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan interview. Aku akan izin cuti mulai malam ini.""Interview?" Gerakan tangan Jihan terhenti spontan. "Hei, kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau melamar kerja di Jakarta?""Mmm ... sebenarnya aku hanya iseng mengirim lamaran lewat e-mail. Tidak menyangka juga kalau lam
Bukan suhu di kota ini yang mendadak tinggi seolah kemarau datang kembali, tetapi hawa panas yang menjalar di dada Jihan disebabkan oleh rentetan peristiwa yang menguras habis emosinya belakangan ini."Kamu tahu, apa yang lebih memuakkan dari menunggu selama tiga setengah jam di lobi rumah sakit tanpa mendapatkan apapun?"Yanan baru saja sampai di kediamannya. Ia bahkan belum sempat mengajak Jihan untuk rehat sejenak, tetapi kekasihnya segera merebut perhatiannya dengan sebuah pertanyaan ..."Fakta bahwa aku telah memaksa kekasihku menyia-nyiakan waktunya yang berharga untuk melakukan hal-hal tak berguna."... yang kemudian dijawab sendiri oleh perempuan manis berambut pendek itu."Tapi kamu tidak pernah memaksaku berbuat apapun. Aku melakukan semuanya secara suka rela. Aku juga tidak merasa waktuku telah terbuang sia-sia. Dan ... apa yang kamu sebut dengan hal tak berguna?"
Selama Yanan terjaga sepanjang malam, ia kerap memandangi benda-benda remeh semacam kaleng bekas di tepi jalan. Entah mengapa onggokan sampah menjadi demikian menarik di matanya. Atau mungkin, sebenarnya ia tidak menatapi kaleng peyot itu, melainkan tengah menerawang jauh pada ketidakjelasan.Decitan terdengar, berasal dari pintu minimarket yang terbuka. Disusul krasak-krusuk yang mendekat ke arahnya. Tak sedikitpun membangunkan Yanan dari lamunan panjang.Setelah mengitari area dalam minimarket, seorang lelaki muda berjas hujan kuning memindahkan tujuh bungkus mie instan dari dekapannya ke atas meja kasir. "Tolong ditotal semuanya. Oh, iya, sekalian rokok sebungkus."Laki-laki yang jas hujannya sedikit basah itu menghitung uang di dompetnya---mengira-ngira jumlah nominal yang harus ia bayar.Pikiran Yanan masih tertuju pada satu titik buram di lorong imaji, dirinya bagai diajak berkelana ke penju