Seorang gadis menatap sendu ke arah taman. Duduk berpangku tangan dengan guratan kesepian. Sepertinya jutaan kesedihan tengah menyelimuti hatinya. Dibalik bibir yang terus terkembang, ada luka dalam yang sedang berusaha ia pendam.
Hanya berteman dengan angin yang masih setia membelai lembut rambut cokelatnya. Tubuh kecil nan kurus itu kini terisak, menahan derasnya air mata. Begitu sepi dan sendiri, bahkan jangkrik dan kumbang pun enggan menyapa.
Ternyata kegundahan yang ia rasa juga turut dirasa Baswara. Pria muda nan gagah yang begitu berkarisma. Pria tampan yang diam-diam menyimpan rasa padanya. Bulir air mata yang turun memaksa Baswara untuk segera menghampirinya. Melangkah pelan dengan jutaan harapan.
Jantungnya bergemuruh, bak badai yang memburu. Namun langkah tidak kunjung goyah. Kesedihan sang pujaan, sangat menyakitkan. Ingin segera ia tiba dan menyentuh dirinya. Menyeka tetesan air mata dan menenangkan dalam dekapan jiwa.
Bak ditelan bumi, gadis itu lenyap saat tangan Baswara hendak menggapainya.
“Kana!”
“Bas! Baswara!” panggil Samudera sembari menepuk lembut punggung Baswara. “Apakah kamu tertidur dan bermimipi?” tanyanya kembali, kemudian membuka kain yang sedari tadi menutupi jendel kaca.
Dengan segera Baswara menutupi wajahnya. Ia tidak menyangka sampai bisa tertidur di ruang kerjanya.
“Apakah tidurmu tidak nyenyak tadi malam? Bagaimana bisa kamu tertidur, bahkan sampai bermimpi, Bas?” tanya Samudera-bawahan sekaligus sahabatnya Baswara.
“Yah, sepertinya aku insomnia beberapa hari ini, Sam! Apakah ada yang mengetahui ini selain dirimu?”
“Tidak, Bas! Tidak ada,” jawab Sam yang kini tersenyum lembut, sembari duduk tenang dihadapan Baswara. “Oh, ya. Sepertinya tadi kamu menyebutkan nama seseorang saat tertidur. Kana, yah, Kana. Apakah yang kamu maksud Kanagara, Bas?” sambung Sam dengan tatapan penuh rasa penasaran.
Baswara memilih diam dan tidak menjawab, tergambar jelas kegelisahan saat Baswara menyandarkan tubuhnya.
“Ada apa, Bas? Apakah ada sesuatu yang membebani pikiranmu? Tidak ada salahnya kamu bercerita padaku, Bas. Bukankah aku sahabatmu?” tanya Sam dengan penuh rasa perduli.
Baswara berdiri dan menatap ke arah jendela kaca, melihat keramaian dan langit biru berharap bisa mengembalikan rasa tenangnya.
“Bas, apapun masalah yang sedang kamu hadapi. Aku yakin, kamu pasti bisa menyelesaikannya. Bukankah tidak ada yang tidak bisa kau selesaikan?” ucap Sam sembari menepuk lembut pundak Baswara. Sepertinya kedekatan keduanya begitu baik, terlihat dari sikap peka Sam kepada Baswara saat ini.
“Aku harus menikah, Sam!” jawab Baswara sembari menghembuskan napas berat dari mulutnya.
“Menikah? Apakah kamu dijodohkan, Bas? Mengapa terdengar mendadak? Bukankah usiamu masih muda, bahkan belum genap tiga puluh bukan?” tanya Sam yang terlihat kaget. Jemarinya bergerak seakan tengah menghitung sesuatu.
“Itu dia, Sam. Tujuh bulan lagi usiaku genap tiga puluh tahun. Saat itu aku harus sudah menikah jika ingin menjadi pewaris kekayaan Sanjaya. Begitulah tradisi keluarga kami ... dan aku harus mengikutinya jika tidak ingin hidup gelandangan.”
“Ini tidak mudah, Bas. Menikah bukanlah seperti berkencan, yang jika kau tidak senang bisa dengan mudah kau tinggalkan. Terlebih kau sudah cukup lama tidak berhubungan dengan seorang wanita. Tepatnya setelah keputusanmu kembali ke kota.”
Suasana mendadak hening. keduanya tampak berdiam dengan hati yang berkecamuk. Hanya ada wajah-wajah kecemasan yang terlihat asik dengan kemelut pikiran.
“Apakah kamu tidak pernah merasa tertarik dengan seseorang, Bas? Mungkin dengan salah satu wanita dalam perjalanan bisnismu?” tanya Sam dengan tatapan penuh harapan.
Baswara menggeleng, tatapannya terlihat tajam menatap kearah gedung-gedung tinggi pencakar langit. Dengan nada yang melemah, ia pun berkata, “Tidak, Sam. Aku tidak ingin menikahi wanita yang mengetahui keadaanku. Aku tidak ingin mereka menikah karna apa yang aku miliki, bukan diriku.”
Sam mengangguk, status Baswara sebagai penerus tunggal kekayaan Sanjaya semakin mempersulit keadaan. Sebagai pemilik perusahaan terbesar dengan jutaan cabang hingga kepelosok negeri, akan ada banyak wanita yang berharap menjadi pasangannya. Jika begini, mencari yang tulus akan menjadi sangat mustahil. Tiada kata tulus dibalik harta dan tahta yang terlihat oleh mata.
“Tapi ... ada satu gadis yang masih melekat erat di dalam pikiranku, Sam!” jawab Baswara yang seketika berbalik badan menatap Sam dengan senyum sayunya.
Terbelalak, Sam terlihat kaget sekaligus merasa bingung. Kedekatan keduanya yang begitu lama cukup meyakini diri Sam, bahwa tidak ada seorang gadis pun yang sedang mendekati pemimpinnya-Baswara.
“Kana, Sam. Kanagara, gadis penjaga perpustakaan di kampus dulu. Hingga kini, aku masih mengingatnya. Bahkan ... berniat menikahinya,” jelas Baswara dengan wajah tersipu malu. terlihat dari bibir yang terus ingin terkembang, namun berusaha disembunyikan.
“Kana?” tanya Sam seakan tidak menyangka, bahwa gadis culun dengan gaun jaman dulu itu yang menjadi tambatan hati sahabatnya. Membuat Baswara terlihat kesal dan kemudian menjatuhkan tubuh di atas kursi kebesarannya.
“Maafkan aku, Bas! Aku tahu dia wanita yang baik, pintar dan ramah. Namun ...,” ucapan Sam terhenti karena melihat tatapan kesal Baswara. Membuat Sam enggan melanjutkan ucapannya dan kembali bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan, Bas? Sudah tujuh tahun lamanya kita tidak bertemu. Aku tidak yakin dia masih bekerja di perpustakaan kampus.”
Baswara tersenyum dan segera meraih gawainya. Jari-jemarinya tampak menari indah di atas layar. Membuat Sam juga turut tersenyum senang dengan hati yang masih bertanya-tanya, merasa tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar.
“Baiklah, Bas. Aku sudah menyerahkan berkas yang harus kamu tanda tangani. Aku harus kembali ke ruanganku, aku harap kamu bisa segera menemukan Kana, Bas.”
Belum jauh Sam melangkah, kembali terdengar suara tegas Baswara yang sedang berbicara melalui gawainya. Dengan bergerak lambat, Sam berharap bisa mendengar pembicaraan Baswara yang terlihat berang.
“Apa maksud pesan ini, Dad? Bukankah aset kita bertambah dan mengalami peningkatan diluar target? Bagaimana mungkin perusahaan kita hanya bisa memiliki sebahagiannya? Bukankah Daddy dan diriku yang mengelola semuanya? Lantas siapa itu Tuan Suryakanta?”
Sam hanya bisa merekam semua pembicaraan ini. Bukan waktu yang tepat untuk meminta Baswara menjelaskannya sekarang. Pembicaraan terhenti, Sam kembali mempercepat langkah dan meninggalkan ruangan Baswara.
Seakan tidak ada habisnya, masalah demi masalah terus datang menyapa. Membuat Baswara gerah, begitu berat hingga memaksa diri untuk menutup rapat kedua mata dan menghentakkan kepala pada sandaran kursi.
Penat dan membosankan, mendorong Baswara untuk melakukan kebiasaan buruknya. Berkendara dengan kecepatan penuh tanpa menghiraukan keadaan. Tanpa takut mobil dua milyarnya tergores, Baswara melesat ditengah keramaian kota. Angin segar dan kerumunan menjadi tantangan yang selalu berhasil membuat kepercayaan dirinya kembali. Tanpa takut akan maut yang mungkin menjemput.
Suara nyaring lagu rock menemani ketegangan suasana jalan. Memecah telinga, melenyapkan kebisingan. Begitu menggebu dan berdegum tidak beraturan.
Tetapi semua berakhir kala seorang gadis berdiri tepat di tengah jalan. Memaksa Baswara untuk segera menghentikan mobilnya. Namun sayang, kecepatan yang begitu tinggi tidak mampu terkendali.
“Brak!”
Gadis itu terhempas kuat, terbaring ditengah jalan dengan ceceran darah segar disekitarannya.
Hai, salam kenal dari aku Be. Terima kasih sudah membaca kisah pertamaku. Aku akan merasa senang jika kamu mau menuliskan tanggapan dan saran isi cerita di kolom komentar. Selamat menikmati kisahnya
Hitam, semua menjadi gelap. Tanpa suara dan cahaya, seakan tuli dan buta. Keadaan yang tidak menyenangkan ini terasa cukup lama. Sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas. Namun, perlahan sayup-sayup terdengar suara memanggil Baswara. Suara lembut dan ceria, sangat tidak asing ditelinganya. Mengingatkannya kembali akan sosok Kana-gadis yang berhasil menyentuh hatinya. Membuat Baswara memutar arah pandang mencari asal suara. Kian lama, suara itu menjadi semakin jelas. Bahkan kini terasa tepat memasuki telinga kanannya. Belaian lembut tangan yang menyentuh dahi, memaksa Baswara membuka mata, pandangan kabur bernuansa putih perlahan terlihat. Tangan lembut menggenggam erat jemarinya. Perlahan pandangan itu semakin jelas. Sebuah dinding putih terbentang tepat didepannya. Senyuman manis sang ibu pun menyapa lembut dirinya. “Bas, kamu sudah sadar, Nak?” tanya ibunya dengan nada penuh syukur. Baswara mengangguk lembut , wajahnya terlihat kecewa karena bukan
Pagi yang cerah dengan tiupan angin segar, dihiasi sisa jejak hujan semalam. Jalanan begitu ramai, dipenuhi dengan berbagai angkutan yang memecah keheningan pagi. Sebuah mobil mewah mampu menarik hati. Mobil bewarna gading itu dikendarai seorang supir yang membawa wanita dan bocah kecil di dalamnya, terparkir rapi di halaman rumah sakit. Wanita yang bertubuh kurus dan berkulit sawo, berbalut kemeja dan rok panjang menggandeng masuk bocah laki-laki menuju rumah sakit Sehati. Keduanya berjalan tenang sembari berbincang dengan tatapan bahagia. “Bunda, apakah Paman tidak terluka parah? Jika iya, aku tidak ingin masuk untuk melihatnya,” ungkap bocah kecil dengan wajah cemberut. “Tidak, Soga sayang. Paman tidak terluka, kebakaran kemarin hanya menimbulkan banyak asap yang membuat Paman jatuh pingsan. Kamu tidak perlu hawatir, aku yakin Paman akan merasa senang melihat kedatanganmu,” jelas wanita cantik dengan gaya berpakaian yang terlihat kuno, hingga membuat banyak
Suasana kantor terlihat senyap kala kaki Baswara melangkah diantara mereka. Semua pandangan tertuju padanya. Wajah kaget sekaligus takut tergambar jelas. Namun, Baswara mengabaikan begitu saja. Baginya suasana ini bukanlah sesuatu yang asing. Sebagai pemimpin yang keras dan tegas, Baswara kerap ditakuti bukan disegani. Berbeda jauh dengan sikap mereka kepada Sam, terkesan ramah namun tetap dihormati. “Temui aku di ruangan segera, Sam,” ucap Baswara tegas melalui gawaninya. Beberapa saat ketukan terdengar, Sam sudah tiba di ruangan Baswara. Melangkah lunglai dengan wajah cemas. Sepertinya ia tahu benar akan apa yang hendak Baswara sampaikan padanya. “Duduklah!” ucap Baswara tegas. Meskipun ia tengah berdiri membelakangi pintu, namun ia melihat jelas wajah Sam melalui pantulan dinding kaca. “Apa saja yang belum kamu sampaikan padaku?” suara gelegar Baswar berhasil membuat Sam tertunduk dengan wajah memucat. Tidak kunjung mendapatka
“Aku yakin itu Kana. Yah, aku harus segera mengunjungi alamat ini untuk memastikannya,” gumam Baswara sembari menggenggam selembar kertas berisi alamat. Kertas pemberian salah satu pegawai kafe yang mengaku telah mengenal Kana dan Soga-bocah lelaki yang selalu bersama Kana. Seharian ini Sam tidak terlihat. Bahkan gawainya tidak aktif, membuat Baswara kesal. kekesalannya kian bertambah kala mengetahui Sam juga tidak masuk kantor hari ini. “Sialan! Dia pasti menghindariku. Bagaimana bisa ia tidak masuk dan tidak menghubungiku,” gumam Baswara yang kini menatap dinding kaca. Dering gawai berbunyi, terlihat beberapa pesan masuk berisi foto. Ternyata itu pesan dari si petugas gedung apartemen. Ia mengirimkan gambar Sam, seorang perawat wanita dan seorang pemuda berbaju rapi. Gambar ketiga berhasil meraih perhatian Baswara. Sambil menggerakkan jari, Baswara memperbesar ukuran gambar untuk memastikan siapa orang terakhir yang mengunjungi apartemennya. N
“Dari mana saja kamu?” tanya Sanjaya dengan tatapan tidak senang. “Beberapa hari ini kamu sering keluar kantor pada jam kerja. Apa kamu ingin menghancurkan perusahaan kita?!” sambung Sanjaya setelah melihat Baswara tidak memperdulikannya. “Heh!” ucap Baswara yang kini berbalik badan mendekati ayahnya. “Aku tidak mengerti akan permainan Dady. Aku ...,” ucapan Baswara terhenti setelah melihat kedatangan ibunya. “Ada apa ini? Dad, Baswara baru pulang. Biarkan dia beristirahat dulu, jangan diberikan rentetan pertanyaan seperti itu,” ungkap ibu Baswara sembari membelai lembut lengan putra tunggalnya. “Lepas, Mom!” teriak Baswara sembari mengenyahkan tangan ibunya. “Aku lelah hidup bersama kalian. Kalian semua penipu!” teriaknya kembali yang kemudian pergi dengan tergesa-gesa menuju mobil. Menyalakan dan melaju kencang dengan penuh amarah. Baswara merasa dihianati keluarganya sendiri. Semua perasaan kacau ini terjadi semenjak pertemuannya dengan Alea
Pagi ini keadaan hotel Sun Beach terlihat rapi. Banyak mobil mewah teparkir di sana. Meja jamuan juga telah berisi berbagai jenis kopi dan makanan ringan lainnya. Sepertinya akan ada pertemuan penting.Tepat di salah satu ruangan terlihat Sanjaya dengan pakaian rapinya terus melirik ke arah pintu masuk. Tatapannya seolah menanti kedatangan seseorang. Berulang kali ia mencuri pandang arloji di tangan kanannya.“Biasanya ia sudah hadir sebelum pertemuan berlangsung. Tetapi sekarang, batang hidungnya juga belum kelihatan. Awas saja jika ia nekat melakukan tindakan bodoh kali ini,” gumam Sanjaya yang kemudian melangkah mendekati jendela besar.Tamu yang ditunggu tiba, dua orang pria dewasa berwajah belasteran memasuki ruangan. Diikuti seorang gadis berwajah oriental berjalan di belakangnya. Gadis cantik dengan gaun terbuka dibagian atas diselimuti jas hitam dan rok belahan tinggi hingga menunjukkan paha yang mulus. Ketiganya begitu ramah menghampiri Sanj
Baswara menatap bingung, ia tidak merasa mengenalnya. Tatapan bingung Baswara membuat si anak semakin kesal hingga berteriak kencang dihadapannya.“Hei!” ucapnya sambil menepuk kuat meja Baswara. “Aku sedang berbicara denganmu!”“Bisakah kamu bersikap lembut, bocah kecil,” ucap Baswara dengan tatapan penuh kebencian.“Kau harus bertanggung jawab! Kau pikir nyawa seseorang itu mainan?!” ucap Si bocah yang semakin membuat Baswara kesal. Namun, Baswara masih bisa menjaga sikapnya dengan baik meskipun nyaris terpancing.“Sepertinya kau salah orang, Nak!” ucap Baswara yang kemudian hendak bangkit dengan kopi di tangannya.“Kau pikir, kau manusia paling kaya, hah? Uangmu tidak dapat membeli nyawa seseorang!” teriak bocah itu kembali, membuat langkah Baswara terhenti seketika. Sambil menatap tajam dengan dahi mengernyit Baswara meletakkan kopi dengan kasar di atas meja hingga bercecer
Sam terbujur kaku di atas ranjang, berbalut baju serba putih dan dikelilingi banyak bunga. Tertidur begitu lelap dengan kulit yang memutih bak kapas. Tiada tanda-tanda kehidupan, terbaring tenang menunggu penguburan.“Bas, Baswara,” panggil seorang wanita dengan nada yang lembut. Membuat Baswara tersadar akan lamunan dan pikiran buruknya.“Meeting akan segera dimulai,” sambungnya.Ternyata Jane datang untuk memanggil Baswara yang sedari tadi terlihat melamun di balkon hotel.“Ya,” jawab Baswara yang kemudian berbalik badan dan mengikuti langkah Jane.Terlihat jelas tubuh Jane melenggok dihadapannya. Tubuh tinggi berbalut pakaian yang indah berhasil menyempurnakan penampilan Jane. Tidak hanya itu, aroma parfum yang khas serta kecerdasannya saat pertemuan cukup berkarisma meskipun belum bisa mengalahi kekuatan karisma Baswara.“Maaf Jane. Mungkin kamu memiliki banyak hal yang begitu diinginkan wanita.
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu