“Dari mana saja kamu?” tanya Sanjaya dengan tatapan tidak senang. “Beberapa hari ini kamu sering keluar kantor pada jam kerja. Apa kamu ingin menghancurkan perusahaan kita?!” sambung Sanjaya setelah melihat Baswara tidak memperdulikannya.
“Heh!” ucap Baswara yang kini berbalik badan mendekati ayahnya. “Aku tidak mengerti akan permainan Dady. Aku ...,” ucapan Baswara terhenti setelah melihat kedatangan ibunya.
“Ada apa ini? Dad, Baswara baru pulang. Biarkan dia beristirahat dulu, jangan diberikan rentetan pertanyaan seperti itu,” ungkap ibu Baswara sembari membelai lembut lengan putra tunggalnya.
“Lepas, Mom!” teriak Baswara sembari mengenyahkan tangan ibunya. “Aku lelah hidup bersama kalian. Kalian semua penipu!” teriaknya kembali yang kemudian pergi dengan tergesa-gesa menuju mobil. Menyalakan dan melaju kencang dengan penuh amarah.
Baswara merasa dihianati keluarganya sendiri. Semua perasaan kacau ini terjadi semenjak pertemuannya dengan Alea di apartemen.
“Kamu, kenapa kamu bisa berada di sini?” tanya Baswara dengan tatapan hendak menerkam. Dahinya mengernyit dengan kedua mata yang membulat.
Wajah gadis itu terlihat kaget, lalu menunjukkan rasa bingung sembari bertanya, “maaf, kamu siapa?”
Sontak saja Baswara turut bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan padanya.
“Aku tidak sedang bercanda, Alea!” teriak Baswara diikuti kepalan tangan yang menghantam dinding apartemen. Membuat gadis itu kaget dan segera mendekap erat tubuhnya sendiri.
“Saya tidak kenal kamu, pergi, pergi, pergi!” teriak gadis itu sembari menunjukkan wajah takut.
Beberapa saat kemudian datang seorang perawat wanita menghampiri mereka. Dengan cepat ia memeluk Alea untuk menenangkannya. Terlihat Alea menyembunyikan wajahnya pada tubuh si perawat. Tubuhnya bergetar dan terlihat sangat kurus dan tidak terurus.
“Maaf, Tuan siapa? Mengapa Tuan kembali datang ke sini?” tanya si perawat yang terlihat tidak mengindahkan kedatangan Baswara.
“Kembali datang? Jika kamu tahu aku datang, mengapa kamu tidak membukakan pintu untukku? Kamu tahu siapa aku? Aku pemilik apartemen ini,” jelas Baswara dengan gigi yang merapat.
“Masuklah! Kita bicara lebih lanjut di dalam,” pinta si perawat yang kemudian membawa Alea memasuki kamar. Memberinya obat dan membiarkan ia beristirahat. Sedangkan perawat itu kembali keluar untuk berbicara dengan Baswara.
“Tuan ingin minum apa?”
“Duduk dan bicaralah! Hanya itu yang aku inginkan,” ucap Baswara tegas yang terlihat begitu begitu tidak sabar.
“Saya hanya diminta merawat Nona di sini. Mengikuti beberapa peraturan yang Nyonya besar berikan, seperti tidak menerima tamu asing.”
“Asing? Aku anak dari wanita yang kamu sebut Nyonya besar tadi,” jelas Baswara dengan congkaknya. Membuat perawat itu tertunduk dengan wajah penuh rasa bersalah. Kedua tangannya saling menggenggam erat dengan kedua kaki yang begitu rapat. Sepertinya ia begitu ketakutan akan kedatangan Baswara.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak mengenali anda.”
“Bagaimana bisa Alea berada di sini?” tanya Baswara kembali, terlalu banyak kejadian aneh yang memancing rasa penasarannya.
“Yang saya tahu, Nona kecelakaan dan kepalanya terhempas. Menyebabkan Nona hilang ingatan dan kini dirawat di sini,” jelas si perawat masih tertunduk, seakan takut menatap wajah sangar Baswara saat ini.
“Kecelakaan? Kapan itu terjadi?” tanya Baswara yang kini mencoba menerka bahwa Alea merupakan korban dari kecelakaan yang ia perbuat.
“Seminggu yang lalu dan sempat dirawat di rumah sakit. Kecelakaannya terjadi di jalan Yos Sudarso. Sebuah mobil mengebut dan menabrak Nona hingga membuat Nona sempat tidak sadarkan diri.”
Bak disambar petir, Baswara kini terdiam dan menutup rapat mulutnya. Kecurigaannya benar, ternyata Alea merupakan korbannya. Keadaan Alea yang hilang ingatan membuat Baswara menjadi merasa bersalah. Namun, ia terlihat kesal akan sikap ibunya yang tidak mau memberitahukan kejadian sebenarnya.
Baswara bangkit dan mencoba membuka pintu kamar Alea, namun dengan segera ditahan oleh perawat.
“Maafkan saya, Tuan. Nona sedang tertidur, saya baru saja memberikannya obat penenang. Belakangan ini keadaan Nona tidak stabil. Beliau sering menangis dan menjerit takut di dalam mimpinya. Saya harap, Tuan tidak memaksakan diri untuk menemui Nona. Saya janji, akan membukakan pintu dan membiarkan Tuan menemui Nona dilain hari.”
Penjelasan si perawat cukup memuaskan Baswara. Hingga kini mobil mewahnya terparkir di pinggir jalan. Rasa bersalah karena mencelakai Alea masih menyelubungi dirinya. Rasa ingin marah untuk melampiaskan keadaan tidak lagi bisa tertahan. Keberadaan Sam yang tidak bersamanya, membuat Baswara hilang kendali. Hanya bisa menangis sendiri ditengah kegelapan malam, dalam mobil kesayangannya.
Cukup lama Baswara melampiaskan kesakitannya dalam tangis. Keberadaan Alea yang merupakan salah satu anak rekan kerja ayahnya menjadi beban berat tersendiri untuk dirinya. Terlebih keadaan Alea yang hilang ingatan akan menuntut pertanggung jawabannya.
Ketukan pada kaca jendela mobil menyadarkan Baswara. Perlahan ia mengangkat kepala yang sedari tadi bersembunyi diantara dua tangan. Menyeka lembut sisa tangis yang kini membasahi pipi, lalu menatap ke arah seseorang yang kini berdiri di sampingnya sambil berteduh dengan payung merah.
“Sam!” teriak Baswara kaget yang kemudian segera membuka pintu mobil dan membiarkan Sam masuk dan duduk di sampingnya.
Sam duduk dengan tubuh bersandar lemah. Tatapannya kosong dengan pakaian yang sedikit basah.
“Sam, apa yang terjadi? Mengapa kau ...,” ucapan Baswara berhenti seketika saat Sam melihat ke arahnya dengan bola mata yang berkaca-kaca.
“Maafkan aku, Bas!” ucapnya yang kemudian menyeka air mata yang jatuh.
“Katakan padaku apa yang terjadi. Agar aku bisa membantumu,” ucap Baswara sembari menggoyang-goyangkan tubuh Sam dengan kedua tangannya.
Sam hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu jatuh pingsan pada sandaran kursi. Kaget dan bingung, namun Baswara segera menyalakan mobil dan membawa Sam ke rumah sakit terdekat. Baginya keselamatan Sam sangat penting, bahkan melebihi dirinya sendiri. Tidak hanya sahabat, Sam sudah seperti saudara kembarnya. Selalu ada untuknya dan sangat mengerti dirinya. Tidak heran jika ia sangat begitu kehilangan saat Sam tidak masuk kantor seharian ini.
Pertolongan dilakukan, Sam diberikan penanganan langsung dan kini ia telah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Sedangkan Baswara hanya bisa duduk menatap tubuh lemah Sam yang ternyata dipenuhi ruam biru dibeberapa bagian tubuhnya.
“Apa yang terjadi Sam? Mengapa kamu datang dalam keadaan begini?” gumam Baswara yang terlihat tidak habis pikir akan apa yang tengah ia hadapi.
Pagi ini keadaan hotel Sun Beach terlihat rapi. Banyak mobil mewah teparkir di sana. Meja jamuan juga telah berisi berbagai jenis kopi dan makanan ringan lainnya. Sepertinya akan ada pertemuan penting.Tepat di salah satu ruangan terlihat Sanjaya dengan pakaian rapinya terus melirik ke arah pintu masuk. Tatapannya seolah menanti kedatangan seseorang. Berulang kali ia mencuri pandang arloji di tangan kanannya.“Biasanya ia sudah hadir sebelum pertemuan berlangsung. Tetapi sekarang, batang hidungnya juga belum kelihatan. Awas saja jika ia nekat melakukan tindakan bodoh kali ini,” gumam Sanjaya yang kemudian melangkah mendekati jendela besar.Tamu yang ditunggu tiba, dua orang pria dewasa berwajah belasteran memasuki ruangan. Diikuti seorang gadis berwajah oriental berjalan di belakangnya. Gadis cantik dengan gaun terbuka dibagian atas diselimuti jas hitam dan rok belahan tinggi hingga menunjukkan paha yang mulus. Ketiganya begitu ramah menghampiri Sanj
Baswara menatap bingung, ia tidak merasa mengenalnya. Tatapan bingung Baswara membuat si anak semakin kesal hingga berteriak kencang dihadapannya.“Hei!” ucapnya sambil menepuk kuat meja Baswara. “Aku sedang berbicara denganmu!”“Bisakah kamu bersikap lembut, bocah kecil,” ucap Baswara dengan tatapan penuh kebencian.“Kau harus bertanggung jawab! Kau pikir nyawa seseorang itu mainan?!” ucap Si bocah yang semakin membuat Baswara kesal. Namun, Baswara masih bisa menjaga sikapnya dengan baik meskipun nyaris terpancing.“Sepertinya kau salah orang, Nak!” ucap Baswara yang kemudian hendak bangkit dengan kopi di tangannya.“Kau pikir, kau manusia paling kaya, hah? Uangmu tidak dapat membeli nyawa seseorang!” teriak bocah itu kembali, membuat langkah Baswara terhenti seketika. Sambil menatap tajam dengan dahi mengernyit Baswara meletakkan kopi dengan kasar di atas meja hingga bercecer
Sam terbujur kaku di atas ranjang, berbalut baju serba putih dan dikelilingi banyak bunga. Tertidur begitu lelap dengan kulit yang memutih bak kapas. Tiada tanda-tanda kehidupan, terbaring tenang menunggu penguburan.“Bas, Baswara,” panggil seorang wanita dengan nada yang lembut. Membuat Baswara tersadar akan lamunan dan pikiran buruknya.“Meeting akan segera dimulai,” sambungnya.Ternyata Jane datang untuk memanggil Baswara yang sedari tadi terlihat melamun di balkon hotel.“Ya,” jawab Baswara yang kemudian berbalik badan dan mengikuti langkah Jane.Terlihat jelas tubuh Jane melenggok dihadapannya. Tubuh tinggi berbalut pakaian yang indah berhasil menyempurnakan penampilan Jane. Tidak hanya itu, aroma parfum yang khas serta kecerdasannya saat pertemuan cukup berkarisma meskipun belum bisa mengalahi kekuatan karisma Baswara.“Maaf Jane. Mungkin kamu memiliki banyak hal yang begitu diinginkan wanita.
Resto mewah dengan ukiran disetiap dinding dan tiangnya. Deretan patung besar berdiri seakan menyambut tamu yang datang. Aroma lavender dan suara genggong menyempurnakan keindahannya. Resto dengan desain bali ini menjadi tempat istimewa dan kerap dikunjungi banyak pelancong. Terutama mereka yang berasal dari luar negeri, mengaku merasa nyaman saat berada di dalamnya. Tidak heran jika Sanjaya memilih tempat ini untuk mengadakan makan malam. Ruang VIP sudah dipesan dan kini Baswara terlihat duduk di sana.“Hai Bas!” sapa Jane yang terlihat hadir seorang diri. Bergaun indah dan terbuka dibagian atas. Terlihat anggun dengan balutan warna putih, terlihat senada dengan keadaan resto.“Hai,” jawab Baswara yang kemudian melirik ke sisi belakang Jane seakan tengah mencari seseorang.“Daddy akan datang terlambat, begitu pula dengan Tuan Sanjaya,” jelas Jane yang begitu peka akan sikap Baswara.“Oke,” jawab Baswara ten
“Bas, Baswara, mengapa kau termenung?” tanya Sam membuyarkan lamunan Baswara yang sedari tadi terduduk menatap lantai.“Ah, ya, maksudku tidak,” ucap Baswara dengan salah tingkah.“Aku yakin ada sesuatu yang terjadi. Tidak mungkin seorang Baswara rela bangun begitu pagi dan mengunjungiku ke rumah sakit, jika tidak terjadi sesuatu.”Wajah penuh yakin Sam saat menatap Baswara membuat dirinya tidak berkutik. Dengan mata beralih pandang, Baswara pun mulai menceritakan kejadian yang terjadi tadi malam.***Seorang pria dewasa datang menghampiri Soga dan Baswara. Berbaju rapi bak eksekutif muda dengan berbalut jas. Melangkah tenang dengan tatapan ramah.“Soga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan sedikit berbisik.“Bisakah Yaya memberitahukanku jalan yang tempo hari aku lewati. Aku tidak tahu namanya,” ungkap Soga dengan wajah penuh harap.Tetapi sayang pria i
“Sam, bagaimana keadaanmu saat ini?” tanya Baswara melalui gawainya.Bukannya menjawab, Sam malah tertawa terbahak hingga sulit berhenti. Sedangkan Baswara hanya diam, tidak seperti biasa akan kembali meledek Sam.“Kau sudah menanyakan ini sejam yang lalu, Bas. Apakah kau begitu gerogi untuk bertemu dengan Kana?” tanya Sam dengan begitu yakin.“Andai kau bisa keluar dari rumah sakit dan menemaniku di sini, Sam,” ungkap Baswara dengan nada yang bergetar.“Hahahaha, Baswara Sanjaya. Aku tidak menyangka, dibalik kesempurnaan yang kau miliki. Ada kekurangan yang begitu mempermalukan, terlebih mengingat status playboy-mu di masa lalu.”Wajah Baswara memerah bukan karena marah, melainkan malu akan kejujuran Sam yang begitu mengenal baik dirinya.“Aku harus kembali, sepertinya Kana sudah tiba. Aku harap semua berjalan lancar,” ucap Baswara sebelum memutus panggilannya.Gemuruh mengh
“Soga, mengapa kamu berkata begitu?” tanya Kana dengan wajah bingung sembari menatap ke arah Baswara dan Soga bergantian.“Bunda, dia pria yang sempat aku ceritakan kemarin,” jelas Soga dengan sedikit merengek.Kana terdiam dan mencoba mengingat, sedangkan Baswara menatap kaku setelah mendengar Soga memanggil Kana dengan sebutan Bunda.“Bunda? Jangan bilang kalau bocah ini adalah anak dari Kana,” gumam Baswara dengan rasa nyeri dihatinya.Begitu pula Kana yang kini menatap balik ke arah Baswara, sepertinya ia merasa tidak yakin bahwa sosok yang diceritakan Soga tempo hari adalah Baswara.“Sepertinya terjadi kesalah pahaman,” ucap Baswara yang mencoba mencairkan suasana.“Kana, Soga, ayo kita pulang!” ajak seorang pria dengan tatapan penuh kasih.Belum lagi Baswara bisa mengontrol hatinya, pria itu datang dan menambah ketegangan.“Bukankah anda yang kemarin tempo
Baswara tiba di apartemen dan menemui petugas apartemen yang merupakan orang suruhannya. Keduanya telah membuat janji bertemu di area parkir. “Informasi apa yang ingin kau katakan padaku?” tanya Baswara dengan wajah yang begitu ketat. Sangkin ketatnya, cukup membuat si petugas apartemen menjadi gugup dan sedikit takut. “Begini Tuan, saya memperhatikan bahwa ada dua orang pria yang sering mengunjungi apartemen anda. Salah satu dari mereka tidak pernah lagi terlihat datang,” jelasnya dengan wajah serius. “Pria yang kau maksud, ini bukan?” tanya Baswara sambil menunjukkan wajah Sam yang ada di layar gawainya. Kedua mata si petugas terbelalak, ia menatap takjub ke arah Baswara sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menyangka, Baswara memiliki foto pria yang ia maksud. “Namun, masih ada satu orang pria lain yang juga sering berkunjung kemari. Dia selalu mengenakan baju kaos dan topi hitam lengkap dengan maskernya. Saya berusaha memperhatik
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu